Halaman

Jumat, 02 Mei 2025

Membuka Kitab yang Termeterai : Tafsir Profetik Yesaya 29 atas Wahyu Pertama Nabi di Gua Hira

Mang Anas 


Yesaya 29 : 10-12

10. Sebab TUHAN telah mencurahkan ke atas kamu roh tidur nyenyak; Ia telah memejamkan matamu, yakni para nabi, dan telah menutup matamu, yakni para pelihat.

11. Maka penglihatan dari semuanya itu menjadi bagi kamu seperti isi suatu kitab yang termeterai, yang diberikan kepada orang yang tahu membaca dengan mengatakan: "Baiklah baca ini," maka ia menjawab: "Aku tidak dapat, sebab kitab ini termeterai";

12. dan diberikanlah kitab itu kepada orang yang tidak tahu membaca dengan mengatakan: "Baiklah baca ini," maka ia menjawab: "Aku tidak tahu membaca."

Pendahuluan 

“Iqra’” bukan sekadar ajakan membaca teks, tapi perintah ilahiah untuk membuka tabir makna terdalam yang tersembunyi — kitab yang tak tersentuh kecuali oleh yang disucikan. Maka, wahyu pertama adalah dialog antara langit dan ruh, bukan antara pena dan kertas. Pengalaman Nabi Muhammad di Gua Hira adalah momen pencahayaan terhadap kesadaran terdalam, ketika jiwa manusia bertemu dengan sumber kebenaran yang termeterai.

2. Kitab yang Termeterai dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an yang pertama kali dibaca oleh Nabi Muhammad bukanlah kumpulan huruf yang tertulis di mushaf, melainkan kitab dalam bentuk aslinya — kitab maknawi yang termeterai di sisi Tuhan. Ketika Jibril berkata, “Bacalah!”, dan Nabi menjawab, “Aku tidak bisa membaca”, itu bukan kelemahan literasi, melainkan ekspresi dari keterbatasan jiwa yang belum sepenuhnya disucikan untuk menyentuh hakikat wahyu. Tiga kali pengulangan perintah ini adalah tiga ketukan dari langit kepada pintu jiwa manusia, hingga lapisan-lapisan nafsu ammarah dan lawwamah terbuka, dan muncullah nafs mutmainnah — jiwa yang bening, siap menampung cahaya dari Lauh Mahfuzh. Di sinilah, firman Allah yang termeterai — yang tidak dapat disentuh kecuali oleh al-muthahharun — terbuka dan mulai mengalir sebagai Al-Qur’an, bukan sekadar bacaan, tapi realitas ruhani yang hidup. 

Maka, wahyu pertama “Iqra” yang diterima nabi di gua Hira pada hakikatnya adalah wahyu pembukaan segel, bukan wahyu pembacaan mushaf.

> “Innahu la-Qur’anun karim, fi kitabim maknun, la yamassuhu illa al-muthahharun.” (QS Al-Waqi‘ah:77–79)

Kitab yang tersembunyi (kitab maknun) ini adalah kitab dalam bentuk hakikat, bukan sekadar mushaf fisik. Ia berada dalam kedudukan ruhani yang tinggi, tak tersentuh oleh yang belum disucikan. Ini selaras dengan gambaran Yesaya 29:11-12 tentang kitab yang termeterai, yang tak bisa dibaca meskipun disodorkan kepada orang yang berilmu, karena ketersembunyiannya bersifat spiritual, bukan literasi.

Al-Qur'an dalam bentuk mushaf baru akan ditulis dan dikumpulkan kemudian — sedangkan yang dibuka oleh Nabi Muhammad adalah Qur’an dalam bentuk ruhani, tersimpan dalam Lauh Mahfuzh (QS Al-Buruj:21-22), termeterai dan hanya disentuh oleh al-muthahharun (QS Al-Waqi’ah:77-79).

3. Wahyu Sebagai Proses Tajalli, Bukan Proses Literasi

Dialog antara Jibril dan Nabi Muhammad bukanlah pelajaran membaca dalam pengertian duniawi. Ketika malaikat berkata, "Bacalah!", dan Nabi menjawab, "Aku tidak bisa membaca" (ma ana biqari), itu bukan pengakuan buta huruf secara harfiah, melainkan ekspresi dari jiwa yang belum siap menerima penyingkapan cahaya. Tiga kali pengulangan "ma ana biqari" mencerminkan tiga lapis penyucian diri yang harus dilalui sebelum Qur’an dalam bentuk hakiki dapat terbuka.

4. Tiga Tingkat Kesucian Jiwa Sebelum Membaca Wahyu

A. Tahapan Jiwa Ammarah

Ciri Spiritual : Jiwa masih dikuasai hawa nafsu

Reaksi jiwa :  "Ma ana biqari pertama", 

🧺Jiwa masih penuh gejolak, ketakutan, trauma, dan belum tunduk. Penolakan awal terhadap perintah wahyu.

B. Tahapan Jiwa Lawwamah

Ciri Spiritual :  Jiwa mulai sadar dan menyesali dosa

Raksi jiwa :  "Ma ana biqari kedua ",  keguncangan spiritual 

🧺 Jiwa mulai sadar, dan mulai menimbang reaksi pertamanya, mengkritik diri, merasa kecil, cenderung tunduk.

C. Tahapan Jiwa Mutmainnah

Ciri Spiritual : Jiwa lapang dan pasrah 

Reaksi jiwa : "Ma ana biqari ketiga ", 

🧺 Jiwa mulai telah tenang, ada kesiapan menerima tugas ilahi

Tahapan ini sejalan dengan narasi "tajkiyatun nafs" yang merupakan fondasi kenabian. Maka, wahyu pertama adalah proses pembukaan segel kitab, bukan sekadar dimulainya pembacaan teks.

"Irji‘i ilā rabbiki rāḍiyatan marḍiyyah" 

Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku."(QS Al-Fajr: 27–30)

Ayat ini bukan hanya eskatologis (tentang kematian), tapi juga menandai pencapaian ruhani tertinggi di dunia :

👉Jiwa Nabi sudah menjadi wadah sempurna bagi Ilmu Rabbani.

👉Ia layak menerima kitab yang termeterai.

👉Inilah momen peralihan dari makhluk menjadi rasul.

5. Lauh Mahfuzh dan Hakikat Qur’an

Al-Qur’an menyatakan bahwa dirinya berasal dari sumber tertinggi :

> “Bal huwa Qur’anun majid, fi lauhin mahfuzh.” (QS Al-Buruj :21–22)

Lauh Mahfuzh bukanlah tempat fisik, melainkan representasi dari kebenaran mutlak yang terjaga. Di sinilah Al-Qur’an dalam bentuk maknawi berada sebelum diturunkan secara bertahap ke dalam teks yang bisa diindera. Nabi Muhammad membaca langsung dari sumber tersebut dalam wujud ruhani yang hanya dapat diakses oleh jiwa yang telah muthahhar.

6. Kesimpulan : Membaca dengan Kesucian

Wahyu bukan sekadar ilmu ; ia adalah "tajalli" — penyingkapan cahaya dari langit kepada jiwa yang telah melalui pembakaran, penyucian, dan pelembutan spiritual. Al-Qur’an tidak bisa disentuh oleh siapa pun kecuali oleh mereka yang telah dibersihkan batinnya. Maka, firman Allah bukan sekadar bacaan di lidah, tetapi realitas hidup yang menggetarkan seluruh lapisan eksistensi insan. Wahyu pertama bukanlah awal dari membaca teks, melainkan awal dari membaca semesta — dengan jiwa yang telah ditajalli oleh cahaya Al-Haqq.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar