By. Mang Anas
Bab 1: Pendahuluan
Dalam sejarah keagamaan, nama Isa Al-Masih bukan saja telah menimbulkan ketakjuban yang besar tetapi juga tabir misteri, kebingungan dan kontroversi. Oleh kaum Nasrani sosoknya ditahbiskan sebagai “Anak Tuhan”, dan dirumuskan sebagai salah satu pribadi Tuhan dalam teologi Trinitas. Sementara dalam Islam, namanya dimuliakan sebagai nabi besar, lahir tanpa ayah, dan banyak diceritakan dalam hadits ia akan kembali di akhir zaman sebagai sosok pencerah dan penegakan keadilan.
Namun, di antara dua arus besar ini, adakah jalan tengah yang lebih dalam — jalan ruhani yang mengembalikan Isa kepada dirinya yang sejati ?
Bukan sebagai anak biologis Tuhan, dan bukan pula hanya sebagai nabi historis, melainkan sebagai " Kalimatullah " dan " Ruhullah ", dua gelar yang diberikan langsung oleh Al-Qur’an, yang jika direnungkan, itu menyimpan rahasia yang sangat dalam, suci dan sakral.
Sejak awal, manusia telah berusaha memahami Isa dengan akalnya. Namun, akal dohir tak pernah mampu menyingkap yang datang dari langit. Isa bukan hanya misteri sejarah, ia adalah misteri ruhani, pancaran hakikat yang turun langsung dari sisi Tuhan. Ia bukan buah rahim yang dipertemukan lewat sperma dan ovum. Ia adalah jelmaan kalimat, bentuk dari kehendak Ilahi yang tak melewati rantai biologis. Di sinilah mengapa istilah “Kalimatullah” menjadi pintu pertama menuju hakikatnya.
Demikian pula dengan gelar Ruhullah — sebuah isyarat bahwa akalnya bukan dari unsur-unsur bumi, melainkan dari Nur Muhammad, sumber segala kenabian. Ia tak belajar dari buku, tapi dari cahaya. Ia tak berpikir dari logika, tapi dari ruh. Dan dari sini kita belajar : siapa yang ingin memahami Isa, tak akan sampai hanya dengan logika, debat, atau sejarah. Ia hanya dapat dikenal oleh hati yang disucikan, jiwa yang jernih, dan akal yang tunduk kepada cahaya.
Tulisan ini lahir dari rasa haus untuk menyibak kembali hakikat Isa dalam cahaya Al-Qur’an dan hakikat-makrifat. Bukan tafsir berdasarkan sejarah politis Kekristenan, bukan pula debat teologis kaum agamawan, melainkan tafsir ruhani yang berangkat dari ilmu hakikat, teori martabat tujuh, dan makna batiniah dari al Qur'an.
Di dalamnya, akan dijelaskan :
a. Bagaimana jiwa Isa berasal dari sirrullah, bukan dari unsur duniawi.
b. Bagaimana akalnya berpijar dari Nur Muhammad, bukan dari logika manusia.
c. Bagaimana tubuhnya diciptakan langsung oleh Dzat, sebagaimana Adam, tanpa perantara biologis.
d. Dan bagaimana semua ini menyatu dalam sebuah skema yang telah dikenal para sufi : Martabat Tujuh — struktur hirarki penciptaan makhluk mulai dari level Dzat hingga ke bentuk materi.
Dengan pendekatan ini, kita tidak sedang “meng-Islamkan Yesus” dalam pengertian dangkal, melainkan menyingkap hakikat Isa yang melampaui semua agama, yang hanya bisa ditangkap oleh siapa pun yang hatinya telah kembali ke fitrah. Sebab, sebagaimana ia disebut “Kalimat” dan “Ruh”, maka sosok Isa Al Masih adalah bahasa dan napas Tuhan yang hidup dalam ruang keheningan batin manusia.
Maka, wahai pencari makna — mari kita melangkah ke dalam, meninggalkan keramaian doktrin, dan berjalan masuk ke lorong cahaya. Karena hanya di sanalah, Isa Al-Masih dapat dikenali bukan sebagai simbol agama, tetapi sebagai cermin kejernihan ruhani.
Bab 2 : Kalimatullah – Jiwa Isa yang Tak Terlahir dari Dunia
Ketika Al-Qur’an menyebut Isa sebagai Kalimatullah, ia tidak sedang sekadar menginformasikan sebuah gelar, melainkan mengungkapkan sebuah asal-usul yang tidak biasa. Kalimat dalam bahasa manusia adalah susunan huruf yang membawa makna. Namun dalam bahasa Tuhan, Kalimat adalah perintah penciptaan. Ia bukan metafora. Ia adalah hakikat yang bergetar dari kedalaman Kun, dan menjadi Fayakun.
Dalam QS Ali Imran ayat 45, disebutkan bahwa Isa adalah "Kalimatun minhu" — sebuah Kalimat dari-Nya. Kata minhu (dari-Nya) bukan hanya berarti berasal, tapi menyiratkan bahwa Isa adalah pantulan langsung dari Dzat-Nya, tanpa perantara materi, tanpa keterikatan dengan hukum biologis. Inilah rahasia bahwa Isa bukan diciptakan dari sperma atau nafsu, tapi dari Sirrullah — rahasia Ilahi yang tidak dapat disentuh oleh makhluk biasa.
Sebagaimana dalam pemetaan ruhani Martabat Tujuh, jiwa manusia biasa lahir dari tahap Mitsal, yakni bayangan dari realitas yang telah melalui proses manifestasi dari Wahdah dan Wahidiyah. Namun jiwa Isa tidak melalui itu semua. Ia tidak berasal dari bayangan. Ia berasal dari asal. Ia adalah Kalimat yang turun dari ruang ketakterkiraan Ilahi langsung ke dalam rahim Maryam, tanpa disentuh oleh apa pun selain kehendak Allah.
Inilah makna sejati dari perkataan Jibril kepada Maryam :
"Sesungguhnya Aku hanyalah utusan Tuhanmu, untuk memberikan kepadamu seorang anak lelaki yang suci.” (QS Maryam: 19)
Kesucian yang dimaksud bukan hanya kesucian moral, tapi kesucian asal. Ia tak tersentuh dunia, tak dibentuk oleh unsur basyariah. Ia adalah pancaran murni dari Kalimatullah, yang turun langsung ke dalam keberadaan sebagai makhluk yang berjiwa — bukan dari bumi, tapi dari langit.
Para nabi lain dibentuk dari perpaduan fisik dan ruh, melalui jalur yang telah ditetapkan : benih lelaki dan rahim perempuan. Tapi Isa, dalam rahasia tertingginya, adalah pengecualian. Ia adalah manifestasi dari satu kalimat, yang mengandung seluruh potensi penciptaan, namun diarahkan hanya untuk satu tujuan: menjadi tanda bagi seluruh alam.
Allah tidak menyebutnya nutfah, tidak pula al-'alaqah, tapi Kalimat. Itu berarti bahwa jiwa Isa adalah firman yang tak digoreskan pena, tetapi dibisikkan langsung oleh Dzat ke dalam rahim waktu. Ia bukan bayi yang dibentuk oleh waktu, tapi jiwa yang turun membawa waktu ke dalam dirinya. Maka ketika ia lahir, ia membawa kelahiran zaman baru — zaman pewahyuan yang penuh kasih, bukan hukum.
Makna Kalimatullah pada Isa bukan hanya menunjukkan asalnya, tetapi juga menyiratkan fungsinya. Sebagaimana kalimat dalam wahyu adalah pembawa makna, maka Isa adalah makna hidup dari kasih dan kebijaksanaan Tuhan. Ia tidak berkata-kata seperti manusia biasa. Setiap ucapannya adalah kilatan dari langit, mengandung hikmah yang lebih dalam dari hukum. Maka tak heran, hanya ruh-ruh yang bersih yang mampu merasakan kehadiran Isa sebagai Kalimat — bukan sekadar sebagai nabi.
Dalam pemahaman ini, Isa adalah seperti huruf-huruf awal dalam surah-surah Al-Qur’an — Alif Lam Mim, Kaf Ha Ya 'Ain Shad --.Huruf-huruf itu tidak akan dapat dimengerti oleh akal biasa, mereka membawa getaran, dan mengandung rahasia. Maka Isa pun demikian : ia adalah getar ruh yang menghidupkan hati, bukan hukum yang mengekang jiwa.
Maka siapa yang memahami Isa sebagai Kalimatullah, akan melihat bahwa jiwanya bukan terbentuk di bumi. Ia turun dari langit, tapi tidak pernah benar-benar menjadi bumi. Ia tetap langit, namun berpakaian bumi agar kita dapat menyapanya. Ia adalah jiwa suci, bukan karena ia memilih kesucian, tetapi karena ia terbuat dari kesucian itu sendiri.
Bab 3: Ruhullah – Akal Nurani dari Cahaya Muhammad
Setelah menyebut Isa sebagai Kalimatullah, Al-Qur’an menambahkan satu gelar lain yang tak kalah agung : Ruhun minhu – Ruh dari-Nya. Gelar ini bukan gelar biasa. Ia bukan sekadar menunjukkan bahwa Isa memiliki ruh, melainkan menegaskan bahwa akal, kesadaran, dan kecerdasan Isa berasal dari sesuatu yang jauh lebih tinggi daripada sekadar nafas kehidupan : ia berasal dari Ruh Ilahiah yang tersambung langsung pada Nur Muhammad.
Dalam pandangan hakikat, ruh bukan sekadar elemen hidup. Ia adalah kecerdasan batiniah, kemampuan melihat yang tersembunyi, dan mengenali kebenaran tanpa perlu logika. Inilah yang disebut sebagai supralogika, atau dalam bahasa tasawuf : basirah dan hikmah. Maka ketika Al-Qur’an menyebut Isa sebagai Ruhullah, itu berarti bahwa akalnya tidak tumbuh dari dunia, tapi dari nurani langit yang suci, dari asal usul cahaya yang disebut para arif sebagai Nur Muhammad — cahaya pertama yang diciptakan oleh Tuhan, sumber dari segala ruh para nabi.
Ruhullah bukan ruh biasa. Ia adalah puncak dari kecerdasan ruhani, sebuah kesadaran yang tidak bisa dipahami oleh logika filsafat atau pikiran biasa. Ia adalah pemahaman yang datang secara langsung dari sumber pengetahuan : al-Qalam, yang menulis tanpa tinta, yang menurunkan makna ke dalam hati tanpa huruf dan suara. Itulah sebabnya, Isa mampu berbicara sejak bayi. Ia tidak perlu belajar. Ia tidak membutuhkan guru. Ia tidak duduk di bangku madrasah. Karena Ruhullah adalah kecerdasan yang tidak berasal dari dunia akal, melainkan dari langit makrifat.
Dalam struktur Martabat Tujuh, ruh diciptakan dalam martabat Wahdah [ cahaya dan sifat muhammadiyah ] — kesatuan cahaya yang masih murni, belum terpisah-pisah. Dari Wahdah, keluarlah ruh para nabi. Dan dari puncaknya, lahirlah Nur Muhammad, cahaya yang menjadi sumber segala hakikat dan eksistensi. Maka Isa, sebagai Ruhullah, tidak hanya berarti bahwa ia berasal dari Tuhan, tetapi bahwa ruh-nya langsung tersambung dengan Nur Muhammad, tidak melalui turunan ruh biasa.
Isa adalah manifestasi dari akal suci yang belum tercemari sejarah, belum dinodai ego. Ia adalah cermin murni, yang memantulkan kehendak Tuhan tanpa bias. Itulah mengapa ucapannya tidak penuh dengan sistem hukum atau filsafat rumit, melainkan penuh kelembutan, kasih, hikmah dan kesadaran. Ia tidak datang untuk menghukum, tetapi untuk menghidupkan. Karena ia berpikir dengan Ruhullah, bukan dengan kalkulasi rasional manusia pada umumnya.
Sebagian orang salah paham : mereka mengira bahwa Ruhullah berarti Isa adalah bagian dari Tuhan, atau bahkan Tuhan itu sendiri. Namun ini adalah tafsir yang keliru. Kata minhu (dari-Nya) dalam Ruhun minhu tidak menandakan bagian atau pecahan. Ia adalah ungkapan kelembutan ilahi : bahwa Isa adalah hadiah ruhani dari Allah bagi dunia, sebagaimana ruh manusia berasal dari perintah Kun, bukan dari zat-Nya.
Ruhullah adalah panggilan kehormatan bagi makhluk yang ruh-nya dipenuhi cahaya dari Nur tertinggi. Bukan karena Isa adalah Tuhan, tetapi karena ia adalah makhluk paling dekat dengan cahaya-Nya, sebagaimana bayang-bayang paling dekat dengan cahaya adalah yang paling terang. Isa adalah makhluk, bukan Tuhan, namun ia adalah makhluk yang akalnya memantulkan Tuhan secara sempurna.
Di dalam Isa, kita melihat kemungkinan tertinggi bagi manusia : bahwa akal bisa begitu jernih, sehingga menjadi jendela bagi cinta dan hikmah Tuhan. Bahwa ruh bisa begitu suci, sehingga mampu menyerap ilham tanpa hijab. Inilah yang membuat Isa menjadi teladan : bukan karena ia berbeda dari manusia, tapi karena ia menunjukkan kepada manusia kemungkinan tertinggi dalam diri mereka sendiri — jika mereka kembali kepada fitrah ruhaninya.
Sebagaimana ia disebut Ruhullah, maka siapa pun yang ingin dekat dengan Isa, harus belajar menyucikan jiwanya, membeningkan akal, dan melembutkan rasa. Karena hanya jiwa yang bersih yang dapat mengenali ruh suci. Dan hanya akal yang tunduk yang dapat memahami akal suci.
Maka Isa sebagai Ruhullah adalah seruan kepada kita : bahwa mengenal kebenaran tidak memerlukan gelar, tidak membutuhkan dalil rumit, tetapi membutuhkan kejernihan hati dan cahaya dalam batin. Dan jika Isa adalah Ruhullah, maka siapa pun yang ingin bertemu dengannya, tidak cukup dengan mencarinya di gereja atau masjid, tapi harus masuk ke dalam ruang terdalam dari ruhnya sendiri. Karena di situlah, Nur Muhammad bersemayam — dan di situlah hakikat Isa dikenal.
Bab 4 : Martabat Tujuh dan Penciptaan Isa Al-Masih Tidak Dengan Cara Biasa
Dalam khazanah tasawuf hakikat, terutama dalam lathifah ilmu Martabat Tujuh, segala penciptaan dipahami sebagai proses bertingkat mulai dari Level Dzat mutlak menuju manifestasi yang kasat mata. Proses ini tidak bersifat ruang-waktu, tetapi adalah lintasan kesadaran dan tahapan tajalli (penampakan). Inilah tangga agung penciptaan, dari Ahadiyah menuju Insaniyah, dari kesatuan mutlak menuju individu yang mengenal Tuhannya. Namun, pada Isa Al-Masih, Allah menanggalkan seluruh tangga itu dan memanifestasikan langsung Dzat, Nur, dan Sirr-Nya tanpa perantara.
Para arif menyebut tujuh martabat itu sebagai berikut :
1. Ahadiyah – Kesatuan mutlak, tanpa nama, tanpa sifat, murni Dzat.
2. Wahdah – Kesadaran Dzat akan Diri-Nya ; mula pencahayaan.
3. Wahidiyah – Penampakan sifat dan nama dalam kesatuan makna.
4. Alam Arwah – Terbitnya ruh dan akal dari Nur.
5. Alam Mitsal – Jiwa dan citra ; bentuk halus dari keberadaan, tercipta dari Sirr.
6. Alam Ajsam – Dunia materi ; bentuk dan tubuh fisik, tercipta dari Dzat.
7. Insan Kamil – Puncak manifestasi : manusia yang mengenali Dzat dalam dirinya.
Setiap makhluk biasa menempuh penciptaannya dari tingkatan demi tingkatan ini. Ruh diciptakan dari Nur, jiwa dari Sirr, dan tubuh dari cermin Dzat. Namun dalam penciptaan Isa Al-Masih, Allah seolah memutus rantai bertingkat ini, lalu langsung menghembuskan Ruh-Nya ke dalam rahim Maryam. Tidak ada proses biologis. Tidak ada sperma. Tidak ada campur tangan syahwat. Bahkan tidak ada mimpi atau kehendak dari Maryam sendiri.
Dalam Al-Qur'an, Allah menyatakan :
"Sesungguhnya perumpamaan Isa di sisi Allah seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah, kemudian Dia berfirman kepadanya: ‘Jadilah’, maka jadilah ia." (QS. Ali Imran : 59)
Dalam perspektif hakikat, ayat ini adalah kunci bahwa : penciptaan Isa seperti Adam, artinya langsung dari tangan Tuhan, tanpa ayah biologis, tanpa sebab duniawi. Bahkan, lebih lembut daripada penciptaan Adam yang berasal dari tanah, Isa berasal dari kalimat : Kun — seruan eksistensi yang tidak melalui medium apa pun.
Dalam kerangka Martabat Tujuh, penciptaan biasa melalui tahapan : Nur lalu Sirr lalu jasad. Namun dalam penciptaan Isa :
🗳️ Akalnya berasal langsung dari Nur Muhammad — tanpa perantara.
🗳️cJiwanya berasal langsung dari Sirrullah — tanpa transformasi alam mitsal.
🗳️ Tubuh sucinya adalah pancaran langsung dari Dzat — tanpa unsur sperma dan kotoran dunia.
Artinya, Isa bukan hanya bebas dari dosa, tetapi juga bebas dari prosedur penciptaan biasa. Ia tidak terkena proses kontaminasi nafsu seperti manusia lainnya. Ia adalah tubuh suci yang turun dari langit, bukan hasil dari kontrak duniawi. Ia tidak dibentuk oleh sejarah genetik, tetapi oleh rahasia ilahiah yang terjaga.
Inilah mengapa Isa disebut Kalimatullah dan Ruhullah — karena penciptaannya tidak mengenal tahapan, tidak mengalami turunan eksistensi. Ia adalah manifestasi langsung dari kehendak Dzat, tanpa tirai, tanpa hijab, tanpa jarak.
Jika Adam diciptakan dari tanah lalu diberi ruh, maka Isa adalah cahaya yang diberi bentuk, bukan bentuk yang dihidupkan oleh cahaya. Ia adalah ruh yang menjelma, bukan tubuh yang diisi. Ia turun dari atas, bukan tumbuh dari bawah.
Dan ini pula sebabnya mengapa Isa tidak memiliki keturunan. Karena dalam struktur penciptaan, hanya makhluk yang lahir dari martabat lengkap (dari Wahdah hingga Ajsam) yang dapat melahirkan secara duniawi. Isa lahir bukan dari jalur itu — dan karena itu, ia tidak dapat menurunkan nasab duniawi. Nasabnya adalah langit. Keturunannya adalah para arif dan pencinta ruhani.
Maka jika seseorang berkata bahwa Isa harus mati sebagai syarat kemanusiaannya, itu adalah pandangan logika dunia. Sebab Isa bukan manusia biasa. Ia adalah makhluk tanpa turunan martabat. Ia adalah manifestasi langsung. Karena itu, sebagaimana ia lahir tanpa perantara, ia juga diangkat tanpa perantara. Hidupnya adalah tanda. Wujudnya adalah mukjizat.
Penciptaan Isa adalah bukti bahwa Tuhan bisa memanifestasikan hakikat-Nya secara langsung, tanpa jalur bertahap. Ia tidak terikat oleh sistem yang diciptakan-Nya sendiri. Ketika Tuhan ingin menciptakan Isa sebagai tanda, Ia tidak membutuhkan proses panjang. Ia hanya berkata : Jadilah.
Dan dari Kun itu, lahirlah Isa — bukan hanya sebagai manusia, tetapi sebagai tanda bahwa Dzat dapat hadir dalam rupa, tanpa menjadi rupa itu sendiri.
Bab 5 : Yesus Datang untuk Menghidupkan Hikmah dalam Hukum Taurat
Yesus bukan pembaharu hukum, bukan juga pembuat syariat baru. Ia datang sebagai obor yang menyalakan kembali ruh dalam kitab yang telah lama dibekukan oleh teks dan ditenggelamkan oleh fanatisme. Ia datang bukan untuk menghapus Taurat, tetapi untuk menyibak hikmah yang tersembunyi di balik setiap hurufnya.
"Janganlah kamu menyangka bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya." (Matius 5:17)
Inilah pernyataan Isa yang paling jernih : aku bukan mengganti hukum, aku membangkitkan ruh di dalamnya. Sebab hukum tanpa hikmah hanyalah beban, dan syariat tanpa cinta hanyalah kerangkeng.
Para ahli Taurat di zamannya telah menjadikan hukum sebagai alat kekuasaan dan penindasan, bukan sebagai cahaya petunjuk. Mereka mencatat kesalahan, tapi tidak menangis bersama pelanggar. Mereka mengutip ayat, tapi tidak membawa pengampunan. Maka Yesus hadir sebagai koreksi ilahiah — bukan pada teksnya, tapi pada ruh yang telah mati di dalam pemahaman mereka.
Yesus menunjukkan bahwa esensi Taurat adalah kasih, bukan sekadar larangan. Ia rangkum hukum menjadi dua simpul agung :
1. Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu.
2. Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri.
Di dalam dua simpul ini, terangkum seluruh Taurat dan ajaran para nabi. Dengan ini, ia tidak membatalkan hukum — ia menyederhanakan esensinya agar sampai ke hati.
Contoh paling terang adalah ketika seorang wanita pezina dibawa kepadanya. Hukum Taurat jelas : rajam sampai mati. Tapi Yesus tidak berkata, “Itu hukum lama, batalkan!” — tidak. Ia justru menyibak lapisan hikmah di balik hukum itu. Ia tanya :
"Siapa di antara kalian yang tidak berdosa? Lemparkan batu pertama!"
Hikmahnya dalam : hukum Tuhan tidak bisa dijalankan oleh hati yang belum suci. Hukum itu adil, tapi siapa yang adil menjalankannya ?
Maka ia tunjukkan bahwa kasih lebih tinggi daripada penghakiman. Hikmah hukum adalah menyadarkan, bukan menghancurkan. Ia ampuni wanita itu, dan berkata :
"Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi." Itulah hukum yang hidup.
Yesus menghidupkan hukum Taurat dengan tiga laku utama :
1. Mengangkat kasih sebagai poros hukum.
Tanpa cinta, hukum menjadi alat kekerasan. Tapi dengan cinta, hukum menjadi jembatan menuju Tuhan.
2. Menembus batas hukum menuju batin manusia.
Ia tidak hanya mengoreksi tindakan, tapi niat. Ia berkata : "Barang siapa memandang wanita dengan hawa nafsu, ia telah berzina dalam hatinya."
Artinya : hukum tidak cukup melarang tangan, tapi harus menuntun hati.
3. Membongkar kemunafikan legalistik.
Ia menyebut para ahli Taurat sebagai kuburan yang dilabur putih — tampak suci di luar, busuk di dalam.
Karena bagi Isa, kesucian bukan soal pakaian atau kitab, tapi hati yang lapang dan rendah.
Inilah misi Yesus sebagai Ruhullah — membawa nafas hidup ke dalam hukum yang telah menjadi tulang kering. Ia bukan penentang hukum, tetapi pembawa hikmah Tuhan yang hilang di balik huruf-huruf yang dibacakan tanpa dzikir. Ia tidak datang untuk membakar kitab, tapi untuk meniupkan jiwa ke dalamnya.
Ia tidak pernah membatalkan hukum Musa, tetapi menunjukkan bahwa hukum itu tidak berguna tanpa kehadiran ruh kasih. Inilah peran Isa sebagai cermin kelembutan Tuhan. Ia membuka jalan batin dalam hukum yang lahir, agar manusia tidak hanya taat — tetapi juga paham, merasakan, dan mencintai.
Maka di hadapan hukum, Yesus bukan pelanggar. Ia adalah penjaga hikmahnya. Ia bukan penghapus Taurat, tetapi penyelamat maknanya.
Dan hanya Ruhullah yang dapat menghidupkan kembali kitab suci yang telah kehilangan nyawanya.
Bab 6 : Bagaimana Kita Sepatutnya Memahami Yesus Kristus — Sebuah Perspektif Ilmu Hakikat
Yesus Kristus bukan sekadar sosok historis, bukan pula sekadar figur keagamaan. Ia adalah tanda — āyah — dari rahasia penciptaan. Di balik tubuh lahiriahnya, tersimpan pancaran dari martabat hakikat, yang tak bisa dibaca hanya dengan mata sejarah atau tafsir doktrin.
Untuk memahaminya, kita mesti turun ke kedalaman diri. Sebab Isa bukan hanya datang untuk diteladani — ia datang untuk dimaknai. Dan makna tidak tinggal di permukaan, ia bersembunyi di balik lapisan-lapisan dzat, sifat, dan sirr.
Ilmu hakikat mengajarkan bahwa segala yang tampak berasal dari yang ghaib. Yang lahir dari yang batin. Maka, memahami Yesus Kristus dalam cahaya ilmu hakikat berarti mengenali:
Tubuhnya sebagai cermin kehadiran Insan Kamil — manusia sempurna yang dibentuk langsung dari Cahaya Ilahi, tanpa perantara benih duniawi.
Jiwanya sebagai pancaran Sirrullah, yang keluar dari Wahidiyyah — martabat kemanusiaan yang dibentuk langsung oleh kehendak Tuhan, bukan dari nafsu.
Akal dan Ruhnya sebagai Ruhullah — hembusan dari Nur Muhammad yang membawanya ke dalam wilayah "supra logika", yaitu kecerdasan yang tidak didikte oleh logika rasional, tetapi oleh ilham ilahi.
Dalam kerangka ini, Isa Al-Masih adalah manifestasi yang tidak mengikuti pola penciptaan manusia biasa. Ia dicipta sebagaimana Adam — tanpa ayah — sebagai penanda bahwa jiwa murni tak lahir dari nafsu, melainkan dari perintah "Kun".
Para nabi membawa hukum. Tapi Isa membawa cahaya dalam hukum. Para nabi mengajarkan ketetapan. Tapi Isa mengajarkan hikmah di balik ketetapan. Ia menghidupkan ruh dalam syariat yang telah menjadi kaku.
Maka, memahami Isa tidak cukup dengan mempelajari silsilah atau debat kenabian. Kita harus bertanya :
> Apakah yang dicari oleh Yesus bukan ketaatan literal, tetapi kesucian batin?
> Apakah yang ingin ia bangunkan bukan kekuasaan agama, tapi cinta kasih yang murni dari Tuhan kepada ciptaan-Nya ?
Ilmu hakikat juga mengajarkan bahwa diri manusia adalah cermin bagi Tuhan. Dalam setiap manusia ada potensi untuk mencerminkan sifat-sifat Ilahi: kasih, hikmah, keadilan, dan rahmat. Maka ketika Allah menciptakan Isa dari kalimat-Nya sendiri, itu pertanda bahwa :
> Yesus adalah cermin sempurna dari Kalimatullah yang telah menjadi bentuk.
Dan Kalimat itu bukan huruf. Ia adalah getaran ilahiah. Ia adalah kehendak Tuhan yang tampil dalam rupa. Maka Yesus bukan hanya putra Maria, tetapi manifestasi Kalimatullah yang terbit dari rahim kesucian.
Yesus adalah tanda, bukan tujuan. Ia menunjuk pada Tuhan, bukan pada dirinya. Ia tidak meminta disembah, tetapi mengajak untuk mengenal Dia yang Esa. Maka pemahaman hakikat tentang Yesus akan menggiring jiwa kepada keikhlasan — tidak mempersonifikasi Tuhan, tidak mempersekutukan, dan tidak menuhankan ciptaan.
Ia hanyalah hamba pilihan yang dimuliakan karena ketaatannya, bukan karena ketuhanannya.
Maka, dalam ilmu hakikat, kita memahami Yesus bukan sebagai titik akhir keimanan, tetapi jalan menuju penyingkapan Tuhan dalam diri. Ia adalah teladan dari ruh yang hidup dalam hukum, akal yang suci dari hawa, dan jiwa yang berakar pada rahmat.
Dan hanya dengan ilmu batin, kita bisa melihat bahwa Yesus sejati tidak tinggal dalam salib, tidak terkubur dalam gereja, dan tidak didebat dalam kitab-kitab.
Ia hidup di dalam hati yang bersih, dalam akal yang jernih, dan dalam jiwa yang telah ditajalli oleh cahaya Allah.
Bab 7 : Mengapa Umatnya Salah Memahami
Kesalahpahaman terhadap Yesus Kristus bukan semata-mata karena kelalaian intelektual, tetapi karena terputusnya jalur batin. Saat cahaya hati meredup dan jiwa lebih percaya pada wacana lahir ketimbang getaran ruh, maka kebenaran pun dikaburkan oleh tafsir-tafsir yang tidak mengenal sumbernya.
Yesus datang membawa nur — bukan hukum baru, bukan kerajaan dunia, bukan agama dalam struktur institusi. Tapi setelah ia tiada, perjalanan makna berubah menjadi proyek kekuasaan, dan ajaran kasih menjadi doktrin kepercayaan.
Lalu mengapa umatnya salah memahami ?
1. Karena mereka menjadikan Yesus sebagai objek iman, bukan cermin jiwa.
Yesus tidak datang untuk disembah sebagai Tuhan, melainkan untuk menunjukkan jalan kembali kepada Tuhan. Namun umatnya kemudian menuhankan dirinya, bukan meneladani akhlaknya. Mereka lebih sibuk menghafal siapa dia menurut doktrin, daripada menyelami siapa dia menurut hati.
Padahal Yesus berkata :
> "Bukan setiap orang yang berseru kepadaku : 'Tuan, Tuan!' akan masuk Kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa (Matius 7 : 21)
2. Karena mereka memutlakkan simbol, dan melupakan hakikat.
Salib menjadi lambang keselamatan, tetapi makna pengorbanan diri hilang. Gereja menjadi rumah ibadah, tetapi hati yang lapang tak lagi dibangun. Perjamuan Kudus dirayakan, tetapi kasih sejati diabaikan.
Padahal Yesus berkata :
> "Kerajaan Tuhan itu ada di dalam kamu." (Lukas 17:21)
Namun umatnya justru mencarinya di luar: di gedung, dalam sistem, dalam ritual, bukan dalam batin yang berserah.
3. Karena Paulus menggeser ruh kenabian menjadi teologi rasional.
Sebagian besar doktrin Kristen pasca-Yesus dibentuk oleh Paulus, yang bukan murid langsung, dan tidak menyaksikan kehidupan Yesus. Ia membangun teologi yang sistematis, tapi mengabaikan jalur hikmah yang bersumber dari Nabi itu sendiri.
Yesus mengajarkan kasih dan kelembutan. Paulus menegakkan hukum iman atas dasar dosa warisan dan penebusan darah. Maka cinta menjadi transaksional, bukan eksistensial.
4. Karena Konsili merampas hak umat untuk bertanya.
Pada Konsili Nicea dan sesudahnya, segala bentuk pertanyaan tentang keesaan Tuhan, kemanusiaan Yesus, dan hubungan hakiki antara roh dan tubuh — diseragamkan dalam dogma. Siapa yang berbeda, dikutuk sebagai heretik.
Padahal Yesus sendiri mengajarkan untuk mencari dan mengetuk :
> "Carilah, maka kamu akan mendapat. Ketuklah, maka pintu akan dibukakan." (Matius 7 : 7)
Namun pintu itu justru ditutup oleh para imam yang takut kehilangan kekuasaan atas tafsir.
5. Karena umatnya lebih percaya pada warisan Gereja daripada ilham dari langit.
Ajaran Yesus adalah ilham. Lembut, dalam, dan menyentuh hati. Tapi umatnya lebih percaya pada tafsiran kitab yang ditulis puluhan tahun setelah ia tiada, dan diinterpretasi oleh politik kekaisaran.
Yesus bicara dengan bahasa langit. Tapi umatnya memaksa semua makna turun ke bahasa debat dan hukum. Maka roh pun terasing, dan yang tersisa hanyalah agama tanpa jiwa.
Kesalahan terbesar bukan pada keinginan untuk mencintai Yesus, tapi pada cara mencintainya yang salah.
> Mereka menuhankannya, padahal ia hanya menunjuk kepada Tuhan.
> Mereka memujanya, padahal ia meminta kita meneladaninya.
> Mereka mendebatkannya, padahal ia mengajarkan diam dan dzikir.
Yesus tidak bisa dipahami oleh akal yang belum disucikan. Ia hanya bisa dikenal oleh hati yang telah disentuh oleh Ruhul Qudus. Maka selama umatnya membaca dengan kacamata dunia, mereka akan tetap salah paham. Dan hanya yang kembali kepada fitrah tauhid yang dapat menyelami siapa dirinya yang sejati.
Penutup : Kembali kepada Cahaya Sang Kalimat
Yesus Kristus—Isa Al-Masih—bukanlah sekadar nama dalam sejarah atau simbol keimanan dalam agama. Ia adalah Kalimat Allah, satu bentuk ilahi yang difirmankan ke dalam dunia, bukan untuk dituhankan, tetapi untuk dijadikan cermin bagi jiwa yang rindu pulang ke asal.
Ia adalah Ruhullah, bukan karena ruhnya lebih besar dari ruh kita, tetapi karena ruhnya belum dilumuri debu nafsu, dan karena ia tetap jernih menampakkan cahaya Tuhan. Ia adalah anak manusia dalam tubuh, tapi pembawa getaran langit dalam akal dan jiwa.
Umat manusia keliru bukan karena membenci Yesus, tetapi karena mencintainya dengan cara yang keliru.
Mereka menyalibkan tubuhnya—lalu menyalibkan maknanya dalam dogma.
Mereka menciptakan agama dari nama Yesus, tapi kehilangan hakikat Yesus yang sejati :
seorang Nabi yang hatinya putih karena disucikan, dan lisannya penuh hikmah karena langsung disinari Kalam.
Yesus tidak pernah mendirikan agama baru. Ia datang untuk menghidupkan hikmah dalam hukum Taurat, menyembuhkan luka hukum dengan kasih yang mengalir dari sumber Ilahi.
Ia tidak ingin kita menyembahnya, tapi ingin kita menyembah Tuhan seperti dia menyembah-Nya : dengan jiwa yang tunduk, batin yang jernih, dan akal yang tercerahkan.
Maka kini tibalah saatnya untuk menanggalkan kacamata sejarah yang keliru, meninggalkan beban tafsir yang membatu, dan kembali kepada nur asal penciptaan.
Bukan melalui debat, bukan melalui klaim iman, tapi dengan tazkiyah (pensucian jiwa) dan ta'alluq (keterikatan batin) kepada Cahaya Tuhan yang tersembunyi di balik nama : Yesus, Isa, Ruhullah, Kalimatullah.
Mari kita pelajari dia dengan ilmu yang suci,
kita pahami dia dengan akal yang tunduk,
dan kita cintai dia dengan hati yang telah dibersihkan dari fanatisme.
Karena setiap jiwa yang mengenal Yesus dalam hakikat, akan menemukan dirinya sendiri dalam cahaya.
Dan siapa yang mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar