By. Mang Anas
Indonesia sedang menghadapi paradoks berbahaya. Selama satu dekade terakhir, pemerintahan Joko Widodo menampilkan wajah optimisme ekonomi: angka kemiskinan menurun, pengangguran terkendali, inflasi stabil, pertumbuhan konsisten di kisaran lima persen. Semua data resmi—yang disajikan melalui Badan Pusat Statistik (BPS)—seakan mengonfirmasi keberhasilan pembangunan.
Namun realitas di lapangan berbeda sama sekali. Anak-anak muda yang baru lulus sekolah kesulitan mencari pekerjaan. Pabrik-pabrik padat karya melakukan pemutusan hubungan kerja massal. Pedagang kecil sepi pembeli. Harga-harga kebutuhan pokok meroket jauh di atas angka inflasi resmi. Keluhan ekonomi rakyat mulai menyeruak di setiap sudut negeri, menandakan bahwa statistik yang indah tidak sanggup menyembunyikan krisis yang nyata.
Ilusi Kebersihan Statistik
Salah satu “pencitraan keberhasilan” paling besar dari Jokowi adalah penggunaan statistik untuk memoles wajah ekonomi. Definisi kemiskinan diturunkan menjadi sekadar pengeluaran Rp15.000 per hari—angka yang jelas tidak cukup untuk hidup layak. Definisi “bekerja” hanya mensyaratkan satu jam kerja per minggu—sehingga buruh serabutan dan pekerja paruh waktu terhitung sebagai tenaga kerja penuh.
Inflasi pun diklaim rendah, meski di pasar rakyat harga harga barang kebutuhan pokok seperti beras, cabai, daging dan barang-barang kebutuhan sehari-hari lainnya melonjak berkali lipat. Pertumbuhan ekonomi sebesar 5% dipamerkan sebagai prestasi, padahal sebagian besar ditopang oleh proyek infrastruktur berbasis utang, bukan produktivitas riil rakyat.
Dengan cara ini, Jokowi berhasil membangun citra sebagai pemimpin pembangunan yang berhasil dan pro rakyat. Namun keberhasilan itu bersandar pada data yang dimanipulasi definisinya, bukan pada kenyataan ekonomi rakyat sehari-hari.
Bom Waktu Warisan Jokowi
Presiden Prabowo Subianto kini mewarisi “statistik indah” yang menutupi bom waktu ekonomi. Utang negara melonjak hingga Rp9.000 triliun, sementara pembayaran bunga dan cicilannya sudah memakan hampir setengah APBN. Ruang fiskal untuk membiayai program-program baru makin sempit.
Ironisnya, Prabowo sendiri masuk ke dalam jebakan populisme dengan menjanjikan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang biayanya ditaksir mencapai Rp450–500 triliun per tahun. Kombinasi antara utang tinggi + janji populis menciptakan dilema yang sulit dipecahkan :
• Jika program dijalankan, utang makin menumpuk.
• Jika dibatalkan, legitimasi politik terancam runtuh.
Inilah perangkap statistik palsu yang ditinggalkan Jokowi : data ekonomi terlihat aman, padahal fondasi riilnya rapuh.
Krisis Legitimasi yang Mengintai
Sejarah memberi banyak pelajaran. Nicolae Ceaușescu di Rumania juga menggunakan statistik indah untuk menutupi penderitaan rakyat, sampai akhirnya rezimnya runtuh dalam revolusi. Indonesia memang bukan Rumania ; ia masih demokrasi dengan ruang oposisi. Tetapi pola manipulasi data dan politik pencitraan serupa : rakyat diberi angka, bukan kesejahteraan.
Jika kondisi ini dibiarkan, krisis ekonomi akan segera berubah menjadi krisis legitimasi politik. Rakyat yang lapar dan pengangguran yang frustasi tidak bisa ditenangkan dengan data inflasi palsu 2%. Mereka butuh pekerjaan, harga yang terjangkau, dan keadilan ekonomi nyata.
🔎 Beberapa Catatan tentang Manipulasi Data BPS ala Jokowi
1. Angka Kemiskinan dan Pengangguran
Secara resmi, BPS selalu melaporkan angka kemiskinan dan pengangguran menurun.
Tapi definisinya sangat longgar :
“Tidak miskin” = punya pengeluaran lebih dari Rp 15 ribu/hari → padahal jelas tidak cukup untuk hidup layak.
“Bekerja” = kerja minimal satu jam dalam seminggu → sehingga ojek online, pekerja paruh waktu, bahkan buruh serabutan masuk kategori “bekerja”.
Artinya, statistiknya rapi, rakyatnya tetap sengsara.
2. Pertumbuhan Ekonomi
Jokowi selalu memamerkan pertumbuhan di kisaran 5%.
Tapi pertumbuhan ini didorong oleh utang & proyek infrastruktur, bukan dari produktivitas riil rakyat.
Lapangan kerja tidak tumbuh sebanding dengan investasi yang masuk.
3. Stabilitas Inflasi
Pemerintah klaim inflasi terkendali (hanya 2–3%).
Padahal di pasar, harga pangan melonjak jauh lebih tinggi. Data BPS sering tidak sesuai dengan realitas kantong rakyat.
4. Utang Negara
Jokowi sering menutupi laju utang dengan narasi : “rasio utang masih aman dibanding PDB”.
Padahal, beban bunga dan cicilan yang harus dibayar tiap tahun makin mencekik APBN.
Rakyat tidak merasakan manfaat dari utang, karena sebagian besar mengalir ke infrastruktur besar, bukan ekonomi mikro.
⚖️ Dampak Manipulasi Data
Rakyat makin tidak percaya pada pemerintah.
Pemimpin penerus (Prabowo) masuk ke perangkap : ia diwarisi “statistik indah”, tapi realitasnya hancur.
Kebijakan jadi salah arah, karena dibuat berdasarkan data manipulatif, bukan realitas ekonomi rakyat.
Situasi ini sangat mirip dengan Rumania era Ceaușescu, di mana laporan resmi selalu indah, tapi rak-rak toko kosong dan rakyat kelaparan.
Penutup
Penyebab utama penderitaan rakyat sekarang adalah karena rezim Jokowi membangun legitimasi politik dengan pencitraan, bukan dengan perbaikan fundamental ekonomi. BPS dijadikan alat legitimasi, sehingga Prabowo kini menghadapi “bom waktu”: data indah tapi realitas busuk.
Warisan Jokowi bagi Prabowo bukanlah pertumbuhan lima persen atau infrastruktur megah, melainkan ilusi kebersihan statistik yang menutupi bom waktu utang, pengangguran, dan kemiskinan.
Hari ini, Indonesia dihadapkan pada pertanyaan mendasar : apakah negara akan terus bersembunyi di balik data BPS yang dipoles, ataukah berani menghadapi kenyataan pahit dan memperbaikinya?
Karena pada akhirnya, statistik bisa dipalsukan, tetapi penderitaan rakyat tidak bisa disembunyikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar