Halaman

Senin, 30 Maret 2020

Mengetahui Hal Ghaib

Kelebihan Mengetahui Hal Gaib bagi Wali Allah Menurut Ibnu Khaldun

( Mukasyafah sufi )

BincangSyariah.Com - Berbeda dengan Ibnu Bajah yang tidak mempercayai fenomena kasyaf (mengerti hal gaib) para wali yang berangkat dari pembahasan Aristotelian, Ibnu Khaldun tetap mempercayainya sebagai pengalaman spiritual yang khas dan elitis yang dapat digunakan untuk orang-orang tertentu. Dalam kitab al-Muqaddimah, terutama sebelum membahas kasyaf kaum sufi, Ibnu Khaldun meminta terlebih dahulu tentang ilmu kalam telah gagal dalam meningkatkan Realitas Tertinggi

Ilmu kalam yang didasarkan pada rasio yang dapat dipahami dan dipahami yang membahas tentang metafisika (alam ruhani) yang tidak bisa dilewati oleh rasio. Batasan-rasio perbandingan bebas objek-objek yang dapat tercerap oleh indra. Sementara itu, pengomplikasian mencoba mengatasi di luar yang indrawi, rasio tidak mungkin digunakan. Hal demikian karena alam metafisis tidak dapat teramati olehnya dan alam ini berada di luar batas-batas teritorinya.

Karena perdebatan-diskusi metafisis tidak bisa dijangkau oleh rasio dan karena rasio hanya bisa mengerti yang tercerap oleh inderawi, kata Ibnu Khaldun, memahami diskusi yang sifatnya metafisis tidak bisa didekati melalui pencarian ilmu kalam. Rasio fungsi hanya bisa mencerap dan mengatasi objek-objek inderawi (mahsusat) dan tidak bisa melampaui batas-batasannya.

Dengan kata-kata lain, kompilasi digunakan untuk memahami objek-objek ruhani, rasio tidak dapat dijangkaunya secara lengkap. Begitulah argumen lengkap yang dikemukakan Ibnu Khaldun tentang ketidakmungkinan ilmu kalam yang didasarkan pada rasio yang dapat mempermasalahkan metafisis (ma wara'a tabiah). Ulasan ini dapat kita baca dalam kitabnya yang terkenal, al-Muqaddimah.

Jika rasio memang tidak dapat dibuat instrumen untuk menentukan yang tidak layak, pertanyaan yang muncul dari instrumen apa yang bisa kita gunakan untuk dapat memahami alam ruhani atau alam metafisis? Bagi Ibnu Khaldun, jawaban yang tepat untuk jiwa. Karena demikian jiwa (maksudnya ruh) adalah salah satu bagian dari alam ruhani dan objek-objek ruhani atau objek-objek metafisis hanya bisa dicerap dan dipahami oleh ruh, bukan rasio dan sejenisnya.

Kendati demikian, kata Ibnu Khaldun, seperti perbandingan rasio yang tidak bisa membahas perundingan yang sifatnya metafisis karena objek pembahasannya tentang alam inderawi, tentu saja yang mengandung bagian dari alam ruhani tidak akan dapat mendukung fenomena fenomena-fenomana metafisis ke dalam ranah yang sifatnya inderawi. Yang bisa dilakukan oleh jiwa, kata Ibnu Khaldun, dilakukan penciptaan alam ruhani yang sangat subjektif (idrak dzati), pencerapan yang mereka sebut sebagai kasyaf.

Jadi dalam penjelasan tentang mukasyafah para sufi-wali menurut Ibnu Khaldun ini, semua pengalaman ruhani yang dilalui oleh jiwa atau ruh tidak dapat diakses dalam bahasa yang dapat digunakan di alam inderawi. Bagi Ibnu Khaldun, sangat mudah untuk menerjemahkan pengalaman yang sifatnya ruhani melalui istilah yang hanya dikenal di alam inderawi.

Kendati menarik, Ibnu Khaldun tetap memberikan ruang khusus di al-Muqaddimah untuk penjelasan tentang mengakses kasyaf kaum sufi-wali. Jadi paling tidak (sepanjang memahami penulis) Ibnu Khaldun hanya menjelaskan dua hal penting tentang kasyaf sufi-wali di dalam al-Muqaddimah: pertama, berikan justifikasi secara lengkap untuk mendapatkan pengetahuan tentang ruhani yang telah diperoleh dari sufi dan kedua, jelaskan proses meminta musyahadah atau kasyaf.

Kita coba kutipkan pandangan Ibnu Khaldun di dalam kitab al-Muqaddimah tentang cara memindahkan kasyaf atau musyahadah ruhaniyyah di kalangan kaum sufi:

وسبب هذا الكشف أن الروح إذا رجع عن الحس إلى الباطن ضعفت أحوال الحس وقويت الروح, وغالب سلطانه وتجدد تشوفه وأعان على ذلك الذكر, فإنه كالغذاء لتنمية الروح, ولا يزال في نمو وتزايد إلى أن يصير شهودا بعد أن كان علما ويكشف حجاب الحس ويتم وجود النفس الذي لها من ذاتها ، وهو عين الإدراك.

“Mengapa pindah ke tempat lain?” “Apa yang terjadi dengan alam inderawi (ahwal al-desis)? Kondisi demikian semakin meningkat kompilasi dengan zikir terus menerus. Zikir ibarat asupan gizi yang bagus untuk kematangan ruh. Dengan zikir, ruh berkembang jadi alam ruhani pun tercerap dan teralami (syuhud) setelah sebelumnya hanya diketahui (ilm-melalui kabar dari Alquran dan hadis). Dalam keadaan seperti ini, terbukalah tirai inderawi (hijab al-hiss) lalu masuklah jiwa ke alam asalnya (alam ruhani) dan dapatlah ia mengerti hakikat-hakikat di alamnya ini. ”

فيتعرض حينئذ للمواهب الربانية والعلوم اللدنية والفتح الإلهي وتقرب ذاته في تحقيق حقيقتها من الأفقالات وهذا الكشف كثيرا ما يعرض لأهل المجاهدة ، فيدركون من حقيقة الوجود ما لا يدركه سواهم

“Ketika sampai pada posisi ini, jiwa mendapatkan anugerah-anugerah ketuhanan (al-mawahib ar-rabbaniyyah), ilmu-ilmu laduni dan ketersingkapan tabir ilahi (al-fath al-ilahi). Jiwa kemudian memulai hakikat dia di alam tertinggi, alam malaikat. Kasyaf seperti ini banyak terjadi di kalangan orang-orang yang terus melakukan mujahadah. Wali yang sudah mendapatkan kasyaf dapat memperoleh hakikat-hakikat wujud yang tak terpahami oleh orang-orang biasa. Mereka dapat mendiskusikan kejadian sebelum kejadian. Dengan keteguhan memutar yang kuat, mereka juga dapat memberikan pengaruh pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam bawah (alam sufuli: alam dunia) dan bahkan alam mawjud ini memperbolehkan di bawah kehendak mereka (panggil saja karamah). ”

Kendati demikian, kata Ibnu Khaldun, meskipun sufi sudah mendapatkan kasyafnya namun kasyafnya ini hadir di luar kehendaknya. Seorang sufi tidak bisa meramal kejadian di masa mendatang sesuai kehendaknya. Namun demikian, pengetahuan tentang masa depan datang dengan sendirinya, dan bukan karena kehendaknya.

Demikian juga, ia tidak bisa melakukan kejadian-kejadian luar biasa menurut yang dikehendakinya (karamah). Semua karamah itu terjadi dengan sendirinya dan di luar kehendaknya. Bahkan Ibnu Khaldun berpandangan lebih jauh lagi, yaitu, sang sufi tidak bisa menjelaskan musyahadah atau kasyafnya dan ia juga tidak dapat memperinci deskripsi apa yang dilihatnya di alam ruhani.

Secara ringkasnya, pengalaman yang dialami oleh seorang sufi yang telah mencapai kasyaf dan pengalaman pribadi, yang tidak bisa diberitahukan kepada yang lain. Pengalaman sufi ini adalah soal dzauq yang tidak bisa menjawab dengan kata-kata, dan tidak bisa menjelaskan inti pengetahuan kasyfinya.

Menurut Ibnu Khaldun, bahasa hanya bisa mengekspreksikan semua hal yang tercerap secara inderawi, dan kata-kata yang digunakan bahasa refleksi dari pengalaman inderawi. Sementara itu, pengalaman yang dialami oleh seorang sufi adalah pengalaman di alam ruhani, metafisis alam, dan bahasa tidak mampu menguraikan pengalaman pengalaman-pengalaman dari alam ruhani.

Jadi alam ruhani tidak bisa dibuka sendiri melalui bahasa yang diambil dari alam inderawi. Alam inderawi dan alam ruhani merupakan dua ranah yang berbeda yang masing-masingnya tidak dapat memungkinkan yang lain. Ibnu Khaldun dalam kitab al-Muqaddimah menentukan demikian:

واللغات لا تعطي دلالة على مرادهم منه ، لأنها لم توضع إلا للمتعارف ، وأكثره من المحسوسات

"Bahasa tidak dapat menjelaskan pengalaman kaum sufi karena bahasa hanya membentuk konvensi sosial (al-muta'araf) yang sebagian besar berasal dari alam inderawi (al-mahsusat)."

Simpulnya bahasa tidak bisa membahas pengalaman ruhani, lalu bagaimana jika sufi menjelaskan semua pengalaman kasyafnya? Ibnu Khaldun jelas menolak tasawwuf jenis ini. Pasalnya, jika pengalaman ruhani diekspresikan melalui instrumen bahasa yang indrawi, pengalaman ruhani ini menjadi ilmu tersendiri, disebut tasawuf falsafi. Allahu A'lam.

Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar