A. Hakikatul Muhammadiyah
Ketahuilah, semoga engkau diberi taufiq kepada
segala yang dicintai dan diridhai Allah. Makhluk yang pertama yang diciptakan
Allah adalah Ruh Muhammad s.a.w. Ia diciptakan daripada cahaya Jamal Allah.
Sebagaimana firman Allah di dalam Hadits Qudsi: “Aku ciptakan ruh Muhammad dari
cahaya-Ku”. Nabi s.a.w. bersabda:
“Yang pertama diciptakan oleh Allah ialah
ruhku. Dan yang pertama diciptakan oleh Allah ialah cahayaku. Dan yang pertama
diciptakan oleh Allah ialah qalam. Dan yang pertama diciptakan oleh Allah ialah
akal.”
Ruh, cahaya, qalam, dan akal pada dasarnya
adalah satu, yaitu hakikat Muhammad. Hakikat Muhammad disebut nur, karena
bersih dari segala kegelapan yang menghalangi sebagaimana firman Allah:
“Telah datang kepadamu cahaya dan kitab
penerang dari Allah”.
Hakikat Muhammad disebut juga akal, karena ia
yang menemukan segala sesuatu. Hakikat Muhammad disebut qalam, karena ia yang
menjadi sebab perpindahan ilmu seperti halnya mata pena sebagai pengalih ilmu
di dalam huruf (pengetahuan yang tertulis). Ruh Muhammad adalah ruh yang
termurni sebagai makhluk pertama dan asal seluruh makhluk, sesuai dengan sabda
Rasul s.a.w.:
“Aku dari Allah dan makhluk lain dari aku.”
Dan dari ruh Muhammad itulah Allah menciptakan
semua ruh di alam Lahut dalam bentuk yang terbaik yang hakiki. Itulah nama
seluruh manusia di alam Lahut. Alam Lahut adalah negeri asal setelah 4.000
tahun dari penciptaan Ruh Muhammad maka Allah menciptakan Arasy dari Nur
Muhammad. Begitu pula seluruh makhluk lainnya diciptakan dari Nur Muhammad.
Selanjutnya ruh-ruh diturunkan ke alam yang
terendah, dimasukkan pada makhluk yang terendah, yaitu jasad. Sebagaimana
firman Allah: “Kemudian Ku turunkan manusia ke tempat yang terendah”. Proses
turunnya adalah setelah ruh diciptakan di alam Lahut, maka diturunkan ke alam
Jabarut dan dibalut dengan cahaya Jabarut. Sebagai pakaian antara dua haram
lapis kedua ini disebut ruh Sultani. Selanjutnya diturunkan lagi ke alam
Malakut dan dibalut dengan cahaya Malakut yang disebut ruh Ruhani. Kemudian
diturunkan lagi ke alam Mulki dan dibalut dengan cahaya Mulki. Lapis keempat
ini disebut ruh Jismani.
Selanjutnya Allah menciptakan badan (jasad)
dan Mulki (bumi), sebagaimana firman Allah:
“Dari bumi Aku mencipta kamu. Kepada bumi Aku
mengembalikanmu. Dan dari bumi pulalah Aku mengeluarkanmu.”
Setelah terwujud jasad, maka Allah
memerintahkan ruh agar masuk ke dalam jasad dan ruh masuk ke dalam jasad,
sebagaimana firman Allah: “Ku tiupkan ruh dari-Ku dalam jasad”.
Ketika ruh berada di dalam jasad dan merasa
senang berada pada jaad, ruh lupa akan perjanjian awal di alam Lahut, yaitu
hari perjanjian: “Alastu birabbikum?” (Bukankah Aku ini Tuhanmu?) Ruh menjawab:
“Benar, Engkau adalah Tuhan kami”. Karena ruh lupa pada perjanjian awal, maka
ruh tidak dapat kembali ke dalam Lahut sebagai tempat awal. Dengan kasihnya
Allah menolong mereka dengan menurunkan kitab-kitab samawi sebagai peringatan
tentang negeri asal bagi mereka, sesuai dengan firman Allah: “Berikanlah
peringatan pada mereka tentang hari-hari Allah”, yaitu hari pertemuan antara
Allah dengan seluruh arwah di alam Lahut. Lain halnya dengan para nabi, mereka
datang ke bumi, dan kembali ke akhirat badannya di bumi, sedangkan ruh intinya
berada di negeri asal karena adanya peringatan ini. Sangat sedikit orang yang
sadar dan kembali serta berkeinginan dan sampai ke alam asal.
Karena sedikitnya manusia yang mampu kembali
ke alam asal, maka Allah melimpahkan kenabian kepada ruh agung Muhammad
Rasulullah. Penutup penunjuk jalan dari kesesatan ke alam terang. Ia diutus
untuk mengingatkan mereka yang lupa dan membuka hatinya. Nabi mengajak mereka
agar kembali dan sampai serta bertemu dengan Jamal Allah yang azali, sesuai
dengan firman Allah:
“Katakanlah: ini adalah jalanku. Aku mengajak
ke jalan Allah dengan pandangan yang jelas. Aku dan para pengikutku”.
Nabi bersabda:
“Para sahabatku seperti bintang-bintang,
mengikut yang mana pun kamu akan mendapat petunjuk”.
Pada ayat tadi dijelaskan bahwa Nabi mengajak
manusia kembali kepada Allah dengan pandangan yang jelas, yang di dalam
Al-Quran disebut basyirah. Basyirah ini adalah ruh asli yang terbuka pada mata
hati bagi para aulia. Basyirah tidak akan terbuka hanya dengan ilmu zahir
sahaja, tetapi untuk membukanya harus dengan ilmu Ladunni batin (ilmu yang
langsung dari Allah). Sesuai dengan firman Allah: “Kepada dia Ku berikan ilmu
yang langsung dari Aku.” Untuk menghasilkan basyirah manusia mengambilnya dari
ahli basyirah dengan mengambil talqin dari seorang wali mursyid yang dapat
menunjukkan dari alam Lahut.
Wahai saudaraku, sadarlah dan bergegaslah
untuk mendapatkan ampunan dari Tuhanmu, sebagaimana firman Allah:
“Bergegaslah kamu untuk mendapat ampunan dari
Allah dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, disediakan bagi
orang-orang yang bertaqwa.”
Wahai saudaraku, masuklah pada tariq (jalan
kembali kepada Allah) dan kembalilah kepada Tuhanmu bersama golongan ahli
ruhani. Waktu sangat sempit, jalan hampir tertutup dan sulit mencari teman untuk
kembali ke negeri asal (alam Lahut). Keberadaan kita di bumi yang hina dan yang
akan hancur ini tidak hanya untuk berpangku dengan makan, minum dan memenuhi
nafsu belaka.
Seorang ahli Sya’ir berkata: “Nabimu selalu
menunggu, sangat khawatir memikirkanmu”. Sabda Nabi: “Aku mengkhawatirkan
umatku yang ada di akhir zaman”.
Ada dua macam ilmu yang diturunkan kepada
kita, yaitu:
Ilmu zahir, yakni syariat.
Ilmu batin, yakni ma’rifat.
Syariat untuk jasad kita dan ma’rifat untuk batin.
Kedua-duanya harus dipadu dan dari perpaduannya membuahkan hakikat, seperti halnya pohon dan daun yang menghasilkan buah, sebagaimana
firman Allah dalam surah Ar-rahman ayat 19-20:
“Dia membiarkan dua lautan mengalir yang
keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh
masing-masing”.
Dengan ilmu zahir sahaja manusia tidak akan
mencapai hakikat dan tidak akan sampai pada inti tujuan ibadah. Ibadah yang
sempurna hanya dapat diwujudkan oleh perpaduan antara ilmu zahir dan ilmu
batin, sebagaimana firman Allah dalam surah Az-dzariyat ayat 56:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan mereka supaya menyembah-Ku
[ ma’rifah kepada-KU ] ”.
Yang dimaksudkan dengan ibadah di sini ialah
ma’rifat. Manusia tidak akan beribadah secara sempurna kepadanya tanpa ma’rifat
yang sesungguhnya. Ma’rifat dapat berwujud setelah hilangnya segala sesuatu
yang menghalangi cermin hati dengan terus berupaya membersihkannya sehingga
manusia dapat melihat indahnya sesuatu yang terpendam dan tertutup di dalam
rasa di lubuk hati. Firman Allah dalam Hadits Qudsi:
“Aku adalah Kanzun Mahfiyya (yang terpendam
dan tertutup). Aku ingin ditemukan dan dikenali. Kuciptakan makhluk agar mereka
mengenal-Ku”.
Maka jelaslah bahwa tujuan penciptaan manusia
adalah agar manusia ma’rifat kepada Allah. Ma’rifat itu ada dua macam, yaitu
ma’rifat sifat Allah dan ma’rifat zat Allah. Ma’rifat sifat adalah tugas jasad
di dunia dan akhirat (di alam Lahut, sejak manusia hidup di dunia), sebagaimana
firman Allah:
“Ku perkuat manusia dengan ruh Al-Qudsi”
(Surat Al-Baqarah ayat 87).
Seluruh manusia dalam dirinya diperkuat oleh
ruh Al-Qudsi. Ma’rifat sifat dan ma’rifat zat hanya dapat dicapai dengan
perpaduan antara ilmu zahir dan ilmu batin. Rasul bersabda:
“Ilmu itu ada dua macam. Pertama: Ilmu lisan,
sebagai hujjah Allah dan kepada hambanya. Kedua: Ilmu batin yang bersumber di
lubuk hati, ilmu inilah yang berguna untuk mencapai tujuan pokok dalam ibadah”.
Mula-mula manusia memerlukan ilmu syariat agar
badannya mempunyai kegiatan dalam mencari ma’rifat pada ma’rifat sifat, yaitu
darajat. Kemudian memerlukan ilmu batin agar ruhnya mempunyai kegiatan untuk
mencapai ma’rifatnya pada ma’rifat zat. Untuk mencapai tujuan ini manusia harus
meninggalkan segala sesuatu yang menyalahi syariat dan tariqat. Hal ini akan
dapat dicapai dengan melatih diri meninggalkan keinginan nafsu walaupun terasa
pahit dan melakukan kegiatan ruhaniyyah dengan tujuan mencapai ridha Allah
serta bersih dari riya’ (ingin dipuji orang lain) dan sum’ah (mencari
kemasyhuran). Firman Allah dalam Surah Al-Kahfi ayat 110:
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan
Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal soleh. Dan janganlah ia
mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya”.
Yang dimaksudkan dengan alam ma’rifat adalah
alam Lahut, yaitu negeri asal tempat diciptakan ruh Al-Qudsi dalam wujud
terbaik. Yang dimaksudkan ruh Al-Qudsi ialah hakikat manusia yang disimpan di
lubuk hati; keberadaannya akan diketahui dengan taubat dan talqin dan mudawamah
(mengamalkan dengan terus-menerus) kalimat “Laa Ilaha Illallah”. Pertama dengan
lidah fisiknya, kemudian bila hatinya sudah hidup beralih dengan lidah hatinya.
Ahli tasauf menamakan ruh Al-Qudsi dengan sebutan Tiflul Ma’ani (bayi ma’nawi)
karena ia dari ma’nawiyah qudsiyyah. Pemberian nama tiflul ma’ani didasarkan
kepada:
“ Ia lahir dari hati, seperti
lahirnya bayi dari rahim seorang ibu dan ia diurus dan dibesarkan hingga dewasa “.
Dalam mendidik anak-anak tentang keislaman,
ilmu yang didahulukan adalah ilmu ma’rifat. Begitu pula bagi bayi ma’nawi ini.
Bayi bersih dari segala kotoran dosa
lahiriyah. Begitu pula bayi ma’nawi, ia bersih dari syirik (menyekutukan Allah)
dan ghaflah (lupa kepada Allah).
Perumpamaan bayi ma’nawi merupakan gambaran
kesucian karena anak-anak lebih banyak yang suci daripada yang lainnya. Oleh
karena itu bayi ma’nawi terlihat dalam mimpi dengan rupa yang indan dan tampan.
Ahli surga disifati dengan sifat anak-anak,
sebagaimana firman Allah: “Mereka dikelilingi anak-anak muda yang tetap
mudanya” (Surah Waqi’ah: 17). Firman Allah: “Anak-anak muda melayani mereka,
bagai mutiara yang terpendam” (Ath-Thur: 24).
Karena bayi ma’nawi itu halus dan suci.
Penggunaan nama tiflul ma’ani adalah majazi
ditinjau dari kaitannya dengan badan, ia berwujud seperti rupa manusia, juga
karena manisnya bukan karena kecilnya: dan dilihat dari awal adanya, ia adalah
manusia hakiki karena dialah yang berhubungan langsung dengan Allah, sedangkan
badan dan ruh jasmani bukan mahramnya bagi Dia berdasarkan Hadits Nabi s.a.w.:
“Aku punya waktu khusus dengan Allah; malaikat terdekat, nabi dan rasul tidak
akan dapat memilikinya”. Yang dimaksudkan dengan malaikat terdekat dalam hadits
tadi adalah ruh ruhani yang diciptakan di alam Jabarut, seperti halnya malaikat
dapat masuk ke alam Lahut. Sabda Nabi s.a.w.: “Allah memiliki surga yang tanpa
bidadari dan istana serta tanpa madu dan susu. Kenikmatan di surga itu hanya
satu, yaitu melihat zat Allah”. Hal ini dijelaskan dalam Al-Quran: “Wajah-wajah
(orang-orang Mu’min) pada hari itu berseri-seri” (Al-Qiyamah: 22). Juga
dijelaskan dalam Hadits Nabi s.a.w.: “Kamu sekalian akan melihat Tuhanmu,
seperti kamu melihat sinar bulan purnama”. Bila malak jasmani, yakni segala
sesuatu selain ruh Al-Qudsi masuk di alam Lahut, maka pasti akan terbakar.
B. Konsep Al- Ittihad atau Wihdatul Wujud
Konsep Al- Ittihad atau Wihdatul Wujud adalah konsep yang
dirumuskan oleh Ibnu Arabi, beliau mengemukakan bahwa tidak ada sesuatu pun
yang wujud kecuali Tuhan. Segala yang ada selain Tuhan adalah penampakan
lahiriah dari-Nya.
Keberadaan makhluk tergantung pada keberadaan
Tuhan, atau berasal dari wujud ilahiah. Manusia yang paling sempurna adalah
perwujudan penampakan diri Tuhan yang paling sempurna, menurutnya.
Ibn Al-‘Arabi adalah pendiri faham Tauhid
Wujudi bahkan ia merupakan panutan dalam pemikiran ini. Pemikiran yang selalu
menjadi sorotan tajam dari kaum fuqoha. Pemikiran inilah yang menjadi landasan
konsep pendidikannya bahkan semua pola pikirnya berporos pada pemahaman ini.
Perlu digaris bawahi bahwa Ibn Arabi belum pernah menyebutkan istilah wahdatul
wujud dalam kitabnya namun istilah ini dicetuskan oleh orientalis/ kafirin.
Namun dari berbagai ajarannya bisa dikatakan bahwa pemahamannya adalah wahdatul
wujud.
Dalam menjelaskan konsep wahdatul wujud Ibn
Arabi mengungkapkan:
“ketahuilah bahwa wujud ini satu namun Dia
memiliki penampakan yang disebut dengan alam dan ketersembunyiannya yang
dikenal dengan asma (nama-nama), dan memiliki pemisah yang disebut dengan
barzakh yang menghimpun dan memisahkan antara batin dan lahir itulah yang
dikenal dengan Insan Kamil”.
Ia juga menjelaskan:
“Ketahuilah bahwa Tuhan segala Tuhan adalah
Allah Swt. Sebagai Nama Yang Teragung dan sebagai ta’ayun (pernyataan) yang
pertama. Ia merupakan sumber segala nama, dan tujuan terakhir dari segala
tujuan, dan arah dari segala keinginan, serta mencakup segala tuntutan,
kepadaNya lah isyarat yang difirmankan Allah kepada Rasul-Nya Saw -bahwa kepada
Tuhanmulah tujuan terakhir- karena Muhammad adalah mazhar dari pernyataan
pertama (ta’ayyun awwal), dan Tuhan yang khusus baginya adalah Ketuhanan Yang
Teragung ini. Ketahuilah bahwa segala nama dari nama-nama Allah merupakan
gambaran dalam ilmu Allah yang bernama dengan ‘mahiat’ atau ‘ain sabitah’
(esensi yang tetap). Setiap nama juga memiliki gambaran di luar yang diberi
nama dengan mazahir (penampakan atau fenomena) dan segala nama tadi merupakan
pengatur dari mazahir (fenomena-fenomena) ini. Sedang Haqiqat Muhammadiyah
merupakan gambaran dari nama ‘Allah’ yang menghimpun segala nama ketuhanan yang
darinya muncul limpahan atas segala yang ada dan Allah Swt sebagai Tuhannya.
Haqiqat Muhammadiyah yang mengatur gambaran alam seluruhnya dengan Tuhan yang
tampil padanya, disebut dengan Rab al-arbab (Allah Swt).”
Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan
Haqiqat Muhammadiyah di sini bukan hanya Nabi Muhammad sebagai manusianya namun
Haqiqat Muhammadiayah adalah Asma dan Sifat Allah serta Akhlaqnya. Nabi
muhammad disebut dengan Muhammad karena Beliau mampu berakhlaq dengan seluruh
akhlaq ketuhanan tersebut.
Selanjutnya Ibn Arabi juga mengatakan:
“ketahuilah bahwa yang ada hanya sifat-sifat-Nya Allah, af’al-Nya maka semuanya adalah
Dia, dengan-Nya,
dari-Nya dan
kepada-Nya.
Kalaulah ia terhijab dari alam ini walaupun sekejap maka binasalah alam ini
secara keselurhan, kekalnya alam ini dengan penjagaan-NYa dan penglihatan-Nya kepada alam. Akan
tetapi jika sesuatu sangat tampak jelas dengan cahaya-Nya hingga pemahaman
tidak mampu untuk mengetahuinya maka penampakan itulah yang disebut dengan
hijab.”
Jadi asma dan sifat itulah yang disebut dengan
Haqiqat Muhammadiyah, dan alam muncul dari hakikat tersebut. Oleh sebab itu Ibn
Arabi mengungkapkan:
“Alam pada hakikatnya adalah satu namun yang
hilang dan muncul adalah gambarnya saja”.
Maksudnya hakikat alam tadi berasal dari Zat
Yang Satu, yang pada dasarnya gambaran alam tadi hilang dan muncul, artinya
alam itu pada hakikatnya tiada berupa gambar saja. Dalam hal ini ia menyatakan:
“Maha Suci Allah yang menciptakan segala
sesuatu Dialah segala sesuatu tadi.”
Artinya penampakannya tiada lain Dia juga,
yang tampil dari-Nya adalah Dia juga.
Lebih jelasnya Syaikh Abd Ar-Rauf Singkil
menjelaskan dalam sebuah karyanya:
“wujud alam ini tidak benar-benar sendiri,
melainkan terjadi melalui pancaran. Yang dimaksud dengan memancar di sini
adalah bagaikan memancarnya pengetahuan dari Allah Ta’ala. Seperti halnya alam
ini bukan benar-benar Zat Allah, karena ia merupakan wujud yang baru, alam juga
tidak benar-benar lain dari-Nya. Karena ia bukan wujud kedua yang berdiri sendiri disamping Allah.”
Jadi alam bukanlah sebenarnya Allah namun pancarann-Nya dengan kata lain
hijabnya. Hal ini dikuatkan oleh penjelasan William Chittik dalam salah satu
karyanya mengenai Ibn Arabi: “Hanya satu wujud dan seluruh eksistensi tiada
lain adalah pancaran dari Wujud Yang Satu.” Kesimpulannya yang tampak itulah
makhluk cipatan-Nya sedang Zat-Nya tetaplah ghaib. Hal ini dijelaskan oleh Ibn Arabi sebagai berikut:
“Allah nyata ditinjau dari penampakan-Nya pada cipatan-Nya dan batin dari segi
Zat-nya.”
Untuk lebih jelasnya, Tajalliyat Allah pada
lingkatan wujud adalah merupakan penampakan Allah berupa kesempurnaan dan
keagungan yang abadi. Zat-Nya merupakan sumber pancaran yang tak pernah habis keindahan dan
keagungan-Nya.
Ia merupakan perbendaharaan yang tersembunyi yang ingin tampil dan dikenal.
Allah sebagai keindahan ingin membuka perbendahataan tersembunyi tersebut
dengan Tajalliyat (teofani) Haq tentunya yang merupakan penampakan-penampakan
dari keagungan, keindahan dan kesempurnaan-Nya dalam pentas alam yang maha luas.
Ibn Arabi berkata: “Alam maujud atau mengada
dengan-Nya”.
Tajalliyat al-Wujud dengan gambaran global
dalam tiga hadirat: Hadirat Zat (Tajalliyat Wujudiya Zatiya) yaitu pernyataan
dengan diri-Nya
untuk diri-Nya
dari diri-Nya.
Dalam hal ini Ia terbebas dari segala gambaran dan penampakan. Ini dikenal
dengan Ahadiyat. Pada keadaan ini tampak Zat Allah terbebas dari segala sifat,
nama, kualitas, dan gambaran. Ia merupakan Zat Yang Suci yang dikenal dengan
rahasia dari segala rahasia, gaib dari segala yang gaib, sebagaimana ia
merupakan penampakan Zat, atau cermin yang terpantul darinya hakikat keberadaan
yang mutlak. Tajalliyat Wujudiya Sifatiya yang merupakan pernyataan Allah
dengan diri-Nya,
untuk diri-Nya,
pada penampakan kesempurnaan-Nya (asma) dan penampakan sifat-sifat=Nya yang azali. Keadaan ini dikenal dengan wahdah.
Pada hal ini tampak hakikat keberadaan yang mutlak dalam hiasan kesempurnaan
ini lah yang dikenal dedngan Haqiqat Muhammadiyah (kebenaran yang terpuji),
setelah ia tersembunyi pada rahasia gaib yang mutlak dengan jalan faid
al-aqdas (atau limpahan yang paling suci karena ia langsung dari Zat Allah).
Dalam keadaan ini tampillah al-A’yan as-Sabitah (esensi-esensi yang tetap) atau
ma’lumat Allah. Tajalliyat Wujudiyah Fi’liyah (af’aliyah) yaitu pernyataan Haq
dengan diri-Nya
untuk diri-Nya
dalam fenomena esensi-esensi yang luar (A’yan Kharijah) atau hakikat-hakikat
alam semesta. Keadaan ini dikenal dengan mutlaq dengan Zat-Nya, sifat-Nya dan perbuatan-Nya dengan jalan limpahan
yang suci (al-faid al-muqaddas). Allah pun tampak pada gambaran esensi-esensi
luar (A’yan Kharijah), baik yang abstrak maupun yang kongkrit yang merupakan
asal dari alam semesta seluruhnya.
Allah Swt merupakan awal dari tajalliyat
wujud segala fenomenanya dan dimensinya. Jadi Dia tidak berasal dari ketiadaan
dan tidak berakhir kepada ketiadaan pula. Ia merupakan karya absolut yang
berada pada lingkatan yang absolut, ia berasal dari yang Haq dengan Haq dan
kepada yang Haq, baik dalam tahap Zat, Sifat dan Af’al. semuanya adalah
penampakan dari hakikat yang satu.
Namun apakah berarti alam adalah Allah dan
Allah adalah alam. Bisa dikatakan ‘ya’ atau ‘tidak’, sebagaimana yang beliau
ungkapkan dalam salah satu karyanya:
“Dalam hal ini ada sebagian golongan sufi yang
terpeleset jatuh dalam kekhilafan dari yang sebenarnya, mereka berkata tidak
ada kecuali apa yang engkau lihat bahwa alam adalah Allah dan Allah adalah alam
tiada lain. Sebabnya kesaksian ini terjadi karena mereka belum benar benar
mencapai apa yang dicapai oleh muhaqiqin. Kalau mereka mencapai apa yang
dicapai oleh muhaqiqin maka meraka tidak akan berkata demikian dan menetapkan
segala hakikat pada tempatnya dan mengetahuinya dengan ilmu dan penyingkapan.”
Disamping itu penyatuan antara manusia dan
hamba adalah mustahil ataupun Allah bertempat adalah juga mustahil. Hal ini ia
jelaskan dalam sebuah kitabnya:
“ Ittihad adalah mustahil karena dua zat menjadi satu, tidak akan mungkin
bertemu antara hamba dan Tuhan pada satu wajah selamanya ditinjau dari Zat-Nya.”
Dari pernyataan ini jelas beliau tidak
berpaham panteisme, jadi bagaimana menafsirkan wahdatulwujud tersebut?
Sebagaimana yang diungkapkan sebelumnya bahwa Zat Allah adalah sumber
segalanya. Jadi yang disebut eksistensi atau wujud adalah Zat tersebut.
Sedangkan keadaan yang dikenal dngan Haqiqat Muhammadiyah (A’yan sabitah,
wahdah, tajalliyat wjudiyah sifatiyah) merupakan penampakan atau bayangan dari
Zat Yang Suci yang bernama Allah. Kemudian keadaan yang bernama Wahdaniyat
(tajalliyat wujudiyah fi’liyah atau a’yan kharijiyah) adalah bayangan dari
wahdah atau Haqiqat Muhammadiyah. Jadi seluruhnya bayangan dari Zat Yang Suci.
Lebih jelasnya alam ini (a’yan kharijiyah) penampakan atau bayangan dari Asma
Allah yang dikenal dengan Haqiqat Muhammdiyah ataupaun A’yan Sabitah. Sedangkan
Asma adalah penampakan dari Zat Yang Maha Suci. Jadi bayangan adalah sesuatu
yang pada hakikatnya tiada namun ia ada bergantung kepada Zat Allah,
sebagaimana bayangan suatu benda.
Penjelasan diatas dikuatkan dengan perkataan
Ibn Arabi dalam kitab Futuhat:
Jika Engkau nyatakan: “Tiada sesuatupun yang
setara denganNya maka hilanglah bayangan sementara bayangan terbentang maka
hendaklah engkau memperhatikan lebih teliti.”
Dalam kitab Al-Jalalah beliau menjelaskan:
“Segala sesuatu memiliki bayangan dan bayangan
Allah adalah Arasy. Akan tetapi bukanlah setiap bayangan terbentang. Arasy bagi
Tuhan adalah bayangan yang tidak terbentang, apakah engkau tidak memperhatikan
bahwa jisim yang memiliki bayangan apabila diliputi oleh cahaya maka
bayangannya ada padanya.”
Bayangan yang dimaksud di sini adalah alam semesta. Manusia
memiliki banyak bayangan jika dia disinari oleh beberapa cahaya yang datang
dari berbagai arah, wajahnya akan muncul dalam berbagai cermin yang pada
hakikatnya ia adalah satu namun dipatulkan oleh beragam cermin. Begitu pula Allah
Esa dari segi Zat-Nya dan berbilang dari segi penampakan-Nya dalam gambaran serta bayangan-Nya dalam cahaya. Jadi
jelas bahwa sebenarnya alam ini adalah bayangan yang hakikatnya tiada atau
dikenal dengan batil. Ibn Arabi menjelaskan:
“sebenar-benar ungkapan yang dikatakan oleh
orang Arab bahwa; “segala sesuatu selain Allah adalah batil” karena siapa yang
keberadannya tergantung kepada yang lain maka dia adalah tiada.”
Ia juga mengungkapkan dalam Risalah
al-Wujudiyah:
“Sesungguhnya engkau tidak pernah ada sama
sekali dan bukan pula engkau ada dengan dirimu atau ada di dalam-Nya atau bersama-Nya dan bukan pula engkau
binasa ataupun ada.”
Untuk menjelaskan perkataan ini ia mengutip
perkataan Abu Said Al-Kharraj menyatakan: “Aku mengenal Allah dengan menghimpun
segala dua hal yang bertentangan.” Artinya Dialah Yang Lahir dan Yang Batin
tanpa keadaan yang lain. Dijelaskan juga dalam kitabnya Ar-risalah
Al-Wujudiyah:
“Dialah Yang Awal tanpa berawal, Yang Akhir
tanpa berakhir, Yang Lahir tanpa jelas, Yang Batin tanpa tersembunyi.”
Hal ini jika difahami berarti bahwa manusia
tidak memiliki keberadaan yang independen dalam arti kata keberadaannya pada hakikatnya adalah
bayangan dari keadaan Allah. Karena pada hakikatnya manusia tiada yang ada
Allah. Jadi manusia adalah penampakan, bayangan atau ayat Allah yang pada
hakikata adalah tiada atau khayal. Karena suatu yang sifatnya khayal berjumpa
dengan khayal seolah kelihatan nyata.
Dalam Fusus al-Hikam Ibn Arabi mengungkapkan:
“Ketahuilah bahwa hadirat khayal merupakan
hadirat yang menghimpun dan mencakup segala sesuatu dan yang bukan sesuatu.”
Jadi jelas bahwa alam ini adalah fana atau
khayal dan yang kekal dan tampak adalah Zat-Nya Yang Suci dengan penampakan-penampakan yang
indah dan agung yang mewujudkan kesempurnaan-Nya yang tiada batas.”
Di lain bukunya Ibn Arabi
mengungkapkan:
“Tidak ada dalam wujud ini selain Allah, kita
walupun ada (Maujudun) maka sesungguhnya keberadaan kita dengan-Nya, barang siap yang
keberadaannya dengan selain Allah maka ia masuk dalam hukum ketiadaan.”
Maksudnya ialah bahwa Allah ada dengan sendiri-Nya dan tidak mengambil
keberadaannya dari yagn lain. Sedangkan alam adalah ada karena Allah
mengadakannya. Jadi alam adalah keberadaan yang mungkin ada yang
pada hakikatnya tiada. Di sini kita harus membedakan antara wujud dan maujud.
Wujud merupakan isim masdar yang berarti keadaan dan Maujud merupakan isim
maf’ul berarti sesuatu yang mengada karena pengaruh lain . Bisa ditafsirkan bahwa
Allah adalah keberadaan itu sendiri atau Zat Yang Maha Ada, sedang maujud
adalah sesuatu yang menjadi ada disebabkan hal lain. Maujud merupakan ‘objek’
yang berarti sesuatu yang menerima pengaruh perbuatan yang lain. Jadi sesuatu
yang menjadi ada karena adanya keberadaan yang lain bukanlah keberadaan yang
sejati namun keberadannya bergantung kepada Wujud Yang Sejati. Keberadaannya
disebut dengan khayal, artinya ia ada karena bergantung pada Wujud Sejati.
Namun jia sesuatu tidak bergantung kepada Wujud Sejati tentu dia tiada, karena
siapa yang akan memberikannya keberadaan? Jadi jelas yang
dimaksud dengan Wahdat al-Wujud adalah bahwa wujud yang sejati adalah satu.
Bukan berarti alam adalah Allah dan Allah adalah alam.
Dalam menerangkan wahdatul wujud Ibnu Arabi
kadang mengutip kutipan berikut, sebagaimana yang termaktub dalam kitab
al-Alif: Dalam segala sesuatu Dia memiliki ayat Menunjukkan kenyataan bahwa Dia
adalah Satu.
Kesatuan
wujud ini juga dapat difahami dari sebuah hadis yang sering dikutip Ibn Arabi dalam
menerangkan masalah Wahdat al-Wujud yaitu: Kanallahu
wala syai’a ma’ahu artinya ‘dahulu Allah tiada sesuatu apapun beserta-Nya’. Disempurnakan
dengan perkataan wahuwal aana ‘ala
makaana artinya ‘sekarang Ia sebagaimana keadaan-Nya dahulu’. Maksud dari
kedua pernyataan ini tidak ada sesuatu apapun yang menyertai Allah selamanya
dan segala-Nya
pada sisi-Nya
adalah tiada. ‘Tiada Tuhan selain Allah’ artinya segala sesuatu berupa alam
yang gaib dan nyata adalah bayangan Allah yang pada hakikatnya tiada. Karena
segala sesuatu yang tiada bisa dijadikan Tuhan oleh manusia dan yang pada
hakikatnya yang ada hanya Zat Allah Yang Maha Suci yang bernama Allah.
Yang dapat disimpulkan dari penjelasan di atas
ialah, alam bisa dikatakan Allah dan bisa juga tidak. Dilihat dari keterbatasan
alam dan hakikatnya yang merupakan khayal semata maka alam bukanlah Allah.
Namun jika dilihat bahwa alam tidak akan muncul dengan sendirinya dan mustahil
ada wujud disamping Allah ataupun diatas-Nya atau dibawah-Nya atau ditengah-Nya atau didalam-Nya atau diluar-Nya maka alam adalah penampakan Allah. Penampakan
itu tiada lain Allah jua adanya.
Dibalik itu semua dalam memahami hal ini
bukanlah cukup dengan logika namun harus dibuktikan dengan penyaksian
sebagaimana pernyataan Ibn Arabi:
“Tauhid adalah penyaksian dan bukan
pengetahuan, barang siapa menyaksikan maka ia telah bertauhid barang siapa
hanya mengetahui ia belum bertauhid.”
Jadi beginilah yang dapat difahami dari Wahdat
al-Wujud. Permasalahan Tanzih dan Tasybih akan lebih menjelaskan konsep Wahdat
Wujud.
Semoga Penyajian Artikel ini bermanfaat dan bisa membawa anda mengenal lebih dekat lagi pemikiran - pemikiran besar dan gagasan orsinil Syaikhul Akbar Muhyiddin Ibn Arabi.