Mang Anas
Pendahuluan
Di antara kisah paling menyentuh dalam Al-Qur'an adalah kisah Maryam, perempuan suci yang menjadi ibu dari Isa al-Masih. Al-Qur'an memberikan ruang khusus bagi perjalanan spiritual dan eksistensial Maryam dalam surah yang bahkan dinamai dengan namanya sendiri : Surah Maryam. Salah satu momen paling dramatis adalah ketika ia hendak melahirkan, sendirian, dalam kondisi terasing dan di ambang fitnah sosial. Di saat inilah Al-Qur'an mencatat sebuah adegan simbolik: Maryam bersandar pada pangkal pohon kurma (jidz'i an-nakhlah). Ayat ini menyimpan kedalaman makna yang, jika ditafsirkan secara isyari (simbolik), memunculkan pemahaman yang lebih manusiawi dan eksistensial tentang pergolakan batin seorang wanita suci.
Teks Ayat
فَأَجَاءَهَا الْمَخَاضُ إِلَى جِذْعِ النَّخْلَةِ قَالَتْ يَالَيْتَنِي مِتُّ قَبْلَ هَذَا وَكُنْتُ نَسيًا مَّنْسِيًا
"Maka rasa sakit melahirkan itu memaksanya (bersandar) pada pangkal pohon kurma, lalu ia berkata, 'Wahai, betapa (baiknya) aku mati sebelum ini, dan aku menjadi seorang yang tidak diperhatikan lagi dilupakan." (QS Maryam: 23)
Tafsir Tradisional
Dalam tafsir-tafsir klasik seperti Tafsir al-Tabari, al-Qurtubi, dan Ibn Kathir, ayat ini dipahami secara harfiah sebagai Maryam yang bersandar pada pohon kurma untuk mencari penopang fisik saat kesakitan menjelang melahirkan. Kurma juga diyakini sebagai buah yang diperintahkan untuk dimakan Maryam setelah itu sebagai sumber energi dan ketenangan.
Namun, pemahaman literal ini tidak menjawab dimensi psikologis dan spiritual yang terkandung dalam seruan Maryam : keinginan untuk mati sebelum peristiwa itu terjadi. Rasa takut, malu, dan trauma sosial tidak bisa disangkal sebagai pergolakan batin terdalam yang mewarnai peristiwa ini.
Tafsir Isyari : Kurma sebagai Simbol Kehormatan
Dalam tafsir isyari atau tafsir batin, simbol-simbol dapat dimaknai secara metaforis. Kata "an-nakhlah" (النَّخْلَةِ) tidak harus selalu diartikan sebagai pohon kurma secara fisik. Kata ini dalam akar katanya (n-kh-l) juga berkaitan dengan makna "ketinggian," "kemuliaan," dan "keindahan." Dalam konteks Maryam, yang selama hidupnya dikenal sebagai perempuan suci dan terjaga, "nakhlah" dapat dimaknai sebagai simbol dari kehormatan dan martabatnya sebagai wanita.
Maka ketika Maryam bersandar pada "jidz'i an-nakhlah", itu bisa dibaca sebagai isyarat bahwa ia sedang mencari sandaran batin pada kemuliaannya sendiri—pilar moral dan spiritual yang telah ia jaga sepanjang hidup. Tetapi di hadapan realitas sosial yang kejam, martabat itu pun seakan tak cukup untuk membela dirinya. Maka ia mengucapkan seruan yang sangat manusiawi : " keinginan untuk mati sebelum semua tuduhan, hinaan dan cacian orang itu benar-benar menimpa dirinya ".
Maryam dan Trauma Sosial
Bayangkan seorang wanita yang sejak kecil hidup dalam keheningan mihrab, tidak pernah bersentuhan dengan laki-laki, tiba-tiba mengandung anak tanpa menikah. Walaupun ia telah diyakinkan oleh Jibril bahwa ini adalah kehendak Allah, namun saat rasa sakit melahirkan menindih fisiknya, muncul ledakan emosional dari bawah sadar : ketakutan terhadap cacian, hinaan, dan stigma sosial yang bakal menimpanya.
Seruan Maryam mencerminkan benturan antara kesucian spiritual dan kehancuran martabat sosial. Maka tafsir simbolik terhadap kata "nakhlah" sebagai kehormatan menjadikan ayat ini jauh lebih relevan dan menyentuh.
Penutup : Tafsir Isyari dan Kearifan Batin
Tafsir seperti ini membuka ruang baru dalam membaca Al-Qur'an secara lebih manusiawi dan batiniah, tanpa menafikan makna zahir. Justru, ia menambah kedalaman dan konteks psikologis yang sangat dibutuhkan dalam pembacaan kisah-kisah spiritual, terlebih kisah seorang wanita agung seperti Maryam.
Melalui tafsir isyari atas kata "nakhlah" sebagai simbol kehormatan, kita belajar bahwa Maryam bukan hanya simbol kesucian, tapi juga teladan keberanian menghadapi trauma dan fitnah dengan iman dan keikhlasan.
Maryam : Realitas Psikologis dan Eksistensial Manusia Suci yang diuji oleh Keajaiban dan Paradoks Kehidupan.
1. Konteks Emosional dan Spiritualitas Maryam
Maryam bukan perempuan biasa. Ia dibesarkan dalam mihrab, dalam keheningan suci, dalam dunia transenden yang jauh dari hiruk-pikuk dunia luar. Dalam QS Ali Imran 3 : 37 disebutkan bahwa setiap kali Zakaria masuk mihrab, ia mendapati Maryam sudah mendapatkan rezeki dari langit.
Hidup dalam kesucian dan keterputusan dari dunia, Maryam tidak pernah mengenal interaksi sosial yang biasa, apalagi hubungan dengan lawan jenis.
Namun, tiba-tiba ia mengalami sesuatu yang luar biasa dan misterius :
2. Hamil tanpa disentuh lelaki.
Ini bukan hanya peristiwa biologis, tapi guncangan eksistensial — guncangan terhadap identitas diri, kehormatan, bahkan makna spiritualitas yang selama ini ia yakini.
Saat Jibril menjelaskan bahwa ini adalah kehendak Allah, mungkin ia menerima secara akal (iman) — tetapi tidak serta merta jiwanya kuat menanggung dampaknya secara psikologis.
Ketika rasa sakit melahirkan datang (QS Maryam : 23), maka respon trauma dari memori alam bawah sadarnya muncul :
"Wahai, betapa (baiknya) aku mati sebelum ini, dan aku menjadi seorang yang tidak diperhatikan dan dilupakan."
Ini adalah :
🗳️ Ledakan trauma sosial yang mengendap selama kehamilan,
🗳️ Maryam bukan sedang ketakutan karena nyeri melahirkan semata, tapi karena ia membawa bayi tanpa ayah, ia hidup di tengah masyarakat yang religius tapi keras, dan ia tahu bahwa fitnah zina akan diarahkan padanya
Ini adalah kepedihan batin dari wanita dan sekaligus konflik batin antara wahyu yang diyakini dan realitas sosial yang menyakitkan. Maka, rasa "ingin mati" itu bukan karena fisik, tapi karena beban kehormatan dan martabat.
3. Simbol “النخلة” dalam Perspektif Isyari
Jika kita tafsirkan "النخلة" bukan hanya sebagai pohon fisik, melainkan sebagai simbol dari martabat wanita, ini justru lebih mengena :
Ia ingin bersandar pada sesuatu : kehormatannya sendiri — satu-satunya hal yang selama ini ia jaga sejak kecil.
Tetapi saat itu pun kehormatan itu sudah retak di mata manusia, meski masih utuh di hadapan Allah.
Maka ayat ini menggambarkan seorang wanita suci yang bersandar pada kenangan harga dirinya, namun tetap ingin lenyap karena sedang berada dalam tekanan batin yang luar biasa.
Maka tafsir kontemporer yang bisa diajukan :
"Maka rasa sakit melahirkan itu memaksanya bersandar pada kehormatan yang selama ini ia jaga [ النخلة ]. Dan ia berkata: ‘Wahai, betapa baiknya aku mati sebelum ini terjadi, dan aku menjadi sesuatu yang terlupakan dan tak diperhatikan orang.’”
Kesimpulan:
🏔️Tafsir simbolik ini sangat masuk akal jika kita membacanya dalam kerangka psikologi spiritual.
🏔️Ini membuka ruang bahwa tafsir tidak boleh hanya berhenti di lapisan literal, tapi juga mesti menangkap jeritan jiwa dan makna batin dari sebuah kisah, terlebih kisah seagung Maryam.
🏔️Membuka pintu tafsir isyari kontemporer yang masih jarang disentuh para mufassir — dan sangat relevan dalam dunia modern yang haus akan makna manusiawi di balik kisah-kisah suci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar