By. Mang Anas
Pendahuluan
Sosok Yesus—atau Isa al-Masih dalam terminologi Islam—adalah salah satu tokoh sentral dalam tiga agama samawi : Yudaisme, Kristen, dan Islam.
Dalam kekristenan, Yesus diyakini sebagai Mesias yang dijanjikan, Anak Allah, dan Juru Selamat umat manusia. Salah satu pilar dari klaim mesianis tersebut adalah keyakinan bahwa Yesus merupakan keturunan langsung Raja Daud—sehingga sah sebagai pewaris takhta kerajaan Israel menurut nubuat-nubuat dalam Perjanjian Lama.
Namun, Al-Qur’an memberikan narasi yang sangat berbeda. Isa disebut sebagai “Ibnu Maryam”—putra Maryam—dan tidak pernah dihubungkan secara genealogis dengan Daud atau silsilah kenabian sebelumnya melalui garis ayah. Penekanan Qur’an justru terletak pada aspek keajaiban kelahirannya tanpa ayah, serta misi kenabiannya sebagai hamba dan utusan Allah kepada Bani Israil.
Perbedaan ini menimbulkan pertanyaan teologis dan historis yang sangat penting :
Apakah status Yesus sebagai Anak Daud merupakan realitas sejarah atau konstruksi teologis ?
Dan mengapa Al-Qur’an justru secara konsisten menyebutnya sebagai “Anak Maryam”, bukan “Anak Daud” ?
Artikel ini akan mengkaji pertanyaan tersebut melalui pendekatan :
historis-kritis terhadap narasi Injil, hermeneutika Qur’an, dan analisis motif apologetik yang mungkin tersembunyi di balik penyusunan teks-teks Injil.
Dengan membandingkan dua pendekatan besar—Yudeo-Kristen dan Islam—kita akan mencoba memahami : Siapakah Yesus yang sesungguhnya ? Seorang Mesias pewaris takhta Daud ? Ataukah seorang nabi suci tanpa ayah yang diutus untuk membimbing Bani Israil dan mempersiapkan akhir zaman ?
I. Asal-Usul Gelar “Anak Daud” dalam Tradisi Yahudi-Kristen
1. Raja Daud dan Janji Kekekalan Takhta
Dalam kitab-kitab Ibrani (Perjanjian Lama), Raja Daud merupakan tokoh agung yang menjadi simbol kejayaan dan kesalehan kerajaan Israel. Ia dipilih langsung oleh Tuhan dan dijanjikan keturunan yang akan memerintah selamanya. Janji ini tercatat antara lain dalam :
> “Aku akan mengokohkan kerajaanmu untuk selama-lamanya… Keluarga dan kerajaanmu akan kokoh untuk selama-lamanya di hadapan-Ku.” — 2 Samuel 7 : 12–16
Ayat ini menjadi dasar eskatologi Yahudi tentang Mesias Daudik—yaitu figur ideal dari keturunan Daud yang akan datang di akhir zaman untuk memulihkan Israel dan menegakkan pemerintahan ilahi.
2. Harapan Mesianik di Masa Penindasan
Setelah keruntuhan kerajaan Israel dan Yehuda, serta pembuangan ke Babilonia (abad ke-6 SM), harapan akan seorang Mesias dari keturunan Daud menjadi pusat iman eskatologis orang Yahudi. Mereka merindukan pemimpin ilahi yang akan : mengalahkan musuh-musuh Israel, memulihkan hukum Taurat, membangun kembali Bait Suci, dan memimpin kerajaan damai abadi. Maka muncullah teks-teks seperti :
> “Suatu tunas akan keluar dari tunggul Isai (ayah Daud), dan suatu taruk akan tumbuh dari akar-akarnya. Roh Tuhan akan tinggal di atasnya…” — Yesaya 11 : 1–5
> “Hai Betlehem Efrata… dari padamu akan bangkit bagi-Ku seorang yang akan menjadi penguasa di Israel, yang permulaannya sudah sejak purbakala.”— Mikha 5:2
Teks-teks ini menegaskan : Mesias Daudik bukan sekadar pemimpin spiritual, tetapi raja politik yang nyata, dan memiliki garis keturunan biologis dari Daud.
3. Proyeksi Harapan Ini ke Dalam Narasi Injil
Ketika Yesus muncul pada abad pertama Masehi, orang Yahudi sedang berada di bawah penjajahan Romawi. Harapan terhadap Mesias Daudik masih sangat kuat. Para pengikut awal Yesus yang percaya bahwa ia adalah Mesias, mulai memproyeksikan harapan-harapan Perjanjian Lama ke dalam sosok Yesus.
Maka dalam Injil kita melihat berbagai upaya naratif untuk menampilkan Yesus sebagai :
> Lahir di Betlehem (kota Daud),
> Memiliki silsilah yang menelusur ke Daud,
> Disebut secara eksplisit sebagai “Anak Daud”.
Contoh :
“Ketika Yesus masuk ke Yerusalem… orang banyak berseru : Hosana bagi Anak Daud!” — Matius 21 : 9
Namun, seperti yang akan kita bahas di bagian berikutnya, narasi ini ternyata penuh inkonsistensi dan rekayasa, karena Yesus sendiri—menurut tradisi Injil—lahir dari seorang perawan tanpa ayah biologis. Maka klaim “keturunan Daud” menghadapi masalah logis dan biologis serius, yang hanya bisa dijelaskan lewat rekonstruksi teologis apologetik.
II. Kritik terhadap Silsilah Yesus dalam Injil
1. Dua Versi Silsilah yang Berbeda
Kitab Injil mencatat dua silsilah Yesus yang secara mencolok berbeda :
Injil Matius 1 : 1–17 mencatat silsilah Yesus melalui garis keturunan Yusuf, menelusur dari Abraham ke Daud, lalu ke Salomo, dan akhirnya ke Yusuf.
Injil Lukas 3 : 23–38 juga mencatat silsilah Yesus dari Yusuf, tetapi melewati Natan (putra Daud yang lain), bukan Salomo.
Perbedaan ini bukan hanya pada satu atau dua nama, tetapi mencakup :
• Rangkaian nama-nama yang berbeda total,
• Jumlah generasi yang berbeda (Matius: 42; Lukas : 77),
• Urutan keturunan yang bertentangan.
Contoh konkret :
Menurut Matius, ayah Yusuf adalah Yakub, sedangkan menurut Lukas, ayah Yusuf adalah Eli.
Ini mengundang pertanyaan serius :
Bagaimana mungkin dua silsilah yang seharusnya bersifat historis bisa begitu kontradiktif ? Jika silsilah itu penting sebagai bukti Yesus adalah Anak Daud, maka seharusnya ia konsisten dan terverifikasi.
2. Ketidakmungkinan Genealogi dari Yusuf
Masalah paling mendasar : menurut doktrin Kristen sendiri, Yesus tidak memiliki ayah biologis.
Ia lahir dari seorang perawan, Maria, tanpa hubungan suami-istri dengan Yusuf. Maka pertanyaannya :
> Bagaimana mungkin Yesus disebut sebagai "anak Daud" melalui garis keturunan Yusuf, jika Yusuf bukan ayah biologisnya ?
Secara genetik, status “anak” (terutama dalam hukum Yahudi) diturunkan melalui ayah. Tanpa ayah, seseorang tidak bisa dinasabkan kepada nenek moyang laki-laki. Maka menisbatkan Yesus kepada Daud melalui Yusuf adalah konstruksi fiktif, bukan silsilah yang sah secara genealogis.
Beberapa teolog Kristen mencoba menjelaskan bahwa silsilah Lukas adalah dari pihak Maria. Namun Injil Lukas jelas menyebut Yusuf, bukan Maria, sebagai subjek silsilah (Luk. 3 : 23). Upaya ini lebih menyerupai pembelaan pasca-fakta daripada data internal Injil.
3. Indikasi Rekayasa Teologis
Silsilah dalam Matius ditata dalam pola 14-14-14 generasi (dari Abraham ke Daud, ke pembuangan, lalu ke Kristus).
Ini adalah angka simbolik, bukan angka sejarah. Bahkan Matius sengaja menghilangkan beberapa raja dari daftar Perjanjian Lama agar cocok dengan pola numerik ini (contoh : Ahazia, Yoas, Amazia).
Ini mengisyaratkan bahwa penyusun silsilah tidak mengejar keakuratan historis, melainkan menyusun struktur teologis yang menggambarkan Yesus sebagai puncak dari sejarah Israel.
4. Kesimpulan : Silsilah yang Dipaksakan
Berdasarkan catatan di atas, silsilah Yesus dalam Injil :
👉Tidak konsisten antara Injil satu dengan lainnya,
👉Tidak sah secara genealogis karena Yesus tidak punya ayah,
👉Memuat penghilangan dan penyesuaian data demi membentuk pola tertentu,
👉Berfungsi lebih sebagai alat teologis, bukan dokumen sejarah.
Dengan kata lain, klaim bahwa Yesus adalah Anak Daud adalah rekayasa yang dibangun untuk memenuhi ekspektasi Mesianik Yahudi, bukan fakta biologis atau historis.
III. Motif Apologetik dalam Narasi Injil
1. Konteks Persaingan Dakwah dan Legitimasinya
Ketika Injil-injil disusun (sekitar 40–100 M), komunitas Kristen awal masih merupakan kelompok kecil dalam lingkungan Yahudi yang dominan. Untuk memperoleh pengakuan dan legitimasi di tengah orang-orang Yahudi yang menolak Yesus sebagai Mesias, para penulis Injil merasa perlu untuk :
🪵 Menunjukkan bahwa Yesus menggenapi nubuat-nubuat Mesianik Perjanjian Lama,
🪵 Menyajikan Yesus sebagai keturunan Daud agar layak disebut Mesias Daudik,
🪵 Menyesuaikan narasi Injil dengan ekspetasi teologis Yahudi tentang Mesias.
Hal ini menjelaskan mengapa Injil Matius, misalnya, sangat menekankan hubungan Yesus dengan peristiwa-peristiwa nubuat—dengan rumusan khas :
> “Hal itu terjadi supaya genaplah yang difirmankan Tuhan melalui nabi…”
Narasi kelahiran di Betlehem, pengungsian ke Mesir, penyembuhan orang buta yang memanggil “Hai Anak Daud!”, dan silsilah menuju Daud—semuanya disusun untuk membuktikan bahwa Yesus adalah penggenapan harapan Yahudi.
Namun ini lebih menyerupai argumen apologetik, bukan catatan sejarah objektif.
2. Kritik Modern : Propaganda atau Wahyu ?
Banyak sarjana modern dari kalangan Kristen maupun non-Kristen menyadari pola ini. Mereka menyebutnya sebagai midrash, yaitu teknik penafsiran kreatif yang digunakan untuk menyesuaikan cerita baru dengan teks lama.
Dengan kata lain :
Yesus adalah tokoh yang benar-benar hidup dan berpengaruh, tetapi banyak bagian dari Injil adalah narasi pasca-fakta yang dikonstruksi untuk mendukung klaim iman dan membungkusnya dengan otoritas kitab suci Yahudi.
Ini sejalan dengan kritik pemikiran sebelumnya :
> “Semua itu terjadi tidak lain karena diletakkannya motif apologetik dan propaganda para penulis Injil. Kepentingan misi. Semua harus dipaksakan dan musti dicocok-cocokkan.”
Ketika sebuah klaim teologis (Yesus = Mesias Daudik) tidak cocok dengan realitas biologis (Yesus tidak punya ayah), maka rekayasa naratif dan simbolik menjadi jalan keluar.
3. Kontras Tajam dengan Al-Qur’an
Sebaliknya, Al-Qur’an tidak memiliki motif apologetik seperti ini. Isa diposisikan bukan sebagai penerus Daud, melainkan sebagai :
🌹 Tanda kekuasaan Allah (lahir tanpa ayah),
🌹 Nabi dan Rasul kepada Bani Israil,
🌹 Diberi Kitab Injil sebagai lanjutan Taurat,
🌹 Disebut sebagai “Ibnu Maryam”, bukan anak Daud.
Penekanan Al-Qur’an pada “Isa bin Maryam” adalah penegasan bahwa misi Isa bersifat spiritual dan kenabian, bukan politis atau genealogi kerajaan. Qur’an menolak penggunaan silsilah sebagai syarat validasi kerasulan.
4. Kesimpulan Sementara
Motif penyusunan narasi dalam Injil lebih menunjukkan :
🧺Kebutuhan apologetik, bukan kebenaran objektif,
🧺Rekayasa naratif untuk mencocokkan Yesus dengan ekspektasi Mesianik Daudik,
🧺Ketidaksesuaian dengan fakta biologis dan silsilah logis.
🧺Sementara Al-Qur’an menawarkan model yang lebih konsisten dan bebas dari tekanan historis-politik lokal.
IV. Perspektif Al-Qur’an – Isa sebagai “Ibnu Maryam”
1. Penegasan Identitas : “Isa Ibnu Maryam”
Al-Qur’an secara konsisten menyebut Yesus dengan nama ‘Isa Ibnu Maryam’ (Isa putra Maryam), bukan “Isa bin Yusuf” atau “Isa bin Daud”. Ini bukan sekadar penamaan biologis, tapi pernyataan teologis dan ideologis yang dalam.
Sebutan “Ibnu Maryam” menegaskan bahwa :
❤️🩹 Isa lahir tanpa ayah biologis,
❤️🩹 Silsilah nasabnya tidak relevan secara ilahiah,
❤️🩹 Fokusnya adalah pada tanda kekuasaan Allah, bukan garis darah kerajaan.
> “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah, kemudian Dia berfirman kepadanya: ‘Jadilah,’ maka jadilah ia.” (QS Ali Imran: 59)
2. Penolakan terhadap Kultus Keturunan
Al-Qur’an secara eksplisit mengkritik kecenderungan Bani Israil yang terlalu mendewakan nasab dan keturunan sebagai dasar legitimasi :
> “Mereka berkata: ‘Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.’ Katakanlah: ‘Mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu ? Bukan, kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang Dia ciptakan…’” (QS Al-Ma’idah : 18)
Isa ditampilkan sebagai nabiyullah dan ruhullah, bukan sebagai pangeran keturunan Daud. Ini menjadi pemutusan tegas terhadap tradisi kultus dinasti Daudik.
3. Isa sebagai Tanda dan Pembaharu
Al-Qur’an tidak menghubungkan misi Isa dengan kursi kerajaan atau warisan politik Daud. Justru, misi Isa adalah :
📦 Membenarkan Taurat yang sebelumnya (QS Al-Ma'idah : 46),
📦 Membawa Injil sebagai cahaya dan petunjuk,
📦 Menyeru Bani Israil kepada ketakwaan dan kemurnian iman,
📦 Memberi kabar gembira akan datangnya seorang rasul setelahnya bernama Ahmad (QS Ash-Shaff: 6).
Dengan kata lain, Isa adalah pembaharu ruhani, bukan tokoh politik.
4. Relevansi “Orang-Orang Saleh Mewarisi Bumi”
Nubuatan dalam Zabur yang dikutip Al-Qur’an :
> “Dan sungguh telah Kami tuliskan dalam Zabur setelah peringatan, bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh.” (QS Al-Anbiya : 105)
Ini menegaskan bahwa pewarisan bumi tidak ditentukan oleh keturunan biologis, tetapi oleh kesalehan dan ketundukan kepada Allah. Maka pewaris sejati bumi bukanlah keturunan Daud secara biologis, tetapi siapa pun yang mengikuti jalan ilahi—termasuk umat Muhammad, yang diutus untuk seluruh umat manusia.
5. Kesimpulan : Reposisi Isa dalam Islam
Al-Qur’an secara tegas :
♓Menolak klaim ke-Mesias-an versi politik-genealogis,
♓Menolak silsilah yang digunakan untuk propaganda,
♓Menampilkan Isa sebagai tokoh spiritual dan universal, bukan lokal Yahudi,
♓Mengangkat identitas “Ibnu Maryam” sebagai simbol mukjizat dan pemurnian iman.
V. Perspektif Islam terhadap Nubuatan Daud dan Kedaulatan Orang-Orang Saleh
1. Menafsir Zabur secara Qur’ani
Ayat penting yang menjadi jembatan antara tradisi Daud dan misi universal Islam adalah :
> “Dan sungguh telah Kami tuliskan dalam Zabur setelah peringatan, bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh.” (QS Al-Anbiya : 105)
Al-Qur’an memposisikan Zabur sebagai wahyu terdahulu, dan nubuatan tersebut dianggap tetap sahih dan berkesinambungan. Namun, subjek pewaris bumi dialihkan dari identitas etnis (Israel) ke kualitas etis (kesalehan).
Kunci penafsiran Islam :
🏛️ Pewarisan tidak bersifat etnosentris (tidak dibatasi keturunan Daud atau Israel),
🏛️ Pewaris adalah “hamba-hamba yang saleh” tanpa melihat ras, suku, atau status sosial,
Ini membuka ruang bagi umat akhir zaman, termasuk umat Muhammad, sebagai bagian dari realisasi nubuatan tersebut.
2. Daud dalam Islam : Simbol Khalifah, Bukan Raja Silsilah
Dalam Islam, Nabi Daud bukan hanya raja, tapi khalifah (wakil Allah di bumi) :
> “Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan engkau khalifah di bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan kebenaran…” (QS Sad: 26)
Artinya, warisan Daud bukanlah tahta politis semata, melainkan tanggung jawab ilahiah untuk menegakkan keadilan dan kebijaksanaan.
Dengan demikian, warisan Daud tidak otomatis diwarisi oleh keturunannya secara darah, melainkan oleh siapa saja yang menjalankan misi khalifah secara benar, termasuk umat Islam.
3. Reinterpretasi Islam atas Nubuatan Mesianik
Nubuatan tentang kembalinya Daud atau tokoh sejenis (seperti Yehezkiel 37) tidak dipahami Islam sebagai kembalinya tokoh literal, melainkan sebagai era baru keadilan global di akhir zaman.
Islam meyakini tokoh tersebut akan terwujud dalam Al-Mahdi, bukan sebagai reinkarnasi Daud, tetapi sebagai pemimpin adil dari keturunan Nabi Muhammad yang akan :
🌓 Menegakkan keadilan di bumi,
🌓 Menghapus kezaliman,
🌓 Membawa era kemenangan spiritual dan etis.
Ini adalah bentuk pewarisan "daudik" secara moral dan fungsi, bukan keturunan biologis.
4. Bukti Historis : Umat Saleh Menjadi Pewaris Peradaban
Sejarah dunia telah menunjukkan bahwa kekuasaan sering berpindah kepada kelompok yang :
🏔️Tertib secara spiritual,
🏔️Kuat dalam etika dan ilmu,
🏔️Bertakwa dan berjuang menegakkan keadilan.
Contoh nyata :
👁️Kejayaan Khilafah Islamiyah di masa keemasan,
👁️Peradaban Persia dan Andalusia Islam,
👁️Kebangkitan kembali dunia Timur yang berporos pada keilmuan dan etika.
Semua ini menunjukkan bahwa pewarisan bumi memang berpindah kepada umat-umat yang saleh secara kolektif, bukan karena ras atau nasab.
5. Kesimpulan
Dalam pandangan Islam :
🌎 Nubuatan Daud dalam Zabur bukan monopoli Israel,
🌎 Pewaris bumi adalah orang-orang yang saleh, bukan keturunan,
🌎 Warisan Daud adalah tugas kenabian dan keadilan, bukan tahta keluarga,
🌎 Pemenuhan nubuatan di akhir zaman akan diwujudkan oleh umat Muhammad di bawah kepemimpinan Al-Mahdi.
Ini adalah penegasan bahwa hak waris ilahi ditentukan oleh takwa, bukan silsilah.
VI. Rekonstruksi Teologis – Anak Daud atau Anak Maryam ?
1. Dua Tradisi yang Bertabrakan
Klaim “Yesus anak Daud” dan “Isa anak Maryam” bukan sekadar perbedaan nama. Ia mencerminkan dua paradigma yang sangat berbeda :
2. Kritik Islam atas Teologi “Anak Daud”
Islam melihat bahwa klaim keturunan Daud dalam Injil adalah hasil dari konstruksi apologetik, demi membujuk Yahudi agar menerima Yesus. Ini menjelaskan mengapa silsilah dalam Matius dan Lukas :
🗳️ Tidak konsisten satu sama lain,
🗳️ Melewati jalur Yusuf, yang justru bukan ayah biologis Yesus.
Ini merupakan inkonsistensi besar yang secara logis dan biologis meniadakan validitas klaim keturunan.
3. Penekanan Identitas Maryam dalam Islam
Sebaliknya, Al-Qur’an menempatkan Maryam sebagai pusat narasi, bukan Daud :
🗳️ Maryam disucikan dan dipilih Allah (QS Ali Imran: 42),
🗳️ Isa lahir melalui ruh ciptaan (QS Maryam : 17-21),
🗳️ Tidak ada unsur pewarisan manusiawi dalam kelahiran Isa.
Ini mencerminkan sebuah revolusi spiritual :
> Tuhan tidak terikat pada silsilah dan darah, tapi pada kehendak-Nya dan kebersihan jiwa hamba-Nya.
4. Anak Daud vs Anak Maryam : Simbol Dua Dunia
Yesus anak Daud adalah simbol harapan nasionalis-politik Yahudi.
Isa anak Maryam adalah simbol transendensi universal, pemutusan ikatan terhadap kebanggaan ras dan tahta dunia.
Dengan ini, Islam menawarkan :
> Visi Tauhid, bukan etnosentrisme,
> Keadilan bagi semua bangsa, bukan keistimewaan bangsa tertentu,
> Pemimpin rohani, bukan raja dunia.
5. Kesimpulan Besar : Mengembalikan Misi Isa
Dengan menempatkan Isa sebagai anak Maryam, Islam telah :
🌲Mengembalikan kemurnian misi Isa sebagai hamba Allah,
🌲Menyelamatkan Isa dari distorsi dogma ketuhanan dan propaganda politik,
🌲Membuka jalan bagi siapapun untuk menjadi bagian dari pewaris bumi—dengan syarat kesalehan, bukan keturunan.
Penutup : Kemenangan Anak Maryam
Akhir zaman akan menyaksikan kembalinya Isa bukan sebagai Anak Daud, tapi sebagai Anak Maryam—tokoh spiritual akhir zaman yang :
💥 Membatalkan mitos ketuhanan manusia,
💥 Mematahkan salib dan membunuh babi (simbol koreksi terhadap penyimpangan),
💥 Menyempurnakan misi tauhid dan menyatukan umat dalam kebenaran.
Inilah kemenangan sejati nubuatan :
" Bukan dinasti, tapi kesalehan. Bukan darah Daud, tapi ruhullah. Bukan kerajaan dunia, tapi kerajaan hati ".