Mang Anas
Pendahuluan : Seruan dari Langit
Dalam Al-Qur’an, Allah menyeru umat Islam agar mengajak Ahli Kitab kepada satu dasar iman yang sama :
> "Katakanlah: Wahai Ahli Kitab, marilah kepada suatu kalimat yang sama antara kami dan kalian: bahwa kita tidak menyembah selain Allah, tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan tidak sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah." (QS Āli 'Imrān: 64)
Ayat ini sering dijadikan dasar dialog antaragama. Namun, sesungguhnya maknanya jauh lebih dalam. Kalimatun sawa’ bukan sekadar persetujuan terhadap konsep Tuhan, tapi kesadaran spiritual yang bersih dari ego, fanatisme, dan simbol-simbol eksklusif.
Dua tokoh agung dari tradisi Islam dan Kristen—Ibnu ‘Arabi dan Meister Eckhart—adalah contoh nyata dari roh kalimatun sawa’. Meski berbeda budaya dan teologi, keduanya mencapai puncak penyatuan diri dengan Tuhan, melalui jalan hening, pengosongan diri, dan cinta yang murni.
1. Apa Itu Kalimatun Sawa’ ?
Secara harfiah, kalimatun sawa’ berarti “sebuah kata yang setara atau sama”.
Namun, dalam konteks ruhani :
🧺“Kalimat” merujuk pada firman, hakikat, atau kesadaran ilahiah.
🧺“Sawa’” berarti lurus, seimbang, netral, dan adil.
Maka, kalimatun sawa’ adalah kesadaran yang murni dan lurus menuju Allah, tanpa dicampuri oleh ego kelompok, fanatisme agama, atau perpecahan identitas. Inilah inti dari semua ajaran wahyu yang sejati.
2. Ibnu ‘Arabi : Tauhid sebagai Cinta Tanpa Batas
Ibnu ‘Arabi adalah sufi besar yang menyatakan :
> “Hatiku telah menjadi tempat ibadah bagi segala bentuk… agama cinta adalah agamaku dan kepercayaanku.”
Baginya, Tuhan tidak terbatas pada simbol apapun, bahkan tidak bisa dipahami kecuali oleh hati yang telah bebas dari keakuan. Tauhid sejati bukan hanya pengakuan lisan bahwa “Tiada Tuhan selain Allah”, tapi pengalaman batin bahwa tiada yang wujud selain Dia.
Kalimatun sawa’ menurut Ibnu ‘Arabi adalah hati yang bersih dari fanatisme, yang melihat semua bentuk keimanan sebagai upaya manusia mencari Yang Esa. Maka, ia tidak menolak Yesus, Musa, atau Buddha—karena semua adalah cermin dari satu cahaya.
3. Meister Eckhart : Kristus Lahir dalam Jiwa
Meister Eckhart, mistikus Kristen abad ke-13, mengajarkan bahwa :
> “Kristus harus lahir dalam jiwamu seperti Ia lahir di Betlehem ; jika tidak, kelahiran-Nya tidak berguna bagimu.”
Eckhart memaknai Kristus bukan sebagai sosok luar, tetapi sebagai kondisi batin di mana jiwa menjadi tempat kelahiran Tuhan. Ia menyebut keadaan ini sebagai abgeschiedenheit—yaitu keterlepasan total dari diri dan dunia, hingga jiwa menjadi “miskin” dan lapang untuk ditempati oleh Tuhan.
Bagi Eckhart, kalimatun sawa’ adalah kesadaran hening di mana Tuhan dan manusia bertemu, bukan dalam kata, tapi dalam keheningan dan cinta.
Dan Berikut ini adalah penjabaran mendalam tentang hakikat Kristus dalam pemikiran Meister Eckhart, dengan kutipan asli serta paralelnya dengan Ibnu ‘Arabi dan tasawuf tinggi. Anda akan melihat bahwa dua lautan ini sejatinya bermuara ke samudra yang sama : tauhid dalam kesadaran murni.
a. Kelahiran Kristus dalam Jiwa
1. Kristus sebagai Putra yang kekal — yang terus lahir dalam jiwa
Eckhart berkata:
> “Bapa melahirkan Putra-Nya dalam kekekalan, dan kelahiran ini terjadi juga dalam jiwa yang hening.”
Ini berarti bahwa Kristus bukan hanya lahir di Betlehem, tetapi terus-menerus lahir dalam batin manusia yang telah bersih, hening, dan terbuka sepenuhnya bagi kehadiran Ilahi.
Yesus historis adalah simbol dari proses kelahiran batin ini :
> Ketika ego runtuh,
> Ketika kehendak pribadi sirna,
> Ketika jiwa menjadi “miskin dalam roh” (mat 5:3),
maka Kristus lahir dalam diri—itulah yang Eckhart maksud sebagai “kelahiran Allah dalam jiwa”.
2. Kristus adalah kebenaran terdalam dari jiwa manusia
> “Inti terdalam dari jiwamu adalah Anak Allah itu sendiri.” – Eckhart
Eckhart mengajarkan bahwa di kedalaman terdalam, jiwa manusia dan Kristus adalah satu. Tapi ini bukan persatuan fisik atau moral, melainkan identitas esensial. Kristus bukan entitas terpisah, tetapi hakikat sejati dari kesadaran murni manusia ketika semua tabir telah runtuh.
3. Kristus bukan monopoli Kekristenan
Eckhart secara berani berkata :
> “Tuhan tidaklah lebih dekat dengan Maria daripada dengan seorang hamba yang sepenuhnya lepas dari dirinya.”
Dengan ini, Eckhart mengisyaratkan bahwa Kristus dapat lahir dalam siapa pun, dari agama atau budaya apa pun—asal jiwanya bersih, lepas dari ego, dan terbuka sepenuhnya kepada Yang Esa. Inilah kemistikannya yang universal dan nyaris sufi.
b. Kristus sebagai Esensi Jiwa
Eckhart :
> “In the ground of the soul, God shines eternally.”
“Di dasar terdalam jiwa, Allah bersinar kekal.”
Eckhart tidak melihat Kristus sebagai sosok luar, melainkan sebagai cahaya batiniah yang selalu hadir dalam dasar jiwa—disebutnya Seelengrund (inti jiwa).
Ibnu ‘Arabi :
> “Anta anta la anta...”
“Engkau adalah Engkau, bukan engkau.”
Maksudnya : diri sejati bukanlah ego atau tubuh, tapi adalah penampakan dari Allah, yang tidak lain dari Cahaya-Nya sendiri.
c. Penegasan Non-Dualitas : Tidak Ada Aku, Hanya Tuhan
Eckhart :
> “The eye with which I see God is the same eye with which God sees me.”
Mata yang aku pakai untuk melihat Tuhan adalah mata yang Tuhan pakai untuk melihat diriku. Inilah pengalaman tauhid eksistensial.
Ibnu ‘Arabi :
> “Rā’itu Rabbī bi ‘aini Rabbī...”
“Aku melihat Tuhanku dengan mata Tuhanku...”
Keduanya menunjuk pada pembatalan dualitas, bahwa di maqam tertinggi, yang melihat, yang dilihat, dan yang menyaksikan adalah satu.
d. Kristus bukan hak eksklusif agama
Eckhart :
> “Gott ist nicht Christen. Gott ist Sein.”
“Tuhan bukan orang Kristen. Tuhan adalah Ada itu sendiri.”
Tuhan tidak dibatasi oleh agama. Siapa pun yang melepas ego dan berserah sepenuhnya dapat menjadi wadah kelahiran Kristus.
Ibnu ‘Arabi :
> “Qalbi mushtarak... fa huwa haykalun li kulli ‘aqīdah.”
“Hatiku terbuka bagi segala bentuk keimanan; ia adalah tempat ibadah bagi semua.”
f. Kristus sebagai Maqam Fana’ dan Baqā’
Yesus, bagi Eckhart, adalah contoh puncak dari fana’: mengosongkan diri total sampai hanya kehendak Tuhan yang tinggal. Maka ia berkata:
> “The less of self there is, the more of Christ there is.”
Fana' dalam istilah Eckhart adalah Abgeschiedenheit (pelepasan mutlak dari segala yang bukan Allah).
Ibnu ‘Arabi menyebut maqam ini sebagai fana’ fi-Llah wa baqā’ bi-Llah.
Kesimpulan :
Meister Eckhart dan Ibnu ‘Arabi, meski berbeda bahasa dan tradisi, berbicara tentang proses yang sama :
🌹 Tuhan melahirkan diri-Nya dalam batin manusia
🌹 Kristus bukan persona, melainkan maqam kesadaran
🌹 Tuhan hanya dapat dikenali dengan melepas semua bentuk, termasuk ide tentang Tuhan itu sendiri.
4. Kalimatun Sawa’ : Tauhid Eksistensial, Bukan Kompromi Teologis
Apa yang menyatukan Ibnu ‘Arabi dan Eckhart ?
1. Keduanya melewati batas-batas agama lahiriah.
2. Keduanya mengalami Tuhan bukan sebagai objek kepercayaan, tapi sebagai kenyataan yang hidup dalam diri.
3. Keduanya memandang segala bentuk keimanan sebagai jalan menuju Dia, selama tidak tercemar oleh ego.
Ini bukan sinkretisme. Ini bukan menyamakan semua agama secara kasar. Tapi ini adalah tauhid eksistensial—pengalaman langsung tentang Ke-Esaan Tuhan, yang hanya bisa diraih oleh mereka yang “mati sebelum mati”, melepaskan diri dari fanatisme, dan membiarkan Tuhan berbicara dalam batin mereka.
Penutup : Jalan Kesucian Lintas Agama
Hari ini, dunia diracuni oleh konflik agama, sektarianisme, dan kecurigaan antarumat. Namun jika kita mau kembali kepada kalimatun sawa’, dengan cara membersihkan diri dan menyelami ajaran para wali sejati seperti Ibnu ‘Arabi dan Eckhart, maka :
Kita akan menyadari bahwa tauhid bukan milik eksklusif umat tertentu, tapi cahaya bagi siapa saja yang ingin kembali kepada Tuhan.
Kita akan tahu bahwa Kristus dan Muhammad tidak berseberangan, tapi berdiri dalam satu barisan, mengajak manusia kembali kepada Allah Yang Maha Esa.
Kita akan paham bahwa agama bukan untuk membanggakan identitas, tetapi untuk meleburkan ego dan menyatu dalam kasih Tuhan.
Di situlah letak kalimatun sawa’—bukan di atas meja perundingan politik, tapi di dalam jiwa yang sunyi dan suci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar