By Mang Anas
Pendahuluan
Setiap manusia menghadapi pertanyaan mendasar tentang hidup: Apa hakikat hidup? Apa peran ruh dan jiwa dalam eksistensi ini? Mengapa dalam Al-Qur'an disebutkan bahwa yang akan dimintai pertanggungjawaban adalah jiwa, bukan ruh?
Jawaban atas pertanyaan ini tidak hanya berdampak pada pemahaman teologis seseorang, tetapi juga menentukan bagaimana ia menyikapi kehidupan, takdir, dan penghambaan kepada Tuhan.
Dalam artikel ini, kita akan mengupas secara holistik dan komprehensif bahwa hakikat hidup sesungguhnya adalah manifestasi tujuh sifat ma'ani dari Sang Maha Hidup, sementara ruh adalah medan manifestasi dari sifat-sifat tersebut, dan jiwa (nafs) adalah penerima serta pelaksana mandat kehidupan. Lebih jauh, kita akan membahas mengapa jiwa yang nantinya dimintai pertanggungjawaban, bukan ruh, berdasarkan dalil-dalil Al-Qur'an.
1. Hakikat Hidup : Sang Maha Hidup dan Tujuh Sifat Ma'ani
Dalam pandangan hakikat, hidup bukanlah sekadar eksistensi biologis, tetapi adalah pancaran dari Sang Maha Hidup yang memiliki tujuh sifat ma’ani, yaitu:
Kudrat (Maha Kuasa)
Iradat (Maha Berkehendak)
Ilmu (Maha Mengetahui)
Hayat (Maha Hidup)
Sama' (Maha Mendengar)
Basar (Maha Melihat)
Kalam (Maha Berfirman)
Tujuh sifat ini bukan sekadar atribut, tetapi merupakan esensi hakiki dari hidup itu sendiri. Sebagaimana cahaya adalah esensi dari matahari, maka hakikat hidup adalah esensi dari Dzat Tuhan yang melampaui segala pemahaman manusia.
2. Ruh: Medan Manifestasi Sifat-Sifat Ma’ani Ilahi
Jika hakikat hidup adalah Sang Maha Hidup dengan tujuh sifat ma’aninya, maka ruh adalah medan di mana sifat-sifat ini termanifestasi dalam wujud entitas dinamis. Ruh bukan sekadar entitas pasif, tetapi ia mengada (eksis) dan memanifestasikan sifat-sifat tersebut dalam bentuk dinamika kehidupan.
Ruh bukanlah pencipta takdir, tetapi ia adalah penerima cetak biru eksistensinya dari Lauhul Mahfudz. Inilah sebabnya takdir dan suratan kehidupan yang telah ditulis, dilekatkan kepada ruh, bukan kepada jiwa.
Mengapa kepada ruh?
Karena ruh adalah substansi hakiki yang membawa potensi ilahiah, sementara jiwa hanyalah instrumen yang menjalankan apa yang telah ditetapkan atas ruh.
3. Jiwa : Penerima dan Pelaksana Mandat Kehidupan
Di sinilah letak peran nafs (jiwa) yang sangat krusial. Jiwa bukan hanya sekadar instrumen pasif, tetapi ia adalah penerima sekaligus pelaksana mandat yang telah dilekatkan kepada ruh.
Sebagai penerima mandat, jiwa mendapatkan takdirnya dari ruh, yang telah menerima cetak biru eksistensinya dari Lauhul Mahfudz.
Sebagai pelaksana mandat, jiwa menjalankan skenario kehidupan sesuai dengan kodrat dan iradat Tuhan, tetapi dalam pelaksanaannya, jiwa memiliki kesadaran dan kehendak dalam batas yang ditetapkan.
Oleh karena itu, meskipun jiwa hanyalah alat dalam menjalankan kehendak-Nya, ia tetap bertanggung jawab atas bagaimana ia menjalankan peran tersebut.
Inilah sebabnya dalam Islam kita diperintahkan untuk taslim (berserah diri), karena sejatinya tidak ada daya dan upaya selain daya dan upaya-Nya.
4. Mengapa Jiwa yang Dimintai Pertanggungjawaban, Bukan Ruh?
Jika ruh adalah penerima takdir, lalu mengapa Al-Qur’an menyatakan bahwa jiwa yang akan dimintai pertanggungjawaban?
Dalam Al-Qur’an, beberapa ayat menjelaskan bahwa jiwa (نَفْس) adalah yang mengalami perbuatan baik atau buruk, dan karenanya ia yang bertanggung jawab atas amalnya:
• "Tiap-tiap jiwa (نَفْس) akan merasakan mati..." (QS. Ali ‘Imran: 185)
• "Tiap-tiap jiwa (نَفْس) itu akan dibalas sesuai dengan apa yang ia usahakan." (QS. Al-Baqarah: 286)
• "Pada hari itu, tiap-tiap jiwa (نَفْس) akan melihat apa yang telah diperbuatnya, baik atau buruk." (QS. Ali 'Imran: 30)
Dari ayat-ayat ini, dapat disimpulkan bahwa jiwa adalah entitas yang mengalami pengalaman hidup secara sadar, sehingga ia yang akan dimintai pertanggungjawaban atas amal perbuatannya.
Mengapa bukan ruh ?
• Ruh hanya menerima cetak biru takdir dari Lauhul Mahfudz, tetapi bukan ia yang membuat keputusan atau melakukan amal.
• Jiwa adalah yang menjalankan kesadaran, mengambil pilihan, dan yang mengalami pengalaman moral dalam kehidupan duniawi.
• Karena jiwa memiliki kehendak dalam koridor ketetapan-Nya, maka jiwalah yang harus bertanggung jawab atas bagaimana ia menggunakan kehendak tersebut.
5. Pasrah Diri : Makna Sejati Islam
Ketika manusia menyadari bahwa:
• Hidup adalah milik Sang Maha Hidup
• Ruh hanyalah pembawa cetak biru takdir dari Lauhul Mahfudz
• Jiwa adalah entitas penerima dan pelaksana mandat ruh, dan yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya
Maka, tidak ada pilihan lain kecuali berusaha berserah diri secara total kepada-Nya, nyawiji dengan-Nya dan berusaha hidup didalam kehendak-Nya. Inilah yang dimaksud dalam firman-Nya:
"Janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim." (QS. Ali ‘Imran: 102)
Keislaman sejati bukan sekadar pengakuan lisan, tetapi adalah kesadaran total bahwa tidak ada daya dan upaya selain daya dan upaya-Nya. Kesadaran ini hanya bisa dicapai jika seseorang telah memakrifahi struktur eksistensi antara Sang Maha Hidup, ruh, dan jiwa.
Kesimpulan,
Dari pembahasan ini, kita dapat merumuskan beberapa poin utama:
1. Hakikat hidup adalah tujuh sifat ma'ani yang ada pada diri Sang Maha Hidup.
2. Ruh adalah medan manifestasi dari sifat-sifat tersebut, dan ia membawa cetak biru takdir dari Lauhul Mahfudz.
3. Jiwa (nafs) adalah penerima dan sekaligus pelaksana mandat yang dilekatkan kepada ruh.
4. Karena jiwa menjalankan pengalaman moral dan memiliki kesadaran dalam batas yang ditetapkan, maka ia yang akan dimintai pertanggungjawaban atas amalnya.
5. Keislaman sejati adalah ketika seseorang menyadari bahwa tidak ada daya dan upaya selain daya dan upaya-Nya, sehingga ia benar-benar pasrah kepada kehendak-Nya.
Kesadaran ini bukan sekadar teori, tetapi merupakan fondasi bagi perjalanan spiritual menuju Tuhan. Hanya dengan makrifat yang benar tentang hakikat hidup, ruh, dan jiwa, seseorang dapat mencapai maqam pasrah sejati, di mana ia hidup dalam keharmonisan sempurna dengan kehendak Sang Maha Hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar