"Dia mengajarkan manusia Apa Yang Tidak Diketahuinya, dan Dia memberikan Hikmah kepada Siapa yang Dia Kehendaki ".
Sabtu, 24 Mei 2025
Isa Al-Masih Dalam Perspektif Ilmu Hakikat Dan Tafsir Martabat Tujuh
Minggu, 18 Mei 2025
Maryam dan Martabat Seorang Wanita Suci : Tafsir Isyari atas Simbol Pohon Kurma
Mang Anas
Pendahuluan
Di antara kisah paling menyentuh dalam Al-Qur'an adalah kisah Maryam, perempuan suci yang menjadi ibu dari Isa al-Masih. Al-Qur'an memberikan ruang khusus bagi perjalanan spiritual dan eksistensial Maryam dalam surah yang bahkan dinamai dengan namanya sendiri : Surah Maryam. Salah satu momen paling dramatis adalah ketika ia hendak melahirkan, sendirian, dalam kondisi terasing dan di ambang fitnah sosial. Di saat inilah Al-Qur'an mencatat sebuah adegan simbolik: Maryam bersandar pada pangkal pohon kurma (jidz'i an-nakhlah). Ayat ini menyimpan kedalaman makna yang, jika ditafsirkan secara isyari (simbolik), memunculkan pemahaman yang lebih manusiawi dan eksistensial tentang pergolakan batin seorang wanita suci.
Teks Ayat
فَأَجَاءَهَا الْمَخَاضُ إِلَى جِذْعِ النَّخْلَةِ قَالَتْ يَالَيْتَنِي مِتُّ قَبْلَ هَذَا وَكُنْتُ نَسيًا مَّنْسِيًا
"Maka rasa sakit melahirkan itu memaksanya (bersandar) pada pangkal pohon kurma, lalu ia berkata, 'Wahai, betapa (baiknya) aku mati sebelum ini, dan aku menjadi seorang yang tidak diperhatikan lagi dilupakan." (QS Maryam: 23)
Tafsir Tradisional
Dalam tafsir-tafsir klasik seperti Tafsir al-Tabari, al-Qurtubi, dan Ibn Kathir, ayat ini dipahami secara harfiah sebagai Maryam yang bersandar pada pohon kurma untuk mencari penopang fisik saat kesakitan menjelang melahirkan. Kurma juga diyakini sebagai buah yang diperintahkan untuk dimakan Maryam setelah itu sebagai sumber energi dan ketenangan.
Namun, pemahaman literal ini tidak menjawab dimensi psikologis dan spiritual yang terkandung dalam seruan Maryam : keinginan untuk mati sebelum peristiwa itu terjadi. Rasa takut, malu, dan trauma sosial tidak bisa disangkal sebagai pergolakan batin terdalam yang mewarnai peristiwa ini.
Tafsir Isyari : Kurma sebagai Simbol Kehormatan
Dalam tafsir isyari atau tafsir batin, simbol-simbol dapat dimaknai secara metaforis. Kata "an-nakhlah" (النَّخْلَةِ) tidak harus selalu diartikan sebagai pohon kurma secara fisik. Kata ini dalam akar katanya (n-kh-l) juga berkaitan dengan makna "ketinggian," "kemuliaan," dan "keindahan." Dalam konteks Maryam, yang selama hidupnya dikenal sebagai perempuan suci dan terjaga, "nakhlah" dapat dimaknai sebagai simbol dari kehormatan dan martabatnya sebagai wanita.
Maka ketika Maryam bersandar pada "jidz'i an-nakhlah", itu bisa dibaca sebagai isyarat bahwa ia sedang mencari sandaran batin pada kemuliaannya sendiri—pilar moral dan spiritual yang telah ia jaga sepanjang hidup. Tetapi di hadapan realitas sosial yang kejam, martabat itu pun seakan tak cukup untuk membela dirinya. Maka ia mengucapkan seruan yang sangat manusiawi : " keinginan untuk mati sebelum semua tuduhan, hinaan dan cacian orang itu benar-benar menimpa dirinya ".
Maryam dan Trauma Sosial
Bayangkan seorang wanita yang sejak kecil hidup dalam keheningan mihrab, tidak pernah bersentuhan dengan laki-laki, tiba-tiba mengandung anak tanpa menikah. Walaupun ia telah diyakinkan oleh Jibril bahwa ini adalah kehendak Allah, namun saat rasa sakit melahirkan menindih fisiknya, muncul ledakan emosional dari bawah sadar : ketakutan terhadap cacian, hinaan, dan stigma sosial yang bakal menimpanya.
Seruan Maryam mencerminkan benturan antara kesucian spiritual dan kehancuran martabat sosial. Maka tafsir simbolik terhadap kata "nakhlah" sebagai kehormatan menjadikan ayat ini jauh lebih relevan dan menyentuh.
Penutup : Tafsir Isyari dan Kearifan Batin
Tafsir seperti ini membuka ruang baru dalam membaca Al-Qur'an secara lebih manusiawi dan batiniah, tanpa menafikan makna zahir. Justru, ia menambah kedalaman dan konteks psikologis yang sangat dibutuhkan dalam pembacaan kisah-kisah spiritual, terlebih kisah seorang wanita agung seperti Maryam.
Melalui tafsir isyari atas kata "nakhlah" sebagai simbol kehormatan, kita belajar bahwa Maryam bukan hanya simbol kesucian, tapi juga teladan keberanian menghadapi trauma dan fitnah dengan iman dan keikhlasan.
Maryam : Realitas Psikologis dan Eksistensial Manusia Suci yang diuji oleh Keajaiban dan Paradoks Kehidupan.
1. Konteks Emosional dan Spiritualitas Maryam
Maryam bukan perempuan biasa. Ia dibesarkan dalam mihrab, dalam keheningan suci, dalam dunia transenden yang jauh dari hiruk-pikuk dunia luar. Dalam QS Ali Imran 3 : 37 disebutkan bahwa setiap kali Zakaria masuk mihrab, ia mendapati Maryam sudah mendapatkan rezeki dari langit.
Hidup dalam kesucian dan keterputusan dari dunia, Maryam tidak pernah mengenal interaksi sosial yang biasa, apalagi hubungan dengan lawan jenis.
Namun, tiba-tiba ia mengalami sesuatu yang luar biasa dan misterius :
2. Hamil tanpa disentuh lelaki.
Ini bukan hanya peristiwa biologis, tapi guncangan eksistensial — guncangan terhadap identitas diri, kehormatan, bahkan makna spiritualitas yang selama ini ia yakini.
Saat Jibril menjelaskan bahwa ini adalah kehendak Allah, mungkin ia menerima secara akal (iman) — tetapi tidak serta merta jiwanya kuat menanggung dampaknya secara psikologis.
Ketika rasa sakit melahirkan datang (QS Maryam : 23), maka respon trauma dari memori alam bawah sadarnya muncul :
"Wahai, betapa (baiknya) aku mati sebelum ini, dan aku menjadi seorang yang tidak diperhatikan dan dilupakan."
Ini adalah :
🗳️ Ledakan trauma sosial yang mengendap selama kehamilan,
🗳️ Maryam bukan sedang ketakutan karena nyeri melahirkan semata, tapi karena ia membawa bayi tanpa ayah, ia hidup di tengah masyarakat yang religius tapi keras, dan ia tahu bahwa fitnah zina akan diarahkan padanya
Ini adalah kepedihan batin dari wanita dan sekaligus konflik batin antara wahyu yang diyakini dan realitas sosial yang menyakitkan. Maka, rasa "ingin mati" itu bukan karena fisik, tapi karena beban kehormatan dan martabat.
3. Simbol “النخلة” dalam Perspektif Isyari
Jika kita tafsirkan "النخلة" bukan hanya sebagai pohon fisik, melainkan sebagai simbol dari martabat wanita, ini justru lebih mengena :
Ia ingin bersandar pada sesuatu : kehormatannya sendiri — satu-satunya hal yang selama ini ia jaga sejak kecil.
Tetapi saat itu pun kehormatan itu sudah retak di mata manusia, meski masih utuh di hadapan Allah.
Maka ayat ini menggambarkan seorang wanita suci yang bersandar pada kenangan harga dirinya, namun tetap ingin lenyap karena sedang berada dalam tekanan batin yang luar biasa.
Maka tafsir kontemporer yang bisa diajukan :
"Maka rasa sakit melahirkan itu memaksanya bersandar pada kehormatan yang selama ini ia jaga [ النخلة ]. Dan ia berkata: ‘Wahai, betapa baiknya aku mati sebelum ini terjadi, dan aku menjadi sesuatu yang terlupakan dan tak diperhatikan orang.’”
Kesimpulan:
🏔️Tafsir simbolik ini sangat masuk akal jika kita membacanya dalam kerangka psikologi spiritual.
🏔️Ini membuka ruang bahwa tafsir tidak boleh hanya berhenti di lapisan literal, tapi juga mesti menangkap jeritan jiwa dan makna batin dari sebuah kisah, terlebih kisah seagung Maryam.
🏔️Membuka pintu tafsir isyari kontemporer yang masih jarang disentuh para mufassir — dan sangat relevan dalam dunia modern yang haus akan makna manusiawi di balik kisah-kisah suci.
Jumat, 16 Mei 2025
Siapakah 144.000 Orang Yang Namanya Dimateraikan Dalam Kitab Kehidupan ?
Mang Anas
Menafsirkan Ulang Kitab Wahyu 7 dan 14 dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits
Wahyu 7 : 4 (TB) :
“Dan aku mendengar jumlah mereka yang dimeteraikan itu : seratus empat puluh empat ribu yang telah dimeteraikan dari semua suku keturunan Israel.”
Wahyu 14 : 1 (TB) :
“Dan aku melihat : sesungguhnya, Anak Domba berdiri di Bukit Sion dan bersama-sama dengan Dia seratus empat puluh empat ribu orang dan di dahi mereka tertulis nama-Nya dan nama Bapa-Nya.”
BAB I : PENDAHULUAN
Kitab Wahyu, yang merupakan bagian dari Perjanjian Baru dalam Al-Kitab Nasrani, secara khusus menyebut angka 144.000 sebagai jumlah mereka yang "dimateraikan" dan namanya tertulis dalam kitab kehidupan (Wahyu 7 dan Wahyu 14). Angka ini telah menimbulkan berbagai penafsiran sepanjang sejarah, dari pemahaman harfiah sebagai keturunan dari 12 suku Israel, hingga simbol-simbol spiritual yang lebih universal. Sementara itu, dalam khazanah Islam, terutama dalam hadits, disebutkan bahwa jumlah para nabi yang diutus kepada umat manusia adalah sekitar 124.000, dengan 313 di antaranya adalah rasul, dan 25 di antaranya disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an.
Kedua angka ini—144.000 dalam Kitab Wahyu dan 124.000 dalam riwayat Islam—menarik untuk dibandingkan, karena keduanya merujuk kepada sosok-sosok suci yang terhubung dengan keselamatan dan wahyu. Penelitian ini berangkat dari hipotesis bahwa 144.000 yang disebut dalam Kitab Wahyu sesungguhnya tidak merujuk pada satu etnis atau suku semata, melainkan kepada para nabi dan utusan Tuhan dari berbagai bangsa, yang dalam Islam dikenal sebagai ruh-ruh suci para nabi yang telah dimateraikan dalam Lauhul Mahfuz (Kitab Kehidupan).
Tujuan dari artikel ini adalah untuk menelaah kembali makna sejati dari angka 144.000 dalam Kitab Wahyu dengan pendekatan komparatif-teologis, eskatologis, dan semantik, dengan mempertimbangkan pesan universal para nabi sebagaimana tercermin dalam Islam dan dalam struktur makna kitab-kitab sebelumnya.
Artikel ini akan dibagi ke dalam beberapa bab :
1. Tinjauan Awal dan Rumusan Masalah
2. Tinjauan Historis dan Telaah Teks Kitab Wahyu
3. Komparasi dengan Tradisi Islam : Jumlah Nabi dan Kitab Kehidupan
4. Misaaqan Ghaliza : Konsep Perjanjian Ruhani Para Nabi
5. Paradigma Universal versus Etnosentris
6. Reinterpretasi Angka dan Simbolisme Spiritualitas
7. Kesimpulan dan Implikasi Teologis Global
Dengan pendekatan ini, kita berharap mampu menyajikan pemahaman yang lebih inklusif, dalam, dan selaras dengan nilai-nilai universal kenabian dan wahyu Ilahi.
BAB II : TINJAUAN AWAL DAN RUMUSAN MASALAH
Penafsiran terhadap angka 144.000 dalam Kitab Wahyu telah lama menimbulkan perdebatan. Sebagian tradisi Kristen, khususnya yang berpegang pada literalitas teks, meyakini bahwa angka ini secara harfiah merujuk kepada keturunan 12 suku Israel, masing-masing 12.000 orang. Namun penafsiran ini menuai masalah ketika dikaitkan dengan realitas historis dan teks-teks lain dalam Alkitab itu sendiri. Misalnya, kenyataan bahwa sebagian besar dari 12 suku Israel sudah punah [ dinyatakan hilang ] sejak pembuangan Asyur (kerajaan utara) membuat interpretasi literal menjadi problematis. Tambahan lagi, jika hanya satu etnis yang disebut sebagai yang diselamatkan, maka ini akan bertentangan dengan semangat universalitas pewahyuan dalam seluruh kitab suci.
Di sisi lain, tradisi Islam memuat riwayat bahwa jumlah nabi yang diutus kepada umat manusia mencapai 124.000 orang. Ini selaras dengan ayat Al-Qur'an yang menyatakan bahwa "tidak ada satu umat pun melainkan telah datang kepada mereka seorang pemberi peringatan" (QS. Fathir:24). Angka ini tidak hanya mencerminkan keberagaman ras dan bangsa dari para nabi, tetapi juga menggambarkan kemahaluasan rahmat dan petunjuk Ilahi yang menjangkau seluruh manusia.
Dari sinilah muncul pertanyaan pokok artikel ini :
1. Apakah angka 144.000 dalam Kitab Wahyu dapat dimaknai sebagai representasi dari ruh-ruh para nabi yang telah dimateraikan oleh Tuhan dalam kitab kehidupan (Lauhul Mahfuz) ?
2. Apakah terdapat relasi semantik, spiritual, dan historis antara angka 144.000 dalam Kitab Wahyu dan angka 124.000 dalam tradisi Islam ?
3. Apakah angka 144.000 merupakan distorsi atau penyimpangan informasi dari sumber asli yang lebih universal, dan bagaimana peran bangsa Israel dalam pewarisan narasi ini ?
Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, artikel ini bertujuan untuk mengusulkan pembacaan ulang terhadap teks-teks profetik akhir zaman dan menegaskan bahwa keselamatan bukanlah monopoli etnis, melainkan hakikat dari penerimaan terhadap cahaya kebenaran yang dibawa oleh para nabi di seluruh zaman dan wilayah.
Bab III : Kajian Numerik dan Simbolik : 144.000 vs 124.000
Secara numerik, perbedaan antara angka 144.000 dalam Kitab Wahyu dan 124.000 dalam hadis Islam hanya terletak pada dua digit tengah : 2 dan 4. Bisa jadi ini akibat salah kutip, kesalahan transmisi atau penyesuaian simbolik terhadap logika Israelisme.
Angka 144.000 dalam Wahyu dibagi ke dalam 12 suku Israel, masing-masing 12.000 orang. Namun kita mengetahui bahwa pada zaman Yesus sendiri, 10 dari 12 suku telah dianggap hilang dalam pembuangan dan diaspora, bahkan status etnologisnya menjadi kabur. Maka sangat tidak konsisten jika kitab Wahyu menyatakan bahwa masing-masing suku dihitung 12.000 secara merata.
Sebaliknya, angka 124.000 dalam hadis Islam sangat konsisten dengan prinsip tauhid universal : bahwa setiap bangsa telah diutus seorang nabi (QS Yunus : 47, QS Al-Nahl : 36). Dengan kata lain, nabi-nabi itu tersebar di seluruh dunia, melintasi etnis, wilayah, dan bahasa. Mereka adalah penyampai wahyu Ilahi dalam bentuk lokal, namun memiliki inti misi yang sama.
Secara simbolik, angka 124 dapat dijumlahkan 1+2+4 = 7, begitu pula 313 (jumlah rasul) dan 25 (nabi yang disebut dalam Al-Qur’an), semuanya berjumlah 7. Ini mengisyaratkan kesempurnaan spiritual (7 langit, 7 hari, 7 ayat Al-Fatihah) — suatu angka keberkahan dan kesucian.
Maka, penafsiran bahwa 144.000 itu sebetulnya merujuk kepada para nabi yang dimateraikan di Lauhul Mahfuz menjadi sangat rasional dan konsisten dalam struktur iman Islam.
Bab IV : Analisis Kritis terhadap Penafsiran Etnosentris dalam Wahyu 7
1. Narasi 12 Suku Israel dalam Wahyu 7
Kitab Wahyu pasal 7 secara eksplisit menyebutkan jumlah 144.000 orang yang dimateraikan dari setiap suku Israel : 12.000 orang dari masing-masing 12 suku. Penulisan ini mencerminkan struktur simbolik khas Yahudi, merujuk pada struktur tribal yang menjadi identitas etnosentris mereka. Namun peneliti kontemporer maupun pembaca kritis Alkitab menyadari bahwa daftar 12 suku dalam Wahyu ini tidak identik dengan daftar yang biasa digunakan dalam kitab-kitab Perjanjian Lama. Misalnya, suku Dan tidak disebutkan, dan suku Yusuf dicantumkan bersamaan dengan suku Manasye, padahal secara historis Manasye adalah anak Yusuf. Ketidakkonsistenan ini memicu pertanyaan: apakah benar Wahyu 7 bertujuan menegaskan eksklusivitas etnis Israel sebagai umat terpilih yang diselamatkan ?
2. Suku-Suku yang Hilang dan Kerapuhan Klaim Genealogi
Sejarah mencatat bahwa Kerajaan Israel Utara (yang menaungi 10 suku) dihancurkan oleh Asyur pada abad ke-8 SM. Sejak itu, sebagian besar suku-suku tersebut dianggap telah "hilang" secara genealogis. Maka klaim bahwa 12 suku Israel akan menjadi pusat keselamatan di akhir zaman sulit dipertahankan secara historis. Tidak ada data atau silsilah yang utuh hari ini yang mampu membuktikan siapa keturunan murni dari 12 suku tersebut. Maka pembacaan literal terhadap Wahyu 7 secara etnis tidak hanya problematis secara teologis, tetapi juga lemah secara historis.
3. Bantahan Qur’ani terhadap Klaim Eksklusivitas
Al-Qur’an memberikan kritik tajam terhadap klaim eksklusivitas kaum Yahudi. Dalam QS. Al-Baqarah : 94–95, Allah berfirman :
"Katakanlah : Jika kampung akhirat itu di sisi Allah adalah khusus untukmu saja bukan untuk manusia lain, maka harapkanlah kematian itu, jika kamu memang orang-orang yang benar. Tetapi mereka tidak akan mengharapkannya sama sekali selama-lamanya, karena dosa-dosa yang telah dikerjakan oleh tangan-tangan mereka sendiri.”
Ayat ini menunjukkan bahwa pengakuan sebagai umat pilihan tidak cukup tanpa pembuktian spiritual dan moral. Ini sekaligus menggugurkan klaim eksklusif keselamatan hanya berdasarkan etnis.
4. Prinsip Universal Kenabian dalam Al-Qur’an
QS An-Nahl : 36 menyatakan :
"Dan sungguh Kami telah mengutus pada tiap-tiap umat seorang rasul (untuk menyerukan) : 'Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut'."
Ayat ini menegaskan bahwa kerasulan bersifat universal, menjangkau seluruh umat manusia di berbagai bangsa dan zaman. Maka jika Wahyu 7 ditafsirkan secara sempit sebagai daftar eksklusif keturunan biologis Israel, maka ia bertentangan dengan prinsip universalitas risalah ilahiah.
5. Tafsir Alternatif : 144.000 sebagai Simbol Ruh Para Nabi
Berdasarkan kesesuaian dengan QS Ali Imran : 81 yang menyebutkan perjanjian agung Allah kepada seluruh nabi (mîthâqan ghalîdzâ), maka jumlah 144.000 dalam Wahyu 7 itu lebih cocok ditafsirkan sebagai jumlah simbolik dari ruh suci para nabi yang namanya telah dimateraikan dalam Kitab Kehidupan [ Lauhul Mahfuzh, dalam istilah Islam ]. Dengan tafsir ini, jumlah tersebut tidak bersifat etnis, melainkan spiritual. Ia melambangkan para pembawa risalah Tuhan ke seluruh penjuru dunia, dari berbagai bangsa dan generasi.
Kesimpulan Bab
Penafsiran etnosentris terhadap Wahyu 7 sebagai daftar 12 suku biologis Israel sangat problematik secara historis, teologis, dan moral. Sebaliknya, penafsiran bahwa angka 144.000 mewakili ruh-ruh para nabi dari seluruh bangsa, sebagaimana tercermin dalam prinsip universal risalah Qur’ani, justru menawarkan konsistensi spiritual yang tinggi, serta menegaskan keadilan dan rahmat Tuhan bagi seluruh umat manusia.
Bab V : Mitsaqan Ghalidza dan Kitab Kehidupan : Korelasi Antara Kitab Wahyu 7 dan QS. Ali Imran 81
1. QS Ali Imran Ayat 81 dan Perjanjian Para Nabi
QS Ali Imran : 81 berbunyi :
"Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi : 'Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa Kitab dan Hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu harus beriman kepadanya dan menolongnya.' Allah berfirman, 'Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?' Mereka menjawab, 'Kami mengakui.' Allah berfirman, 'Kalau begitu saksikanlah [ hai "ruh" para nabi ], dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu.'”
Ayat ini menyatakan adanya ikatan sakral [ mitsaqan ghalidza ] antara Allah dan seluruh ruh nabi [ di alam primordial ], tanpa memandang asal etnis atau bangsanya. Dalam perjanjian ini para nabi telah mengakui bahwa mereka semua adalah satu kesatuan dalam jaringan pewahyuan dan harus saling menolong ketika datang rasul berikutnya.
2. Korelasi dengan Wahyu 7 dan 144.000 yang Dimateraikan
Jika dalam Wahyu 7 disebutkan 144.000 nama yang dimateraikan dalam kitab kehidupan, maka penafsiran yang sejalan dengan QS Ali Imran : 81 adalah bahwa mereka adalah para ruh nabi yang telah menerima mitsaq agung tersebut. Mereka telah dimeteraikan di Lauhul Mahfuzh karena kesucian, ketundukan, dan janji setia mereka kepada misi kerasulan dan ketauhidan universal.
3. Prinsip Kesejajaran antara Kitab Kehidupan dan Lauhul Mahfuzh
Dalam literatur Islam, Lauhul Mahfuzh adalah kitab catatan abadi di sisi Allah yang tidak bisa diubah atau diganggu oleh siapa pun. Sementara dalam Wahyu, "Book of Life" atau Kitab Kehidupan juga adalah daftar nama-nama yang diselamatkan, dicatat oleh Tuhan sebelum dunia dijadikan. Kesejajaran maknawi ini menguatkan bahwa pengertian Kitab Kehidupan di Wahyu bukanlah kitab etnis atau genetik, melainkan catatan metafisik atas mereka yang telah dijamin kesuciannya — yakni para nabi dan utusan Tuhan dari segala bangsa.
4. Implikasi Teologis dan Eskatologis
Dengan memahami angka 144.000 sebagai simbol ruh para nabi yang menerima mitsaq agung, maka Wahyu 7 bukan lagi pernyataan etnosentris, melainkan simbol dari jaringan spiritual para utusan Tuhan di seluruh zaman. Ini membuka makna Wahyu 7 ke arah yang lebih universal, inklusif, dan sesuai dengan prinsip keadilan ilahi sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an.
Apakah Dengan Penafsiran Ini Berarti Kita Sedang Mencampuri Urusan Kitab Suci Orang Lain ?
Tentu saja tidak, sebab pada dasarnya kitab suci umat Islam itu ada lima yakni : Suhuf [ lembaran lembaran kitab suci ] yang dibawa oleh para nabi, Taurat Musa As, Zabur Nabi Daud As, Injil Isa Al-Masih dan kemudian Al Qur'an yang diwahyukan kepada nabi Muhammad Saw.
الۤمّۤۚ (١)
Alif Lam Mim. (Q.S. Al-Baqarah ayat 1)
ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَۛ فِيْهِۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ (٢)
Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya ; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (Q.S. Al-Baqarah ayat 2)
الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ ۙ (٣)
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, (Q.S. Al-Baqarah ayat 3)
وَالَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمَآ اُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَۚ وَبِالْاٰخِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَۗ (٤)
dan mereka yang beriman kepada (Al-Qur'an) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang telah diturunkan sebelum engkau, dan mereka yakin akan adanya akhirat.(Q.S. Al-Baqarah ayat 4)
اُولٰۤىِٕكَ عَلٰى هُدًى مِّنْ رَّبِّهِمْ ۙ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ (٥)
Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Al-Baqarah ayat 5)
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Sabtu, 10 Mei 2025
Dua Prinsip Keselamatan dalam Islam : Hakikat Basmalah
Mang Anas
وَقَا لُوْا لَنْ يَّدْخُلَ الْجَـنَّةَ اِلَّا مَنْ كَا نَ هُوْدًا اَوْ نَصٰرٰى ۗ تِلْكَ اَمَا نِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَا تُوْا بُرْهَا نَکُمْ اِنْ کُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ
“Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, ‘Tidak akan masuk surga kecuali orang Yahudi atau Nasrani.’ Itu hanyalah angan-angan mereka. Katakanlah, ‘Tunjukkan bukti kebenaranmu jika kamu orang yang benar." (QS. Al-Baqarah: 111)
Dalam ayat ini, Al-Qur’an mengoreksi klaim eksklusivitas keselamatan oleh agama tertentu, menegaskan bahwa keselamatan bukanlah milik segolongan manusia, melainkan bergantung pada dua prinsip universal yang dinyatakan dalam ayat berikutnya :
بَلٰى مَنْ اَسْلَمَ وَجْهَهٗ لِلّٰهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهٗۤ اَجْرُهٗ عِنْدَ رَبِّهٖ ۖ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ
“Tidak! Barang siapa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah dan dia berbuat baik, maka dia mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah : 112)
Dua prinsip ini menjadi fondasi jalan keselamatan dalam Islam :
1. Menyerahkan Wajah kepada Allah (Islam al-Wajh)
Frasa مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ [ siapa yang menyerahkan wajahnya kepada Allah ] adalah ekspresi totalitas orientasi hidup. “Wajah” dalam bahasa Arab melambangkan identitas, arah, dan pusat kesadaran manusia. Maka, keselamatan dimulai dari ketundukan menyeluruh kepada Allah sebagai tujuan hidup.
Hal ini ditegaskan dalam QS. Al-An’am : 79 :
اِنِّيْ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمٰوٰتِ وَا لْاَ رْضَ حَنِيْفًا وَّمَاۤ اَنَاۡ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
> "Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik."
2. Berbuat Ihsan (وَهُوَ مُحْسِنٌ)
Ihsan adalah inti spiritualitas Islam. Ia berarti melakukan kebaikan dengan kesadaran mendalam bahwa Allah senantiasa hadir. Ihsan menjadikan ibadah bukan sekadar ritual, tetapi kualitas batin yang membentuk karakter luhur dan perilaku welas asih.
Keduanya (Islam al-Wajh dan Ihsan) berpuncak pada satu kalimat suci yang menjadi kunci dalam seluruh gerak hidup seorang Muslim: Basmalah – Bismillahirrahmanirrahim.
Basmalah : Peta Jalan Menuju Keselamatan
Basmalah bukan hanya lafaz pembuka, tetapi merupakan peta maknawi perjalanan keselamatan spiritual dalam Islam. Ia memuat tiga inti ajaran :
a) بِسْمِ ٱللَّهِ — Dalam Nama Allah
Maknanya adalah segala perbuatan dimulai dengan kesadaran akan kehadiran dan tujuan Ilahi. Ini sejalan dengan QS. Al-An’am : 79 yang menyatakan :
> "Aku hadapkan wajahku kepada Allah..."
Ini adalah realisasi dari prinsip Islam al-Wajh — menjadikan Allah sebagai arah hidup.
b) ٱلرَّحْمَـٰنِ — Yang Maha Pengasih
Ini adalah pengakuan akan keuniversalan rahmat Allah. QS. Al-An’am : 162 memperjelas :
قُلْ اِنَّ صَلَا تِيْ وَنُسُكِيْ وَ مَحْيَايَ وَمَمَا تِيْ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ
> "Katakanlah, "Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam,"
Segala aktivitas hidup menjadi sarana ibadah dan aktualisasi kasih sayang Tuhan.
c) ٱلرَّحِيمِ — Yang Maha Penyayang
Menutup Basmalah dengan sifat Ar-Rahim menandakan kasih sayang Allah yang personal dan berkelanjutan kepada mereka yang menyerahkan diri dan berbuat ihsan. QS. Al-An’am: 163 menyatakan :
لَا شَرِيْكَ لَهٗ ۚ وَبِذٰلِكَ اُمِرْتُ وَاَ نَاۡ اَوَّلُ الْمُسْلِمِيْنَ
> "tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama berserah diri (muslim)."
Penutup : Jalan Lurus Keselamatan
Dengan demikian, keselamatan dalam Islam bukanlah klaim kelompok atau warisan etnis. Ia adalah jalan batin yang ditempuh siapa saja yang:
1. Menyerahkan wajahnya kepada Allah — orientasi spiritual yang lurus dan ikhlas.
2. Berbuat ihsan — menghidupkan kasih sayang, keadilan, dan kesadaran ilahiah dalam tindakan.
Dan seluruh jalan itu dikunci dan dibuka oleh Basmalah, yang bukan hanya kata, tapi sistem nilai, peta spiritual, dan kerangka keberagamaan.
Semoga bermanfaat.
Selasa, 06 Mei 2025
Umar bin Khattab dan Penggenapan Profetik Yehezkiel 37
By. Mang Anas
1. Nubuatan Tulang Kering : Simbol Kebangkitan Spiritual dan Nasional
Yehezkiel 37 menggambarkan suatu bangsa yang telah mati secara spiritual dan nasional, disimbolkan oleh lembah tulang-tulang kering. Tuhan kemudian menghidupkannya kembali, membentuknya menjadi umat yang hidup dan kuat, dan berjanji :
> “Aku akan menjadikan mereka satu bangsa di tanah itu, di atas gunung-gunung Israel, dan satu raja akan menjadi raja mereka semua.” (Yehezkiel 37 : 22)
Tradisi Yahudi dan Kristen menghubungkan ini dengan kembalinya kerajaan Israel secara literal di bawah keturunan Daud. Namun, penggenapan literal yang mereka tunggu-tunggu tidak pernah sepenuhnya terjadi dalam sejarah mereka—bahkan tidak pula melalui Israel modern yang dibentuk dengan kolonialisme dan perang.
2. Realitas Sejarah : Umar bin Khattab Menyatukan Kembali Wilayah Yehuda dan Israel
Pada tahun 637 M, Khalifah Umar bin Khattab memimpin pembebasan Baitul Maqdis (Yerusalem) dari kekuasaan Bizantium Romawi secara damai. Tapi bukan itu saja :
Umar menaklukkan seluruh wilayah Syam, termasuk Damaskus (bekas ibu kota kerajaan Israel Utara) dan Yerusalem (bekas pusat Yehuda Selatan).
Artinya, secara de facto dan de jure, Umar telah menyatukan kembali wilayah kerajaan Israel dan Yehuda yang sudah tercerai-berai sejak 722 SM dan 586 SM.
Penyatuan ini bukan dalam bingkai etno-nasionalisme Israel, tapi dalam bingkai tauhid dan keadilan universal, di bawah kepemimpinan yang saleh dan zuhud.
3. Umar sebagai Figur “Daud Baru” dalam Islam
Yehezkiel 37 : 24 berkata :
> “Hamba-Ku Daud akan menjadi raja atas mereka... dan mereka semua akan hidup menurut hukum-Ku.”
Ini tidak harus dimaknai harfiah sebagai kembalinya Daud, melainkan :
Figur pemimpin ilahiah, yang menyatukan umat, menegakkan hukum Tuhan (syariah), dan membawa keadilan.
Umar bin Khattab memenuhi semua aspek ini :
🌹 Zuhud seperti Daud,
🌹 Pemimpin militer dan rohani,
🌹 Menegakkan keadilan terhadap Yahudi dan Nasrani di tanah suci,
🌹 Memimpin seluruh Syam dan Palestina dalam satu entitas tauhid.
4. Kontras Drastis : Umar vs Israel Modern
Jika dibandingkan dengan Israel modern :
a. Umar bin Khattab
🗳️ Membebaskan tanah suci
🗳️ Zuhud dan adil
🗳️ Menghormati ahlul kitab
🗳️ Menyatukan tanah suci demi Allah
b. Israel Modern
💥 Menjajah dan mengusir penduduk asli
💥 Sekuler dan militeristik
💥 Menindas Muslim dan Kristen Palestina
💥 Mengklaim tanah atas nama etnis
Inilah sebabnya, nubuatan warisan bumi oleh orang-orang saleh dalam Zabur dan Qur’an (QS Al-Anbiya : 105) tidak bisa dimiliki Israel modern, melainkan lebih sah dinisbahkan kepada Umar dan kaum ruhama setelahnya.
Kesimpulan : Yehezkiel 37 Telah Tergenapi dalam Sejarah Islam
Dengan menelusuri jejak nubuatan dan sejarah, kita sampai pada sebuah kesimpulan besar :
> “Nubuatan tentang kebangkitan Israel, penyatuan Yehuda dan Israel, serta kepemimpinan Daud telah tergenapi – bukan dalam bentuk negara Yahudi modern, tetapi dalam kemenangan ruhani-politik Islam di tangan Umar bin Khattab, sang pewaris bumi yang saleh.”
Inilah penggenapan sejati profetik :
Tidak dengan keturunan darah, tetapi dengan iman, keadilan, dan tauhid.
Yesus, Anak Daud atau Anak Maryam ? Kritik Terhadap Proyeksi Mesianis Injil dari Perspektif Qur’ani
By. Mang Anas
Pendahuluan
Sosok Yesus—atau Isa al-Masih dalam terminologi Islam—adalah salah satu tokoh sentral dalam tiga agama samawi : Yudaisme, Kristen, dan Islam.
Dalam kekristenan, Yesus diyakini sebagai Mesias yang dijanjikan, Anak Allah, dan Juru Selamat umat manusia. Salah satu pilar dari klaim mesianis tersebut adalah keyakinan bahwa Yesus merupakan keturunan langsung Raja Daud—sehingga sah sebagai pewaris takhta kerajaan Israel menurut nubuat-nubuat dalam Perjanjian Lama.
Namun, Al-Qur’an memberikan narasi yang sangat berbeda. Isa disebut sebagai “Ibnu Maryam”—putra Maryam—dan tidak pernah dihubungkan secara genealogis dengan Daud atau silsilah kenabian sebelumnya melalui garis ayah. Penekanan Qur’an justru terletak pada aspek keajaiban kelahirannya tanpa ayah, serta misi kenabiannya sebagai hamba dan utusan Allah kepada Bani Israil.
Perbedaan ini menimbulkan pertanyaan teologis dan historis yang sangat penting :
Apakah status Yesus sebagai Anak Daud merupakan realitas sejarah atau konstruksi teologis ?
Dan mengapa Al-Qur’an justru secara konsisten menyebutnya sebagai “Anak Maryam”, bukan “Anak Daud” ?
Artikel ini akan mengkaji pertanyaan tersebut melalui pendekatan :
historis-kritis terhadap narasi Injil, hermeneutika Qur’an, dan analisis motif apologetik yang mungkin tersembunyi di balik penyusunan teks-teks Injil.
Dengan membandingkan dua pendekatan besar—Yudeo-Kristen dan Islam—kita akan mencoba memahami : Siapakah Yesus yang sesungguhnya ? Seorang Mesias pewaris takhta Daud ? Ataukah seorang nabi suci tanpa ayah yang diutus untuk membimbing Bani Israil dan mempersiapkan akhir zaman ?
I. Asal-Usul Gelar “Anak Daud” dalam Tradisi Yahudi-Kristen
1. Raja Daud dan Janji Kekekalan Takhta
Dalam kitab-kitab Ibrani (Perjanjian Lama), Raja Daud merupakan tokoh agung yang menjadi simbol kejayaan dan kesalehan kerajaan Israel. Ia dipilih langsung oleh Tuhan dan dijanjikan keturunan yang akan memerintah selamanya. Janji ini tercatat antara lain dalam :
> “Aku akan mengokohkan kerajaanmu untuk selama-lamanya… Keluarga dan kerajaanmu akan kokoh untuk selama-lamanya di hadapan-Ku.” — 2 Samuel 7 : 12–16
Ayat ini menjadi dasar eskatologi Yahudi tentang Mesias Daudik—yaitu figur ideal dari keturunan Daud yang akan datang di akhir zaman untuk memulihkan Israel dan menegakkan pemerintahan ilahi.
2. Harapan Mesianik di Masa Penindasan
Setelah keruntuhan kerajaan Israel dan Yehuda, serta pembuangan ke Babilonia (abad ke-6 SM), harapan akan seorang Mesias dari keturunan Daud menjadi pusat iman eskatologis orang Yahudi. Mereka merindukan pemimpin ilahi yang akan : mengalahkan musuh-musuh Israel, memulihkan hukum Taurat, membangun kembali Bait Suci, dan memimpin kerajaan damai abadi. Maka muncullah teks-teks seperti :
> “Suatu tunas akan keluar dari tunggul Isai (ayah Daud), dan suatu taruk akan tumbuh dari akar-akarnya. Roh Tuhan akan tinggal di atasnya…” — Yesaya 11 : 1–5
> “Hai Betlehem Efrata… dari padamu akan bangkit bagi-Ku seorang yang akan menjadi penguasa di Israel, yang permulaannya sudah sejak purbakala.”— Mikha 5:2
Teks-teks ini menegaskan : Mesias Daudik bukan sekadar pemimpin spiritual, tetapi raja politik yang nyata, dan memiliki garis keturunan biologis dari Daud.
3. Proyeksi Harapan Ini ke Dalam Narasi Injil
Ketika Yesus muncul pada abad pertama Masehi, orang Yahudi sedang berada di bawah penjajahan Romawi. Harapan terhadap Mesias Daudik masih sangat kuat. Para pengikut awal Yesus yang percaya bahwa ia adalah Mesias, mulai memproyeksikan harapan-harapan Perjanjian Lama ke dalam sosok Yesus.
Maka dalam Injil kita melihat berbagai upaya naratif untuk menampilkan Yesus sebagai :
> Lahir di Betlehem (kota Daud),
> Memiliki silsilah yang menelusur ke Daud,
> Disebut secara eksplisit sebagai “Anak Daud”.
Contoh :
“Ketika Yesus masuk ke Yerusalem… orang banyak berseru : Hosana bagi Anak Daud!” — Matius 21 : 9
Namun, seperti yang akan kita bahas di bagian berikutnya, narasi ini ternyata penuh inkonsistensi dan rekayasa, karena Yesus sendiri—menurut tradisi Injil—lahir dari seorang perawan tanpa ayah biologis. Maka klaim “keturunan Daud” menghadapi masalah logis dan biologis serius, yang hanya bisa dijelaskan lewat rekonstruksi teologis apologetik.
II. Kritik terhadap Silsilah Yesus dalam Injil
1. Dua Versi Silsilah yang Berbeda
Kitab Injil mencatat dua silsilah Yesus yang secara mencolok berbeda :
Injil Matius 1 : 1–17 mencatat silsilah Yesus melalui garis keturunan Yusuf, menelusur dari Abraham ke Daud, lalu ke Salomo, dan akhirnya ke Yusuf.
Injil Lukas 3 : 23–38 juga mencatat silsilah Yesus dari Yusuf, tetapi melewati Natan (putra Daud yang lain), bukan Salomo.
Perbedaan ini bukan hanya pada satu atau dua nama, tetapi mencakup :
• Rangkaian nama-nama yang berbeda total,
• Jumlah generasi yang berbeda (Matius: 42; Lukas : 77),
• Urutan keturunan yang bertentangan.
Contoh konkret :
Menurut Matius, ayah Yusuf adalah Yakub, sedangkan menurut Lukas, ayah Yusuf adalah Eli.
Ini mengundang pertanyaan serius :
Bagaimana mungkin dua silsilah yang seharusnya bersifat historis bisa begitu kontradiktif ? Jika silsilah itu penting sebagai bukti Yesus adalah Anak Daud, maka seharusnya ia konsisten dan terverifikasi.
2. Ketidakmungkinan Genealogi dari Yusuf
Masalah paling mendasar : menurut doktrin Kristen sendiri, Yesus tidak memiliki ayah biologis.
Ia lahir dari seorang perawan, Maria, tanpa hubungan suami-istri dengan Yusuf. Maka pertanyaannya :
> Bagaimana mungkin Yesus disebut sebagai "anak Daud" melalui garis keturunan Yusuf, jika Yusuf bukan ayah biologisnya ?
Secara genetik, status “anak” (terutama dalam hukum Yahudi) diturunkan melalui ayah. Tanpa ayah, seseorang tidak bisa dinasabkan kepada nenek moyang laki-laki. Maka menisbatkan Yesus kepada Daud melalui Yusuf adalah konstruksi fiktif, bukan silsilah yang sah secara genealogis.
Beberapa teolog Kristen mencoba menjelaskan bahwa silsilah Lukas adalah dari pihak Maria. Namun Injil Lukas jelas menyebut Yusuf, bukan Maria, sebagai subjek silsilah (Luk. 3 : 23). Upaya ini lebih menyerupai pembelaan pasca-fakta daripada data internal Injil.
3. Indikasi Rekayasa Teologis
Silsilah dalam Matius ditata dalam pola 14-14-14 generasi (dari Abraham ke Daud, ke pembuangan, lalu ke Kristus).
Ini adalah angka simbolik, bukan angka sejarah. Bahkan Matius sengaja menghilangkan beberapa raja dari daftar Perjanjian Lama agar cocok dengan pola numerik ini (contoh : Ahazia, Yoas, Amazia).
Ini mengisyaratkan bahwa penyusun silsilah tidak mengejar keakuratan historis, melainkan menyusun struktur teologis yang menggambarkan Yesus sebagai puncak dari sejarah Israel.
4. Kesimpulan : Silsilah yang Dipaksakan
Berdasarkan catatan di atas, silsilah Yesus dalam Injil :
👉Tidak konsisten antara Injil satu dengan lainnya,
👉Tidak sah secara genealogis karena Yesus tidak punya ayah,
👉Memuat penghilangan dan penyesuaian data demi membentuk pola tertentu,
👉Berfungsi lebih sebagai alat teologis, bukan dokumen sejarah.
Dengan kata lain, klaim bahwa Yesus adalah Anak Daud adalah rekayasa yang dibangun untuk memenuhi ekspektasi Mesianik Yahudi, bukan fakta biologis atau historis.
III. Motif Apologetik dalam Narasi Injil
1. Konteks Persaingan Dakwah dan Legitimasinya
Ketika Injil-injil disusun (sekitar 40–100 M), komunitas Kristen awal masih merupakan kelompok kecil dalam lingkungan Yahudi yang dominan. Untuk memperoleh pengakuan dan legitimasi di tengah orang-orang Yahudi yang menolak Yesus sebagai Mesias, para penulis Injil merasa perlu untuk :
🪵 Menunjukkan bahwa Yesus menggenapi nubuat-nubuat Mesianik Perjanjian Lama,
🪵 Menyajikan Yesus sebagai keturunan Daud agar layak disebut Mesias Daudik,
🪵 Menyesuaikan narasi Injil dengan ekspetasi teologis Yahudi tentang Mesias.
Hal ini menjelaskan mengapa Injil Matius, misalnya, sangat menekankan hubungan Yesus dengan peristiwa-peristiwa nubuat—dengan rumusan khas :
> “Hal itu terjadi supaya genaplah yang difirmankan Tuhan melalui nabi…”
Narasi kelahiran di Betlehem, pengungsian ke Mesir, penyembuhan orang buta yang memanggil “Hai Anak Daud!”, dan silsilah menuju Daud—semuanya disusun untuk membuktikan bahwa Yesus adalah penggenapan harapan Yahudi.
Namun ini lebih menyerupai argumen apologetik, bukan catatan sejarah objektif.
2. Kritik Modern : Propaganda atau Wahyu ?
Banyak sarjana modern dari kalangan Kristen maupun non-Kristen menyadari pola ini. Mereka menyebutnya sebagai midrash, yaitu teknik penafsiran kreatif yang digunakan untuk menyesuaikan cerita baru dengan teks lama.
Dengan kata lain :
Yesus adalah tokoh yang benar-benar hidup dan berpengaruh, tetapi banyak bagian dari Injil adalah narasi pasca-fakta yang dikonstruksi untuk mendukung klaim iman dan membungkusnya dengan otoritas kitab suci Yahudi.
Ini sejalan dengan kritik pemikiran sebelumnya :
> “Semua itu terjadi tidak lain karena diletakkannya motif apologetik dan propaganda para penulis Injil. Kepentingan misi. Semua harus dipaksakan dan musti dicocok-cocokkan.”
Ketika sebuah klaim teologis (Yesus = Mesias Daudik) tidak cocok dengan realitas biologis (Yesus tidak punya ayah), maka rekayasa naratif dan simbolik menjadi jalan keluar.
3. Kontras Tajam dengan Al-Qur’an
Sebaliknya, Al-Qur’an tidak memiliki motif apologetik seperti ini. Isa diposisikan bukan sebagai penerus Daud, melainkan sebagai :
🌹 Tanda kekuasaan Allah (lahir tanpa ayah),
🌹 Nabi dan Rasul kepada Bani Israil,
🌹 Diberi Kitab Injil sebagai lanjutan Taurat,
🌹 Disebut sebagai “Ibnu Maryam”, bukan anak Daud.
Penekanan Al-Qur’an pada “Isa bin Maryam” adalah penegasan bahwa misi Isa bersifat spiritual dan kenabian, bukan politis atau genealogi kerajaan. Qur’an menolak penggunaan silsilah sebagai syarat validasi kerasulan.
4. Kesimpulan Sementara
Motif penyusunan narasi dalam Injil lebih menunjukkan :
🧺Kebutuhan apologetik, bukan kebenaran objektif,
🧺Rekayasa naratif untuk mencocokkan Yesus dengan ekspektasi Mesianik Daudik,
🧺Ketidaksesuaian dengan fakta biologis dan silsilah logis.
🧺Sementara Al-Qur’an menawarkan model yang lebih konsisten dan bebas dari tekanan historis-politik lokal.
IV. Perspektif Al-Qur’an – Isa sebagai “Ibnu Maryam”
1. Penegasan Identitas : “Isa Ibnu Maryam”
Al-Qur’an secara konsisten menyebut Yesus dengan nama ‘Isa Ibnu Maryam’ (Isa putra Maryam), bukan “Isa bin Yusuf” atau “Isa bin Daud”. Ini bukan sekadar penamaan biologis, tapi pernyataan teologis dan ideologis yang dalam.
Sebutan “Ibnu Maryam” menegaskan bahwa :
❤️🩹 Isa lahir tanpa ayah biologis,
❤️🩹 Silsilah nasabnya tidak relevan secara ilahiah,
❤️🩹 Fokusnya adalah pada tanda kekuasaan Allah, bukan garis darah kerajaan.
> “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah, kemudian Dia berfirman kepadanya: ‘Jadilah,’ maka jadilah ia.” (QS Ali Imran: 59)
2. Penolakan terhadap Kultus Keturunan
Al-Qur’an secara eksplisit mengkritik kecenderungan Bani Israil yang terlalu mendewakan nasab dan keturunan sebagai dasar legitimasi :
> “Mereka berkata: ‘Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.’ Katakanlah: ‘Mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu ? Bukan, kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang Dia ciptakan…’” (QS Al-Ma’idah : 18)
Isa ditampilkan sebagai nabiyullah dan ruhullah, bukan sebagai pangeran keturunan Daud. Ini menjadi pemutusan tegas terhadap tradisi kultus dinasti Daudik.
3. Isa sebagai Tanda dan Pembaharu
Al-Qur’an tidak menghubungkan misi Isa dengan kursi kerajaan atau warisan politik Daud. Justru, misi Isa adalah :
📦 Membenarkan Taurat yang sebelumnya (QS Al-Ma'idah : 46),
📦 Membawa Injil sebagai cahaya dan petunjuk,
📦 Menyeru Bani Israil kepada ketakwaan dan kemurnian iman,
📦 Memberi kabar gembira akan datangnya seorang rasul setelahnya bernama Ahmad (QS Ash-Shaff: 6).
Dengan kata lain, Isa adalah pembaharu ruhani, bukan tokoh politik.
4. Relevansi “Orang-Orang Saleh Mewarisi Bumi”
Nubuatan dalam Zabur yang dikutip Al-Qur’an :
> “Dan sungguh telah Kami tuliskan dalam Zabur setelah peringatan, bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh.” (QS Al-Anbiya : 105)
Ini menegaskan bahwa pewarisan bumi tidak ditentukan oleh keturunan biologis, tetapi oleh kesalehan dan ketundukan kepada Allah. Maka pewaris sejati bumi bukanlah keturunan Daud secara biologis, tetapi siapa pun yang mengikuti jalan ilahi—termasuk umat Muhammad, yang diutus untuk seluruh umat manusia.
5. Kesimpulan : Reposisi Isa dalam Islam
Al-Qur’an secara tegas :
♓Menolak klaim ke-Mesias-an versi politik-genealogis,
♓Menolak silsilah yang digunakan untuk propaganda,
♓Menampilkan Isa sebagai tokoh spiritual dan universal, bukan lokal Yahudi,
♓Mengangkat identitas “Ibnu Maryam” sebagai simbol mukjizat dan pemurnian iman.
V. Perspektif Islam terhadap Nubuatan Daud dan Kedaulatan Orang-Orang Saleh
1. Menafsir Zabur secara Qur’ani
Ayat penting yang menjadi jembatan antara tradisi Daud dan misi universal Islam adalah :
> “Dan sungguh telah Kami tuliskan dalam Zabur setelah peringatan, bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh.” (QS Al-Anbiya : 105)
Al-Qur’an memposisikan Zabur sebagai wahyu terdahulu, dan nubuatan tersebut dianggap tetap sahih dan berkesinambungan. Namun, subjek pewaris bumi dialihkan dari identitas etnis (Israel) ke kualitas etis (kesalehan).
Kunci penafsiran Islam :
🏛️ Pewarisan tidak bersifat etnosentris (tidak dibatasi keturunan Daud atau Israel),
🏛️ Pewaris adalah “hamba-hamba yang saleh” tanpa melihat ras, suku, atau status sosial,
Ini membuka ruang bagi umat akhir zaman, termasuk umat Muhammad, sebagai bagian dari realisasi nubuatan tersebut.
2. Daud dalam Islam : Simbol Khalifah, Bukan Raja Silsilah
Dalam Islam, Nabi Daud bukan hanya raja, tapi khalifah (wakil Allah di bumi) :
> “Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan engkau khalifah di bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan kebenaran…” (QS Sad: 26)
Artinya, warisan Daud bukanlah tahta politis semata, melainkan tanggung jawab ilahiah untuk menegakkan keadilan dan kebijaksanaan.
Dengan demikian, warisan Daud tidak otomatis diwarisi oleh keturunannya secara darah, melainkan oleh siapa saja yang menjalankan misi khalifah secara benar, termasuk umat Islam.
3. Reinterpretasi Islam atas Nubuatan Mesianik
Nubuatan tentang kembalinya Daud atau tokoh sejenis (seperti Yehezkiel 37) tidak dipahami Islam sebagai kembalinya tokoh literal, melainkan sebagai era baru keadilan global di akhir zaman.
Islam meyakini tokoh tersebut akan terwujud dalam Al-Mahdi, bukan sebagai reinkarnasi Daud, tetapi sebagai pemimpin adil dari keturunan Nabi Muhammad yang akan :
🌓 Menegakkan keadilan di bumi,
🌓 Menghapus kezaliman,
🌓 Membawa era kemenangan spiritual dan etis.
Ini adalah bentuk pewarisan "daudik" secara moral dan fungsi, bukan keturunan biologis.
4. Bukti Historis : Umat Saleh Menjadi Pewaris Peradaban
Sejarah dunia telah menunjukkan bahwa kekuasaan sering berpindah kepada kelompok yang :
🏔️Tertib secara spiritual,
🏔️Kuat dalam etika dan ilmu,
🏔️Bertakwa dan berjuang menegakkan keadilan.
Contoh nyata :
👁️Kejayaan Khilafah Islamiyah di masa keemasan,
👁️Peradaban Persia dan Andalusia Islam,
👁️Kebangkitan kembali dunia Timur yang berporos pada keilmuan dan etika.
Semua ini menunjukkan bahwa pewarisan bumi memang berpindah kepada umat-umat yang saleh secara kolektif, bukan karena ras atau nasab.
5. Kesimpulan
Dalam pandangan Islam :
🌎 Nubuatan Daud dalam Zabur bukan monopoli Israel,
🌎 Pewaris bumi adalah orang-orang yang saleh, bukan keturunan,
🌎 Warisan Daud adalah tugas kenabian dan keadilan, bukan tahta keluarga,
🌎 Pemenuhan nubuatan di akhir zaman akan diwujudkan oleh umat Muhammad di bawah kepemimpinan Al-Mahdi.
Ini adalah penegasan bahwa hak waris ilahi ditentukan oleh takwa, bukan silsilah.
VI. Rekonstruksi Teologis – Anak Daud atau Anak Maryam ?
1. Dua Tradisi yang Bertabrakan
Klaim “Yesus anak Daud” dan “Isa anak Maryam” bukan sekadar perbedaan nama. Ia mencerminkan dua paradigma yang sangat berbeda :
2. Kritik Islam atas Teologi “Anak Daud”
Islam melihat bahwa klaim keturunan Daud dalam Injil adalah hasil dari konstruksi apologetik, demi membujuk Yahudi agar menerima Yesus. Ini menjelaskan mengapa silsilah dalam Matius dan Lukas :
🗳️ Tidak konsisten satu sama lain,
🗳️ Melewati jalur Yusuf, yang justru bukan ayah biologis Yesus.
Ini merupakan inkonsistensi besar yang secara logis dan biologis meniadakan validitas klaim keturunan.
3. Penekanan Identitas Maryam dalam Islam
Sebaliknya, Al-Qur’an menempatkan Maryam sebagai pusat narasi, bukan Daud :
🗳️ Maryam disucikan dan dipilih Allah (QS Ali Imran: 42),
🗳️ Isa lahir melalui ruh ciptaan (QS Maryam : 17-21),
🗳️ Tidak ada unsur pewarisan manusiawi dalam kelahiran Isa.
Ini mencerminkan sebuah revolusi spiritual :
> Tuhan tidak terikat pada silsilah dan darah, tapi pada kehendak-Nya dan kebersihan jiwa hamba-Nya.
4. Anak Daud vs Anak Maryam : Simbol Dua Dunia
Yesus anak Daud adalah simbol harapan nasionalis-politik Yahudi.
Isa anak Maryam adalah simbol transendensi universal, pemutusan ikatan terhadap kebanggaan ras dan tahta dunia.
Dengan ini, Islam menawarkan :
> Visi Tauhid, bukan etnosentrisme,
> Keadilan bagi semua bangsa, bukan keistimewaan bangsa tertentu,
> Pemimpin rohani, bukan raja dunia.
5. Kesimpulan Besar : Mengembalikan Misi Isa
Dengan menempatkan Isa sebagai anak Maryam, Islam telah :
🌲Mengembalikan kemurnian misi Isa sebagai hamba Allah,
🌲Menyelamatkan Isa dari distorsi dogma ketuhanan dan propaganda politik,
🌲Membuka jalan bagi siapapun untuk menjadi bagian dari pewaris bumi—dengan syarat kesalehan, bukan keturunan.
Penutup : Kemenangan Anak Maryam
Akhir zaman akan menyaksikan kembalinya Isa bukan sebagai Anak Daud, tapi sebagai Anak Maryam—tokoh spiritual akhir zaman yang :
💥 Membatalkan mitos ketuhanan manusia,
💥 Mematahkan salib dan membunuh babi (simbol koreksi terhadap penyimpangan),
💥 Menyempurnakan misi tauhid dan menyatukan umat dalam kebenaran.
Inilah kemenangan sejati nubuatan :
" Bukan dinasti, tapi kesalehan. Bukan darah Daud, tapi ruhullah. Bukan kerajaan dunia, tapi kerajaan hati ".