Halaman

Senin, 30 Maret 2020

Yang Menggagalkan Seseorang Sampai kepada Allah

Hal-hal yang Bisa Merusakkan dan Menggagalkan Seseorang Sampai Kepada Allah S.W.T.

By. Suhardi.

     Hendaklah anda ketahui, bahwa yang terpenting, anda harus memelihara diri anda agar jangan sampai jatuh ke lembah maksiat, baik maksiat lahir ataupun batin.
Begitu juga hendaknya anda dapat melepaskan diri Anda dari hal-hal yang dapat merusakkan perjalanan cita-cita menuju keredaan Allah, atau yang dapat menggagalkan maksud anda kearah yang dimaksud.
Hal-hal yang dapat “merusakkan” perjalanan menuju Allah s.w.t. itu banyak sekali, diantaranya :
a) KASAL (Malas), malas untuk mengerjakan ibadat kepada Allah s.w.t. padahal sebenarnya anda dapat dan sanggup untuk melakukan ibadat tersebut.
b) FUTUR (Bimbang/lemah pendirian), tidak memiliki tekad yang kuat karena terpengaruh oleh kehidupan duniawi.
c) MALAL (Pembosan), cepat merasa jemu dan bosan untuk melaksanakan ibadah karena merasa terlalu sering dilakukan, padahal tujuan belum juga tercapai.
Timbulnya hal-hl tersebut di atas adalah disebabkan kurang kuatnya rasa keimanan, kurang mantapnya keyakinan, dan banyak terpengaruh oleh hawanafsunya sendiri.
Selanjutnya hal yang mengakibatkan “Gagalnya” untuk mencapai tujuan, antara lain :
d) SYIRIK KHOFI (syirik tersembunyi) atau dengan kata lain timbul suatu tanggapan dalam hatinya, bahwa golongannyalah yang paling benar yang paling diterima ibadahnya, golongan lain di luar golongannya itu semua salah dan menyalahkan semua hukum dan akidah yang tidak sesuai dengan golongannya, padahal mereka tidak berpegang pada satu mas’af pun, dan beranggapan bahwa semua amal ibadah yang dia lakukan adalah sepenuhnya dari kemampuannya sendiri, tidak dirasakannya dan diyakininya, bahwa apa yang dilakukannya itu semua, pada Hakekatnya dari pada Allah s.w.t.
Segala sesuatu yang Allah ciptakan ini (Mahkluk) pada dasarnya/hakikatnya adalah seakan-akan alat belaka dari Allah, namun Mahasuci Allah daripada memerlukan alat.
Hal-hal yang tergolong dalam syirik-khofi antara lain adalah sebagai berikut :
1.RIA’ (Memamerkan) Sengaja mempertontonkan, menampak-nampakkan ibadah atau amalnya kepada orang lain atau ada suatu maksud tertentu “yang lain daripada Allah” misalnya beramal semata-mata mengharapkan Sorga.
2.SUM’AH (Memperdengar-dengarkan) Sengaja menceritakan tentang amal ibadahnya kepada orang lain bahwa dia beramal dengan ihklas karena Allah dengan suatu maksud agar orang lain memberikan pujian dan sanjungan kepadanya.
3.UJUB (Membanggakan diri) Rasa Hebat sendiri yang timbul dari dalam hatinya karena banyak amal ibadahnya, tidak dia rasakan bahwa semua itu adalah semata-mata karena karunia dan Rahmat Allah s.w.t.
ﺳﻘﻃ۱ۅله ۅقوڧﻣﻊ۱ﻟﻌﺒﺎدة
( Suqut awwaluhu wuquf ma’al-ibadah)
“Gugur permulaannya karena terhenti pada ibadahnya semata-mata”
4. HAJBUN (Hijab/Dinding)
Dinding yang dimaksud adalah karena terlena dan kagum atas keindahan amalnya, sehingga tertahan pandangan hatinya (syuhudnya) kepada kekaguman itu semata-mata, atau dengan kata lain, terpengaruh kepada keindahan amal ibadahnya sendiri, tidak dirasakannya bahwa semua itu adalah karunia Allah s.w.t.
Oleh sebab itu, agar anda dapat terlepas dari hal-hal/penyakit tersebut-hal mana dapat membahayakan perjalanan anda, maka tidak ada jalan lain, kecuali memantapkan pandangn batin (musyahadah) dengan penuh keyakinan, bahwa “segala apapun yang terjadi pada hakekatnya/dasarnya adalah dari Allah s.w.t.” sebagaimana yang akan diuraikan pada bagian berikut ini :

A.Tauhidul Af’al
(Ke-Esaan perbuatan)
Hendaklah anda ketahui bahwa segala apapun juga yang terjadi didalam alam ini pada hakekatnya adalah AF’AL (Perbuatan ) Allah s.w.t.
Yang terjadi didalam alam ini dapat digolongkan pada 2 (dua) golongan :
a) Baik pada bentuk (rupa) dan isi (hakekatnya) seperti Iman dan Taat.
b) Jelek pada bentuk (rupa) namun baik pada pengertian isi (hakekat) seperti KUPUR dan MAKSIAT. 
Dikatakan ini jelek pada bentuk karena adanya ketentuan hukum/syara yang mengatakan demikian. Dikatakan baik pada pengertian isi (hakekat) karena hal itu adalah suatu ketentuan dan perbuatan dari Allah Yang Maha Baik.
Maka “Kaifiyat” (cara) untuk melakukan pandangan (Syuhud/musyahadah) sebagaimana dimaksudkan di atas ialah :
“Setiap apapun yang disaksikan oleh mata hendaklah di tanggapi oleh hati, bahwa semua itu adalah AF’AL (perbuatan) dari pada Allah s.w.t.”
Bila ada sementara anggapan tentang ikut sertanya “ yang lain pada Allah” di dalam proses kejadian sesuatu, maka hal tersebut tidak lain hanya dalam pengertian majazi (bayangan) bukan menurut pengertian hakiki.
Catatan :
Misalnya si A bekerja untuk mencari makan dan/atau memberi makan anak-anaknya. Maka si A tergolong dalam pengertian “yang lain dari pada Allah” dan juga dapat dianggap “ikut serta dalam proses” memberi makan anaknya. Fungsi si A dalam keterlibatannya ini hanya majaz (Bayangan) saja, bukan dalam arti hakiki. Karena menurut pengertian hakiki yang memberi makan dan minum pada hakekatnya ialah Allah, sebagaimana tersebut dalam Al Qur’an S. As-Syu’ara ayat 79.
“DIALAH ALLAH YANG MEMBERI MAKAN DAN MINUM KEPADAKU”
Segala macam “perbuatan” (sikap atau laku) apakah perbuatan diri sendiri ataupun perbuatn yang terjadi diluar dirinya, adalah termasuk dalam 2 macam pengertian. Pengertian Pertama dinamakan MUBASYARAH dan pengertian ke dua dinamakan TAWALLUD. Kedua macam pengertian ini tidak terpisah satu sama lain.
Contohnya adalah sebagai berikut :
a) Gerakan Pena ditangan seorang penulis, ini dinamakan MUBASYARAH (terpadu) karena adanya “perpaduan” dua kemampuan kodrati yaitu kemampuan kodrati gerak tangan dan kemampuan kodrati gerak pena.
b) Gerakan batu yang lepas dari tangan pelempar. Hal ini dinamakan TAWALLUD (terlahir) karena lahirnya gerakan batu yang dilemparkan itu adalah kemampuan kodrati gerak tangan.
Namun pada hakekatnya kedua macam pengertian itu (Mubasyarah dan Tawallud) adalah af’al Allah s.w.t., didasarkan kepada dalil/nas Al Qur’an :
وﷲﺧﻠﻘﻜﻢوﻣﺎﺗﻌﻤﻠﯣن
(Wallahu Kholaqakum wa maa ta’maluun)
Artinya : Allah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu lakukan
Syekh Sulaiman Al Jazuli r.a. menyebutkan dalam syarah/penjelasan Kitab Dala-ilul Khairat bahwa apapun juga yang dilakukan oleh hamba, perkataan, tingkah laku, gerak dan diam, namun semua itu sudah lebih dahulu pada Ilmu, Qodo dan Qodar/Takdir Allah s.w.t.
Firman Allah di dalam Al Quran :
وﻣﺎرﻣﻴﺖإذ رﻣﻴﺖ وﻟﻜن ﷲرﱉ
(Wa ma ramaita idz ramaita walaakunnallahu ramaa)
Artinya : Tidaklah Engkau yang melempar (Hai Muhammad) tetapi Allah-lah yang melemparkan ketika Engkau melempar
ﻻﺣول وﻻﻗوۃ١ﻻﺑﺎﷲ١ﻟﻌﻠﻲ١ﻟﻌﻆﻴﻢ
(La haula wa la quwwata illaa Billahil’aliyyil azhiem)
Artinya : Tiada daya dan kekuatan melainkan dengan (daya dan kekuatan) Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung
ﻻﺗﺘﺤﺮك ذرۃإﻻﺑﺎءذنﷲ
Hadist Rasulullah s.a.w.
(La Tataharru dzarratun illaa bi idznillaahi)
Artinya : Tidak bergerak satu zarrah juapun melainkan atas izin Allah.
Penjelasan :
” “ﻻ” Lam Alif
Dalam Ayat dan Hadist Rasullah tersebut diatas terdapat Alif Lam yang dinamakan Alif Lam “Istigraqil Jinsiyah” yang artinya “La” (Tidak) atau (ketidak mampuan) mahluk dalam pengertian yang sebenar-benarnya, bukan pengertian majas yang bisa berubah ataupun diberi pengertian yang berbeda. Alif lam tersebut (Qadim) mutlak adalah hanya Allah yang Maha berkehendak, Maha memberi Gerak, Maha Berkuasa atas apapun, dalam artian, manusia atau mahluk tak dapat melakukan apapun, kecuali atas kehendak Allah atas mahluknya, jadi gerak dan diamnya seluruh mahluk dan alam semesta ini terlebih dahulu telah berada pada ketentuan Qadar/Qadanya Allah, maka sesungguhnya yang di maksud usaha ataupun ihktiar pada mahluk (manusia) tak lain adalah datangnya dari ketentuan Allah juga, bukan atas kehendak mahluk (manusia) nya itu sendiri.
Atas pandangan tersebut (musyahadah) inilah, maka Rasulullah s.a.w. tidak mendoakan kehancuran bagi kaumnya yang telah menyakiti Beliau.
Catatan :
Bermacam macam hinaan, cacian, bahkan siksaan yang dilancarkan oleh golongan Jahiliyah kepada Rasullullah s.a.w. namun beliau balas dengan doa
ﻟﻠﻬﻢ۱ﻫﺪﻗﻮﻣﻲٳﻧﻬﻢﻻﯾﻌﻠﻤﻮن
(Allahummah diiqaumi innahum la ya’lamuun)
Artinya : “Ya Allah, Tunjukilah kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui”
Apabila anda tetap selalu atas pandangan (Musyahadah) Tauhidul Af’al dengan penuh yakin (Tahkik) maka terlepaslah anda dari pada penyakit dan bahaya Syirik Khofi sebagaimana tersebut diatas.
Sehingga akhirnya anda dapat menyaksikan dengan jelas bahwa yang berupa UJUD MAJASI (Ujud bayangan) ini lenyap dan hilang sirna, dengan nyatanya NUR UJUDULLAH yang hakiki.
Catatan :
Apalah artinya cahaya pelita yang dinyalakan disiang hari, dibandingkan dengan cahaya mentari yang cerah memancar.
Apabila secara terus menerus anda melati dengan pandangan/musyahadah demikian sedikit demi sedikit dengan tidak tercampur baur antara pandangan lahir dan pandangan batin, maka sampailah anda pada suatu “Maqom (Tingkatan)” yang dinamakan MAQOM WIHDATUL AF’AL.
Pada tingkatan ini, berarti Fana (lenyap) segala perbuatan mahluk-perbuatan anda sendiri ataupun perbuatan yang lain dari anda – karena “nyatanya” perbuatan Allah Yang Maha Hebat.
Jahat/jelek ataupun baik pada hakekatnya dari pada Allah.
Sebagaimana Saya kemukakan di atas berkali kali bahwa segala macam perbuatan, kejadian, peristiwa apapun yang terjadi pada hakekatnya adalah perbuatan Allah s.w.t., yang jahat ataupun yang baik.
