By Mang Anas
Indonesia hari ini sedang berpacu membangun hilirisasi nikel. Smelter-smelter bermunculan, kawasan industri nikel menggeliat dari Sulawesi hingga Maluku, dan investor asing—terutama dari Tiongkok—berbondong-bondong masuk. Pemerintah menyebut ini sebagai tonggak “kebangkitan industri nasional.” Tapi kita harus bertanya dengan jujur : apakah kita sedang membangun masa depan, atau justru menjualnya terlalu cepat ?
Hilirisasi : Janji yang Indah
Tujuan dari hilirisasi nikel, secara teori, sangat mulia : meningkatkan nilai tambah, membuka lapangan kerja, mengurangi ketergantungan impor, dan akhirnya menciptakan kemandirian industri kendaraan listrik. Pemerintah berharap dari bijih nikel mentah, kita bisa naik kelas menjadi produsen baterai, bahkan mobil listrik.
Namun, jika kita perhatikan lebih dalam, hilirisasi kita masih berhenti pada tahap awal : smelter pengolah bijih menjadi nikel matte atau mixed hydroxide precipitate (MHP), yang kemudian justru diekspor kembali ke luar negeri untuk diolah menjadi bahan baterai. Tahapan hilirisasi sejati—produksi baterai, sel EV, hingga manufaktur otomotif—masih jauh dari kata dominan. Lalu, kepada siapa kita sebenarnya memberikan bahan mentah ini?
Terlalu Cepat, Terlalu Murah
Kekhawatiran terbesar saya adalah soal waktu. Banyak lembaga internasional—mulai dari International Energy Agency (IEA), McKinsey, hingga World Bank—memproyeksikan bahwa puncak nilai strategis nikel global akan terjadi pada dekade 2040-an. Saat permintaan kendaraan listrik benar-benar meledak, dan teknologi sudah matang, harga nikel akan mencapai nilai geopolitik tertingginya.
Jika kita menguras cadangan hari ini, menjualnya saat nilai strategisnya belum mencapai puncak, kita hanya menjadi pemasok murah dalam rantai pasok global. Ketika generasi berikutnya siap membangun industri baterai sendiri, bahan bakunya sudah habis atau sudah dikontrol oleh pihak asing. Lalu apa artinya alih teknologi?
Alih Teknologi Tanpa Sumber Daya = Ketergantungan Baru
Pemerintah sering menyebut bahwa sebagai kompensasi investasi asing, kita akan mendapatkan alih teknologi. Tapi teknologi tanpa penguasaan bahan baku bukan kemandirian, melainkan ketergantungan dalam bentuk baru.
Alih teknologi sejati bukan sekadar mempekerjakan teknisi lokal atau membangun sekolah vokasi. Ia harus mencakup transfer desain, joint R&D, intellectual licensing, dan akses pada penguasaan penuh rantai pasok. Dan yang lebih penting: pemerintah harus menjaga cadangan strategis kita agar saat teknologi itu matang, kita masih punya sumber daya untuk memproduksi sendiri.
Saya mengusulkan satu prinsip sederhana : jangan lebih dari 20% cadangan strategis dilepas untuk kompensasi investasi asing. Sisanya harus dicadangkan—disimpan—untuk kebutuhan bangsa di masa depan, seperti Saudi menyimpan cadangan minyaknya untuk generasi berikutnya.
Peran Pemerintah : Jangan Terlalu Cepat Menjual Masa Depan
Saya menghormati upaya yang dilakukan tokoh-tokoh seperti Mantan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dan Mantan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia. Mereka menggerakkan mesin negara untuk menarik investasi besar. Namun, ada satu hal yang mereka abaikan : sense of strategic timing.
Tiongkok dan negara maju tidak pernah menjual habis bahan mentah strategisnya. Mereka mengakumulasi. Mereka menyimpan, dan saat waktunya tepat, baru mereka ubah menjadi kekuatan industri dan politik. Mengapa kita tidak bisa belajar dari itu ?
Cadangan Nasional : Pilar Kedaulatan Masa Depan
Sudah saatnya kita mendirikan lembaga cadangan strategis nasional untuk nikel dan logam tanah jarang, mirip seperti cadangan devisa. Ini bukan soal ekonomi semata, tapi alat geopolitik dan warisan antar-generasi. Saat kita memiliki teknologi, anak cucu kita harus masih punya bahan baku untuk berkarya, bukan sekadar mengenang kebijakan yang tergesa-gesa.
Penutup : Demi Mereka yang Belum Lahir
Kita boleh bangga mengatakan bahwa kita sudah bisa membangun pabrik smelter. Tapi kalau nikel kita habis sebelum kita benar-benar bisa membuat baterai sendiri, itu bukan kebanggaan, melainkan ironi sejarah.
> Dulu kita pernah menjadi negara pengekspor minyak papan atas sebelum akhirny menjadi negara pengimpor minyak yang signifikan seperti hari ini, hal yang akhirnya terbukti menguras cadangan devisa sangat besar. Jangan ulangi kesalahan itu dengan nikel hari ini.
Mari jaga nikel untuk masa depan, bukan untuk pasar global hari ini.
Mang Anas
Pemerhati geopolitik sumber daya
[ Warga biasa yang mencintai masa depan bangsanya ]
-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar