Halaman

Selasa, 19 Agustus 2025

Siapa Itu Siddiqin ? Menyingkap Makna yang Sering Dipersempit

Mang Anas 


Dalam doa harian kita membaca :

> “Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat, bukan jalan orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang yang sesat.” (QS. Al-Fatihah: 6–7)

Al-Qur’an kemudian menjelaskan siapa yang dimaksud dengan orang-orang yang diberi nikmat itu :

> “Barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka akan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para siddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. An-Nisa: 69)

Nah, di sinilah muncul istilah yang sering membuat orang bingung : Siddiqin.

1. Salah Kaprah : Siddiqin = Orang Jujur ?

Sering kali umat Islam memahami Siddiqin sebatas orang yang jujur dalam perkataan. Padahal, makna ini terlalu dangkal dan tidak mencerminkan kedalaman derajat ruhani seperti yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an dalam Surat An-Nisa : 69 diatas. Siddiqin ditempatkan tepat setelah para Nabi, sebelum Syuhada dan Shalihin. Ini menunjukkan bahwa derajat Siddiqin adalah lapisan tertinggi setelah kenabian, bukan sekadar "jujur" dalam perkataan, melainkan sebuah maqam ruhani.

Maka mengartikan Siddiqin hanya sebagai “jujur” ibarat menafsirkan samudera hanya sebagai “air yang banyak”. Benar, tapi sangat menyempitkan.

2. Siddiqin dan Dimensi Ilmu Ilahi

Siddiqin bukan sekadar orang yang jujur dalam ucapan atau konsisten dalam amal, tetapi mereka adalah golongan manusia yang dianugerahi penyaksian langsung terhadap hakikat kebenaran agama. Sumber pengetahuan mereka tidak semata hasil ijtihad akal atau belajar dari manusia, melainkan buah dari pengajaran langsung Allah sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya :

> عَلَّمَ الإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq: 5)

Inilah maqam pengajaran al-Qalam, yaitu ilmu yang bersumber langsung dari al-‘Allām (Yang Maha Mengajar), tanpa perantara selain nur dan hidayah-Nya.

---

2. Keterhubungan dengan “al-Muthohharūn”

Al-Qur’an menyebut bahwa hanya orang-orang yang disucikan (al-muthohharūn) yang bisa menyentuh dan menyingkap makna terdalam Kitab (QS. Al-Wāqi‘ah: 79). Para nabi tentu berada pada maqam ini. Tetapi setelah para nabi, Siddiqin lah yang masuk dalam kategori tersebut—karena mereka adalah jiwa-jiwa yang disucikan dan diberi jalan pengajaran hakiki.

Mereka bukan sekadar memahami huruf-huruf al-Qur’an, melainkan menangkap ruh al-Qur’an; bukan hanya membaca teks, tapi menyaksikan hakikat yang ditunjuk teks.

---

3. Siddiqin sebagai Warosatul Ambiya

Sering kita dengar hadits : “al-‘ulamā’ waratsatul-anbiyā’” (ulama adalah pewaris para nabi). Tetapi yang paling tepat disebut ‘ulama pewaris para nabi bukanlah semua orang berilmu syar’i secara lahir, melainkan Siddiqin.

Mengapa ? Karena :

> Mereka mewarisi manhaj ilahi dalam memahami kitab.

> Mereka mengakses sumber ilmu yang sama : “allamal insana ma lam ya‘lam”.

> Mereka disucikan dari hawa nafsu, sehingga tidak mencampuradukkan wahyu dengan kepentingan duniawi.

Dengan demikian, otoritas tertinggi dalam tafsir hakiki al-Qur’an ada pada Siddiqin, setelah para nabi. Ulama yang benar-benar warosatul ambiya adalah mereka yang berada pada maqam ini—bukan semata yang menguasai hafalan, riwayat, atau logika fikih.

Jenis jenis ilmu yang diajarkan Allah SWT kepada para Siddiqin 

a. Hakikat hidup dan kehidupan

Mereka memahami makna keberadaan manusia, asal-usul, tujuan, dan perjalanan ruhani dari dunia hingga akhirat. Bukan sebatas filsafat hidup, melainkan ilmu dzauqi (rasa langsung) tentang posisi diri di hadapan Sang Pencipta.

b. Hakikat benar dan kebenaran

Para siddiqin tidak terikat oleh kebenaran semu, opini massa, atau ideologi sesaat. Mereka dibimbing untuk melihat haqq sebagaimana adanya—baik dalam wilayah syariat, akal, maupun hakikat ruhani.

c. Hakikat alam semesta

Bagi mereka, jagat raya adalah “ayat kauniyah”—tanda-tanda Allah yang setara dengan ayat-ayat Qur’an. Siddiqin memahami rahasia keteraturan kosmos, hukum-hukum ilahi yang mengikat materi dan ruh, sehingga alam bukan sekadar objek, tapi kitab terbuka yang harus dibaca.

d. Ilmu huruf

Ini adalah kunci dari al-Qalam. Huruf-huruf bukan sekadar simbol fonetik, tapi getaran, pola energi, dan bahasa ghaib yang melahirkan realitas. Siddiqin belajar bagaimana huruf Qur’an bukan hanya bacaan, melainkan susunan kosmik yang memancar dari Kun Fayakūn.

e. Al-Qur’an terjemahan hakikat

Bagi siddiqin, Qur’an tidak berhenti pada bacaan dan tafsir lahiriah. Mereka dibimbing Allah untuk menyingkap “terjemahan hakikat”—yakni makna terdalam dari ayat-ayat, bagaimana setiap kata menjadi pintu, setiap kisah menjadi cermin ruhani, dan setiap hukum menjadi alur perjalanan jiwa menuju Allah.

Dengan demikian, siddiqin adalah arsitek kesadaran rohani umat : mereka bukan nabi, bukan pula sekadar ulama, tapi pewaris langsung ilmu yang ditulis oleh al-Qalam di Lauhul Mahfuz. Mereka menjadi saksi hidup bahwa “kebenaran” tidak hanya diajarkan, tapi juga dialami.

Dengan kata lain, ṣiddīqīn adalah prototipe insan kamil pasca-nubuwwah, merekalah yang menjaga keberlanjutan tajallī kebenaran di bumi setelah para nabi tiada.

---

4. Signifikansi bagi Umat

Hal ini membawa implikasi besar :

Umat Islam perlu membedakan antara ulama ‘rasmi’ (ilmuwan teks) dengan ulama yang benar-benar Siddiqin.

Tafsir Qur’an tidak bisa dipahami hanya dengan perangkat bahasa, balaghah, atau ushul fikih ; harus ada penyaksian ruhani.

Krisis umat modern lahir karena tafsir banyak didominasi “ulama rasionalis-tekstual” yang bukan Siddiqin, sementara warosatul ambiya sejati justru jarang diberi tempat.

👉 Jadi, dapat kita simpulkan : Siddiqin adalah golongan yang diberi pengajaran langsung dari Allah melalui al-Qalam, mereka termasuk al-muthohharun, dan merekalah yang paling layak disebut warosatul ambiya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar