Halaman

Kamis, 28 Agustus 2025

Mengapa Harus Bersyahadat Kepada Nabi Yang Tak Pernah Kita Lihat ?

 Mang Anas 


Refleksi Filosofis Syahadat dalam Cahaya Wahdatul Wujud

Dalam sejarah keimanan, ada satu pertanyaan yang sesungguhnya mengusik banyak jiwa : mengapa seseorang yang tidak pernah bertemu Nabi Muhammad ﷺ, tidak pernah melihat wajahnya, tidak pernah mendengar langsung suaranya, tetap diwajibkan bersaksi bahwa beliau adalah utusan Allah ? Mengapa syahadat tidak cukup dengan kalimat " lā ilāha illallāh " saja, melainkan harus disertai " wa anna Muhammadan rasūlullāh " ?

Muhammad Dan Para Nabi : Pintu yang Membuka Jalan kepada Allah

Pertanyaan itu bukan sekadar dogmatis, tetapi menyentuh inti hakikat kenabian. Jika ditelusuri lebih dalam, para nabi adalah pintu-pintu bagi manusia untuk mengenal Allah lewat potensi akal dan ruh mereka. Mereka hadir bukan untuk menahan manusia pada sosok mereka, melainkan untuk membukakan jalan yang menghubungkan manusia dengan Yang Maha Mutlak. Sebab hakikat para nabi adalah “matahari” yang memancarkan sinar dan cahaya illahi, sementara akal dan ruh kita adalah “mata” yang hanya mampu melihat bila diterangi. Maka siapa pun yang memandangnya dengan hati, seakan melihat Allah dalam sifat-sifat-Nya.

Allah menegaskan dalam Al-Qur’an :

Dan Kami tidak mengutus engkau (wahai Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya [21]:107).

Dalam kerangka Wahdatul Wujud yang digagas Ibn ‘Arabi, kehidupan para nabi dan rasul bukan hanya kisah sejarah, melainkan “pintu-pintu” yang Allah bukakan untuk manusia agar sampai kepada-Nya. Mereka ibarat cermin-cermin Ilahi yang memantulkan cahaya-Nya sesuai kadar zaman, masyarakat, dan kebutuhan jiwa manusia.

Melalui mereka seluruh bentuk keberagamaan dapat menemukan kesempurnaannya dalam  tauhid. Muhammad adalah “penutup para nabi” bukan dalam arti menutup akses, tetapi justru membuka pintu paling luas bagi manusia menuju Allah—baik melalui akal maupun ruh.

Kesaksian tentang Muhammad bukanlah pengakuan historis semata, melainkan kesaksian spiritual. Ia adalah pernyataan bahwa pintu itu nyata, terbuka, dan dari situ manusia dapat melangkah kepada Allah. 

Janji Para Rasul : Saling Hormat, Saling Bantu, dan Saling Menguatkan

Al-Qur’an memang menegaskan bahwa para nabi dan rasul itu bukanlah pesaing, melainkan satu kesatuan jalan tauhid.

QS. Ali Imran : 81

> “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi : ‘Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa Kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu benar-benar akan beriman kepadanya dan menolongnya.’ Allah berfirman : ‘Apakah kamu mengakuinya dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu ?’ Mereka menjawab : ‘Kami mengakuinya.’ Allah berfirman : ‘Kalau begitu saksikanlah, dan Aku menjadi saksi bersama kamu.’”

➝ Ayat ini menunjukkan adanya perjanjian universal para nabi : saling membenarkan, saling menolong, dan saling menguatkan dalam jalan tauhid.

QS. Asy-Syura : 13

> “Dia telah mensyariatkan bagimu agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh, dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.”

➝ Menegaskan bahwa semua nabi sejatinya membawa syariat yang satu : tauhid, meski detail syariatnya berbeda-beda sesuai kondisi zamannya.

QS. Al-Baqarah : 285

> “Rasul beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya, (mereka berkata): ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun dari rasul-rasul-Nya.’ …”

➝ Ayat ini mempertegas sikap iman : semua rasul satu jalur, tak boleh dipertentangkan.

Dua Cahaya dalam Diri Manusia : Cahaya Ruh dan Cahaya Akal

Al-Qur’an mengajarkan bahwa Allah adalah “Dia yang awal dan yang akhir, yang ẓāhir dan yang bāṭin” (QS. al-Ḥadīd : 3). 

Manusia diberi dua piranti untuk mengenal Tuhan. Pertama adalah cahaya akal, yang dengan itu kita mengenal Allah dalam sifat-Nya yang zhahir (Huwa al-Ẓāhir). Akal memperhatikan keteraturan alam, hukum sebab-akibat, logika penciptaan, hingga ketundukan kosmos pada Sunnatullah. Di sini berlaku prinsip tauhid yang rasional : tidak ada pengatur selain Allah.

Namun, ada yang lebih dalam. Yaitu cahaya ruh, yang dengan itu manusia mengenal Allah dalam sifat-Nya yang batin (Huwa al-Bāṭin). Cahaya ini tidak lagi hanya mengamati hukum-hukum alam, melainkan menyelami keheningan batin, dzikir, dan penyaksian ruhani. Ia mengantar manusia memasuki pengalaman langsung tentang rahasia Ilahi : tiada yang lain kecuali Dia.

Namun ada satu titik temu : kedua cahaya itu tak akan menemukan kebenaran bila tidak diarahkan oleh cahaya kenabian. 

Dan inilah yang sangat indah : kalimat syahadat ternyata memiliki dua dimensi— dimensi tauhidullah [ cahaya Ruh_Makrifat-Hakikat ] dan dimensi kerasulan [ cahaya akal_Tarikat-Syariat ].

a. Cahaya Ruh (Syahadat Tauhid)

QS. Al-A‘raf : 172 → Qalu balā syahidnā.

Ruh manusia sejak awal sudah bersaksi langsung kepada Allah → inilah Nur Fitrah Tauhid.

b. Cahaya Akal (Syahadat Rasul)

QS. Al-An’am : 90 → “…Maka ikutilah petunjuk mereka (para nabi), dan katakanlah : ‘Aku tidak meminta kepadamu upah atas seruan ini. Ini hanyalah peringatan bagi semesta alam.’”

Akal diberi cahaya untuk mengenali kebenaran rasul. Maka syahadat kepada Nabi Muhammad adalah bentuk konfirmasi akal terhadap cahaya risalah.

Korelasi Keduanya [ Ruh dan Akal sebagai Dua Cahaya ]

QS. At-Taghabun : 8 → “Maka berimanlah kamu kepada Allah, Rasul-Nya, dan kepada cahaya (Al-Qur’an dan kitab-kitab sebelumnya ) yang telah Kami turunkan. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Ada iman kepada Allah (cahaya ruh), ada iman kepada Rasul (cahaya akal yang menuntun kepada wahyu), dan ada cahaya Qur’an yang menyinari keduanya.

Dengan demikian maka misi para nabi/rasul itu saling melanjutkan jalan tauhid, bukan saling menegasikan. (Ali Imran : 81 dan Asy-Syura : 13).

Jiwa manusia memiliki dua lampu utama :

💧Lampu ruh → syahadat tauhid → koneksi primordial (qalu balā syahidna).

💧Lampu akal → syahadat rasul → koneksi bimbingan risalah agar tidak tersesat.

Bila keduanya menyala, manusia berjalan lurus menuju "Allahu Ṣamad". Bila hanya satu menyala (misalnya ruh tanpa akal - sebagaimana kebanyakan kaum Nasrani, atau akal tanpa ruh- sebagaimana kebanyakan kaum Yahudi ), manusia bisa tersesat.

Mengapa Muhammad ?

Lalu mengapa kita mesti bersyahadat kepada Muhammad ﷺ ?

Sebab Muhammad adalah puncak dari rantai kenabian, “penutup para nabi”, yang menyempurnakan cahaya semua risalah sebelumnya. Dalam bahasa Ibn ʿArabi, beliau adalah " al-insān al-kāmil " — manusia sempurna, cermin paling jernih yang memantulkan nama-nama Allah tanpa cacat.

Tanpa cermin ini, manusia hanya akan menebak-nebak bayangan. Dengan cermin ini, wajah Allah tampak dalam batas yang bisa ditangkap kesadaran manusia. Syahadat kepada Muhammad berarti bersedia melewati pintu terakhir itu, pintu yang membukakan seluruh jalan menuju Allah.

Kesaksian dalam Bingkai Wahdatul Wujud

Ibn ‘Arabi, dalam filsafat wahdatul wujud, melihat bahwa wujud tunggal hanyalah Allah. Segala sesuatu yang kita sebut makhluk hanyalah tajalli—penampakan, pancaran dari-Nya. Maka, kesaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah berarti juga kesaksian bahwa ada pintu yang mempertemukan keterbatasan manusia dengan keabadian Allah. Muhammad adalah cermin sempurna (insan kamil) yang memantulkan sifat-sifat Allah dalam bentuk manusia.

Dengan demikian, setiap orang yang mengucapkan syahadat bukanlah sedang mengakui “sejarah,” melainkan sedang memasuki “hakikat.” Syahadat adalah pernyataan batin : bahwa aku bersaksi kepada pintu itu, dan aku siap melangkah menuju Yang Maha Esa melalui jalan yang telah dibukakan Muhammad.

Kesimpulan : Pintu, Cermin, dan Cahaya

Bersyahadat kepada Muhammad ﷺ adalah pengakuan atas tiga hakikat sekaligus :

1. Nabi sebagai pintu — jalan satu-satunya menuju Allah.

2. Nabi sebagai cermin — refleksi paling sempurna dari nama-nama Allah.

3. Nabi sebagai cahaya — yang membuat akal dan ruh mampu mengenal Allah sebagai Yang ẓāhir dan Yang bāṭin.

Maka, keimanan kepada Muhammad tidak lahir dari melihat jasadnya, melainkan dari melihat cahaya kenabiannya yang tetap hadir. Ia memancar dalam Al-Qur’an, dalam jejak sejarah, dan dalam kesadaran batin orang-orang yang mencari Allah dengan sungguh-sungguh.

Kesaksian kita tentang Muhammad sesungguhnya adalah kesaksian kita tentang Allah sendiri—zhahir maupun bathin. Maka, tidak ada jalan lain bagi yang merindu Allah kecuali memasuki pintu itu. 

Tanpa pintu ini, kita hanya akan mengitari dinding rumah tanpa pernah masuk. Tanpa cermin ini, wajah Allah hanya menjadi bayangan kabur. Tanpa cahaya ini, akal dan ruh kita akan buta.

Dengan demikian maka hakikat syahadat adalah keberanian untuk membuka pintu itu, menatap cermin itu, dan menjemput cahaya itu.

Dan barangsiapa enggan bersaksi, sesungguhnya ia menutup pintu yang mestinya membawanya pulang.

Penutup

Pada akhirnya, perbincangan tentang cahaya akal dan cahaya ruh bukan sekadar wacana filosofis, melainkan penunjuk jalan bagi manusia dalam mencari Allah. Akal memberi kita kemampuan mengenali Allah yang ẓāhir—tanda-tanda kekuasaan-Nya yang terhampar di langit, bumi, sejarah, dan hukum-hukum alam. Sementara ruh membuka tabir ke arah Allah yang bāṭin—Dia yang tersembunyi dalam inti kesadaran, hadir dalam keheningan batin, dan menyapa melalui nur ilahi.

Al-Qur’an telah merangkum keseimbangan ini dalam firman-Nya :

> هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Dia-lah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Batin ; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Hadid [57] : 3)

Ibn ‘Arabi menutup banyak karyanya dengan peringatan bahwa manusia yang berjalan dengan hanya mengandalkan akal tanpa ruh akan kering, sementara mereka yang berlari dengan ruh tanpa bimbingan akal akan tersesat. Keduanya harus berjalan seiring : akal menuntun langkah pada jalan syariat, ruh menghidupkan makna pada jalan hakikat.

Dalam syairnya ia berbisik lembut :

> “Hatiku mampu menerima segala bentuk : padang rumput bagi rusa, biara bagi pendeta, Ka‘bah bagi peziarah, lembaran Taurat, dan mushaf al-Qur’an.

> "Agama cinta adalah agamaku dan imanku. Ke mana pun unta cinta pergi, di situlah agamaku dan imanku.”

Syair ini bukanlah seruan pada relativisme, melainkan cermin kesadaran tertinggi : bahwa segala jalan sejati hanyalah bermuara pada Dia Yang Esa, baik melalui cahaya akal maupun cahaya ruh.

Maka, bila manusia menyadari dirinya sebagai “mikrokosmos” dari nama-nama Allah, ia akan menemukan keseimbangan : akalnya menyinari yang ẓāhir, ruhnya menerangi yang bāṭin. Dari sinilah manusia benar-benar mengenal Allah dalam dua wajah-Nya, dan menyaksikan dengan jernih rahasia tauhid dalam bingkai wahdatul wujud.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar