By. Mang Anas
Kata Pendahuluan
Salah satu rahasia besar dalam kehidupan manusia adalah kesaksian primordial jiwa yang disebut dalam Al-Qur’an : “Alastu birabbikum ? Qālū balā syahidnā” (QS. Al-A‘rāf:172). Di alam ruh, sebelum lahir ke dunia, jiwa kita telah mengakui ketuhanan Allah dengan fitrah tauhid yang murni. Namun, begitu manusia lahir ke bumi dan terbungkus jasad, kesaksian itu tertutup oleh lapisan-lapisan indrawi, logika duniawi, dan godaan nafsu. Akibatnya, manusia mudah lupa siapa dirinya dan kepada siapa ia harus kembali.
Di sinilah letak kebijaksanaan syariat Islam. Allah tidak membiarkan kita terputus dari memori primordial tersebut. Melalui syahadat—yang dilafalkan berulang kali dalam shalat—Allah menghadirkan mekanisme pengaktifan ulang fitrah tauhid dalam diri kita. Syahadat bukan sekadar kalimat pengakuan formal, melainkan “remote spiritual” yang menyentuh inti jiwa, membangunkan kembali kesaksian lama yang pernah terucap di hadapan Allah.
Tanpa kesadaran akan fungsi syahadat ini, ibadah seringkali terjebak dalam rutinitas lahiriah. Lidah bergerak, tubuh rukuk dan sujud, tetapi jiwa tetap terpenjara dalam kabut dunia. Padahal, setiap kali syahadat diucapkan, sesungguhnya kita sedang mengetuk pintu rahasia terdalam dari jiwa, agar terhubung kembali dengan Allahu Ṣamad—satu-satunya tempat bergantung.
Karena itulah pembahasan tentang hubungan antara kesaksian primordial (qālū balā) dan syahadat dalam shalat sangat penting untuk disampaikan. Ia akan membuka kesadaran umat bahwa shalat bukan sekadar kewajiban ritual, melainkan sarana kalibrasi spiritual agar jiwa tidak kehilangan arah di tengah hiruk pikuk dunia.
1. Kesaksian Primordial (Qālū Balā)
QS. Al-A‘rāf : 172 menjelaskan bahwa sebelum lahir, seluruh jiwa manusia ditanya:
“Alastu birabbikum ?” [ Bukankah Aku ini Tuhanmu ? ]
Semua menjawab: “Qālū balā syahidnā.” [ Benar, kami bersaksi ].
Itu adalah program dasar jiwa : fitrah tauhid.
Namun saat lahir ke dunia, jiwa “dibungkus” tubuh jasmani → oleh darah, daging, mata, telinga, nafsu, dan logika duniawi. Lapisan-lapisan ini membuat memori primordial itu tertutupi (mahjub).
2. Syahadat sebagai Remote Aktivasi
Syahadat adalah kalimat resonansi :
Asyhadu an lā ilāha illallāh, wa asyhadu anna Muḥammadan rasūlullāh.
Bacaan ini bukan sekadar ucapan formal, melainkan frekuensi pengaktif yang menembus lapisan jasmani.
Seperti remote TV : tombol ada, sinyal ada, tapi harus diarahkan ke titik yang tepat.
Syahadat menjadi kode kunci untuk membuka memori primordial qalu bala dalam jiwa.
3. Mengapa dalam Shalat ?
Shalat adalah momen sinkronisasi jiwa dengan frekuensi langit.
Syahadat dalam tahiyyat bukan hiasan, melainkan penyambung jiwa yang sempat “hilang sinyal”.
Saat tubuh rukuk, sujud, dan duduk, lalu lidah melafalkan syahadat → jiwa disentuh oleh “getaran primordialnya”.
Maka shalat adalah ritual kalibrasi jiwa agar kembali pada default setting tauhid.
4. Mekanisme Spiritualitas Syahadat dalam Shalat
Bayangkan jiwa sebagai lapisan-lapisan :
Jasad → Akal → Jiwa → Ruh → Sirr (rahasia terdalam).
Bacaan syahadat masuk melalui jasad (lidah dan suara). Gelombangnya masuk ke akal, yang mengenali makna “tiada Tuhan selain Allah”. Lalu menembus ke jiwa, yang punya memori primordial (qalu bala). Dari sini jiwa “bergetar” → mengenali kebenaran yang pernah ia saksikan. Akhirnya energi itu menyatu ke Ruh, yang langsung tersambung dengan Allahu Ṣamad.
Artinya : syahadat adalah kata kunci resonansi yang mengaktifkan remote jiwa, sehingga jiwa tidak hanya terjebak pada dunia indera, tapi kembali terhubung dengan sumber asalnya.
5. Mengapa Remote Jiwa Harus Diaktifkan Berkali-kali ?
Karena hidup di dunia ini penuh dengan interferensi : nafsu, syahwat, logika materialis, bisikan syetan.
Remote jiwa bisa “drop sinyal” kalau tidak dipencet ulang.
Itulah sebabnya syahadat diulang lima kali sehari dalam shalat → agar jiwa selalu tersambung.
Jadi, shalat bukan sekadar gerakan, tapi ritual recharge dan sinkronisasi jiwa dengan Allah.
6. Kunci Rahasia : Allahu Ṣamad
Syahadat tidak berhenti pada penafian (lā ilāha) dan penetapan (illallāh), tetapi mengarahkan jiwa ke Allahu Ṣamad (Yang Maha Bergantung).
Remote jiwa akan aktif penuh hanya bila diarahkan kepada Allahu Ṣamad, bukan pada sesembahan lain (materi, ego, atau makhluk).
Inilah yang membedakan syahadat hidup (aktif) dan syahadat mati (formalitas saja).
7. Kesimpulan
> Qalu bala = instalasi fitrah tauhid di alam ruh.
> Syahadat dalam shalat = aktivasi remote jiwa untuk mengingat fitrah itu.
> Mekanisme : ucapan jasmani → masuk ke akal → menggugah jiwa → menyambung ruh → tersambung Allah.
> Tujuan : agar jiwa yang terbungkus jasmani tetap hidup dalam cahaya tauhid, bukan hanya sibuk dengan dunia wadag.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar