By Mang Anas
1. Hakikat Dzat Insan [ بِسْمِ ]
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (١)
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. (Q.S. Al-Fatihah ayat 1)
# Hakikat Dzat Insan yang terdapat dalam kata بِسْمِ (Bism) mengandung makna yang dalam dan esoterik. Kata ini berasal dari akar huruf ب س م yang, jika diuraikan lebih lanjut dalam pemahaman hakikat, memiliki makna tersirat yang berkaitan dengan "kesadaran diri (Insan) sebagai cerminan atau manifestasi dari Dzat Tuhan ".
Ba' (ب): Melambangkan "penyatuan" atau "kebersamaan." Dalam konteks Dzat Insan, Ba' menunjukkan hubungan erat antara insan dengan Sang Pencipta, yang tidak terpisah. Ini menyiratkan hakikat manusia yang sejatinya terhubung dengan Tuhan melalui rahasia tersembunyi yang tersirat dalam diri.
Sin (س): Mengandung makna "sembah" atau "penundukan diri." Dalam konteks Dzat Insan, ini menunjukkan kesadaran insan untuk selalu tunduk dan taat kepada kehendak Ilahi. Sin juga dapat merujuk pada jalan spiritual yang dilalui oleh insan dalam mengenal hakikat dirinya.
Mim (م): Melambangkan "manifestasi" atau "penampakan." Ini terkait dengan bagaimana Dzat Insan merupakan manifestasi dari Dzat Tuhan yang Maha Kuasa. Insan, sebagai cerminan Dzat Ilahi, memancarkan sifat-sifat Tuhan dalam bentuk perilaku, kebijaksanaan, dan kasih sayang.
Oleh karena itu, بِسْمِ dalam konteks Dzat Insan mengajarkan bahwa hakikat manusia (insan) tidak terlepas dari Dzat Tuhan yang menciptakannya. Insan adalah manifestasi dari sifat-sifat Ilahi dan bertindak sebagai wakil Tuhan di alam semesta. Pemahaman ini membawa insan kepada kesadaran akan asal-usulnya serta tujuan keberadaannya dalam menjalankan misi Ilahi di dunia.
2. Hakikat Nur Insan [ اَلْحَمْدُ ]
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ (٢)
# Hakikat Nur Insan [ اَلْحَمْدُ] adalah sebuah nuktah ketuhanan [ blue print diri Rabb ] yang Allah tanam pada diri manusia yang dengannya terbuka ruang bagi manusia dirinya berkembang menuju puncak kesempurnaannya [ kembali murni menjadi Nur Muhammad ]. Inilah makna yang sesungguhnya dari firman Allah dalam hadits qudsi " Sesungguhnya diri manusia itu diciptakan menurut gambar dan rupa Tuhannya ".
Hakikat Nur Insan yang terdapat dalam kata اَلْحَمْدُ (Al-Hamdu) mengandung makna yang sangat dalam terkait dengan pujian, syukur, dan manifestasi cahaya Ilahi dalam diri manusia (Insan). Jika kita mengurai kata اَلْحَمْدُ secara esoterik, maka kita akan menemukan makna yang berkaitan dengan Nur Insan sebagai pancaran kesempurnaan dari Tuhan.
Alif (ا): Melambangkan keesaan Tuhan (Tauhid). Dalam konteks Nur Insan, Alif menunjukkan bahwa seluruh pancaran cahaya atau Nur Insan berasal dari satu sumber, yaitu Allah. Insan sebagai cerminan Nur Ilahi harus menyadari bahwa segala bentuk pujian dan syukur kembali kepada keesaan Tuhan.
Lam (ل): Menunjukkan "sambungan" atau "keterikatan" antara manusia dan Tuhan. Nur Insan, sebagai pancaran Ilahi, senantiasa terhubung dengan asal-usulnya. Lam juga menggambarkan aliran energi spiritual dari Tuhan kepada insan, di mana insan memancarkan kembali cahaya ini melalui perbuatan baik dan ketaatan.
Ha' (ح): Menggambarkan "kehidupan" dan "keberadaan." Ha’ dalam Al-Hamdu menunjukkan bahwa Nur Insan adalah kehidupan itu sendiri, yang terwujud dalam bentuk cahaya (nur) yang menerangi kegelapan. Cahaya ini memancarkan sifat-sifat kesempurnaan Tuhan, dan dengan memahaminya, insan dapat hidup sesuai dengan tujuan penciptaannya.
Mim (م): Seperti pada kata بِسْمِ, Mim di sini melambangkan "manifestasi." Nur Insan merupakan manifestasi dari pujian kepada Tuhan. Setiap kebaikan, amal, dan sifat luhur yang terpancar dari insan adalah manifestasi dari cahaya Ilahi, yang dalam hakikatnya adalah bentuk pujian kepada Allah.
Dal (د): Menunjukkan "kekuatan" dan "keteguhan." Dalam konteks Nur Insan, Dal menunjukkan keteguhan iman dan keyakinan yang dimiliki insan ketika menjalani hidup sebagai perwujudan dari Nur Ilahi. Kekuatan spiritual ini mengarahkan insan untuk selalu mengembalikan segala bentuk kebaikan, prestasi, dan kelebihan yang dimilikinya kepada Allah, karena semua itu adalah bagian dari Al-Hamd (pujian) yang hakiki.
Jadi, hakikat Nur Insan dalam kata اَلْحَمْدُ adalah bahwa insan sebagai ciptaan yang memiliki cahaya Ilahi harus menyadari bahwa segala pujian, kemuliaan, dan kesempurnaan yang ada padanya berasal dari Tuhan. Insan yang menerangi dirinya dengan Nur Ilahi akan selalu berada dalam keadaan bersyukur dan memuji Allah, karena dia sadar bahwa segala keindahan dan kesempurnaan adalah milik-Nya.
3. Hakikat Sirr Insan [ الرَّحْمٰنِ - الرَّحِيْمِۙ - مٰلِكِ ]
الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِۙ (٣)
Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, (Q.S. Al-Fatihah ayat 3)
مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِۗ (٤)
Pemilik hari pembalasan. (Q.S. Al-Fatihah ayat 4)
# Sirr Insan dengan tiga elemen asma yang ada didalamnya yaitu الرَّحْمٰنِ - الرَّحِيْمِۙ - مٰلِكِ adalah suatu perangkat canggih yang Allah tanam didalam diri manusia, ditempatkan disebuah lokus yang sangat rahasia [ disebut perbendaharaan Allah ] adalah ibarat sebuah chip yang dengannya kita [ manusia ] akhirnya memiliki potensi untuk dapat mengenali siapa sesungguhnya diri sejati dan yang sejatinya diri. Merupakan ranah dari bahasan ilmu tentang " Urip Sejati".
Hakikat Sirr Insan (rahasia terdalam manusia) yang terkandung dalam tiga elemen الرَّحْمٰنِ, الرَّحِيْمِ, dan مٰلِكِ menggambarkan aspek-aspek penting dari rahasia keberadaan insan sebagai manifestasi dari sifat-sifat Ilahi. Dalam pemahaman esoterik, ketiga elemen ini berhubungan erat dengan perjalanan batin insan untuk mengenali hakikatnya sebagai cerminan sifat Tuhan. Berikut adalah uraian hakikatnya:
A1. الرَّحْمٰنِ (Ar-Rahman)
Ar-Rahman mengandung makna "Yang Maha Pengasih" dengan kasih sayang yang meliputi seluruh ciptaan-Nya tanpa terkecuali. Dalam konteks Sirr Insan, Ar-Rahman menggambarkan aspek kasih Ilahi yang universal dan meliputi semua insan, baik yang sadar maupun yang belum sadar akan Tuhan. Kasih sayang ini tidak membedakan dan meresap ke dalam seluruh eksistensi manusia.
Hakikat Sirr Ar-Rahman pada insan terletak pada potensi kasih sayang dan kelembutan yang dimiliki setiap manusia. Insan sebagai makhluk Ilahi memiliki tanggung jawab untuk menyebarkan rahmat (kasih) ke seluruh alam. Dengan menyadari aspek Ar-Rahman dalam dirinya, insan memahami bahwa kasih sayang yang dia pancarkan adalah cerminan dari kasih sayang Tuhan yang melingkupi alam semesta.
A 2. الرَّحِيْمِۙ (Ar-Rahim)
Ar-Rahim melambangkan "Yang Maha Penyayang" dalam konteks yang lebih spesifik dan mendalam. Jika Ar-Rahman bersifat umum dan merangkul seluruh ciptaan, Ar-Rahim adalah kasih sayang yang bersifat khusus, yang diberikan kepada mereka yang mendekat kepada Tuhan dan berusaha untuk mengenal hakikat diri serta Tuhannya. Ini adalah kasih sayang yang menyempurnakan.
Hakikat Sirr Ar-Rahim pada insan adalah rahasia keintiman hubungan insan dengan Tuhan. Ini mengacu pada perjalanan spiritual insan yang semakin mendekat kepada Tuhan melalui pengenalan diri dan penyucian jiwa. Ar-Rahim menyiratkan bahwa semakin insan mendalami rahasia keberadaan dan mendekati Tuhan, semakin dia merasakan limpahan kasih sayang yang lebih spesifik dan mendalam dari-Nya.
A 3. مٰلِكِ (Malik)
Malik berarti "Raja" atau "Penguasa." Dalam konteks Sirr Insan, Malik menggambarkan kekuasaan dan otoritas Ilahi yang memerintah seluruh alam semesta dan segala isinya. Tuhan sebagai Malik menguasai seluruh aspek kehidupan manusia, baik lahir maupun batin.
Hakikat Sirr Malik dalam diri insan terletak pada kesadaran bahwa dia hanyalah wakil dari Tuhan di bumi, yang diberikan kekuasaan terbatas untuk memerintah dirinya sendiri dan lingkungannya dengan tanggung jawab yang besar. Insan yang menyadari hakikat Malik dalam dirinya memahami bahwa kendali dan kekuasaan yang ada pada dirinya harus digunakan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, sebagai cerminan dari kekuasaan Tuhan yang sempurna.
Kesimpulan
# Hakikat Ruh Insan adalah suatu kekuatan energi yang dengannya segala sesuatu [ semua makhluk ciptaan ] memungkinkan dapat bergerak, bisa tumbuh dan berkembang sesuai kodrat dan kecenderungannya masing-masing sesuai ketentuan sunatullah yang berlaku. Merupakan ranah dari bahasan ilmu tentang " Sejatine Urip ".
Hakikat Ruh Insan yang terkandung dalam dua elemen نَعْبُدُ (Na'budu) dan نَسْتَعِيْنُۗ (Nasta'in) merujuk pada hubungan spiritual terdalam antara ruh manusia dan Tuhan. Kedua elemen ini merepresentasikan aspek penghambaan dan ketergantungan ruh kepada Sang Pencipta, yang dalam pemahaman esoterik mencakup perjalanan ruh menuju kesempurnaan dan penyatuan dengan sumber asalnya, yaitu Allah.
B1. نَعْبُدُ (Na'budu)
Na'budu berarti "kami menyembah." Ini adalah pernyataan penghambaan yang mendalam dan penuh kesadaran dari ruh insan kepada Tuhannya. Penghambaan ini mencerminkan bahwa eksistensi manusia tidak memiliki arti tanpa tunduk kepada Tuhan, karena manusia, dalam hakikat ruhnya, diciptakan untuk menyembah dan mengenal Tuhan.
B2. نَسْتَعِيْنُۗ (Nasta'in)
Nasta'in berarti "kami memohon pertolongan." Ini menggambarkan kesadaran ruh bahwa segala sesuatu di alam semesta dan dalam kehidupan manusia sepenuhnya bergantung pada pertolongan dan kekuasaan Tuhan. Nasta'in adalah pengakuan akan kelemahan dan keterbatasan ruh insan, dan pada saat yang sama, menunjukkan ketergantungan total kepada kekuatan Tuhan.
Hakikat Ruh dalam Nasta'in : Elemen ini menunjukkan bahwa ruh insan memahami posisinya sebagai makhluk yang tidak memiliki daya dan upaya tanpa bantuan Tuhan. Ruh insan yang menyadari hakikat Nasta'in akan selalu bergantung pada pertolongan Ilahi dalam setiap aspek kehidupannya, baik dalam urusan duniawi maupun ukhrawi. Ini mencerminkan sifat kerendahan hati ruh insan, yang menyadari bahwa segala upaya yang dilakukan hanya dapat berhasil jika ada campur tangan dan rahmat dari Tuhan.
Kesimpulan
Hakikat Ruh Insan yang terkandung dalam نَعْبُدُ dan نَسْتَعِيْنُۗ menggambarkan dua dimensi penting dari hubungan ruhani antara manusia dan Tuhan:
Na'budu : Merupakan dimensi penghambaan di mana ruh insan sepenuhnya menyerahkan dirinya untuk menyembah dan mengabdi kepada Tuhan. Ini mencerminkan kesadaran spiritual bahwa tujuan keberadaan ruh adalah untuk menyembah-Nya dalam totalitas wujud.
Nasta'in : Merupakan dimensi ketergantungan di mana ruh insan mengakui keterbatasan dirinya dan memohon pertolongan kepada Tuhan dalam setiap aspek kehidupan. Ini adalah manifestasi kerendahan hati ruh yang selalu mengandalkan kekuatan Ilahi dalam mencapai tujuan hidup.
Melalui kedua elemen ini, Ruh Insan mencapai keseimbangan spiritual yang sempurna: pengabdian total kepada Tuhan (Na'budu) dan ketergantungan mutlak kepada pertolongan-Nya (Nasta'in). Ini adalah perjalanan ruh yang membawa insan pada kesadaran tertinggi akan hakikat dirinya sebagai hamba yang selalu dalam naungan kasih sayang dan kekuasaan Tuhan.
5. Hakikat Hati Insan [ الْمُسْتَقِيْمَۙ ]
اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَۙ (٦)
Tunjukilah kami jalan yang lurus, (Q.S. Al-Fatihah ayat 6)
# Hati Insan adalah semacam sebuah microchip yang Allah tanam pada setiap diri manusia yang dengannya manusia kemudian memiliki kehendak guna mencapai dan atau mendapatkan sesuatu yang dipandang tepat dan yang paling sesuai dengan dirinya. Merupakan ranah dari bahasan ilmu tentang " Bener Sejati ".
1. Jalan yang Lurus
Al-Mustaqim secara harfiah berarti "lurus" atau "tegak." Dalam konteks hati insan, ini mengacu pada hati yang selalu berusaha untuk berada di jalan yang benar, yaitu jalan yang sesuai dengan kehendak dan petunjuk Allah. Hati yang berada di jalan ini tidak condong ke arah keburukan, hawa nafsu, atau godaan duniawi yang dapat menyimpangkan insan dari tujuan spiritualnya.
Hakikat Hati dalam Al-Mustaqim : Hati insan yang lurus adalah hati yang seimbang antara aspek duniawi dan ukhrawi, selalu tertuju kepada Allah, dan senantiasa menjaga kemurnian niat serta tujuan hidupnya. Hati ini tidak terombang-ambing oleh keinginan duniawi atau godaan setan, tetapi tetap teguh dalam menjalani kehidupan yang berlandaskan kebenaran Ilahi. Al-Mustaqim juga menyiratkan adanya ketenangan dan keikhlasan dalam hati insan, di mana segala tindakan dan keputusan yang diambil selalu berdasarkan panduan Ilahi, bukan atas dasar ego atau hawa nafsu.
2. Konsistensi (Istiqamah)
Hati yang berada dalam keadaan Al-Mustaqim adalah hati yang istiqamah, yaitu tetap konsisten dalam menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya. Istiqamah ini bukan hanya dalam tindakan fisik, tetapi lebih dalam, yakni pada tingkat batin dan spiritual. Hati yang istiqamah tidak goyah meskipun menghadapi berbagai ujian dan tantangan hidup.
Hakikat Hati dalam Istiqamah : Dalam hakikatnya, hati yang istiqamah adalah hati yang selalu berpegang teguh pada nilai-nilai kebenaran, ketulusan, dan keikhlasan. Hati ini tidak mudah terpengaruh oleh keadaan eksternal, baik kesulitan maupun kenikmatan dunia, melainkan tetap konsisten dalam menempuh jalan menuju Tuhan. Ini juga mengandung makna hati yang sabar, tawakal, dan yakin akan petunjuk serta rahmat Allah.
3. Perjalanan Spiritual Menuju Kesempurnaan
Al-Mustaqim juga mencerminkan perjalanan spiritual hati insan menuju kesempurnaan. Hati insan yang berada di jalan yang lurus adalah hati yang terus berusaha memperbaiki diri, mendekatkan diri kepada Tuhan, dan mengikis segala sifat tercela yang dapat menghalangi perjalanan menuju-Nya. Ini adalah hati yang selalu mencari cahaya Ilahi untuk membimbingnya di setiap langkah kehidupan.
Hakikat Hati dalam Perjalanan Menuju Kesempurnaan : Hati insan yang memahami hakikat Al-Mustaqim sadar bahwa hidup adalah sebuah perjalanan spiritual menuju kesempurnaan. Setiap langkah, keputusan, dan tindakan adalah bagian dari usaha untuk mencapai tujuan akhir, yaitu ridha Allah dan kesatuan dengan-Nya. Hati ini selalu terbuka untuk menerima petunjuk Ilahi dan selalu introspektif, berusaha menyelaraskan setiap tindakan dengan kehendak Tuhan.
Kesimpulan
Hakikat Hati Insan dalam kalimat الْمُسْتَقِيْمَ (Al-Mustaqim) adalah hati yang teguh, konsisten, dan seimbang dalam menjalani kehidupan sesuai dengan petunjuk Tuhan. Hati yang berada di jalan Al-Mustaqim selalu terarah kepada kebenaran Ilahi, jauh dari penyimpangan dan godaan duniawi. Ia mencerminkan kesadaran spiritual yang tinggi, di mana insan menjalani hidup dengan istiqamah, sabar, dan tawakal dalam menghadapi berbagai ujian.
Hati ini juga merupakan hati yang berproses menuju kesempurnaan, selalu mencari ridha Allah dan memperbaiki diri dalam perjalanan spiritualnya. Al-Mustaqim menggambarkan perjalanan hati yang lurus menuju Tuhan, melalui kesadaran, ketulusan, dan ketaatan penuh pada perintah-Nya.
6. Hakikat Akal Insan [ اَنْعَمْتَ ]
صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ەۙ (٧)
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; (Q.S. Al-Fatihah ayat 7)
# Akal Insan adalah suatu alat yang Allah tanamkan dalam diri manusia yang dengannya manusia kemudian punya kemampuan memilih, memilah dan menimbang-nimbang suatu perkara atau suatu keadaan, dan atas dasar itu kemudian dia memutuskan suatu sikap dan atau melakukan suatu tindakan lugas dan yang dipandang paling menguntungkan dirinya. Merupakan ranah dari bahasan ilmu tentang " Sejatine Bener ".
Hakikat Akal Insan yang terkandung dalam kalimat اَنْعَمْتَ (An'amta) memiliki makna yang mendalam terkait dengan kesadaran akan nikmat dan anugerah dari Tuhan yang diterima oleh manusia. An'amta secara harfiah berarti "Engkau (Allah) telah memberi nikmat." Dalam konteks Akal Insan, ini menggambarkan bahwa akal adalah salah satu anugerah terbesar dari Tuhan, yang diberikan kepada manusia untuk memahami, merenung, dan mengenali kebenaran, baik tentang diri sendiri, alam semesta, maupun Sang Pencipta. Berikut adalah uraian esoterik dari An'amta dalam kaitannya dengan hakikat akal insan:
1. Kesadaran akan Nikmat Akal
Akal merupakan nikmat besar yang dianugerahkan Allah kepada insan untuk membedakan antara yang benar dan salah, baik dan buruk, serta untuk memahami hikmah di balik segala kejadian. Dalam kalimat An'amta, tersirat bahwa akal adalah bagian dari nikmat Allah yang memungkinkan manusia untuk merenungkan, memahami, dan mengapresiasi nikmat-nikmat lainnya yang diberikan Tuhan.
Hakikat Akal dalam An'amta : Akal insan, sebagai salah satu anugerah Ilahi, diberi kemampuan untuk mengenali dan memahami nikmat-nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan. Akal yang sehat akan selalu berusaha untuk menyadari dan mensyukuri nikmat-nikmat ini, serta menggunakan anugerah tersebut untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. An'amta juga menyiratkan bahwa akal memiliki tanggung jawab untuk menggunakan nikmat tersebut dalam kerangka yang benar, yaitu untuk memahami dan mengikuti petunjuk Ilahi.
2. Penyambung antara Ilmu dan Hikmah
Akal insan yang dianugerahi oleh Tuhan memiliki kemampuan untuk memproses informasi, menyusun pemahaman, dan menarik hikmah dari ilmu yang diperoleh. Dalam konteks An'amta, akal insan adalah alat untuk menerima dan memanfaatkan anugerah ilmu dari Allah dengan benar. Ilmu yang diberikan kepada manusia melalui akal merupakan bagian dari nikmat yang harus disyukuri dan dipelajari dengan penuh kebijaksanaan.
Hakikat Akal sebagai Penyambung Ilmu : Akal yang dianugerahkan Tuhan membantu manusia dalam menyusun ilmu pengetahuan dan menarik hikmah di balik setiap kejadian. An'amta di sini menunjukkan bagaimana akal insan tidak hanya menerima nikmat dalam bentuk materi, tetapi juga dalam bentuk pengetahuan dan pemahaman yang lebih mendalam. Akal insan harus mampu merenungkan segala kejadian, menarik hikmah, dan menjadikannya sebagai pelajaran untuk semakin mendekat kepada Allah.
3. Tanggung Jawab Penggunaan Akal
Dengan nikmat akal yang diberikan, insan memiliki tanggung jawab besar untuk menggunakannya dengan benar. Akal bukanlah alat yang bebas tanpa batas, tetapi harus digunakan dalam kerangka petunjuk Ilahi. An'amta menyiratkan bahwa penggunaan akal yang benar adalah bentuk syukur atas nikmat yang diberikan. Jika akal digunakan untuk tujuan yang baik, maka insan akan dapat meraih kebahagiaan dunia dan akhirat, namun jika disalahgunakan, maka ia akan jauh dari jalan yang benar.
Hakikat Akal sebagai Amanah : Akal insan adalah amanah dari Tuhan yang harus dijaga dan digunakan sesuai dengan kehendak-Nya. An'amta mengingatkan bahwa akal yang sehat harus digunakan untuk mencapai kebaikan, memahami perintah Tuhan, dan mengarahkan diri kepada kebenaran. Akal yang mampu mensyukuri nikmat-nikmat Tuhan melalui tindakan dan pemikiran yang benar akan selalu berada dalam rahmat dan bimbingan Ilahi.
4. Pengenalan akan Kebenaran dan Tuhan
Salah satu fungsi tertinggi dari akal insan adalah mengenali Tuhan dan kebenaran yang hakiki. Dalam konteks An'amta, akal insan dituntun untuk menyadari bahwa segala nikmat, termasuk akal itu sendiri, berasal dari Allah. Akal yang mampu mengenali bahwa segala anugerah berasal dari Tuhan adalah akal yang telah mencapai tingkat pemahaman spiritual yang lebih tinggi.
Hakikat Akal dalam Pengenalan Tuhan : Akal insan, yang merupakan nikmat Ilahi, digunakan untuk mengenali sumber segala nikmat, yaitu Allah. An'amta dalam konteks ini menunjukkan bahwa akal yang sehat akan selalu berusaha untuk mengenali dan mendekat kepada Tuhan, sebagai bentuk puncak dari pemahaman akan nikmat-Nya. Akal yang mampu mencapai kesadaran ini akan senantiasa berada di jalan yang lurus, karena ia telah menemukan sumber dari segala kebenaran dan petunjuk.
Kesimpulan
Hakikat Akal Insan dalam kalimat اَنْعَمْتَ (An'amta) adalah kesadaran bahwa akal adalah anugerah terbesar dari Tuhan yang harus digunakan dengan penuh tanggung jawab dan syukur. Akal insan diberikan kemampuan untuk mengenali nikmat-nikmat Ilahi, memahami hikmah di balik setiap kejadian, dan mencari kebenaran sejati. Akal yang digunakan dengan benar akan mampu mengarahkan insan kepada pengenalan dan ketaatan kepada Allah, serta mensyukuri setiap nikmat yang diberikan-Nya.
7. Hakikat Insan Kamil [ غَيْرِ - لَا ]
غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ (٧)
bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (Q.S. Al-Fatihah ayat 7)
# Insan Kamil adalah suatu keadaan dimana manusia dalam keadaannya itu dapat mengetahui dengan nyata [ pasti ] dan dengan sebenar-benarnya kriteria tentang benar- salah [ sainstific ] . " Merupakan ranah dari bahasan ilmu tentang Alam Semesta" [ aspek dohir - batin dari benda benda ciptaan ]
Hakikat Insan Kamil (manusia sempurna) dalam kalimat غَيْرِ (ghayr) dan لَا (lā) pada ayat ke-7 surat Al-Fatihah berkaitan dengan pengungkapan esoterik mengenai manusia yang telah mencapai kesempurnaan dalam menjalani jalan spiritual. Insan Kamil merupakan manifestasi tertinggi dari insan yang telah menyelaraskan dirinya dengan hakikat Ilahi, sehingga ia mampu memahami makna terdalam dari setiap penolakan terhadap jalan kesesatan dan kesadaran akan apa yang bukan termasuk di dalam jalan yang lurus. Berikut adalah uraian hakikatnya:
C1. غَيْرِ (Ghayr) – "Bukan"
Ghayr secara harfiah berarti "bukan" atau "selain." Dalam konteks Insan Kamil, kalimat ini merujuk pada kemampuan untuk membedakan dan memisahkan diri dari segala hal yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Ini mencakup pemahaman yang mendalam tentang apa yang tidak termasuk dalam jalan kebenaran serta penolakan terhadap sifat-sifat yang tidak selaras dengan hakikat ketuhanan.
Hakikat Insan Kamil dalam Ghayr : Ghayr merepresentasikan kesadaran bahwa insan yang sempurna mampu mengenali dan menolak segala bentuk kesesatan dan perilaku yang menyimpang dari jalan lurus. Dalam kehidupan spiritualnya, Insan Kamil telah mencapai tingkat pemahaman yang dapat memisahkan mana yang benar dan mana yang salah. Ia memiliki kecerdasan batin untuk menolak segala sesuatu yang bersifat egois, materialistis, atau menjauhkan dari Tuhan. Ghayr adalah simbol penolakan terhadap jalan yang diikuti oleh mereka yang dimurkai (الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ) atau mereka yang tersesat (الضَّآلِّيْنَ).
C2. لَا (Lā) – "Tidak"
Lā dalam ayat ini melambangkan penolakan yang tegas terhadap jalan kesesatan dan kebingungan. Pada tingkat hakikat Insan Kamil, Lā mewakili kekuatan penolakan yang mutlak terhadap segala bentuk penyimpangan dari kebenaran. Ini menunjukkan bahwa Insan Kamil bukan hanya menyadari apa yang benar, tetapi juga dengan tegas menolak dan menghindari segala hal yang tidak sesuai dengan tuntunan Ilahi.
Hakikat Insan Kamil dalam Lā : Lā pada tingkat ini menjadi representasi dari totalitas penolakan terhadap segala bentuk keberpalingan dari Tuhan. Insan Kamil tidak hanya mengikuti jalan yang lurus (صِرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ), tetapi juga dengan tegas menghindari segala hal yang dapat menjauhkan dirinya dari kesempurnaan spiritual. Penolakan ini tidak bersifat reaktif, melainkan lahir dari kesadaran yang mendalam dan pemahaman yang menyeluruh tentang hakikat kebenaran. Lā adalah bentuk penolakan terhadap segala bentuk keterikatan duniawi dan sifat-sifat rendah yang menghalangi insan untuk mencapai kesatuan dengan Tuhan.
3. Pemisahan antara Kebenaran dan Kesesatan
Pada tingkat spiritual Insan Kamil, غَيْرِ dan لَا tidak hanya sekadar penolakan, tetapi merupakan bentuk penyempurnaan dari pemahaman batin mengenai kebenaran dan kesesatan. Insan Kamil berada pada tingkatan di mana ia mampu memisahkan dirinya dari segala bentuk kebingungan dan kesesatan serta mendekatkan dirinya kepada kebenaran sejati.
Hakikat Pemisahan Kebenaran dan Kesesatan : Ghayr dan Lā dalam konteks ini mencerminkan pemisahan batin antara apa yang benar dan apa yang salah. Insan Kamil telah mencapai tingkat kesadaran yang sempurna sehingga ia tidak hanya memilih jalan yang lurus, tetapi juga secara tegas menolak dan menjauhkan diri dari apa pun yang berpotensi membawa kepada kesesatan atau kemurkaan Tuhan. Kesadaran ini membawa Insan Kamil kepada pemahaman yang menyeluruh tentang realitas batin, di mana segala hal yang bukan kebenaran (غَيْرِ) dan segala bentuk penyimpangan (لَا) ditolak secara mutlak.
4. Peneguhan Ketauhidan
Pada level Insan Kamil, غَيْرِ dan لَا juga mencerminkan peneguhan akan ketauhidan. Dalam spiritualitas Islam, Lā merupakan simbol penting dalam kalimat tauhid "لَا إِلٰهَ إِلَّا الله" (Tidak ada Tuhan selain Allah). Dalam konteks ini, Lā mewakili penolakan terhadap segala tuhan palsu, sementara Ghayr menunjukkan pemisahan yang jelas dari segala bentuk keberhalaan atau kekeliruan dalam memahami hakikat ketuhanan.
Hakikat Ketauhidan dalam Ghayr dan Lā : Insan Kamil telah mencapai kesadaran akan tauhid yang sempurna, di mana segala bentuk ilah-ilah selain Allah telah ditolak dan ditinggalkan. Ghayr dan Lā menjadi peneguhan spiritual bahwa Insan Kamil hanya tunduk kepada Allah dan menolak segala bentuk keterikatan pada hal-hal duniawi yang dapat mengalihkan perhatian dari Tuhan. Kesadaran tauhid ini mencerminkan kesempurnaan spiritual, di mana Insan Kamil sepenuhnya berada di bawah naungan kebenaran Ilahi.
Kesimpulan
Hakikat Insan Kamil dalam kalimat غَيْرِ (Ghayr) dan لَا (Lā) mencerminkan penolakan yang tegas terhadap segala bentuk penyimpangan dari kebenaran dan keberpalingan dari Tuhan. Insan Kamil adalah manusia sempurna yang telah mencapai tingkat pemahaman spiritual tertinggi, di mana ia mampu memisahkan kebenaran dari kesesatan serta dengan tegas menolak jalan yang menyesatkan.
Ghayr menunjukkan pemisahan yang jelas dari segala sesuatu yang bukan kebenaran, sementara Lā adalah penolakan mutlak terhadap segala bentuk keterikatan yang menjauhkan insan dari jalan Ilahi. Dalam kesempurnaan spiritualnya, Insan Kamil menghayati makna dari penolakan ini, sehingga ia tidak hanya berjalan di atas jalan yang lurus, tetapi juga menolak segala bentuk keburukan yang dapat menjauhkan dari Tuhan, sembari meneguhkan ketauhidan yang hakiki.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar