Halaman

Minggu, 04 Mei 2025

Dekonstruksi Tanah Perjanjian : Menelusuri Ulang Asal Usul Bangsa Israel

Mang Anas 


Pendahuluan

Selama ribuan tahun, narasi tentang asal usul bangsa Israel telah dibingkai dalam skema geopolitik dan agama yang berpusat pada wilayah Palestina modern. Namun, pembacaan ulang terhadap teks-teks suci, arkeologi, dan antropologi menuntut peninjauan kembali terhadap narasi dominan ini. Artikel ini menyusun hipotesis bahwa tanah leluhur bangsa Israel sebenarnya bukan Palestina, melainkan wilayah yang kini dikenal sebagai India Utara dan sekitarnya.

1. Tanda-Tanda Tekstual dan Estetika Budaya

Kitab Yehezkiel 16:10–14 menggambarkan wanita Israel dengan perhiasan khas seperti anting hidung, gelang, sutera, dan dupa. Semua ini merupakan elemen estetika yang sangat identik dengan budaya Hindustan. Kecantikan dan kemewahan yang digambarkan dalam ayat-ayat ini menyerupai budaya India kuno, bukan tradisi Timur Tengah.

Ayat :

> “Kukenakan padamu pakaian bersulam dan kasut dari kulit lumba-lumba... Kukenakan pula anting-anting pada hidungmu...” (Yehezkiel 16 :10–12)

2. Al-Qur’an : Isyarat tentang Tempat Tinggal Isa dan Maryam

Al-Qur’an juga memberikan isyarat penting dalam Surah Al-Mu’minun :

> “Dan Kami jadikan putra Maryam dan ibunya sebagai suatu tanda (kebesaran Kami), dan Kami beri mereka tempat tinggal di dataran tinggi yang tenang dan banyak air (mata airnya).” (QS Al-Mu’minun : 50)

Frasa “dataran tinggi yang tenang dan banyak air” secara geografis lebih cocok menunjuk pada wilayah Kashmir atau Himalaya, bukan Palestina. Hal ini diperkuat oleh keyakinan sebagian penduduk Kashmir tentang makam Yesus (Rozabal) di Srinagar yang dipercaya sebagai tempat peristirahatan Isa Al-Masih setelah selamat dari penyaliban.

Fakta Tentang Makam Isa di Kashmir

Di Srinagar, Kashmir, ada Rozabal — yang oleh masyarakat lokal dikenal sebagai makam Yuz Asaf, tokoh yang dipercaya sebagai Yesus setelah selamat dari penyaliban dan hijrah ke timur.

Tradisi lokal menyebutkan ia berasal dari barat, membawa ajaran kedamaian, dan wafat pada usia tua.

Tidak ada cerita tandingan yang kuat di Palestina — tidak ada makam Yesus, hanya situs yang dianggap simbolik.

Hipotesis bahwa Yesus historis (Isa) wafat dan dimakamkan di India memiliki dukungan naskah, arkeologi ringan, tradisi lokal, dan juga petunjuk Qur’ani — jauh lebih logis dibanding kisah pengangkatan literal atau keberadaan kubur simbolik di Palestina.

3. Bukti Demografis : Bangsa Israel dan Suku-Suku Pashtun 

Saat ini, komunitas yang secara resmi mengidentifikasi diri sebagai bangsa Israel tersebar dalam diaspora dan jumlahnya secara global relatif kecil. Sebaliknya, suku-suku Pashtun di Afghanistan dan Pakistan, yang oleh banyak peneliti diyakini memiliki akar genetik dan budaya Israel kuno, berjumlah puluhan juta jiwa. Tradisi, nama-nama suku, hukum adat, dan ritual keagamaan mereka memiliki banyak kemiripan dengan praktik-praktik kuno Bani Israel, termasuk sistem kesukuan dan hukum Taurat non-Talmudik.

4. Distorsi Sejarah dan Hipotesis Asal Usul

Sejarah versi Perjanjian Lama yang saat ini dominan mungkin telah banyak terdistorsi, sebagaimana terjadi pada budaya kaum buangan yang mencoba menulis ulang sejarahnya dari pengasingan. Kemegahan kerajaan Daud dan Sulaiman yang digambarkan spektakuler tidak memiliki bukti arkeologis di Palestina. Namun, struktur arsitektural megah seperti Borobudur, Angkor Wat, dan kuil-kuil India lebih cocok dengan deskripsi kitab.

5. Konklusi

Hipotesis ini tidak bermaksud menafikan keyakinan teologis, namun menawarkan pendekatan baru dalam memahami ulang akar sejarah dan budaya bangsa Israel. Dengan membandingkan bukti tekstual, geografis, dan antropologis, tampak bahwa wilayah India Utara, Himalaya, dan sekitarnya merupakan kandidat kuat sebagai tanah asal bangsa Israel.

Artikel ini mengajak untuk membuka kembali ruang diskusi ilmiah dan spiritual lintas tradisi dengan kerendahan hati dan keterbukaan terhadap fakta-fakta baru.


Catatan Tambahan:

Penelitian lebih lanjut dapat diarahkan pada studi genetika suku Pashtun, linguistik kata-kata Ibrani dan Sansekerta, serta kros-referensi antara teks Veda dan Taurat.

Referensi mendalam dari karya Mirza Ghulam Ahmad, Ibn Arabi, dan Abdul Karim al-Jili juga memberi warna alternatif dalam diskursus asal-usul manusia dan wahyu.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar