By. Mang Anas
Puluhan tahun sudah masyarakat Parung Panjang - Bogor - Jawa Barat hidup berdampingan dengan deru truk tambang, debu, jalan rusak, dan ancaman maut di depan mata. Saban hari, ribuan ton pasir, batu, dan tanah merah digali, diangkut, dan dijual ke kota-kota besar. Dari balik suara mesin itu, tersimpan kisah panjang tentang penderitaan warga yang jalannya retak, rumahnya bergetar, kesehatannya terganggu, dan bahkan banyak yang nyawanya melayang sia-sia akibat kecelakaan lalulintas.
Pemerintah silih berganti mengumbar janji : membangun jalur khusus tambang, memperketat izin, memperbaiki infrastruktur. Tapi kenyataannya, dari tahun ke tahun, problem yang sama tetap berulang. Jalan rusak, kecelakaan terjadi, masyarakat tercekik.
Jika ditelisik lebih dalam, sesungguhnya letak masalahnya bukan semata pada izin yang berantakan, bukan pada jalur khusus yang tak kunjung rampung, bukan pula pada lemahnya pengawasan aparat. Semua itu hanya gejala. Akar masalah yang sesungguhnya adalah " keserakahan " manusia.
Keserakahan para pengusaha tambang galian C yang hanya menghitung laba tanpa peduli derita warga.
Keserakahan oknum pejabat yang menutup mata demi setoran.
Keserakahan para sopir dan pemilik truk yang menambah tonase muatan demi untung lebih.
Keserakahan para pekerja tambang yang hanya peduli dengan perutnya sendiri tanpa mengingat kerugian dan penderitaan yang menimpa para tetangga dan masyarakat luas disekitarnya.
Serta keserakahan pengusaha properti di kota kota besar yang tak pernah puas membangun gedung gedung tinggi dan jalan jalan di komplek perumahan baru.
Pada akhirnya, keserakahan itu menjelma menjadi “sistem”, sesuatu yang dianggap lumrah : jalan boleh hancur asal proyek berjalan, warga boleh menderita asal kota tetap tumbuh. Manusia dikalahkan oleh nafsu yang dilayani bersama-sama.
Padahal, setiap butir pasir yang digali seharusnya menyisakan kesadaran : tanah ini adalah titipan, bukan warisan untuk diperas habis. Setiap batu yang diangkut seharusnya mengingatkan bahwa alam punya daya lenting, tapi juga punya batas. Dan setiap nyawa yang melayang di jalan tambang adalah saksi bahwa kerakusan hanya menebar kerugian.
Padahal, Al-Qur’an telah lama memperingatkan :
> “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.”(QS. At-Takatsur: 1-2)
> “Celakalah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya.” (QS. Al-Humazah: 1-3)
> "Maka celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: ‘Ini dari Allah’, untuk memperoleh keuntungan yang sedikit. Maka celakalah mereka karena apa yang ditulis tangan mereka dan celakalah mereka karena apa yang mereka perbuat." QS. Al-Baqarah (2:79)
➡️ Walaupun konteksnya kitab, spirit ayat ini relevan : memanipulasi kebenaran demi keuntungan materi. Sama halnya dengan orang yang menghalalkan kerusakan tambang demi uang.
Bahkan Allah menyinggung sifat kaum terdahulu, Bani Israil, yang terkenal amat rakus akan dunia :
> “Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling tamak kepada kehidupan (dunia), bahkan lebih tamak dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya dari siksa.”(QS. Al-Baqarah: 96)
Apa yang dikritik terhadap mereka, kini nyata di hadapan kita : kerakusan yang melampaui batas, seolah dunia bisa dimiliki selamanya.
Masalah tambang di Parung Panjang tidak akan pernah selesai bila hanya dilihat dari sisi teknis. Jalur khusus bisa dibangun, izin bisa ditertibkan, aparat bisa diturunkan — tapi jika keserakahan dibiarkan bercokol di hati manusia, maka akan muncul masalah baru dengan wajah berbeda.
Yang diperlukan bukan sekadar kebijakan, tetapi pemulihan masif kesadaran. Bahwa ada batas antara kebutuhan dan kerakusan. Bahwa pembangunan sejati tidak boleh menelan manusia dan lingkungan sebagai korban. Bahwa bumi ini bukan milik segelintir pengusaha, melainkan ruang hidup bersama yang harus dijaga.
Maka, solusi bagi Parung Panjang bukan hanya urusan jalan tambang atau jalur khusus. Ia adalah cermin bagi kita semua : sampai kapan kita rela diperbudak oleh keserakahan ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar