Halaman

Kamis, 09 Oktober 2025

Hakikat Dinul Islam : Sebuah Tinjauan Filosofis-Teologis tentang Tata Hidup Kekhalifahan Manusia

By. Mang Anas 


Abstrak

Artikel ini bertujuan mengurai makna hakiki dari konsep Dinul Islam dalam kerangka linguistik, filosofis, dan teologis. Dengan menelusuri akar kata Arab klasik dari istilah dīn dan islām, serta menempatkannya dalam konteks kosmologis peran manusia sebagai khalifah di bumi, tulisan ini berupaya mengembalikan pemahaman Islam ke fondasi ontologisnya: sebagai tatanan hidup yang bersumber pada kehendak Ilahi, bukan semata sebagai sistem keagamaan formal.

1. Pendahuluan

Dalam wacana keagamaan kontemporer, istilah Islam sering kali direduksi menjadi identitas kultural, ideologi politik, atau sistem hukum formal. Padahal, secara linguistik dan teologis, Islam memiliki makna yang jauh lebih dalam dan luas. Demikian pula istilah dīn yang secara umum diterjemahkan sebagai “agama”, pada hakikatnya mencakup pengertian kosmologis yang lebih fundamental. Pemahaman atas kedua istilah ini penting untuk membangun kesadaran eksistensial manusia sebagai subjek teologis—yakni sebagai khalifah Allah di muka bumi.

2. Etimologi dan Semantik : “Dīn” dan “Islam”

Secara etimologis, kata dīn (دين) dalam bahasa Arab klasik memiliki spektrum makna yang luas, antara lain : (1) sistem kehidupan, (2) hukum dan aturan, (3) ketaatan atau kepatuhan, (4) pembalasan atau penilaian (dār al-jazā’), dan (5) pemerintahan atau kekuasaan moral. Makna-makna ini menunjukkan bahwa dīn bukan sekadar kepercayaan spiritual, melainkan struktur normatif yang mengatur perilaku manusia dalam ruang sosial, moral, dan eksistensial.

Adapun Islam (إسلام) berasal dari akar kata s-l-m (س ل م) yang berarti “damai”, “selamat”, dan “menyerahkan diri”. Secara terminologis, Islam bermakna tunduk dan berserah diri sepenuhnya kepada kehendak Allah. Dengan demikian, Dinul Islam secara konseptual dapat dipahami sebagai tata kehidupan yang tunduk pada hukum dan kehendak Ilahi.

3. Dimensi Teologis : Manusia sebagai Khalifah

Dalam QS Al-Baqarah : 30, Allah menegaskan rencana penciptaan manusia sebagai khalīfah fī al-ardh (wakil-Nya di bumi). Status kekhalifahan ini mengimplikasikan empat mandat teologis utama :

1. Menjaga keseimbangan kosmis (mīzān) — manusia berperan sebagai penjaga harmoni alam.

2. Memakmurkan bumi (isti‘mār) — menjalankan fungsi konstruktif dalam kehidupan sosial-ekologis.

3. Menegakkan keadilan (‘adl) — mewujudkan nilai-nilai etis dalam struktur sosial.

4. Menyebarkan rahmat (rahmah) — menjadi saluran kasih sayang Tuhan bagi seluruh makhluk.

Dengan demikian, manusia bukan sekadar penerima aturan agama, tetapi subjek aktif dalam pelaksanaan tatanan Ilahi di bumi. Dinul Islam menjadi kerangka nilai dan hukum yang mengarahkan manusia agar melaksanakan mandat kekhalifahannya secara etis dan kosmologis.

4. Dinul Islam sebagai Tata Kehidupan

Berdasarkan makna etimologis dan mandat teologis di atas, Dinul Islam dapat didefinisikan sebagai :

> “Tata kehidupan manusia yang tunduk, patuh, dan berserah diri kepada kehendak Allah SWT, dijalankan dalam peran kekhalifahan untuk menegakkan keadilan, keseimbangan, dan rahmat di muka bumi.”

Definisi ini menegaskan bahwa Dinul Islam bukanlah sekadar seperangkat ritual, hukum formal, atau identitas komunal, melainkan kerangka eksistensial yang mengatur keseluruhan aspek kehidupan: ibadah, sosial, politik, ekonomi, budaya, dan ekologi.

5. Dimensi Eskatologis : Yaumiddīn sebagai Forum Evaluasi

Istilah yaumiddīn (يوم الدين) dalam Al-Qur’an secara literal bermakna “hari penilaian”. Ini menunjukkan bahwa dīn mengandung konsekuensi eskatologis : segala bentuk tatanan hidup manusia akan dievaluasi di hadapan Allah. Konsep ini menegaskan bahwa kehidupan duniawi bukan berdiri sendiri, melainkan bagian dari struktur kosmis yang bermuara pada pertanggungjawaban akhir.

Dengan demikian, Dinul Islam tidak hanya mengatur kehidupan manusia dalam dunia, tetapi juga menuju akhir kehidupan—yakni keadilan Ilahi.

6. Kesimpulan

Pemaknaan Dinul Islam secara filosofis-teologis menempatkan Islam bukan sekadar sebagai sistem keagamaan formal, melainkan sebagai struktur kesadaran dan tata nilai kosmis. Dalam kerangka ini, manusia diposisikan sebagai khalifah yang menerima mandat ilahi untuk menjaga bumi dan kehidupan. Shalat, ibadah, hidup, dan mati menjadi satu kesatuan orientasi eksistensial yang berpangkal pada Lillāhi Rabbil ‘Ālamīn.

Dengan memahami hakikat Dinul Islam secara mendalam, manusia tidak lagi memandang agama sebagai beban normatif, tetapi sebagai jalan kosmis untuk menjadi manusia seutuhnya—manusia yang hidup dalam penyerahan, kesadaran, dan tanggung jawab sebagai cermin sifat-sifat Ilahi.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar