Mang Anas
Pendahuluan
Selama berabad-abad, kalimat Al-Qur'an yang berbunyi "Inni faddaltukum 'alal alamin" (QS Al-Baqarah : 47) telah dimaknai sebagai pernyataan bahwa Bani Israil adalah "bangsa pilihan Tuhan." Tafsir ini telah melahirkan banyak konsekuensi ideologis, teologis, bahkan politis—terutama dalam narasi eksklusivitas Yahudi sebagai umat unggul. Namun dalam pendekatan tafsir ruhani yang lebih dalam, ayat ini justru tidak meneguhkan keistimewaan rasial atau superioritas bangsa tertentu, melainkan mengungkap sebuah relasi tarbawi (pendidikan ilahiah) yang mirip dengan perlakuan orang tua kepada anak bungsu.
I. Tafsir Tradisional : Bangsal Pilihan atau Peringatan ?
Secara lahiriah, ayat "Aku telah melebihkan kalian atas seluruh alam (alamin)" dapat dibaca sebagai pujian. Namun jika kita letakkan dalam konteks keseluruhan narasi Al-Qur'an tentang Bani Israil, pujian ini segera menjadi ironi. Dalam ayat-ayat berikutnya, Al-Qur'an justru mengungkap sikap keras kepala, pembangkangan, dan pelanggaran-pelanggaran Bani Israil terhadap perintah-perintah Allah dan para nabi.
Contohnya :
> "Apakah setiap kali datang kepada kalian seorang rasul yang tidak sesuai dengan hawa nafsu kalian, lalu kalian menyombongkan diri; sebagian kalian dustakan dan sebagian kalian bunuh ?" (QS Al-Baqarah : 87)
> "Kemudian hati kalian menjadi keras setelah itu, seperti batu, bahkan lebih keras lagi..." (QS Al-Baqarah : 74)
> "Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman: 'Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah darinya sesuka hatimu dengan leluasa, dan masukilah pintu itu sambil bersujud dan katakanlah: ‘Hiththah’, niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu.’ Lalu orang-orang zalim mengganti perkataan itu dengan selain yang dikatakan kepada mereka..." (QS Al-Baqarah : 58–59)
Kalimat "faddaltukum" jika dipahami dalam kerangka ini, bukanlah bentuk pengangkatan martabat, tapi lebih menyerupai bentuk keprihatinan dan perhatian khusus.
II. Anak Bungsu : Simbol Ruhani dari Perlakuan khusus Ilahi
Dalam tradisi keibubapaan, anak bungsu sering kali mendapat lebih banyak perhatian bukan karena lebih hebat, tapi karena lebih lemah, lebih rapuh, dan lebih banyak menuntut. Anak bungsu adalah simbol makhluk yang belum dewasa, yang memerlukan pengawasan, kasih sayang, bahkan pengulangan nasihat yang tiada henti.
Jika Bani Israil diposisikan sebagai "anak bungsu" dari sejarah kenabian, maka banyak gejala yang cocok :
👉Mereka sering diberi mukjizat langsung (keajaiban tongkat Musa, 12 mata air yang keluar dari sebuah batu, diturunkan makanan dari langit berupa "manna dan salwa", serta puluhan mukjizat yang pernah diperlihatkan Isa Al-Masih dan banyak mukjizat nabi nabi Israel lainnya ), itu harus dibaca sebagai cara seorang bapak atau ibu dalam membujuk anak bungsunya yang paling manja dan suka keras kepala dengan barang mainan dan kembang gula.
👉Banyak nabi diutus kepada mereka, Namun mereka juga paling sering berbuat ingkar.
👉Dalam logika ini, "faddaltukum" adalah kasih sayang korektif, bukan pengukuhan status istimewa.
III. Konsekuensi Teologis : Menggeser Paradigma Superioritas ke Asuhan Ilahiah
Paradigma ini memiliki konsekuensi teologis yang besar. Ia menolak semua bentuk rasisme spiritual, termasuk "teologi umat pilihan" yang selama ini menjadi fondasi ideologi Zionisme.
Kalimat "difadlukan" tidak boleh dibaca sebagai pemberian hak istimewa, tapi sebagai penugasan moral dan pendidikan ruhani.
> Maka, yang sebenarnya difadlukan bukanlah posisi, tapi kesempatan untuk berubah, bertumbuh, dan bertobat.
> “Sesungguhnya Kami telah mengangkat kalian bukan karena kelebihan kalian, tetapi karena kasih Kami yang besar agar kalian kembali kepada Kebenaran.” (parafrase dari hikmah Qur'aniyah)
IV. Pandangan Al-Kitab dan Koreksi atas Kesalahpahaman Ribuan Tahun
Dalam Perjanjian Lama (Kejadian 12:2), Tuhan berfirman kepada Ibrahim :
> "Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar... dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat."
Namun ayat ini sering dipelintir menjadi seolah-olah keturunan Ibrahim secara biologis (yakni Bani Israil) menjadi satu-satunya bangsa terberkati, padahal kelanjutan ayat dan sejarah justru menunjukkan bahwa "berkat" itu adalah amanah, bukan kemewahan. Seperti anak bungsu yang sering sakit dan perlu perhatian khusus, keturunan Ibrahim melalui Ishaq dan Ya'qub (Bani Israil) justru adalah kelompok yang paling sering dikhianati oleh dirinya sendiri.
Demikian pula dalam Perjanjian Baru (Matius 3:9), Nabi Yahya (Yohanes Pembaptis) berkata :
> "Janganlah kamu katakan : Kami mempunyai Abraham sebagai bapa. Sebab aku berkata kepadamu : Allah dapat menjadikan anak-anak bagi Abraham dari batu-batu ini!"
Ini adalah pukulan telak terhadap ide eksklusivisme rasial. Pilihan Allah tidak bersifat permanen atau otomatis. Ia selalu terikat pada ketaatan ruhani dan moral.
Maka ayat "Inni faddaltukum 'alal alamin" adalah bentuk kelembutan Tuhan kepada anak-Nya yang paling banyak membuat masalah. Bukan karena mereka unggul, tapi karena mereka lemah dan dikasihi secara khusus.
V. Pergeseran Mandat Profetik dan Peran Persia di Akhir Zaman
Ayat "faddaltukum" menyiratkan peran temporer, bukan permanen. Dalam QS Al-Jumu'ah : 5-6, umat Yahudi diingatkan bahwa membawa Taurat tanpa pengamalan sama saja seperti keledai yang memikul kitab. Maka mandat kenabian berpindah ke umat Muhammad sebagai umat yang “wasathan” — tetapi hanya jika mereka menjaga amanahnya.
Bangsa Arab banyak terperangkap pada simbol dan nasionalisme, sementara bangsa Persia justru mengambil tanggung jawab berat dalam mempertahankan ruh Islam — terutama pasca revolusi Iran.
> Hadis Shahih : “Akan keluar panji-panji hitam dari Khurasan, tidak ada yang dapat menghalaunya hingga ditancapkan di Baitul Maqdis.”
Hitam adalah simbol dari kekuatan yang tak terdeteksi, strategi langit yang tersembunyi. Panji ini diusung oleh bangsa yang dianggap sesat, tapi justru membela Ahlul Bayt dan prinsip keadilan. Inilah ironi sejarah akhir zaman: bukan yang dikira benar yang membawa cahaya, tetapi yang dicemooh justru membawa bayyinah.
Penutup : Kasih Sayang Allah Melampaui Status dan Silsilah
Allah tidak memandang kelebihan biologis, ras, atau suku. "Faddaltukum" bukanlah medali, melainkan tugas. Dan sebagaimana anak bungsu sering kali merepotkan, tapi tetap dicintai, maka begitulah cara Allah memperlakukan Bani Israil—dengan harapan bahwa mereka suatu hari akan dewasa.
> Tafsir ini membuka ruang baru untuk memandang sejarah bukan sebagai soal ras atau klaim ilahiyah, tapi sebagai proses tarbiyah ilahiyah. Di akhir zaman nanti, bukan yang merasa diri unggul yang akan menang, tapi yang mampu menanggung beban ruhani dari kasih dan pendidikan Allah. Dan bangsa yang paling siap mengemban misi itu — secara karakter, sejarah, dan spiritualitas — tampaknya bukan Arab atau Eropa, tetapi Persia.
Semoga tulisan ini, bisa jadi bahan kajian lebih lanjut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar