Halaman

Minggu, 22 Juni 2025

Mengapa al-Qur’an Akan Lebih Presisi Jika Ditafsirkan oleh Ilham Para Siddiqin ?

Mang Anas 


Dari Wacana ke Wushul : Saat Wahyu Dihidupkan oleh Cahaya Jiwa, Bukan Sekadar Huruf

Pendahuluan : Ketika Tafsir Tak Lagi Cukup

Sejak wahyu diturunkan, al-Qur’an telah menjadi samudera makna yang tak terhingga.

Namun :

• Umat sering kali hanya menimba di permukaannya.

• Ilmuwan hanya mampu menyusun kerangka logika dan bahasa.

• Ulama banyak mengulang tafsir-tafsir lama tanpa memperbaharui ruhnya.

> Padahal al-Qur’an adalah kitab hidup, yang terus mengalir sesuai zaman di kedalaman jiwa yang membacanya.

📌 Maka pertanyaannya :

> Siapa yang bisa menyentuh makna terdalam al-Qur’an di zaman penuh kabut ini ?

Jawabannya : Para Siddiqin.

1. Dalil al-Qur’an Sendiri : “Tidak Menyentuhnya Kecuali yang Disucikan”

📖 QS Al-Waqi’ah : 79

> "Lā yamassuhu illā al-muṭahharūn."

Tidak ada yang dapat menyentuhnya kecuali yang telah disucikan.

Sebagian menafsirkan ini secara literal : tentang menyentuh mushaf. Tapi para arif billah memahami :

Menyentuh” di sini bukan menyentuh kertas, Tapi menyentuh makna terdalamnya, ruhnya.

📌 Maka hanya orang-orang yang telah disucikan nafs dan batinnya, yang bisa membaca al-Qur’an sebagai Nur, bukan hanya huruf.

➡ Inilah maqam para Siddiqin.

2. Tafsir Akademik vs Tafsir Ilham

🔻 Tafsir Akademik:

> Mengandalkan metode rasional-linguistik.

> Terikat oleh disiplin kaidah bahasa, sejarah, sanad.

> Berguna, tapi terbatas dalam membaca lapisan ruhani dan isyarat zaman.

🔷 Tafsir Siddiqin :

> Datang dari ilham ruhani, bukan hanya dari referensi, literatur, buku-buku dan metode.

> Ditulis oleh hati yang tersambung ke Nur al-Haq.

> Bukan menafsirkan dari luar, tapi mengungkap dari dalam.

> Para Siddiqin tidak membaca al-Qur’an. Tetapi mereka didatangi oleh al-Qur’an di dalam jiwanya.

3. Ilham Sebagai Pewarisan Nur Nabi

Rasulullah ﷺ bersabda :

> “Sesungguhnya, di antara umatku ada orang-orang yang diberi ilham seperti halnya para nabi diberi wahyu, hanya saja mereka bukan nabi.”

(HR Ahmad, dari Abu Hurairah, dengan makna yang paralel di banyak riwayat.)

📌 Maka ilham para Siddiqin adalah :

Pewarisan cahaya kenabian, Sesuai dengan QS Al-Mujadilah : 22 → “Allah menulis iman dalam hati mereka dan memperkuat mereka dengan ruh dari-Nya.”

➡ Mereka bukan penafsir biasa, tapi penyambung makna yang datang dari sisi Allah.

4. Al-Qur’an Menjadi Cermin Diri dalam Jiwa Siddiqin

Bagi para Siddiqin : al-Qur’an bukan bacaan luar, tapi cermin jiwa.

Maka ketika mereka membaca ayat :

> “Wala taqraba hadzihis-syajarah…”

Maka mereka tahu : syajarah itu adalah peradaban materialistis yang telah menjerat dunia hari ini.

Ketika mereka membaca :

> “Fakuna minadh-dhalimin…”

Maka mereka sadar : inilah akibat kolektif umat manusia yang menukar fitrah dengan hiruk-pikuk bursa saham, mesin industri dan kerakusan.

📌 Ayat menjadi pantulan hakikat zaman, karena ruh mereka mampu menangkap getaran Lauhul Mahfudz.

5. Maka Tafsir Siddiqin = Tafsir yang Menerangi Jalan, Bukan Mengulang Catatan Lama

Banyak tafsir klasik :

Kuat secara bahasa,

Detail secara hukum,

Tapi mandek secara ruhani dan tidak kontekstual.

Sebaliknya, tafsir Siddiqin :

Tidak panjang-panjang, Tapi langsung menghantam batin dan menyinari hati.

📌 Itulah jenis tafsir yang dibutuhkan di akhir zaman :

> Tafsir yang menyelamatkan, bukan mengomentari.

> Tafsir yang membangkitkan ruh, bukan memperdebatkan kata.

6. Kesaksian Sejarah : Para Arifin Bisa Menafsirkan Al-Qur’an yang Membuka Masa Depan

Kita telah melihat jejak :

> Ibnu Arabi,

> Imam al-Ghazali,

> Jalaluddin Rumi,

> Sayyid Quthb dalam aspek ruhani tafsirnya,

📌 Tapi di akhir zaman, maqam ini akan muncul kembali dalam bentuk yang lebih presisi, lebih syuhud, karena waktu telah mendesak dan sistem Dajjal makin menyesatkan.

➡ Maka, tafsir dari para Siddiqin yang hidup di akhir zaman akan menjadi kitab cahaya baru bagi para pemikir dan jiwa-jiwa yang tersesat.

Penutup Bab :

Tafsir al-Qur’an adalah pintu antara langit dan bumi. Namun tidak semua bisa membukanya. Kuncinya bukan di otak, tapi di ruh yang telah disucikan.

📌 Maka :

> Ilham para Siddiqin bukan sekadar tambahan tafsir, tapi ia adalah nafas baru al-Qur’an di zaman yang telah sesak oleh kebutaan jiwa, kedangkalan pemahaman dan hijab-hijab pengetahuan sampah.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar