Mang Anas
Selama lebih dari dua abad, dunia telah berada di bawah dominasi geopolitik dan budaya Barat, terutama sejak Revolusi Industri dan kolonialisme global mengantar Eropa dan Amerika Serikat menjadi kekuatan utama dalam tatanan dunia. Namun kini, tanda-tanda perubahan besar tampak semakin jelas. Dalam dua dekade terakhir, Republik Rakyat Tiongkok telah menunjukkan lonjakan luar biasa dalam berbagai bidang — dari ekonomi, militer, hingga teknologi. Banyak analis memprediksi bahwa pada tahun 2032, Tiongkok akan mencapai posisi sejajar — bahkan melampaui — Amerika Serikat sebagai kekuatan utama dunia.
Dalam hal ekonomi, ukuran Produk Domestik Bruto (PDB) Tiongkok jika dihitung berdasarkan Paritas Daya Beli (PPP) telah melampaui Amerika Serikat sejak beberapa tahun lalu. Sementara dalam kurs nominal, perbedaannya terus menyempit. Dengan strategi jangka panjang yang konsisten dan investasi besar dalam infrastruktur, pendidikan, serta teknologi tinggi, Tiongkok telah menunjukkan model pembangunan yang efisien dan terarah, meski dikritik oleh kalangan Barat sebagai terlalu otoriter.
Yang paling menonjol adalah perkembangan militer Tiongkok. Modernisasi Angkatan Bersenjata Republik Rakyat Tiongkok (PLA) berlangsung cepat. Kapal induk, rudal hipersonik, sistem perang siber, serta ekspansi kekuatan di Laut Cina Selatan menunjukkan bahwa Beijing tidak lagi sekadar ingin menjadi pemain regional, tetapi memiliki ambisi global. Jika tren ini berlanjut, maka pada tahun 2032, kekuatan militer Tiongkok diperkirakan akan benar-benar menyamai, bahkan mungkin melampaui, kekuatan Amerika Serikat di beberapa sektor strategis.
Di balik perubahan ini, terdapat pula transformasi dalam lanskap psikologis dan kultural dunia. Banyak negara-negara di kawasan Timur dan Selatan global — dari Asia, Afrika, hingga Amerika Latin — secara bertahap menunjukkan keinginan kuat untuk melepaskan diri dari pengaruh dominasi nilai-nilai dan kepentingan Barat yang selama ini mendikte sistem keuangan, politik, dan informasi global. Terdapat kejenuhan mendalam terhadap standar ganda, intervensi sepihak, serta hegemoni budaya yang sering kali tidak menghargai keragaman peradaban lain. Dengan bahasa yang lebih diplomatis, bisa dikatakan bahwa tumbuh semangat untuk membangun tatanan dunia yang lebih adil, multipolar, dan menghormati kedaulatan serta martabat tiap bangsa.
Tiongkok, dengan pendekatan yang lebih pragmatis dan tidak banyak mencampuri urusan dalam negeri negara lain, dianggap oleh sebagian negara sebagai alternatif yang lebih dapat diterima dibandingkan pola dominasi Barat. Inisiatif seperti Belt and Road (BRI) menunjukkan strategi Tiongkok dalam membangun pengaruh global yang berbasis pada konektivitas dan kerja sama ekonomi, bukan dominasi militer atau ideologi.
Dalam konteks eskatologi dan pandangan keagamaan tertentu, pergeseran kekuatan ini pun memiliki makna simbolik dan spiritual. Dalam beberapa tafsir futuristik berbasis teks-teks agama, terdapat gagasan bahwa masa dominasi kekuatan yang menyesatkan bangsa-bangsa akan berakhir, digantikan oleh kebangkitan kekuatan yang membawa keadilan dan keteraturan baru. Beberapa pemikir Muslim misalnya, mengaitkan fenomena ini dengan konsep "masa seribu tahun kerajaan Tuhan" dan masa pelepasan sementara kekuatan iblis, sebagaimana termaktub dalam Wahyu Yohanes dalam kitab Perjanjian Baru.
Jika perhitungan simbolik itu dikaitkan dengan momentum turunnya wahyu di Gua Hira sekitar tahun 610 M, maka seribu tahun berikutnya berakhir sekitar 1610, bertepatan dengan awal kolonialisme Eropa yang agresif. Masa pelepasan kekuatan iblis yang menyesatkan bangsa-bangsa dapat diinterpretasikan sebagai periode 400 tahun terakhir — yaitu dari 1610 M hingga mendekati 2032 M — yang penuh dengan dominasi ideologi, manipulasi informasi, dan imperialisme global kekuatan Eropa dan Amerika. Maka tibanya tahun 2032 dapat dibaca sebagai momentum kembalinya keseimbangan global dan berakhirnya masa penyesatan yang selama ini menyelimuti tatanan dunia.
Apakah ini berarti dunia akan sepenuhnya didominasi oleh Tiongkok ? Tidak selalu demikian. Namun pergeseran ini menandakan munculnya dunia multipolar, di mana Barat tidak lagi menjadi satu-satunya penentu arah sejarah umat manusia. Dan di tengah dinamika itu, terbuka kemungkinan bagi nilai-nilai spiritual, keadilan sosial, dan penghormatan atas peradaban-peradaban lama untuk kembali menjadi pusat orientasi dunia.
Dengan segala perkembangan ini, tahun 2032 bisa menjadi simbol dari suatu pergantian zaman — bukan hanya secara geopolitik, tetapi juga secara spiritual dan moral. Dunia sedang bergerak dari satu babak sejarah ke babak yang lain. Dan sejarah akan mencatat, siapa yang mampu membaca tanda-tandanya dan menyiapkan diri, akan menjadi pelaku utama di panggung zaman baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar