By. Mang Anas
Pendahuluan
Sejak lama, pembahasan tentang Dajjal, Ya’juj, dan Ma’juj memikat imajinasi umat beragama. Hadis dan kitab tafsir penuh dengan kisah-kisah tentang bangsa besar yang terkurung di balik dinding Zulqarnain, tentang seorang manusia bermata satu yang mampu menghidupkan dan mematikan, hingga tentang gelombang fitnah yang tidak tertandingi.
Namun, cara pandang literal seperti ini sering kali terjebak pada mitos yang menjauhkan kita dari realitas. Pertanyaannya : apakah mungkin nubuat itu justru sedang kita alami, bukan dalam bentuk makhluk gaib, melainkan arus sejarah yang nyata ?
Dajjal : Dari René Descartes ke Dunia Modern
Dalam tafsir klasik, Dajjal dipandang sebagai manusia bermata satu, penipu ulung yang membawa fitnah akhir zaman. Tetapi jika kita baca dengan kacamata sejarah, Dajjal bisa dimaknai sebagai gelombang peradaban baru yang lahir sejak abad ke-17. Ketika René Descartes memunculkan filsafat rasionalisme, dunia Barat memasuki era baru : akal diposisikan sebagai satu-satunya mata untuk melihat realitas. Di sinilah simbol “mata satu” menemukan relevansinya—cara pandang tunggal yang mengabaikan dimensi ruhani dan transenden.
Dari rahim rasionalisme ini lahirlah kapitalisme dan hedonisme. Maka, Dajjal bukan sekadar sosok individu, melainkan arus peradaban rasional-materialis yang telah menyapu dunia selama empat abad terakhir.
Ya’juj dan Ma’juj : Dua Anak Kandung Rasionalisme
Kisah Ya’juj dan Ma’juj dalam tafsir literal menggambarkan bangsa besar yang tertutup dinding Zulqarnain dan akan keluar menjelang kiamat. Mereka merusak bumi dan mustahil dihentikan kecuali oleh intervensi Tuhan.
Namun dalam tafsir ideologis, mereka bisa dibaca sebagai dua anak kandung dari rahim rasionalisme dan materialisme Barat : Kapitalisme (Ya’juj) dan Komunisme (Ma’juj).
Kedua ideologi ini benar-benar menguasai geopolitik modern : satu dengan pasar bebas dan kolonialisme ekonomi, satu lagi dengan revolusi proletariat dan diktator proletariat. Sama seperti gambaran Qur’an, keduanya “menyebar cepat dari setiap tempat tinggi,” merambah ke seluruh dunia tanpa bisa dibendung.
Dari Mitos ke Kesadaran Historis
Membaca akhir zaman dengan tafsir literal sering membuat umat menunggu sosok misterius yang entah kapan datangnya. Akibatnya, fitnah yang nyata justru luput dari pengamatan.
Sebaliknya, tafsir ideologis membantu kita menyadari bahwa fitnah Dajjal sudah ada di hadapan kita. Bahwa Ya’juj dan Ma’juj bukan sekadar bangsa asing yang dikurung di balik dinding besi, melainkan ideologi global yang telah lama keluar dan kini mendominasi politik, ekonomi, dan budaya dunia.
Implikasi Bagi Umat
Jika benar demikian, maka tantangan umat Islam (dan umat beriman secara umum) bukan sekadar menunggu datangnya makhluk gaib, melainkan menyusun respon peradaban :
Mengembangkan epistemologi baru yang tidak hanya berpijak pada akal, tapi juga pada wahyu dan jiwa.
Membangun tatanan ekonomi-politik yang bebas dari cengkeraman kapitalisme dan komunisme.
Menyiapkan generasi yang tidak hanyut dalam hedonisme modern, tetapi memiliki kekuatan spiritual.
Penutup
Mungkin inilah cara kita membaca ulang nubuat akhir zaman: bukan sebagai mitos masa depan yang belum terjadi, melainkan sebagai cermin peradaban yang sudah berlangsung.
Dajjal, Ya’juj, dan Ma’juj tidak lagi sekadar dongeng menakutkan, melainkan realitas yang harus kita hadapi dengan ilmu, iman, dan strategi global.
Semoga narasi singkat ini cukup bernilai dan dapat menyadarkan banyak orang. Bahwa sosok sosok yang kedatangannya dianggap momok dan sangat menakutkan itu sebenarnya telah lama hadir ditengah-tengah kita dan bahkan mereka sudah menyergap, menjerat dan menguasai hidup kita lewat cara pandang rasionalisme, materialisme dan hedonisme, yang secara diam-diam dan tanpa kita sadari justru nilai-nilainya telah kita anut dan praktekkan disepanjang kehidupan kita.
Sebab bukankah kita semua sudah sangat terobsesi dengan :
Usaha bagus,
Pekerjaan bagus,
Karir bagus,
Gaji dan pendapatan yang tinggi,
Rumah megah,
Mobil mewah,
Perempuan cantik,
Dan tidak lupa, persiapan bekal harta
untuk semua anak, supaya bila perlu,
tidak habis dimakan tujuh turunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar