By. Mang Anas
Sejarah yang kita warisi pada hakikatnya bukanlah kepastian, melainkan rekonstruksi. Para arkeolog, sejarawan, dan peneliti berusaha menyambungkan simpul-simpul fakta yang tercecer : prasasti, sisa bangunan, artefak, dan catatan kuno. Namun, di antara simpul-simpul itu terbentang ruang kosong yang begitu luas. Maka lahirlah narasi yang lebih banyak dibentuk oleh spekulasi ketimbang fakta murni.
Al-Qur’an memberi perspektif berbeda. Kitab ini menegaskan bahwa sejak awal manusia diciptakan, ia telah dibekali ilmu dan kemampuan bahasa (QS. Al-Baqarah : 31–33). Adam bukanlah manusia gua yang perlahan berkembang menjadi beradab, melainkan sosok yang sudah mewarisi pengetahuan dari Tuhan. Artinya, peradaban tinggi bukanlah hasil jutaan tahun evolusi linear, melainkan potensi asli manusia yang bisa muncul kapan saja, lalu runtuh kapan saja pula.
Jejak arsitektur megah yang kita lihat hari ini—Borobudur dan Prambanan di Jawa, Angkor Wat di Kamboja Utara, piramida di Mesir, Petra di Yordania, Machu Picchu di Peru—menjadi saksi bahwa bangsa-bangsa terdahulu telah mencapai teknologi dan tata kota yang sangat maju. Namun, sebagaimana kisah kaum ‘Ād, Ṡamūd, Mesir kuno, dan Babilonia yang diabadikan dalam Al-Qur’an, kejayaan itu sirna karena kerusakan moral, kelalaian spiritual, atau bencana alam yang menghancurkan.
Dengan demikian, sejarah sejatinya bukan garis lurus dari primitif menuju modern, melainkan siklus : lahir, berkembang, hancur, lalu lahir kembali dalam wajah baru. Maka jika manusia modern merasa sebagai puncak peradaban, ia sesungguhnya lupa bahwa dirinya hanya satu putaran dari roda panjang sejarah.
Kelemahan terbesar akal manusia adalah ia mencoba menjahit kain sejarah dengan benang yang sering putus di tengah jalan. Narasinya tampak rapi, tetapi banyak bagian kosong yang tak tersentuh. Di sinilah wahyu berperan, memberi cahaya agar simpul-simpul fakta itu tersambung bukan hanya secara logis, melainkan juga secara maknawi. Sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan cermin spiritual : agar manusia mengambil pelajaran, bukan mengulang kesombongan bangsa-bangsa yang telah hancur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar