Halaman

Rabu, 05 Oktober 2022

Hakikat Makna " Liya'budun " Dalam Perspektif Tujuan Penciptaan Jin dan Manusia

By Mang Anas


وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ (٥٦)

Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.  (Q.S. Az-Zariyat ayat 56)


Semua bermula dari kisah Penciptaan Adam, lalu Allah SWT memberikan mandat  kepada Adam agar ia menjadi wakil-Nya di muka bumi, yaitu agar Adam menjalankan tugas Khalifahanya disana. Dan misi itulah yang kemudian ditataran Implementasi disebutnya sebagai Liya'budun, yang maknanya berarti adalah bahwa Adam dan semua anak keturunannya hendaklah selalu mengindahkan perintah Tuhan,  serta agar dapat melaksanakan seluruh tugas dan amanat yang diberikan kepadanya. Yakni hendaknya Adam dan anak keturunan mereka berupaya menciptakan tata kehidupan yang harmonis dan sinergis-kolaboratif antara sesama mereka,  dan hendaklah mereka dapat menyalaraskan dirinya dengan alam.  Itulah esensi perintahnya, dan esensi itulah yang sebenarnya dimaksudkan sebagai ibadah. Yakni ibadah dalam arti yang sebenarnya, atau ibadah dalam maknanya yang sejati. 

Dan adapun aktivitas shalat, puasa, dzikir, tadabbur al Qur'an dan menuntut ilmu sebagaimana yang diperintahkan oleh agama, hal itu hakikatnya hanyalah alat atau media bagi manusia agar ia dapat mengasah dirinya [ jiwanya ], dan bukan tujuan utama Allah SWT menciptakan makhluk yang bernama manusia.  Sebab sebagaimana telah disinggung dimuka bahwa tujuan utama Allah menciptakan manusia adalah agar mereka mewarisi bumi dan supaya dapat mendirikan kehidupan yang baik di atasnya. 

Lalu kenapa Allah SWT memerintahkan manusia agar setiap saat ia harus mengasah dirinya melalui shalat, puasa, dzikir, tadabbur al Qur'an dan menuntut ilmu ? 

Jawabnya tidak lain, yaitu agar sisi lembut, sisi baik dan daya sensitivitas kemanusiaan yang ada pada diri kita [ yaitu seluruh potensi ruh yang ada pada kita ] itu terus bisa terasah sepanjang waktu. Sehingga dengan demikian  mata hati kita menjadi hidup, sensor rasa kita menjadi tajam,  dan agar seluruh potensi keunggulan komparatif yang ada pada diri kita,  yaitu memori pengajaran " wa'alama adama asma kullaha " yang pernah Allah Swt ajarkan kepada nenek moyang kita [ yaitu Nabi Adam AS ]  itu bisa ter-ekspose dan bisa dimunculkan kepermukaan, dari yang sebelumnya terpendam, tidak teraba, bahkan tidak pernah disadari karena letaknya yang jauh dilubuk hati, dan karena ia tersamar dan tersembunyi dibawah lapisan alam bawah sadar kita sendiri. 

Itulah sesungguhnya hikmah dan manfaat yang tersembunyi dibalik perintah shalat, puasa, dzikir, tadabbur al-qur'an serta menuntut ilmu. Yakni, agar pada saatnya nanti manusia yang telah Allah ciptakan dan didesain dengan tangan-Nya sendiri itu dapat mencapai puncak kematangannya [ yaitu menjadi sosok insanul kamil ].

وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِى الزَّبُوْرِ مِنْۢ بَعْدِ الذِّكْرِ اَنَّ الْاَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصّٰلِحُوْنَ (١٠٥)

Dan sungguh, telah Kami tulis di dalam Zabur setelah (tertulis) di dalam Az-Zikr ( Arsip original kitab yang tersimpan di Lauh Mahfuzh), bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh. (Q.S. Al-Anbiya' ayat 105)

Dengan menjadikan dirinya sosok yang insanul kamil [ manusia yang matang ] itu maka Allah SWT berharap bahwa manusia yang diciptakan-Nya itu akan dapat memikul tanggung jawabnya dengan baik. Yaitu menjadi wakil-Nya yang paling representatif dimuka bumi. Disana diharapkan manusia bisa menciptakan harmoni, dan dapat menata  diatasnya tata kehidupan yang indah. Jadi Itulah makna yang sesungguhnya dari kata " Liya'budun" sebagaimana disinggung dalam QS. Az-Zariyat ayat 56 tersebut diatas.

Pertanyaan selanjutnya adalah, shalat, puasa, dzikir dan tadabbur Qur'an yang bagaimanakah yang dampaknya dapat melembutkan hati, membuat sensitivitas rasa kita menjadi tajam dan agar seluruh potensi Sirr [ kemampuan rahasi ] yang ada pada diri kita bisa semuanya terekspos dan dimunculkan ke permukaan ? 

Jawabnya adalah ke-tiga hal tersebut diatas akan dapat kita capai jika,

1. Dalam shalat dan dzikir jiwa kita merasa benar benar tergetar, dan jika dalam shalat dan dzikir itu hati kita dipenuhi rasa haru-biru [ isak tangis bahagia ] serta derai kerinduan yang meluap-luap kepada Allah SWT.  

2. Jika setiap kali kita membaca dan mentadabburi Al quran itu diri kita merasa seperti sedang berkaca. Yakni di kala tengah membaca dan mentadabburi Al Qur'an itu kita dapat merasakan suatu fenomena seakan-akan kita sedang mengukur dan membandingkan apa yang selama ini kita lakukan dengan apa yang Allah katakan dan kehendaki dari diri kita sesuai apa yang tertera dalam al Quran. Dengan begitu kita akan segera dapat menyadari apa saja kesalahan diri kita,  dan kita akan dibuat segera dapat menyadari apa-apa saja yang selama ini menjadi kelemahan atau kekurangan diri kita. 

Dalam kondisi itu, untuk orang yang hatinya telah benar benar lembut pasti dia akan berurai air mata. Ia akan  merasakan dirinya menjadi sangat hina-dina dan hidupnya selama ini ternyata dipenuhi oleh banyak kesalahan. Maka dalam keadaan itu dihadapan Allah SWT dirinya akan tersungkur, bersujud dan akan menangis sejadi-jadinya.

3. Jika laku puasa yang kita jalankan dilakukan dengan hati ikhsan. Yakni jika dalam keadaan puasa itu hati kita dipenuhi oleh perasaan sambung yang terus menerus kepada Allah SWT. Maka dalam keadaan itu  kita merasa seperti selalu melihat Allah dimanapun kita memandang atau seperti sedang dilihat Allah dimanapun kita berada. Maka dalam keadaan itu prilaku kita akan selalu terjaga dan kita akan terhindar dari perbuatan salah dan dosa.

4. Jika apa yang kita tonton atau ilmu yang banyak kita baca dan pelajari adalah berupa ilmu ilmu rohani yang dapat menuntun kita menjadi semakin dekat kepada Allah SWT. Dan bukannya tontonan atau ilmu-ilmu yang justru semakin mengajak kita untuk terikat lebih kuat terikat kepada dunia  [ semakin terjerumus dalam kehidupan materialistik].

Jika ke-empat hal itu dapat kita lakukan maka semua landasan untuk mencapai martabat Insan Kamil telah dapat kita penuhi. Untuk selanjutnya maka Allah lah yang akan memanggil diri kita untuk kemudian dimasukkan kehadirat-Nya. Disana oleh Allah SWT kita akan diperlihatkan segala kebesaran dan keagungan diri-Nya, diajarkan beberapa bagian dari rahasia ilmu-Nya serta di alam lahut itu sifat, akhlaq, cara pandang kita terhadap segala sesuatu akan dibentuk ulang, dan seluruh proses pembentukan ulang diri kita itu dilakukan oleh Allah SWT hanya dalam waktu satu malam. Sehingga ke-esok harinya begitu kita bangun dari tidur kita benar benar telah menjadi manusia yang lain [ menjadi sosok pribadi yang insanul kamil ].

Apa yang saya tulis ini bukanlah sekedar sebuah teori, tetapi betul betul beranjak dari peristiwa yang beberapa salik pernah alami.


Semoga artikel singkat ini bermanfaat.




Selasa, 27 September 2022

Tafsir Ayat Ayat Sifat Surat Al-Fatiha ayat 1 dan 3

Tafsir Ayat - ayat Sifat Seri 1 ; 

By Mang Anas


بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ ١ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٢ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ ٣

1. Atas nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. 2. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. 3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Esensi makna dari huruf Ba [ب] yang terdapat di dalam kalimat

 آلله الرحمن الرحيم  بِسۡمِ   

tersebut diatas dijabarkan maknanya oleh Al Quran didalam kalimat Al Hamdu [ ٱلۡحَمۡدُ ] yang terdapat pada ayat kedua. Sedangkan hakikat dari Al Hamdu  [ ٱلۡحَمۡدُ ]  adalah perwujudan dari sifat Allah yang Ar- rahman dan Ar- rahim [ الرحمن الرحيم ]. Dan adapun kalimat  اسم الله [ yang terdapat di dalam rangkaian kalimat Bismillah itu ] dijabarkan maknanya pada kalimat  رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ  [ pada ayat 2 ]. Dengan demikian maka hakikat dari huruf Ba [ ب ] adalah الحمد , yang didalamnya kedua sifat Allah yang paling utama itu termanifestasi dalam wujud penciptaan alam semesta beserta semua makhluk yang tinggal didalamnya. Sedangakan hakikat dari 

اسم للله adalah رب العلمين  atau lebih kongkrit lagi dapat dikatakan bahwa esensi dari kalimat آلله  بِسۡمِ  itu adalah kalimat ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ .

Dan adapun esensi dari kalimat 

ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ   sebagaimana yang terdapat pada ayat yang ke tiga itu fungsinya tidak lain adalah sebagai penegasan dari dua sifat yang melekat pada diri Allah Swt sebagaimana yang tertera pada ayat sebelumnya  [ yaitu ayat pertama ] dan yang kemudian pada ayat yang  ke tiga kedua sifat Allah itu telah bermanifestasi menjadi sifat pada diri Rabbull Alamin [ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ].

Demikianlah maka berdasarkan penjelasan tersebut diatas maka bisa disimpulkan bahwa esensi  kalimat

 آلله الرحمن الرحيم  بِسۡمِ   itu memiliki makna yang identik dan sama persis dengan kalimat  ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ  ٢  ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ  ٣  dan bahkan hakikat isi dan makna substansi  kedua ayat itu sebenarnya adalah tunggal. Sebagaimana manunggalnya esensi Dzat Allah dengan semua sifat-sifat -Nya , dalam hal ini adalah Allah dalam kedudukannya sebagai Rabbal Alamin [ penguasa jagat raya ]. Demikianlah penjelasan makna Al Fatiha mulai dari ayat 1  hingga 3. 

Dan jika diantara para ahli fiqh kemudian terdapat perbedaan pandangan mengenai kedudukan Basmalah dalam surat Al Fatiha, maka berdasarkan penjelasan diatas maka perbedaan itu hakikatnya bukanlah suatu pertentangan. Membaca Al Fatiha dalam shalat dengan Basmalah [ yang dihukumi wajib dalam Mazhab Syafii ] dan membaca Al Fatiha dalam shalat tanpa Basmalah  [ dan membacanya dihukumi makruh menurut Mazhab Khanafi ], pendapat keduanya adalah sah. Bagi yang membaca Basmalah maka berarti dia telah Man-taukidkan kalimat mulia itu dengan pengulangan bacaannya pada kalimat 

 ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ  ٢  ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ  ٣ 

sedangakan untuk mereka yang meniadakan Basmalah dalam bacaan Al Fatihanya maka apa yang oleh sementara orang dianggap menanggalkan itu hakikatnya adalah tidak, karena hakikat bacaan Basmalah itu secara implisit sebenarnya sudah terkandung didalam kalimat

 ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ  ٢  ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ  ٣  .

Dan adapun hakikat Al Hamdu [ ٱلۡحَمۡدُ ] yang merupakan esensi dari misteri huruf BA [ ب  ] dan yang didalamnya sifat Allah yang Ar-rahman dan Ar-rahim [ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ ] termanifestasi adalah bermakna sebagai berikut :

1. Bahwa Hakikat  Al Hamdu itu adalah “ Anugerah Pendengaran, Penglihatan, dan Hati atau Pikiran [ Fuad ] yang diberikan Allah Swt kepada Jin dan Manusia “ selaku makhluk-Nya yang utama sebagaimana firmannya,

وَاللّٰهُ اَخْرَجَكُمْ مِّنْۢ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْـًٔاۙ وَّجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ ٧٨

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur. [ QS. An Nahl 78 ]

وَهُوَ الَّذِيْٓ اَنْشَاَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَۗ قَلِيْلًا مَّا تَشْكُرُوْنَ ٧٨

Dan Dialah yang telah menciptakan bagimu pendengaran, penglihatan dan hati nurani, tetapi sedikit sekali kamu bersyukur. [ QS. Al Mukminun 78 ]

ثُمَّ سَوّٰىهُ وَنَفَخَ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِهٖ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَۗ قَلِيْلًا مَّا تَشْكُرُوْنَ ٩

Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan roh (ciptaan)-Nya ke dalam (tubuh)nya dan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati bagimu, (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur. [ QS. As Sajdah 9 ]

 

2. Bahwa Hakikat dari Al Hamdu adalah Anugerah wahyu dan hakikat kenabian yang diturunkan Allah Swt dalam kehidupan bangsa Jin dan umat Manusia yang fungsinya adalah selaku pembimbing dan pemandu  kehidupan bagi keduanya, dan sebagai pedoman agar keduanya dapat kembali dan agar dapat mengenali jalan pulangnya kepada Allah Swt, sebagaimana firman-Nya,

لَقَدْ مَنَّ اللّٰهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْ اَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهٖ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَۚ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ ١٦٤

Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika (Allah) mengutus seorang Rasul di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah, meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata. [ QS. Al Imran 164 ]

3. Bahwa hakikat Al Hamdu adalah “ Segala fasiliatas penunjang kehidupan yang ada pada alam semesta yang telah Allah anugerahkan kepada Jin dan Manusia untuk dikelola dan diambil manfaatnya untuk sebaik baik kegunaan berdasarkan tuntunan yang tertera didalam kitab- kitab Allah Swt.

وَلَقَدْ مَكَّنّٰكُمْ فِى الْاَرْضِ وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيْهَا مَعَايِشَۗ قَلِيْلًا مَّا تَشْكُرُوْنَ ࣖ ١٠

Dan sungguh, Kami telah menempatkan kamu di bumi dan di sana Kami sediakan (sumber) penghidupan untukmu. (Tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur. [ Al A’raf 10 ]

وَسَخَّرَ لَـكُمْ مَّا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَ رْضِ جَمِيْعًا مِّنْهُ ۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰ يٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

"Dan Dia menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untukmu semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya. Sungguh, dalam hal yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berpikir." ( QS. Al-Jasiyah 45: Ayat 13)

اَهُمْ يَقْسِمُوْنَ رَحْمَتَ رَبِّكَۗ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَّعِيْشَتَهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۙ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجٰتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗوَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ ٣٢

Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu ? Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. [ Az Zukhruf 32 ]

وَالْاَرْضَ مَدَدْنٰهَا وَاَلْقَيْنَا فِيْهَا رَوَاسِيَ وَاَنْۢبَتْنَا فِيْهَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَّوْزُوْنٍ ١٩

Dan Kami telah menghamparkan bumi dan Kami pancangkan padanya gunung-gunung serta Kami tumbuhkan di sana segala sesuatu menurut ukuran. [ Al Hijr 19 ]

 

وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيْهَا مَعَايِشَ وَمَنْ لَّسْتُمْ لَهٗ بِرٰزِقِيْنَ ٢٠

Dan Kami telah menjadikan padanya sumber-sumber kehidupan untuk keperluanmu, dan (Kami ciptakan pula) makhluk-makhluk yang bukan kamu pemberi rezekinya. [ Al Hijr 20 ]

Semoga ulasan singkat ini bermanfaat.





Selasa, 06 September 2022

Iman dan Amal Salih : Pengertian dan Substansinya dalam Perspektif Ilmu Hakikat

By Mang Anas 


لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ (٤)

Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, (Q.S. At-Tin ayat 4)

ثُمَّ رَدَدْنٰهُ اَسْفَلَ سٰفِلِيْنَۙ (٥)

kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya, (Q.S. At-Tin ayat 5)

اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ فَلَهُمْ اَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُوْنٍۗ (٦)

kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan; maka mereka akan mendapat pahala yang tidak ada putus-putusnya. (Q.S. At-Tin ayat 6)


Pengertian Amanu dan Amala Saliha 

A. Yang dimaksud dengan " Amanu " [  الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا ] sebagaimana yang disebutkan dalam Al-quran surat At-tin ayat 6 tersebut diatas adalah orang-orang yang dengan rela hati bersedia melakukan semua jenis amalan keimanannya. Dan adapun yang dimaksud dengan amalan keimanan disini adalah semua jenis amalan ibadah makhdoh  yang bentuk amalanya berupa pendekatan diri kepada Allah swt dan untuk tujuan membersihkan  hati atau mengasah diri. 

Yang tergolong dalam amalan jenis ini adalah shalat, dzikir, puasa, menuntut ilmu, membaca atau mentadabburi Al Quran serta amalan-amalan sebangsanya. Dan adapun beberapa manfaat  yang dapat diperoleh dari melakukan amalan - amalan ibadah tersebut diatas adalah,

1. Amalan jenis itu akan dapat melunakkan dan melembutkan hati manusia.

2. Dapat membersihkan semua kotoran yang bersarang didalam hati, yaitu karat-karat dosa yang pernah diperbuat manusia.

3. Dapat membuka semua lapisan-lapisan hijab, dalam hal ini adalah  hawa nafsu, dan utamanya adalah hijab nafsu bahimiyah [ nafsu jasad ] dan nafsu amarah [ nafsu yang bersumber dari jiwa ].

4. Dapat menjadikan hati manusia  menjadi bening bagai kaca, tajam melebihi mata pedang serta sensitif melebihi radar. Dalam kondisi itu  maka qolbu manusia akan menjadi lokus ilham. Karena ia akan bisa menangkap dengan mudah datangnya sinyal-sinyal kelangitan.  Mampu  menguraikan secara cermat, lugas dan jelas substansi isi dari petunjuk- petunjuk Ilham yang datang melintas didasar hatinya itu kepada orang lain. Kapanpun, dimanapun, dan dalam keadaan apapun.

5. Manusia akan bisa mendapatkan kembali kesucian dan kemurnian hatinya, dalam hal ini diri sejati manusia akan dapat didudukan kembali pada martabat ruh [ martabat asal dari diri manusia  ]. Dan hati manusia  itu apabila sudah mampu duduk pada martabat ini [ ruh ] maka segala penyakit batinnya seperti dendam, hasad, iri, dengki, tamak dan serakah serta semua rasa kemelekatannya terhadap dunia akan hilang lenyap.

Itulah sejumlah manfaat yang bisa diraih dari beberapa amalan keimanan yang jenis-jenisnya sebagaimana diatas telah dijelaskan.


B. Dan adapun yang dimaksud sebagai " Amalan Saliha " sebagaimana yang tertera dalam ayat tersebut diatas  adalah semua jenis amalan atau ibadah yang dimensinya bersifat sosial atau yang bentuknya berupa ibadah muamalah seperti, mengeluarkan zakat, memberi makan kepada orang yang kelaparan, menjenguk orang yang sakit, menolong orang-orang yang sedang tertimpa musibah, memuliakan tamu, membantu orang-orang yang sedang dalam perjalanan dan amalan sebangsanya.  

c. Dengan demikian maka kedua hal sebagaimana yang tersebut diatas yaitu Amanu dan Amalu Saliha adalah jenis-jenis amalan yang wajib ditempuh oleh semua manusia yang menginginkan dirinya bisa kembali kepada kesucian dan kemurnian dirinya. Setelah sebelumnya manusia itu oleh Tuhan sengaja ditempatkan pada maqom atau kedudukan yang serendah- rendahnya atau  اَسْفَلَ سٰفِلِيْنَۙ  [ lihat QS. At-Tin ayat 5 ] sebagian ujian baginya.

d. Oleh karena itu orang-orang yang saat hidup didunia melulu disibukkan dengan amalan-amalan  ibadah makhdoh seperti shalat, dzikir, puasa, membaca quran, menuntut ilmu dan sebangsanya, dan dengan sengaja  mengabaikan ibadah sosial yang seharusnya menjadi kewajiban dirinya, maka dalam terminologi al Quran  [ lihat: QS. Al-A'raf ayat 46 - 49 ]  nanti diahirat orang-orang itu akan menjadi calon para penghuni 'Araf. 

Ciri utama dari calon penghuni 'Araf adalah mereka yang saat hidup didunia terlalu menyibukkan dirinya dengan amalan ibadah- ibadah makhdoh [ ibadah yang sifatnya ritual ] seperti shalat, dzikir, berpuasa, menuntut ilmu dan membaca alquran, tetapi melupakan kewajiban kemasyarakatannya. Yaitu pemenuhan hak - hak tetangga dan hak-hak  masyarakat yang ada disekitarnya. 

Perumpamaan mereka  itu adalah seperti  sebuah pohon yang meskipun dahan dan daun - daunnya rimbun tetapi tidak dapat menghasilkan buah sama sekali. Jadi manfaat pohon itu hanya sebatas sebagai peneduh, tidak memiliki manfaat lainnya. Maka sebagai manusia orang-orang ini nilai dan fungsinya dianggap tidak sempurna.

Dan begitu pula sebaliknya,  mereka yang hanya disibukkan dengan amalan-amalan kebajikan yang sifatnya sosial tetapi lupa mendasari amalannya itu dengan akar keimanan. Maka hakikat amalan mereka itu ibarat putik dari sebuah kembang yang jatuh berserakan dan lalu terbang kesana-kemari ditiup angin. Status amalan mereka seperti  sampah. Maka tidak akan dicatat dalam buku catatan amal, dan tidak akan mendapatkan stempel ketuhanan. 

Dengan demikian maka hakikat shalat, puasa, dzikir, baca quran dan menuntut ilmu [ semua jenis ibadah yang tujuannya untuk memperteguh dan menguatkan keimanan ] itu adalah ibarat pohon, sedangkan berbuat baik kepada manusia seperti mendermakan harta, waktu, tenaga, pikiran dan jiwa untuk kebajikan serta untuk  kemaslahatan orang banyak [ amala saliha ] itu adalah ibarat buah. Maka untuk kedua hal ini semua manusia haruslah dapat membangun dan mengerjakannya secara bersamaan dan dengan bersungguh-sungguh. Tipikal manusia yang seperti inilah yang sebenarnya sangat diharapkan, dan yang disebut sebagai khalifah [ manusia paripurna atau insanul kamil ]. Dan hanya manusia dari jenis inilah yang dalam terminologi al Quran surat At-Tin disebut akan dapat meraih kembali kehormatan dan kejayaan dirinya dan yang akan kembali " mendapatkan kedudukan yang sebaik - baiknya "  atau  فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ [ lihat QS. At-Tin ayat 4 ].


Sabtu, 27 Agustus 2022

Hakikatul Muhammadiyah Dan Al-Ittihad Dalam Pandangan Ibn Arabi

 

A. Hakikatul Muhammadiyah

Ketahuilah, semoga engkau diberi taufiq kepada segala yang dicintai dan diridhai Allah. Makhluk yang pertama yang diciptakan Allah adalah Ruh Muhammad s.a.w. Ia diciptakan daripada cahaya Jamal Allah. Sebagaimana firman Allah di dalam Hadits Qudsi: “Aku ciptakan ruh Muhammad dari cahaya-Ku”. Nabi s.a.w. bersabda:

Yang pertama diciptakan oleh Allah ialah ruhku. Dan yang pertama diciptakan oleh Allah ialah cahayaku. Dan yang pertama diciptakan oleh Allah ialah qalam. Dan yang pertama diciptakan oleh Allah ialah akal.”

Ruh, cahaya, qalam, dan akal pada dasarnya adalah satu, yaitu hakikat Muhammad. Hakikat Muhammad disebut nur, karena bersih dari segala kegelapan yang menghalangi sebagaimana firman Allah:

Telah datang kepadamu cahaya dan kitab penerang dari Allah”.

Hakikat Muhammad disebut juga akal, karena ia yang menemukan segala sesuatu. Hakikat Muhammad disebut qalam, karena ia yang menjadi sebab perpindahan ilmu seperti halnya mata pena sebagai pengalih ilmu di dalam huruf (pengetahuan yang tertulis). Ruh Muhammad adalah ruh yang termurni sebagai makhluk pertama dan asal seluruh makhluk, sesuai dengan sabda Rasul s.a.w.:

Aku dari Allah dan makhluk lain dari aku.”

Dan dari ruh Muhammad itulah Allah menciptakan semua ruh di alam Lahut dalam bentuk yang terbaik yang hakiki. Itulah nama seluruh manusia di alam Lahut. Alam Lahut adalah negeri asal setelah 4.000 tahun dari penciptaan Ruh Muhammad maka Allah menciptakan Arasy dari Nur Muhammad. Begitu pula seluruh makhluk lainnya diciptakan dari Nur Muhammad.

Selanjutnya ruh-ruh diturunkan ke alam yang terendah, dimasukkan pada makhluk yang terendah, yaitu jasad. Sebagaimana firman Allah: “Kemudian Ku turunkan manusia ke tempat yang terendah”. Proses turunnya adalah setelah ruh diciptakan di alam Lahut, maka diturunkan ke alam Jabarut dan dibalut dengan cahaya Jabarut. Sebagai pakaian antara dua haram lapis kedua ini disebut ruh Sultani. Selanjutnya diturunkan lagi ke alam Malakut dan dibalut dengan cahaya Malakut yang disebut ruh Ruhani. Kemudian diturunkan lagi ke alam Mulki dan dibalut dengan cahaya Mulki. Lapis keempat ini disebut ruh Jismani.

Selanjutnya Allah menciptakan badan (jasad) dan Mulki (bumi), sebagaimana firman Allah:

Dari bumi Aku mencipta kamu. Kepada bumi Aku mengembalikanmu. Dan dari bumi pulalah Aku mengeluarkanmu.”

Setelah terwujud jasad, maka Allah memerintahkan ruh agar masuk ke dalam jasad dan ruh masuk ke dalam jasad, sebagaimana firman Allah: “Ku tiupkan ruh dari-Ku dalam jasad”.

Ketika ruh berada di dalam jasad dan merasa senang berada pada jaad, ruh lupa akan perjanjian awal di alam Lahut, yaitu hari perjanjian: “Alastu birabbikum?” (Bukankah Aku ini Tuhanmu?) Ruh menjawab: “Benar, Engkau adalah Tuhan kami”. Karena ruh lupa pada perjanjian awal, maka ruh tidak dapat kembali ke dalam Lahut sebagai tempat awal. Dengan kasihnya Allah menolong mereka dengan menurunkan kitab-kitab samawi sebagai peringatan tentang negeri asal bagi mereka, sesuai dengan firman Allah: “Berikanlah peringatan pada mereka tentang hari-hari Allah”, yaitu hari pertemuan antara Allah dengan seluruh arwah di alam Lahut. Lain halnya dengan para nabi, mereka datang ke bumi, dan kembali ke akhirat badannya di bumi, sedangkan ruh intinya berada di negeri asal karena adanya peringatan ini. Sangat sedikit orang yang sadar dan kembali serta berkeinginan dan sampai ke alam asal.

Karena sedikitnya manusia yang mampu kembali ke alam asal, maka Allah melimpahkan kenabian kepada ruh agung Muhammad Rasulullah. Penutup penunjuk jalan dari kesesatan ke alam terang. Ia diutus untuk mengingatkan mereka yang lupa dan membuka hatinya. Nabi mengajak mereka agar kembali dan sampai serta bertemu dengan Jamal Allah yang azali, sesuai dengan firman Allah:

Katakanlah: ini adalah jalanku. Aku mengajak ke jalan Allah dengan pandangan yang jelas. Aku dan para pengikutku”.

Nabi bersabda:

Para sahabatku seperti bintang-bintang, mengikut yang mana pun kamu akan mendapat petunjuk”.

Pada ayat tadi dijelaskan bahwa Nabi mengajak manusia kembali kepada Allah dengan pandangan yang jelas, yang di dalam Al-Quran disebut basyirah. Basyirah ini adalah ruh asli yang terbuka pada mata hati bagi para aulia. Basyirah tidak akan terbuka hanya dengan ilmu zahir sahaja, tetapi untuk membukanya harus dengan ilmu Ladunni batin (ilmu yang langsung dari Allah). Sesuai dengan firman Allah: “Kepada dia Ku berikan ilmu yang langsung dari Aku.” Untuk menghasilkan basyirah manusia mengambilnya dari ahli basyirah dengan mengambil talqin dari seorang wali mursyid yang dapat menunjukkan dari alam Lahut.

Wahai saudaraku, sadarlah dan bergegaslah untuk mendapatkan ampunan dari Tuhanmu, sebagaimana firman Allah:

Bergegaslah kamu untuk mendapat ampunan dari Allah dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa.”

Wahai saudaraku, masuklah pada tariq (jalan kembali kepada Allah) dan kembalilah kepada Tuhanmu bersama golongan ahli ruhani. Waktu sangat sempit, jalan hampir tertutup dan sulit mencari teman untuk kembali ke negeri asal (alam Lahut). Keberadaan kita di bumi yang hina dan yang akan hancur ini tidak hanya untuk berpangku dengan makan, minum dan memenuhi nafsu belaka.

Seorang ahli Sya’ir berkata: “Nabimu selalu menunggu, sangat khawatir memikirkanmu”. Sabda Nabi: “Aku mengkhawatirkan umatku yang ada di akhir zaman”.

Ada dua macam ilmu yang diturunkan kepada kita, yaitu:

Ilmu zahir, yakni syariat.

Ilmu batin, yakni ma’rifat.

Syariat untuk jasad kita dan ma’rifat untuk batin. Kedua-duanya harus dipadu dan dari perpaduannya membuahkan hakikat, seperti halnya pohon dan daun yang menghasilkan buah, sebagaimana firman Allah dalam surah Ar-rahman ayat 19-20:

Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing”.

Dengan ilmu zahir sahaja manusia tidak akan mencapai hakikat dan tidak akan sampai pada inti tujuan ibadah. Ibadah yang sempurna hanya dapat diwujudkan oleh perpaduan antara ilmu zahir dan ilmu batin, sebagaimana firman Allah dalam surah Az-dzariyat ayat 56:

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan mereka supaya menyembah-Ku [ ma’rifah kepada-KU ] ”.

Yang dimaksudkan dengan ibadah di sini ialah ma’rifat. Manusia tidak akan beribadah secara sempurna kepadanya tanpa ma’rifat yang sesungguhnya. Ma’rifat dapat berwujud setelah hilangnya segala sesuatu yang menghalangi cermin hati dengan terus berupaya membersihkannya sehingga manusia dapat melihat indahnya sesuatu yang terpendam dan tertutup di dalam rasa di lubuk hati. Firman Allah dalam Hadits Qudsi:

Aku adalah Kanzun Mahfiyya (yang terpendam dan tertutup). Aku ingin ditemukan dan dikenali. Kuciptakan makhluk agar mereka mengenal-Ku”.

Maka jelaslah bahwa tujuan penciptaan manusia adalah agar manusia ma’rifat kepada Allah. Ma’rifat itu ada dua macam, yaitu ma’rifat sifat Allah dan ma’rifat zat Allah. Ma’rifat sifat adalah tugas jasad di dunia dan akhirat (di alam Lahut, sejak manusia hidup di dunia), sebagaimana firman Allah:

Ku perkuat manusia dengan ruh Al-Qudsi” (Surat Al-Baqarah ayat 87).

Seluruh manusia dalam dirinya diperkuat oleh ruh Al-Qudsi. Ma’rifat sifat dan ma’rifat zat hanya dapat dicapai dengan perpaduan antara ilmu zahir dan ilmu batin. Rasul bersabda:

Ilmu itu ada dua macam. Pertama: Ilmu lisan, sebagai hujjah Allah dan kepada hambanya. Kedua: Ilmu batin yang bersumber di lubuk hati, ilmu inilah yang berguna untuk mencapai tujuan pokok dalam ibadah”.

Mula-mula manusia memerlukan ilmu syariat agar badannya mempunyai kegiatan dalam mencari ma’rifat pada ma’rifat sifat, yaitu darajat. Kemudian memerlukan ilmu batin agar ruhnya mempunyai kegiatan untuk mencapai ma’rifatnya pada ma’rifat zat. Untuk mencapai tujuan ini manusia harus meninggalkan segala sesuatu yang menyalahi syariat dan tariqat. Hal ini akan dapat dicapai dengan melatih diri meninggalkan keinginan nafsu walaupun terasa pahit dan melakukan kegiatan ruhaniyyah dengan tujuan mencapai ridha Allah serta bersih dari riya’ (ingin dipuji orang lain) dan sum’ah (mencari kemasyhuran). Firman Allah dalam Surah Al-Kahfi ayat 110:

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal soleh. Dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya”.

Yang dimaksudkan dengan alam ma’rifat adalah alam Lahut, yaitu negeri asal tempat diciptakan ruh Al-Qudsi dalam wujud terbaik. Yang dimaksudkan ruh Al-Qudsi ialah hakikat manusia yang disimpan di lubuk hati; keberadaannya akan diketahui dengan taubat dan talqin dan mudawamah (mengamalkan dengan terus-menerus) kalimat “Laa Ilaha Illallah”. Pertama dengan lidah fisiknya, kemudian bila hatinya sudah hidup beralih dengan lidah hatinya. Ahli tasauf menamakan ruh Al-Qudsi dengan sebutan Tiflul Ma’ani (bayi ma’nawi) karena ia dari ma’nawiyah qudsiyyah. Pemberian nama tiflul ma’ani didasarkan kepada:

Ia lahir dari hati, seperti lahirnya bayi dari rahim seorang ibu dan ia diurus dan dibesarkan hingga dewasa.

Dalam mendidik anak-anak tentang keislaman, ilmu yang didahulukan adalah ilmu ma’rifat. Begitu pula bagi bayi ma’nawi ini.

Bayi bersih dari segala kotoran dosa lahiriyah. Begitu pula bayi ma’nawi, ia bersih dari syirik (menyekutukan Allah) dan ghaflah (lupa kepada Allah).

Perumpamaan bayi ma’nawi merupakan gambaran kesucian karena anak-anak lebih banyak yang suci daripada yang lainnya. Oleh karena itu bayi ma’nawi terlihat dalam mimpi dengan rupa yang indan dan tampan.

Ahli surga disifati dengan sifat anak-anak, sebagaimana firman Allah: “Mereka dikelilingi anak-anak muda yang tetap mudanya” (Surah Waqi’ah: 17). Firman Allah: “Anak-anak muda melayani mereka, bagai mutiara yang terpendam” (Ath-Thur: 24).

Karena bayi ma’nawi itu halus dan suci.

Penggunaan nama tiflul ma’ani adalah majazi ditinjau dari kaitannya dengan badan, ia berwujud seperti rupa manusia, juga karena manisnya bukan karena kecilnya: dan dilihat dari awal adanya, ia adalah manusia hakiki karena dialah yang berhubungan langsung dengan Allah, sedangkan badan dan ruh jasmani bukan mahramnya bagi Dia berdasarkan Hadits Nabi s.a.w.: “Aku punya waktu khusus dengan Allah; malaikat terdekat, nabi dan rasul tidak akan dapat memilikinya”. Yang dimaksudkan dengan malaikat terdekat dalam hadits tadi adalah ruh ruhani yang diciptakan di alam Jabarut, seperti halnya malaikat dapat masuk ke alam Lahut. Sabda Nabi s.a.w.: “Allah memiliki surga yang tanpa bidadari dan istana serta tanpa madu dan susu. Kenikmatan di surga itu hanya satu, yaitu melihat zat Allah”. Hal ini dijelaskan dalam Al-Quran: “Wajah-wajah (orang-orang Mu’min) pada hari itu berseri-seri” (Al-Qiyamah: 22). Juga dijelaskan dalam Hadits Nabi s.a.w.: “Kamu sekalian akan melihat Tuhanmu, seperti kamu melihat sinar bulan purnama”. Bila malak jasmani, yakni segala sesuatu selain ruh Al-Qudsi masuk di alam Lahut, maka pasti akan terbakar.

 

B. Konsep Al- Ittihad atau Wihdatul Wujud 

Konsep Al- Ittihad atau Wihdatul Wujud adalah konsep yang dirumuskan oleh Ibnu Arabi, beliau mengemukakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang wujud kecuali Tuhan. Segala yang ada selain Tuhan adalah penampakan lahiriah dari-Nya.

Keberadaan makhluk tergantung pada keberadaan Tuhan, atau berasal dari wujud ilahiah. Manusia yang paling sempurna adalah perwujudan penampakan diri Tuhan yang paling sempurna, menurutnya.

Ibn Al-‘Arabi adalah pendiri faham Tauhid Wujudi bahkan ia merupakan panutan dalam pemikiran ini. Pemikiran yang selalu menjadi sorotan tajam dari kaum fuqoha. Pemikiran inilah yang menjadi landasan konsep pendidikannya bahkan semua pola pikirnya berporos pada pemahaman ini. Perlu digaris bawahi bahwa Ibn Arabi belum pernah menyebutkan istilah wahdatul wujud dalam kitabnya namun istilah ini dicetuskan oleh orientalis/ kafirin. Namun dari berbagai ajarannya bisa dikatakan bahwa pemahamannya adalah wahdatul wujud.

Dalam menjelaskan konsep wahdatul wujud Ibn Arabi mengungkapkan:

ketahuilah bahwa wujud ini satu namun Dia memiliki penampakan yang disebut dengan alam dan ketersembunyiannya yang dikenal dengan asma (nama-nama), dan memiliki pemisah yang disebut dengan barzakh yang menghimpun dan memisahkan antara batin dan lahir itulah yang dikenal dengan Insan Kamil”.

Ia juga menjelaskan:

Ketahuilah bahwa Tuhan segala Tuhan adalah Allah Swt. Sebagai Nama Yang Teragung dan sebagai ta’ayun (pernyataan) yang pertama. Ia merupakan sumber segala nama, dan tujuan terakhir dari segala tujuan, dan arah dari segala keinginan, serta mencakup segala tuntutan, kepadaNya lah isyarat yang difirmankan Allah kepada Rasul-Nya Saw -bahwa kepada Tuhanmulah tujuan terakhir- karena Muhammad adalah mazhar dari pernyataan pertama (ta’ayyun awwal), dan Tuhan yang khusus baginya adalah Ketuhanan Yang Teragung ini. Ketahuilah bahwa segala nama dari nama-nama Allah merupakan gambaran dalam ilmu Allah yang bernama dengan ‘mahiat’ atau ‘ain sabitah’ (esensi yang tetap). Setiap nama juga memiliki gambaran di luar yang diberi nama dengan mazahir (penampakan atau fenomena) dan segala nama tadi merupakan pengatur dari mazahir (fenomena-fenomena) ini. Sedang Haqiqat Muhammadiyah merupakan gambaran dari nama ‘Allah’ yang menghimpun segala nama ketuhanan yang darinya muncul limpahan atas segala yang ada dan Allah Swt sebagai Tuhannya. Haqiqat Muhammadiyah yang mengatur gambaran alam seluruhnya dengan Tuhan yang tampil padanya, disebut dengan Rab al-arbab (Allah Swt).”

Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan Haqiqat Muhammadiyah di sini bukan hanya Nabi Muhammad sebagai manusianya namun Haqiqat Muhammadiayah adalah Asma dan Sifat Allah serta Akhlaqnya. Nabi muhammad disebut dengan Muhammad karena Beliau mampu berakhlaq dengan seluruh akhlaq ketuhanan tersebut.

 Selanjutnya Ibn Arabi juga mengatakan:

ketahuilah bahwa yang ada hanya sifat-sifat-Nya Allah, af’al-Nya maka semuanya adalah Dia, dengan-Nya, dari-Nya dan kepada-Nya. Kalaulah ia terhijab dari alam ini walaupun sekejap maka binasalah alam ini secara keselurhan, kekalnya alam ini dengan penjagaan-NYa dan penglihatan-Nya kepada alam. Akan tetapi jika sesuatu sangat tampak jelas dengan cahaya-Nya hingga pemahaman tidak mampu untuk mengetahuinya maka penampakan itulah yang disebut dengan hijab.”

Jadi asma dan sifat itulah yang disebut dengan Haqiqat Muhammadiyah, dan alam muncul dari hakikat tersebut. Oleh sebab itu Ibn Arabi mengungkapkan:

Alam pada hakikatnya adalah satu namun yang hilang dan muncul adalah gambarnya saja”.

Maksudnya hakikat alam tadi berasal dari Zat Yang Satu, yang pada dasarnya gambaran alam tadi hilang dan muncul, artinya alam itu pada hakikatnya tiada berupa gambar saja. Dalam hal ini ia menyatakan:

Maha Suci Allah yang menciptakan segala sesuatu Dialah segala sesuatu tadi.”

Artinya penampakannya tiada lain Dia juga, yang tampil dari-Nya adalah Dia juga.

Lebih jelasnya Syaikh Abd Ar-Rauf Singkil menjelaskan dalam sebuah karyanya:

wujud alam ini tidak benar-benar sendiri, melainkan terjadi melalui pancaran. Yang dimaksud dengan memancar di sini adalah bagaikan memancarnya pengetahuan dari Allah Ta’ala. Seperti halnya alam ini bukan benar-benar Zat Allah, karena ia merupakan wujud yang baru, alam juga tidak benar-benar lain dari-Nya. Karena ia bukan wujud kedua yang berdiri sendiri disamping Allah.”

 Jadi alam bukanlah sebenarnya Allah namun pancarann-Nya dengan kata lain hijabnya. Hal ini dikuatkan oleh penjelasan William Chittik dalam salah satu karyanya mengenai Ibn Arabi: “Hanya satu wujud dan seluruh eksistensi tiada lain adalah pancaran dari Wujud Yang Satu.” Kesimpulannya yang tampak itulah makhluk cipatan-Nya sedang Zat-Nya tetaplah ghaib. Hal ini dijelaskan oleh Ibn Arabi sebagai berikut:

Allah nyata ditinjau dari penampakan-Nya pada cipatan-Nya dan batin dari segi Zat-nya.”

Untuk lebih jelasnya, Tajalliyat Allah pada lingkatan wujud adalah merupakan penampakan Allah berupa kesempurnaan dan keagungan yang abadi. Zat-Nya merupakan sumber pancaran yang tak pernah habis keindahan dan keagungan-Nya. Ia merupakan perbendaharaan yang tersembunyi yang ingin tampil dan dikenal. Allah sebagai keindahan ingin membuka perbendahataan tersembunyi tersebut dengan Tajalliyat (teofani) Haq tentunya yang merupakan penampakan-penampakan dari keagungan, keindahan dan kesempurnaan-Nya dalam pentas alam yang maha luas.

Ibn Arabi berkata: “Alam maujud atau mengada dengan-Nya”.

Tajalliyat al-Wujud dengan gambaran global dalam tiga hadirat: Hadirat Zat (Tajalliyat Wujudiya Zatiya) yaitu pernyataan dengan diri-Nya untuk diri-Nya dari diri-Nya. Dalam hal ini Ia terbebas dari segala gambaran dan penampakan. Ini dikenal dengan Ahadiyat. Pada keadaan ini tampak Zat Allah terbebas dari segala sifat, nama, kualitas, dan gambaran. Ia merupakan Zat Yang Suci yang dikenal dengan rahasia dari segala rahasia, gaib dari segala yang gaib, sebagaimana ia merupakan penampakan Zat, atau cermin yang terpantul darinya hakikat keberadaan yang mutlak. Tajalliyat Wujudiya Sifatiya yang merupakan pernyataan Allah dengan diri-Nya, untuk diri-Nya, pada penampakan kesempurnaan-Nya (asma) dan penampakan sifat-sifat=Nya yang azali. Keadaan ini dikenal dengan wahdah. Pada hal ini tampak hakikat keberadaan yang mutlak dalam hiasan kesempurnaan ini lah yang dikenal dedngan Haqiqat Muhammadiyah (kebenaran yang terpuji), setelah ia tersembunyi pada rahasia gaib yang mutlak dengan jalan faid al-aqdas (atau limpahan yang paling suci karena ia langsung dari Zat Allah). Dalam keadaan ini tampillah al-A’yan as-Sabitah (esensi-esensi yang tetap) atau ma’lumat Allah. Tajalliyat Wujudiyah Fi’liyah (af’aliyah) yaitu pernyataan Haq dengan diri-Nya untuk diri-Nya dalam fenomena esensi-esensi yang luar (A’yan Kharijah) atau hakikat-hakikat alam semesta. Keadaan ini dikenal dengan mutlaq dengan Zat-Nya, sifat-Nya dan perbuatan-Nya dengan jalan limpahan yang suci (al-faid al-muqaddas). Allah pun tampak pada gambaran esensi-esensi luar (A’yan Kharijah), baik yang abstrak maupun yang kongkrit yang merupakan asal dari alam semesta seluruhnya.

 Allah Swt merupakan awal dari tajalliyat wujud segala fenomenanya dan dimensinya. Jadi Dia tidak berasal dari ketiadaan dan tidak berakhir kepada ketiadaan pula. Ia merupakan karya absolut yang berada pada lingkatan yang absolut, ia berasal dari yang Haq dengan Haq dan kepada yang Haq, baik dalam tahap Zat, Sifat dan Af’al. semuanya adalah penampakan dari hakikat yang satu.

Namun apakah berarti alam adalah Allah dan Allah adalah alam. Bisa dikatakan ‘ya’ atau ‘tidak’, sebagaimana yang beliau ungkapkan dalam salah satu karyanya:

Dalam hal ini ada sebagian golongan sufi yang terpeleset jatuh dalam kekhilafan dari yang sebenarnya, mereka berkata tidak ada kecuali apa yang engkau lihat bahwa alam adalah Allah dan Allah adalah alam tiada lain. Sebabnya kesaksian ini terjadi karena mereka belum benar benar mencapai apa yang dicapai oleh muhaqiqin. Kalau mereka mencapai apa yang dicapai oleh muhaqiqin maka meraka tidak akan berkata demikian dan menetapkan segala hakikat pada tempatnya dan mengetahuinya dengan ilmu dan penyingkapan.”

Disamping itu penyatuan antara manusia dan hamba adalah mustahil ataupun Allah bertempat adalah juga mustahil. Hal ini ia jelaskan dalam sebuah kitabnya:

Ittihad adalah mustahil karena dua zat menjadi satu, tidak akan mungkin bertemu antara hamba dan Tuhan pada satu wajah selamanya ditinjau dari Zat-Nya.”

Dari pernyataan ini jelas beliau tidak berpaham panteisme, jadi bagaimana menafsirkan wahdatulwujud tersebut? Sebagaimana yang diungkapkan sebelumnya bahwa Zat Allah adalah sumber segalanya. Jadi yang disebut eksistensi atau wujud adalah Zat tersebut. Sedangkan keadaan yang dikenal dngan Haqiqat Muhammadiyah (A’yan sabitah, wahdah, tajalliyat wjudiyah sifatiyah) merupakan penampakan atau bayangan dari Zat Yang Suci yang bernama Allah. Kemudian keadaan yang bernama Wahdaniyat (tajalliyat wujudiyah fi’liyah atau a’yan kharijiyah) adalah bayangan dari wahdah atau Haqiqat Muhammadiyah. Jadi seluruhnya bayangan dari Zat Yang Suci. Lebih jelasnya alam ini (a’yan kharijiyah) penampakan atau bayangan dari Asma Allah yang dikenal dengan Haqiqat Muhammdiyah ataupaun A’yan Sabitah. Sedangkan Asma adalah penampakan dari Zat Yang Maha Suci. Jadi bayangan adalah sesuatu yang pada hakikatnya tiada namun ia ada bergantung kepada Zat Allah, sebagaimana bayangan suatu benda.

Penjelasan diatas dikuatkan dengan perkataan Ibn Arabi dalam kitab Futuhat:

Jika Engkau nyatakan: “Tiada sesuatupun yang setara denganNya maka hilanglah bayangan sementara bayangan terbentang maka hendaklah engkau memperhatikan lebih teliti.”

 Dalam kitab Al-Jalalah beliau menjelaskan:

 Segala sesuatu memiliki bayangan dan bayangan Allah adalah Arasy. Akan tetapi bukanlah setiap bayangan terbentang. Arasy bagi Tuhan adalah bayangan yang tidak terbentang, apakah engkau tidak memperhatikan bahwa jisim yang memiliki bayangan apabila diliputi oleh cahaya maka bayangannya ada padanya.”

Bayangan yang dimaksud di sini adalah alam semesta. Manusia memiliki banyak bayangan jika dia disinari oleh beberapa cahaya yang datang dari berbagai arah, wajahnya akan muncul dalam berbagai cermin yang pada hakikatnya ia adalah satu namun dipatulkan oleh beragam cermin. Begitu pula Allah Esa dari segi Zat-Nya dan berbilang dari segi penampakan-Nya dalam gambaran serta bayangan-Nya dalam cahaya. Jadi jelas bahwa sebenarnya alam ini adalah bayangan yang hakikatnya tiada atau dikenal dengan batil. Ibn Arabi menjelaskan:

sebenar-benar ungkapan yang dikatakan oleh orang Arab bahwa; “segala sesuatu selain Allah adalah batil” karena siapa yang keberadannya tergantung kepada yang lain maka dia adalah tiada.”

Ia juga mengungkapkan dalam Risalah al-Wujudiyah:

Sesungguhnya engkau tidak pernah ada sama sekali dan bukan pula engkau ada dengan dirimu atau ada di dalam-Nya atau bersama-Nya dan bukan pula engkau binasa ataupun ada.”

Untuk menjelaskan perkataan ini ia mengutip perkataan Abu Said Al-Kharraj menyatakan: “Aku mengenal Allah dengan menghimpun segala dua hal yang bertentangan.” Artinya Dialah Yang Lahir dan Yang Batin tanpa keadaan yang lain. Dijelaskan juga dalam kitabnya Ar-risalah Al-Wujudiyah:

Dialah Yang Awal tanpa berawal, Yang Akhir tanpa berakhir, Yang Lahir tanpa jelas, Yang Batin tanpa tersembunyi.”

Hal ini jika difahami berarti bahwa manusia tidak memiliki keberadaan yang independen dalam arti kata keberadaannya pada hakikatnya adalah bayangan dari keadaan Allah. Karena pada hakikatnya manusia tiada yang ada Allah. Jadi manusia adalah penampakan, bayangan atau ayat Allah yang pada hakikata adalah tiada atau khayal. Karena suatu yang sifatnya khayal berjumpa dengan khayal seolah kelihatan nyata.

Dalam Fusus al-Hikam Ibn Arabi mengungkapkan:

Ketahuilah bahwa hadirat khayal merupakan hadirat yang menghimpun dan mencakup segala sesuatu dan yang bukan sesuatu.”

Jadi jelas bahwa alam ini adalah fana atau khayal dan yang kekal dan tampak adalah Zat-Nya Yang Suci dengan penampakan-penampakan yang indah dan agung yang mewujudkan kesempurnaan-Nya yang tiada batas.”

 Di lain bukunya Ibn Arabi mengungkapkan:

Tidak ada dalam wujud ini selain Allah, kita walupun ada (Maujudun) maka sesungguhnya keberadaan kita dengan-Nya, barang siap yang keberadaannya dengan selain Allah maka ia masuk dalam hukum ketiadaan.”

Maksudnya ialah bahwa Allah ada dengan sendiri-Nya dan tidak mengambil keberadaannya dari yagn lain. Sedangkan alam adalah ada karena Allah mengadakannya. Jadi alam adalah keberadaan yang mungkin ada yang pada hakikatnya tiada. Di sini kita harus membedakan antara wujud dan maujud. Wujud merupakan isim masdar yang berarti keadaan dan Maujud merupakan isim maf’ul berarti sesuatu yang mengada karena pengaruh lain . Bisa ditafsirkan bahwa Allah adalah keberadaan itu sendiri atau Zat Yang Maha Ada, sedang maujud adalah sesuatu yang menjadi ada disebabkan hal lain. Maujud merupakan ‘objek’ yang berarti sesuatu yang menerima pengaruh perbuatan yang lain. Jadi sesuatu yang menjadi ada karena adanya keberadaan yang lain bukanlah keberadaan yang sejati namun keberadannya bergantung kepada Wujud Yang Sejati. Keberadaannya disebut dengan khayal, artinya ia ada karena bergantung pada Wujud Sejati. Namun jia sesuatu tidak bergantung kepada Wujud Sejati tentu dia tiada, karena siapa yang akan memberikannya keberadaan? Jadi jelas yang dimaksud dengan Wahdat al-Wujud adalah bahwa wujud yang sejati adalah satu. Bukan berarti alam adalah Allah dan Allah adalah alam.

Dalam menerangkan wahdatul wujud Ibnu Arabi kadang mengutip kutipan berikut, sebagaimana yang termaktub dalam kitab al-Alif: Dalam segala sesuatu Dia memiliki ayat Menunjukkan kenyataan bahwa Dia adalah Satu.

Kesatuan wujud ini juga dapat difahami dari sebuah hadis yang sering dikutip Ibn Arabi dalam menerangkan masalah Wahdat al-Wujud yaitu: Kanallahu wala syai’a ma’ahu artinya ‘dahulu Allah tiada sesuatu apapun beserta-Nya’. Disempurnakan dengan perkataan wahuwal aana ‘ala makaana artinya ‘sekarang Ia sebagaimana keadaan-Nya dahulu’. Maksud dari kedua pernyataan ini tidak ada sesuatu apapun yang menyertai Allah selamanya dan segala-Nya pada sisi-Nya adalah tiada. ‘Tiada Tuhan selain Allah’ artinya segala sesuatu berupa alam yang gaib dan nyata adalah bayangan Allah yang pada hakikatnya tiada. Karena segala sesuatu yang tiada bisa dijadikan Tuhan oleh manusia dan yang pada hakikatnya yang ada hanya Zat Allah Yang Maha Suci yang bernama Allah.

Yang dapat disimpulkan dari penjelasan di atas ialah, alam bisa dikatakan Allah dan bisa juga tidak. Dilihat dari keterbatasan alam dan hakikatnya yang merupakan khayal semata maka alam bukanlah Allah. Namun jika dilihat bahwa alam tidak akan muncul dengan sendirinya dan mustahil ada wujud disamping Allah ataupun diatas-Nya atau dibawah-Nya atau ditengah-Nya atau didalam-Nya atau diluar-Nya maka alam adalah penampakan Allah. Penampakan itu tiada lain Allah jua adanya.

Dibalik itu semua dalam memahami hal ini bukanlah cukup dengan logika namun harus dibuktikan dengan penyaksian sebagaimana pernyataan Ibn Arabi:

Tauhid adalah penyaksian dan bukan pengetahuan, barang siapa menyaksikan maka ia telah bertauhid barang siapa hanya mengetahui ia belum bertauhid.”

Jadi beginilah yang dapat difahami dari Wahdat al-Wujud. Permasalahan Tanzih dan Tasybih akan lebih menjelaskan konsep Wahdat Wujud.

 Semoga Penyajian Artikel ini bermanfaat dan bisa membawa anda mengenal lebih dekat lagi pemikiran - pemikiran besar dan gagasan orsinil Syaikhul  Akbar Muhyiddin Ibn Arabi.





Senin, 15 Agustus 2022

Daftar 19 Bacaan Dzikir Dan Amalan Akhir Zaman

By Mang Anas


A. Tutorial Mengenai Cara Dan Tehnik Dzikir :

1. Anjuran Bagi Santri Mubtadi [ tingkat Pemula ],

a. Dzikir sebaiknya dibaca Zahir dimulut [ dzikir lisan ] dan hendaklah dilakukan dengan sepenuh penghayatan, Tadorru'an wa Khufyah.

b. Berusahalah sedapat dan sebisa mungkin untuk menenggelamkan diri [ jiwa dan pikiran] kedalam dzikir.

c. Baca dan pilih lah bacaan dzikir, menurut apa yang sesuai dan yang memang dikehendaki oleh hati. Dan jangan atas dasar pertimbangan akal.

d. Jangan menghitung dan jangan pernah terpaku pada hitungan. Sebab pekerjaan menghitung itu akan menyebabkan otak bekerja. Dan hal itu dapat menghambat upaya kita masuk kewilayahan alam bawah sadar.

e. Jangan bertanya bacaan dzikirnya apa dan harus dibaca berapa kali. Baca dan lakukan saja dzikir-mu sampai hatimu benar benar menghendaki dan memerintahkannya harus berhenti untuk beristirahat. 

2. Anjuran bagi Santri Muthawasit [ tingkat menengah ]

a. Dzikir sebaiknya dilakukan secara Khofi [ hanya dibaca di qolbu ]

b. Ulang - ulang lah bacaan dzikir dimaksud hingga hati menjadi benar-benar hidup dan hingga hati dapat merespon bacaan dzikir itu kedalam memori batinnya.

c. Jika hati sudah cukup respon dan sudah mampu merefleksikan bacaan dzikir itu secara otomatis tanpa menunggu perintah otak. Maka tugas kita selanjutnya adalah tinggal mendengarkan apa yang dibaca oleh hati itu dengan rasa kita. 

Sampai tahap ini para pelaku dzikir biasanya sudah mulai dapat memanen aktivitas dzikirnya. Puncak nikmat dan lezatnya rasa dzikir akan dialami.  Dan bukan itu saja, warid - warid pun biasanya akan mulai berdatangan.

3. Anjuran bagi Santri Kamil [ tingkat lanjut ] 

a. Jangan lagi menyandrakan perhatian kita kepada makna atau substansi bacaan dzikir. Tetapi fokuslah pada getaran gelombang dzikir yang bergemuruh didalam hati, jantung atau yang datang dari anggota bagian tubuh lainnya. 

b. Perhatikan bagaimana saat setiap huruf yang memantul dari suara dzikir yang bergemuruh itu  membentur membran tipis yang sangat sensitif yang ada di relung  hati, dan masing-masing memiliki bentuk, pola, nada, irama, rasa, getar, gelombang, frekuensi, intonasi, pengaruh dan prabawa yang berbeda-beda. Asah hati kita dengan semua mukjizat yang keluar dan yang dipancarkan oleh huruf - huruf itu.  Inilah cara dan metode dzikir yang paling tepat, cepat dan efektif untuk meningkatkan kepekaan dan ketajaman mata hati kita. Yaitu mengasahnya dengan getaran gelombang yang muncul dari huruf - huruf dan bukan hanya dengan alunan gelombang yang muncul dari sebuah kalimat.

c.  Leburkan diri secara total kedalam dzikir, sehingga kita benar-benar tidak lagi menyadari adanya diri kita. Dan yang disadarinya adalah eksistensi dzikirnya semata. Jika kita benar-benar sudah  bisa melakukan itu, yakni merasakan diri kita lebur-lenyap, dan  bisa manunggal secara sempurna dengan lafad-lafad dzikir yang  kita baca. Itulah yang disebut dzikir yang berhasil.

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍۖ (٢٦)

Setiap entitas [ yaitu Sirr, Nur dan Dzat Insan ] semua  akan lebur keharibaan-Nya. (Q.S. Ar-Rahman ayat 26)

وَّيَبْقٰى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلٰلِ وَالْاِكْرَامِۚ (٢٧)

Dan setiap entitas yang dapat meleburkan dirinya [ fana ] kehadirat Tuhan-Nya, maka mereka akan dapat hidup kekal didalam kebesaran dan kemulian-Nya. (Q.S. Ar-Rahman ayat 27)

فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ (٢٨)

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? (Q.S. Ar-Rahman ayat 28)


d. Selepas itu, maka pada tahapan berikutnya, yaitu dalam konteks kehidupan normal sehari-hari, maka yang akan selalu kita sadarinya adalah rasa ikhsan semata. Kita akan merasakan kehadiran Tuhan ada dimana - mana.  Kapan pun dan dalam kondisi apapun. Sehingga apapun yang kita lihat dan pandangi, akan terasa di lubuk hati semuanya menjadi sangat imut, lugu, lucu, positif dan indah menawan.  

Dan terhadap segala hal atau peristiwa yang kita lihat dan jumpai, kita akan melihat dan menilainya dalam perspektif cinta, rahmat, kelembutan dan kasih sayang. Sehingga dengannya kita akan cukup maklum dan akan sangat mafhum terhadap apapun yang orang lakukan. Kita tidak  lagi menjadi pen-justis dan sibuk menyalahkan orang, atau sibuk menilai dan melabeli  orang. Hal itu disebabkan karena pada apapun yang kita lihat dan jumpai disitu terlihat jejak Wajah dan bekas-bekas pekerjaan Tuhan, sebagaimana firman-Nya, 

 وَلِلّٰهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ  فَاَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللّٰهِۗ  اِنَّ اللّٰهَ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ (١١٥)

Dan milik Allah timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Mahaluas, Maha Mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah ayat 115)


B. Daftar Bacaan Dzikir Yang Sangat Dianjurkan Untuk Dibaca Sesudah Shalat,

Ingat serta camkanlah ini baik baik bahwasanya sebaik-baik dzikir adalah yang bersumber dari al Qur'an. Sebab al Qur'an adalah Kalamullah, semua Ayat-ayatnya syarat dengan mukjizat begitupun dengan huruf- huruf yang digunakan untuk menyusunnya. Maka utamakan dan berdzikir lah dengan kalimat-kalimat yang bersumber darinya.

وَاِنْ كُنْتُمْ فِيْ رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلٰى عَبْدِنَا فَأْتُوْا بِسُوْرَةٍ مِّنْ مِّثْلِهٖ ۖ وَادْعُوْا شُهَدَاۤءَكُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ (٢٣)

Dan jika kamu meragukan (Al-Qur'an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (Q.S. Al-Baqarah ayat 23)

فَاِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْا وَلَنْ تَفْعَلُوْا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِيْ وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ ۖ اُعِدَّتْ لِلْكٰفِرِيْنَ (٢٤)

Jika kamu tidak mampu membuatnya, dan (pasti) tidak akan mampu, maka takutlah kamu akan api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir. (Q.S. Al-Baqarah ayat 24)

اَمْ يَقُوْلُوْنَ افْتَرٰىهُۗ قُلْ فَأْتُوْا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِّثْلِهٖ مُفْتَرَيٰتٍ وَّادْعُوْا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ (١٣)

Bahkan mereka mengatakan, “Dia (Muhammad) telah membuat-buat Al-Qur'an itu.” Katakanlah, “(Kalau demikian), datangkanlah sepuluh surah semisal dengannya (Al-Qur'an) yang dibuat-buat, dan ajaklah siapa saja di antara kamu yang sanggup selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” ( Q.S. Hud ayat 13)

فَاِلَّمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكُمْ فَاعْلَمُوْٓا اَنَّمَآ اُنْزِلَ بِعِلْمِ اللّٰهِ وَاَنْ لَّآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۚ فَهَلْ اَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ (١٤)

Maka jika mereka tidak memenuhi tantanganmu, maka (katakanlah), “Ketahuilah, bahwa (Al-Qur'an) itu diturunkan dengan ilmu Allah, dan bahwa tidak ada tuhan selain Dia, maka maukah kamu berserah diri (masuk Islam)?” (Q.S. Hud ayat 14)

وَمَا كَانَ هٰذَا الْقُرْاٰنُ اَنْ يُّفْتَرٰى مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَلٰكِنْ تَصْدِيْقَ الَّذِيْ بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيْلَ الْكِتٰبِ لَا رَيْبَ فِيْهِ مِنْ رَّبِّ الْعٰلَمِيْنَۗ (٣٧)

Dan tidak mungkin Al-Qur'an ini dibuat-buat oleh selain Allah; tetapi (Al-Qur'an) membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan seluruh alam. (Q.S. Yunus ayat 37)

اَمْ يَقُوْلُوْنَ افْتَرٰىهُۗ  قُلْ فَأْتُوْا بِسُوْرَةٍ مِّثْلِهٖ وَادْعُوْا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ (٣٨)

Apakah pantas mereka mengatakan dia (Muhammad) yang telah membuat-buatnya ? Katakanlah, “Buatlah sebuah surah yang semisal dengan surah (Al-Qur'an), dan ajaklah siapa saja di antara kamu orang yang mampu (membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (Q.S. Yunus ayat 38)

فَلْيَأْتُوْا بِحَدِيْثٍ مِّثْلِهٖٓ اِنْ كَانُوْا صٰدِقِيْنَۗ (٣٤)

Maka cobalah mereka membuat yang semisal dengannya (Al-Qur'an) jika mereka orang-orang yang benar. ( Q.S. At-Tur ayat 34)

قُلْ لَّىِٕنِ اجْتَمَعَتِ الْاِنْسُ وَالْجِنُّ عَلٰٓى اَنْ يَّأْتُوْا بِمِثْلِ هٰذَا الْقُرْاٰنِ لَا يَأْتُوْنَ بِمِثْلِهٖ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيْرًا (٨٨)

Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) Al-Qur'an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain.” (Q.S. Al-Isra' ayat 88)




Daftar Bacaan Dzikir  : 

1. Surat Al Fatihah

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (١)  اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ (٢)  الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِۙ (٣)  مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِۗ (٤) اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُۗ (٥) اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَۙ (٦)  صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ  (٧)

2. Surat Al Ikhlas 

قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ (١)  اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ (٢)  لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ (٣)  وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ  (٤)

3. Surat Al Falaq

قُلْ اَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِۙ (١)  مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَۙ (٢) وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ اِذَا وَقَبَۙ (٣)  وَمِنْ شَرِّ النَّفّٰثٰتِ فِى الْعُقَدِۙ (٤) وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ اِذَا حَسَدَ  (٥)

4. Surat An Nash

قُلْ اَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِۙ (١)  مَلِكِ النَّاسِۙ (٢)  اِلٰهِ النَّاسِۙ (٣) مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ ەۙ الْخَنَّاسِۖ (٤) الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِۙ (٥) مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ (٦)

5. Surat Al 'Asr

وَالْعَصْرِۙ (١) اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ (٢)  اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ  (٣)

6.  Ayat Kursi  [ Al Baqarah 255 ] :

اَللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۚ اَلْحَيُّ الْقَيُّوْمُ ەۚ لَا تَأْخُذُهٗ سِنَةٌ وَّلَا نَوْمٌۗ  لَهٗ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ مَنْ ذَا الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهٗٓ اِلَّا بِاِذْنِهٖۗ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ اَيْدِيْهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْۚ وَلَا يُحِيْطُوْنَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهٖٓ اِلَّا بِمَا شَاۤءَۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَۚ وَلَا يَـُٔوْدُهٗ حِفْظُهُمَاۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ (٢٥٥)

7. Al Baqarah 256 

لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ  قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّۚ  فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَاۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ (٢٥٦)

8. Al Baqarah 284 - 286

 لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ  وَاِنْ تُبْدُوْا مَا فِيْٓ اَنْفُسِكُمْ اَوْ تُخْفُوْهُ يُحَاسِبْكُمْ بِهِ اللّٰهُۗ  فَيَغْفِرُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَّشَاۤءُۗ  وَاللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ (٢٨٤) اٰمَنَ الرَّسُوْلُ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْهِ مِنْ رَّبِّهٖ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ  كُلٌّ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَمَلٰۤىِٕكَتِهٖ وَكُتُبِهٖ وَرُسُلِهٖۗ  لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ اَحَدٍ مِّنْ رُّسُلِهٖۗ  وَقَالُوْا سَمِعْنَا وَاَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَاِلَيْكَ الْمَصِيْرُ (٢٨٥)  لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَاۗ  لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْۗ  رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ اِنْ نَّسِيْنَآ اَوْ اَخْطَأْنَاۚ  رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهٗ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَاۚ  رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهٖۚ وَاعْفُ عَنَّاۗ وَاغْفِرْ لَنَاۗ وَارْحَمْنَاۗ  اَنْتَ مَوْلٰىنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكٰفِرِيْنَ (٢٨٦)

9. Surat Al-Ahzab ayat 21

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ (٢١)

10. At-Taubah ayat 128

لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ (١٢٨) فَاِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۗ  عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ  (١٢٩)

11. Surat Al-Balad ayat 12 - 18

وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا الْعَقَبَةُۗ (١٢) فَكُّ رَقَبَةٍۙ (١٣)  اَوْ اِطْعَامٌ فِيْ يَوْمٍ ذِيْ مَسْغَبَةٍۙ (١٤)  يَّتِيْمًا ذَا مَقْرَبَةٍۙ (١٥)  اَوْ مِسْكِيْنًا ذَا مَتْرَبَةٍۗ (١٦)  ثُمَّ كَانَ مِنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِۗ (١٧)  اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ الْمَيْمَنَةِۗ (١٨) 

12. Surat Ya Sin ayat 1 - 31 : 

يٰسۤۚ (١)  وَالْقُرْاٰنِ الْحَكِيْمِۙ (٢)  اِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِيْنَۙ (٣) عَلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍۗ (٤)  تَنْزِيْلَ الْعَزِيْزِ الرَّحِيْمِۙ (٥)   لِتُنْذِرَ قَوْمًا مَّآ اُنْذِرَ اٰبَاۤؤُهُمْ فَهُمْ غٰفِلُوْنَ (٦)   لَقَدْ حَقَّ الْقَوْلُ عَلٰٓى اَكْثَرِهِمْ فَهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ (٧)  اِنَّا جَعَلْنَا فِيْٓ اَعْنَاقِهِمْ اَغْلٰلًا فَهِيَ اِلَى الْاَذْقَانِ فَهُمْ مُّقْمَحُوْنَ (٨)   وَجَعَلْنَا مِنْۢ بَيْنِ اَيْدِيْهِمْ سَدًّا وَّمِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَاَغْشَيْنٰهُمْ فَهُمْ لَا يُبْصِرُوْنَ (٩)  وَسَوَاۤءٌ عَلَيْهِمْ ءَاَنْذَرْتَهُمْ اَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ (١٠)  اِنَّمَا تُنْذِرُ مَنِ اتَّبَعَ الذِّكْرَ وَخَشِيَ الرَّحْمٰنَ بِالْغَيْبِۚ فَبَشِّرْهُ بِمَغْفِرَةٍ وَّاَجْرٍ كَرِيْمٍ (١١)  اِنَّا نَحْنُ نُحْيِ الْمَوْتٰى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوْا وَاٰثَارَهُمْۗ وَكُلَّ شَيْءٍ اَحْصَيْنٰهُ فِيْٓ اِمَامٍ مُّبِيْنٍ  (١٢)  وَاضْرِبْ لَهُمْ مَّثَلًا اَصْحٰبَ الْقَرْيَةِۘ اِذْ جَاۤءَهَا الْمُرْسَلُوْنَۚ (١٣)  اِذْ اَرْسَلْنَآ اِلَيْهِمُ اثْنَيْنِ فَكَذَّبُوْهُمَا فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ فَقَالُوْٓا اِنَّآ اِلَيْكُمْ مُّرْسَلُوْنَ (١٤) قَالُوْا مَآ اَنْتُمْ اِلَّا بَشَرٌ مِّثْلُنَاۙ وَمَآ اَنْزَلَ الرَّحْمٰنُ مِنْ شَيْءٍۙ اِنْ اَنْتُمْ اِلَّا تَكْذِبُوْنَ (١٥)  قَالُوْا رَبُّنَا يَعْلَمُ اِنَّآ اِلَيْكُمْ لَمُرْسَلُوْنَ (١٦) وَمَا عَلَيْنَآ اِلَّا الْبَلٰغُ الْمُبِيْنُ (١٧)  قَالُوْٓا اِنَّا تَطَيَّرْنَا بِكُمْۚ  لَىِٕنْ لَّمْ تَنْتَهُوْا لَنَرْجُمَنَّكُمْ وَلَيَمَسَّنَّكُمْ مِّنَّا عَذَابٌ اَلِيْمٌ (١٨) قَالُوْا طَاۤىِٕرُكُمْ مَّعَكُمْۗ اَىِٕنْ ذُكِّرْتُمْۗ بَلْ اَنْتُمْ قَوْمٌ مُّسْرِفُوْنَ (١٩)  وَجَاۤءَ مِنْ اَقْصَا الْمَدِيْنَةِ رَجُلٌ يَّسْعٰى قَالَ يٰقَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِيْنَۙ (٢٠)  اتَّبِعُوْا مَنْ لَّا يَسْـَٔلُكُمْ اَجْرًا وَّهُمْ مُّهْتَدُوْنَ  ۔ (٢١) وَمَا لِيَ لَآ اَعْبُدُ الَّذِيْ فَطَرَنِيْ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ (٢٢)  ءَاَتَّخِذُ مِنْ دُوْنِهٖٓ اٰلِهَةً اِنْ يُّرِدْنِ الرَّحْمٰنُ بِضُرٍّ لَّا تُغْنِ عَنِّيْ شَفَاعَتُهُمْ شَيْـًٔا وَّلَا يُنْقِذُوْنِۚ (٢٣)  اِنِّيْٓ اِذًا لَّفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ (٢٤)  اِنِّيْٓ اٰمَنْتُ بِرَبِّكُمْ فَاسْمَعُوْنِۗ (٢٥) قِيْلَ ادْخُلِ الْجَنَّةَۗ قَالَ يٰلَيْتَ قَوْمِيْ يَعْلَمُوْنَۙ (٢٦) بِمَا غَفَرَ لِيْ رَبِّيْ وَجَعَلَنِيْ مِنَ الْمُكْرَمِيْنَ (٢٧)   وَمَآ اَنْزَلْنَا عَلٰى قَوْمِهٖ مِنْۢ بَعْدِهٖ مِنْ جُنْدٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَمَا كُنَّا مُنْزِلِيْنَ (٢٨)  اِنْ كَانَتْ اِلَّا صَيْحَةً وَّاحِدَةً فَاِذَا هُمْ خٰمِدُوْنَ (٢٩)  يٰحَسْرَةً عَلَى الْعِبَادِۚ مَا يَأْتِيْهِمْ مِّنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا كَانُوْا بِهٖ يَسْتَهْزِءُوْنَ (٣٠)  اَلَمْ يَرَوْا كَمْ اَهْلَكْنَا قَبْلَهُمْ مِّنَ الْقُرُوْنِ اَنَّهُمْ اِلَيْهِمْ لَا يَرْجِعُوْنَ (٣١)

13. Surat Al-Bayyinah ayat 1 - 8

لَمْ يَكُنِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ وَالْمُشْرِكِيْنَ مُنْفَكِّيْنَ حَتّٰى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُۙ (١) رَسُوْلٌ مِّنَ اللّٰهِ يَتْلُوْا صُحُفًا مُّطَهَّرَةًۙ (٢)  فِيْهَا كُتُبٌ قَيِّمَةٌۗ (٣) وَمَا تَفَرَّقَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَتْهُمُ الْبَيِّنَةُۗ (٤)  وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِۗ (٥)  اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ وَالْمُشْرِكِيْنَ فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِۗ (٦) اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اُولٰۤىِٕكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِۗ (٧)  جَزَاۤؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنّٰتُ عَدْنٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَآ اَبَدًاۗ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُۗ  ذٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهٗ (٨)

14. Surat An-Najm ayat 1 - 4

وَالنَّجْمِ اِذَا هَوٰىۙ (١)  مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوٰىۚ (٢)  وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوٰى (٣)  اِنْ هُوَ اِلَّا وَحْيٌ يُّوْحٰىۙ (٤)

15. Bacaan Tasbih, Takhmid, Tahlil dan Takbir 

سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ

16. Bacaan Hauqolah

لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ العَلِيِّ العَظِيْمِ

17. Bacaan Takbir Hari Raya :

اَللَّهُ اَكْبَرْ اَللَّهُ اَكْبَر اَللَّهُ اَكْبَرْ ـ لآاِلَهَ اِلاَّ اللَّهُ اَللَّهُ اَكْبَرْ _ اَللَّهُ  اَكْبَرْ وَلِلَهِ الْحَمْدُ

اَللَّهُ اَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَاَصِيْلاً ـ لآ اِلَهَ اِلاَّ اللَّهُ وَلاَنَعْبُدُ اَلاَّ اِيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْكَرِهَ الْكَافِرُوْنَ _ لآاِلَهَ اِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْـدَهُ وَنَصَرَعَبِدَهُ  وَاَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ  _  لآ اِلَهَ اِلاَّ اللَّهُ  اَللَّهُ اَكْبَرْ اَللَّهُ اَكْبَرْ وَلِلَهِ الْحَمْدُ

18. Sayidul Istighfar :

للَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ

19. Sholawat Nuril Anwar :

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلٰى نُوْرِ اْلأَنْوَارِ وَسِرِّ الأَسْرَارِ وَتِرْيَاقِ اْلاَغْيَارِ وَمِفتَاحِ بَابِ الْيَسَارِ سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ نِالْمُخْتَارِ وَآلِهِ اْلأَطْهَارِ وَاَصْحَابِهِ اْلاَخْيَارِ عَدَدَ نِعَمِ اللهِ وَاِفضَالِهِ


Sekian dan demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat baik bagi penulis maupun bagi yang membacanya.