Dapat dikatakan demikian, karena didasarkan atas keterangan Hadis Rasulullah s.a.w. di dalam doa Beliau :
١ﻟﻟﻬﻢٳﻧﻲ١ءﻮذڊﻚﻣﻨك
(Allahumma Inni A’udzubika minka)
“Ya Allah, Hamba berlindung kepadaMu dari segala kejahatan yang datang dari padaMu”
Catatan :
Dalam Hadis lain ada pula isti’adzah (permohonan berlindung diri) yang diajakarkan oleh Rasulullah s.a.w. “Allahumma inni a’udzubika min syarri ma kholakta” artinya : Ya Allah hamba berlindung kepadaMu dari segala kejahatan yang Engkau ciptakan.
Kalau sekiranya kejahatan/kejelekan itu bukan dari pada Allah pada hakekatnya, maka tidak mungkin Beliau mengucapkan doa demikian.
Allah berfirman :
ﻗﻞﻛﻞﻣﻦﻋﻨﺪﷲ
(Qul Kullun Min Indillahi)
“Katakanlah olehmu (hai Muhammad) segala-galanya adalah dari sisi Allah”
Sebagian dari Arif Billah memberikan sebuah misal (contoh) untuk sekedar mendekatkan paham- namun bukan berarti tepat demikian hubungan hamba dengan Allah, Ialah :
“Laksana wayang yang dimainkan oleh dalang dengan bermacam gerak dan laku”
Namun semua gerak dan laku si wayang itu adalah suatu “kenyataan” (Mashar) dari pada perbuatan dan laku pak dalang semata-mata, bukanlah gerak dan laku dari wayang itu sendiri.
Meskipun demikian bahwa segala macam perbuatan, peristiwa, kejadian dan sebagainya dalam arti hakiki adalah Af’al Allah- tapi janganlah anda tafsirkan “gugur taklif syara” artinya hilang bagi anda kewajiban hukum. Jangan pula hendaknya di itikadkan, lalu melepaskan Syariat Muhammad (ketentuan hukum Islam)
Apabila sekiranya anda sampai berkeyakinan/beritikad, gugur taklif syara (atau tidak perlu bersyariat lagi) maka jatuhlah anda kedalam golongan yang dinamakan Kafir Zindik (na’udzubillahi min dzalik).
Oleh sebab itu pegang teguhlah Syariat Muhammad tetap dan terus menerus musyahadah Af’al sehingga anda selamat dalam arti yang sebenarnya.
Bila mana tidak dengan musyahadah Af’al, meskipun anda sudah lepas dari pada Syirik Jali (Syirik yang nyata) namun belum tentu anda dapat lepas dari pada syirik khofi.
Allah berfirman :
ﻮﻣﺎﻳﺆﻣﻦ۱ﻛﺜﺮﻫﻢﻮﻫﻢﻣﺸﺮﻛﻮن
( Wa maa yu’minu akstarahum wa hum musyrikun)
“Sebagian besar antara mereka masih tidak beriman kepada Allah, malah berlaku syirik”
Sayyid Umar bin Al Farid r.a. berkata dengan dua bait syairnya:
ﻮﻟﺆﺧﻂﺮٺﱄﰱﺳﻮ۱ك۱ر۱دۃ
ﲈﻰﺧﺎطريﺳﻬواﻗﻀﻴﺖﺑردﺗﻰ
(Wa lau khothorat lii fi siwaaka iraadatun alaa khotirii sahwan qodloitu bi riddatii)
‘Anda kata terlintas kilas khatarku, getaran hati di dalam dada, suatu kehendak yang selain padaMu Ya Tuhan,disadari ataupun tidak. Wahai celakanya diri ini remuk hancur dilumpur murtad.
Dengan pandangan, tanggapan dan anggapan yang keliru itu, menyebabkan anda tidak termasuk dalam golongan Mukmin yang sempurna.
Tetapi bila Musyahadah anda benar.
“Tidak ada yang berbuat pada hakikatnya melainkan Allah, tidak ada yang hidup pada hakikatnya melainkan Allah dan tidak ada yang Maujud pada hakikatnya melainkan Allah”
Maka dengan demikian, termasuklah anda dalam golongan Ahli Tauhid Yang Benar, suatu golongan yang dijanjikan Allah dengan 2 surga, surga yang pertama adalah surga Makrifatullah di dunia, dan surga kedua adalah Surga Akhirat yang sudah di kenal berdasarkan dalil dan nash.
Syeikhuna ‘Alimul Allamah Al-Bahru ‘arieq Abdullah ibnu Hijazi As-syarqowi al- Mishrie r.a. telah berkata : “siapa yang memasuki surga makrifatullah di dunia, niscaya tidak berhasrat dia kepada surga akhirat yang berupa bidadari, istana, pakaian, makanan dan lain-lain. Hasratnya hanyalah ingin sedekat-dekatnya pada Hadirat Allah dengan Rukyatullah (Melihat Allah dengan nyata) di akhirat kelak”.
Nikamat yang paling tinggi di akhirat adalah Ru’yatullah. Jauh sekali beda nilai antara nikmat itu dibandingkan dengan nikmat surga dalam pengertian yang sering dikemukakan.
Demikin juga dengan kenyatan melihat Allah dalam artian Makrifatullah di dunia ini yang telah terbuka pada hati orang yang telah Arifbillah, hanya sebagian kecil saja dibandingkan dengan Rukyatullah di akhirat kelak, namun mereka akan mendapatkannya karena mereka telah memuliakanya. Bermusyahadahlah Wihdatul Af’al yang memungkinkan anda untuk dapat memandang keindahan Dzat Wajibal Ujud.
Penjelasan penting :
Berkata Syekh Abdul Wahab Sya’rani qaddasallahu sirahu dalam kitab Jawahiru wad-Durar beliau memetik ucapan Syehk Mahyudi ibnu Araby r.a. :
bahwa Syekh Ibnu Araby telah mencantumkan dalam kitab beliau yang benama Futuhatul Makkiya pda bab 422 dimana beliau menjelaskan apa yang dimaksud segala perbuatan dari pada Allah dan hamba sebagai sandaran perbuatanNya, karena memng si hamba inilah yang menanggung beban siksa dan pahala.
Bila sekiranya kita terhenti pada suatu dakwan (perkiraan) bahwa segala amal perbuatan itu pada hakikatnya dari pada perbuatan kita sendiri, maka berarti Allah telah menyandarkan (meletakkan) dakwan demikian terhadap diri kita sebagai suatu cobaan Allah.
Catatan :
Berdoalah kita semoga dakwan demikian jangan sampai datang kepada kita karena berarti suatu kerugian yang amat besar.
Namun demikian bila sekiranya Allah hendak memasukkan kita kedalam Hidrat Ihsan (Maksudnya : beribadat seakan akan melihat Tuhan) maka berarti tipislah hijab (dinding) itu dan kita saksikan selanjutnya bahwa segala amal pada hakikatnya adalah dari pada Allah, sedang kita sendiri tidak mempunyai amal apa apa.
Demikian selanjutnya bila Musyahadah menurut mestinya niscaya akan timbul rasa takut kita, kalau kalau tergelincir “Qidam” (Pendirian) kita.
Sebagian dari kesempurnaan adab (ahlak/tertib hukum) untuk menyatakan bahwa suatu amal dari kita sendiri sepanjang apa yang kita ketahui, hanya sekedar untuk mengamalkan apa yang difirmankan Allah s.w.t. :
( Ma Ashobaka Min Hasanatin Faminallah, Wa maa Ashobaka Min Salatin Famin Nafsika )
Artinya : “apa saja yang menimpa dirimu dari pada yang baik, adalah dari pada Allah, dan apa saja yang menimpa dirimu dari pada yang jelek (buruk) maka hal itu datang dari dirimu sendiri”
Syekhuna Al-Allamah Maulana Syekh Yusuf Abu Zarrah Al Mishrie , berkata, ketika Beliau memberikan pelajaran di Masjidil Haram; “Tidak seharusnya berkata bahwa kejahatan itu dari Allah, kecuali dalam waktu dan tingkat belajar/mengajar (maqom ta’lim) dalam jurusan ilmu ini (Tasawwuf).
Catatan :
Kata-kata “perbuatan dari pada Allah” adalah khusus dalam pengertian hakekat yang seharusnya hanya ada pada suara batin. Tetapi boleh diucapkan dalam saat-saat belajar/mengajar.
Syekhuna Ibnu Hajar r.a. dalam syarah Arba’in, menjelaskan perkataan Nabi s.a.w. yang tercantum pada bagian doa iftitah yang berbunyi “wassyaru laisa ilaik” (kejelekan/kejahatan bukan untukMu) tidak lain maksudnya, ialah untuk mengajar/mendidik adab, karena tidak seharusnya berkata dalam bentuk dan arti yang menghina terhadap Allah, seperti perkataan “ Ya allah yang menjadikan anjing” atau “Ya Allah yang menjadikan babi” meskipun sebenarnya diakui dengan pasti bahwa anjing dan babi itu adalah makhluk (yang dijadikan) Allah. Pengertian dimaksud sehubungan pula dengan Firman Allah tersebut diatas.
Syehk abdul Wahab Sya’rani q.s. pernah mengajukan pertanyaan kepada Guru beliau. Syehk Ali Al Khawwas.
Tanya : Apa maksud yang sebenarnya pengertian “usaha/Ihktiar” yang dinyatakan oleh Imam Asy’ari (Asy’ariyah)?.
Jawab : Yang dimaksud dengan pengertian “usaha/Ihktiar” adalah ta’alluq iradat mumkin (hubungan kehendak simahkluk) dengan segala kejadian/peristiwa yang dalam hal itu sesuai dengan Takdir Ilahi (Ketentuan Tuhan) . Manakala terjadi “Ta’alluq iradat” (hubungan kehendak) dengan takdir Tuhan, mereka sebutkan itu dengan Usaha/ihktiar bagi mumkin/mahkluk, pada ma’na, sedang mengambil manfaat dari usaha ihktiar itu sendiri, adalah sudah ada pada takdir.
Selanjutnya Syekh Abdul Wahab Sya’rani q.s. berkata: “aku pernah mendengar perkataan guruku Syekh Ali Al-Khawwas, kata beliau : semestinya setiap orang harus sudah mengerti “perbuatan mahkluk tidak memberi bekas” (menentukan) itu, adalah sepanjang keadaan (takwin) menurut hukum semata mata.
Maka untuk itu hendaklah anda pahami dengan benar karena pada umumnya masih banyak yang belum mengerti perbedaan antara Hukum dan Astar (bekas/kekuatan).
“Allah s.w.t. berkeinginan untuk mengadakan harkat (gerak) atau ma’na (arti/nilai) terhadap pekerjaan apapun, tidak bisa terjadi itu (tidak sah wujudnya) kecuali pada “maddahnya” (materi pekerjaan itu sendiri). Karena mustahil pekerjaan itu akan terjadi dengan sendirinya, pasti pada Mahallun (objek) yang dapat menimbulkan takwin (keadaan/peristiwa).
Objek (mahallun) yang dimaksud adalah Hamba yang mana dapat pula diartikan “si Mumkin” yang melakukannya, namun sebenarnya apa yang dilakukan oleh si mumkin tadi tidak sekali kali memberi bekas (menentukan), semoga anda bisa memahaminya, karna ini sangat rumit.
Syekh Abdul Wahab Sya’rani q.s. berkata lagi : “Aku mendengar saudaraku Afdaluddin Rahimahullah berkata : Bagi mumkin ini sama sekali tidak memiliki kodrat tetapi hanya sekedar menerima Astar Ilahi (bekas/ketentuan Tuhan). Karena sifat Kodrat itu sebenarnya adalah suatu sifat yang tidak pernah terpisah-cerai (infikak) dengan sifat-sifat Ketuhanan. Oleh sebab itu menetapkan adanya “kodrat bagi mumkin” adalah suatu dakwan yang tidak berdasar/dalil.
Catatan : salah satu guru saya berkata, bahwa hamba ini sebenarnya hanya mustanir (menerima cahaya). Inilah yang dimaksud dengan kata “hanya sekedar menerima astar Ilahi” seperti yang tersebut diatas.
TAUHIDUS SIFAT
Kaifiyat Tauhidussifat memandang segala sifat yang berdiri pada dzat adalah sifat Allah. Tidak ada yang mendengar kecuali dengan mendengarnya Allah. Tidak ada bagi hamba sekalian itu mempunyai sifat, kecuali hanya sebagai madzhar sifat Allah. Mengesakan Allah ta’ala dalam segala sifat, sirna semua sifat mahluk di bawah sifat Allah. Sifat sifat 20 itu pada hakikatnya adalah yang dikehendaki dalam asma’ul husna. Pandang, syuhud, baik dengan mata kepala atau mata hati, i’tiqodkan hasil pandangan syuhud tersebut yakini bahwa segala sifat yang berdiri pada dzat yang madzhar pada mahluk seperti sifat qudroh irodah ilmun hayatun sama’ bashor kalam semua itu nyata terlihat dan dirasakan oleh kita bahkan oleh mahluk lain bahwa itu semua bersifat majazi (ja’iz/ ada tapi bukan milik. Hakikatnya yang memiliki semua sifat itu adalah Allah. Orang yang mengakui yang bukan haknya itulah seburuk buruk orang dan itulah yang disebut bid’ah dzolalah. Sifat yang berdiri pada dzat Allah yang bisa kita ketahui adalah kuasa, berkehendak,Ilmu, hidup, mendengar, dan berkata (sifat maani) sifat sifat itu ada pada manusia yang kemudian menjadi sifat ma’nawiyah (subyek). berkuasa menjadi yang berkuasa, berkehendak menjadi yang berkehendak dll. Subyek yang ada pada mahluk itu menjadi madzhar nya Alloh sebagai sifat yang majazi. Yang terasa pada kita itu hakikatnya milik Allah, sebut saja itu adalah sekedar pinjaman. Diumpamakan seperti cahaya, itu adalah cahaya Allah. seperti bumi menjadi terang bukan karena bumi itu terang tetapi karena cahaya matahari yang menyinarinya. Jika sudah benar, tahqiq, cara pandang, cara syuhud, niscaya kita akan tenggelam.
Wa Qolbuhu Ladzi Yuddzmiru bi
Kaifiyat tajalli sifat engkau pandang bahwa hamba yang mendengar itu dengan Allah, hamba yang melihat itu dengan Allah, yang berkata kata itu dengan Allah yang berkehendak itu dengan Allah dst, maka lengkaplah keyakinan kita, inna sholati wa nusuki …..lillahi robbil alamin, li adalah milik bukan diartikan untuk.
Syariat qouli wa thoriqotu fi’li wa haqiqotu haali wa ma’rifatul ro’sul maali. Tidak ada harta yang paling istimewa kecuali ilmu yang yuntafa’ ubih, ilmu itu bisa berupa ilmu lahir bisa berupa ilmu bathin, ilmu rahasia, ilmu yang menyinari (linuriyahu) yang rahmah dan berkah, rahmah berkaitan akherat berkah berkaitan dengan dunia. Ilmu sebagai kunci dunia dan kunci akherat. Ilmu adalah sifat Allah yang nyata nurnya pada kita.
Ada beberapa cara para malaikat dan ruh (dalam suroh lailatul qodar) turun ke bumi (intholiqu ila abdi). Ruh itu adalah para auliya’. Malaikat kembali lagi ke langit tapi para auliya’ itu tidak langsung kembali. Kadang secara jasad barzakhi dan jasmani wujud menguji kita. Kadang hanya berupa jasad barzakhi dan meminjam jasmani seseorang di dekat kita (contoh anak) lalu menguji kita dengan polahnya jika kita nggak sabar lalu menyakitinya menamparnya, maka auliya’ itu lalu tertawa, ah segitu to sabarnya.
Faidah tajalli memandang Allah dengan tadrij (sedikit demi sedikit). Tidak usah terburu buru yang penting apa yang diketahui maka amalkan. Jadikan laa ilaha illalloh menjadi pohon tauhid yang kuat dari hembusan nafsu. Benih itu tumbuh dengan tadrij. Pandang terus, meski satu menit dalam sehari. Usahakan di awal kesadaran yaitu bangun tidur dan diakhir kesadaran yaitu mau tidur. Sehingga paling tidak di awali ingat pada Allah dan diakhiri dengan ingat Allah meski di tengahnya bolong. Alhamdulillah ternyata saya masih dihidupkan, ternyata saya masih harus mengahadapi ujian, niscaya Allah akan menolong kita menghadapi semua.Seperti orang sholat diawali dengan qosd “Allahu akbar” meski setelahnya lupa lagi nanti diakhiri salam.
Memang susah menerapkan tauhidussifat, karena ini memang maqom para ambiya dan aulia. Mulailah memandang sifat Allah satu persatu. Kita harus mengenal semua sifat dua puluh. Dilantunkan, difaham, ditanamkan. Fahami sifat nafsiah, yaitu wujud. Kemudian lima sifat salbiyah. Wujud itu artinya diri. Salbiyah itu mahkota wujud, keagungan wujud. selanjutnya tujuh sifat ma’ani. Ma’ani itu masdar akar kata, sumber, atau inti. dan tujuh sifat ma’nawiyah sebagai pengembangan sifat ma’ani. Qudroh artinya kuasa, pada saat nyata berkembang menjadi qodirun, artinya yang kuasa.Ketika sudah berbentuk ma’nawiyah (maf’ul) maka mengandung makna pelaku dan ada kata kerjanya, dan mengandung pula objek.
Dalam kajian tauhid sebetulnya penambahan kata maha itu tidak dibenarkan. karena artinya memberikan jarak antara Allah dengan mahluk.
Ketika Rosululloh menerima wahyu, beliau menerima dengan lantaran jibril, dengan tabir, dengan suara keras, kecuali pada saat menerima perintah sholat. Kita tidak pernah melihat Allah. Melihat mahluk kita menemukan sifat kuasa. Maka munculah yang kuasa, maka yang kuasa itu pandang sedikit demi sedikit bahwa tidak ada yang kuasa kecuali Allah. Maka fana’lah perbuatan, nama, sifat pada mahluk kembali pada perbuatan, asma, sifat Allah. Tanam dalam hati yang kuat, dikunci jangan sampai goyah. Kembangkan sifat dari sifat sifat ma’ani sampai ke ma’nawiyah.
Adam sebagai kholifah fil ardz. Yang namanya bapak jasmani disebut kholifah fil ardz, maka anak keturunannya juga diberi predikat kholifah fil ardz. Apa itu kholifah? Ilustrasinya adalah:
Sebuah negara mengirimkan perwakilannya kepada yang lain namanya duta besar. Di kantor maupun di rumah dubes itu di pagar dengan rapat untuk membatasi hukum yang berlaku. Apapun yang dikata oleh dubes adalah mewakili negaranya. Apapun hukum yang dikata oleh dubes maka itu mewakili negara. Jika kita memaksa melompat pagar, maka kita terkena hukum negaranya.
Contoh lagi adalah seorang mak comblang. Apapun yang dikata oleh si comblang maka seolah itu datang dari arjuna di telinga srikandi. Karena semua merasa terwakili.
Bagaimana dengan kholifah Allah. Kita tidak pernah melihat Allah. Maka kholifah Allah itu yang mewakili di tengah tengah kita yang menyalurkan kita kepada Allah yang gho’ib. Man arofa nafsah arofa robbah. Barang siapa mengenali diri yang kholifah maka akan mengenal Allah.Kholifah adalah yang diutus Allah untuk menunaikan hukum hukumnya. Dia adalah orang yang sudah ma’rifat kepada Allah yang baginya nggak ada yang tersembunyi. Yang mencapai nafsu muthma’innah.
Kholifah pertama di bumi adalah adam. adam secara bahasa adalah berarti dulu. Sebagai kholifah Adam telah diberi bekal mengetahui segala asma’. Tidak ada yang tersembunyi baik yang terkecil maupun yang terbesar.
Huwa lladzi kholaqo samawati wal ardz….. dia mencipta. Dia siapa? dia insan kamil para arifin billah.Kepadanya dia dilimpahkan ilmu laduni. Dengan Ilmu laduni itu ialah yang sebenarnya yang dikatakan alim (alim robbany). Abu yazid bahkan mengatakan kepada ulama’ dhohir “Akhodztum Ilma Minal Mayyit ila Mayyit Wa Akhodzna Ilma Mina lladzi la yamut”.

Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar