Halaman

Sabtu, 28 Juni 2025

Hakikat adalah Konstruksi Logika dari Bangunan Syariat

Mang Anas 


Pendahuluan

Dalam sejarah spiritual Islam, kerap muncul dikotomi yang keliru antara hakikat dan syariat. Sebagian kelompok menganggap syariat sebagai kulit luar semata, sementara hakikat dianggap sebagai inti terdalam yang tidak memerlukan lagi bentuk-bentuk lahiriah. Bahkan, tidak jarang keduanya dipertentangkan secara diametral. Padahal, jika kita menelusuri secara mendalam dengan pendekatan logika ruhani dan struktur epistemologis yang matang, akan tampak bahwa hakikat bukanlah lawan syariat, melainkan konstruksi logika yang menyusun, menjelaskan, dan meneguhkan bangunan syariat.

1. Makna Syariat dan Hakikat : Dua Dimensi Satu Kebenaran

Syariat secara bahasa berarti "jalan yang jelas", dan dalam konteks agama ia mencakup aturan hukum, ibadah, akhlak, dan tata hidup yang diturunkan dari wahyu. Syariat memberi bentuk, struktur, dan kerangka perilaku lahiriah seorang mukmin.

Hakikat berasal dari akar kata "al-haqq" (kebenaran), dan merujuk pada makna terdalam dari suatu realitas. Dalam konteks tasawuf, hakikat adalah pemahaman ruhani dan intelektual yang menyadari sebab-sebab ilahiah di balik hukum-hukum syariat.

Maka :

🩸Jika Syariat adalah bentuk.
Maka Hakikat adalah isi dan atau substansi dari apa yang ada dibalik bentuk itu.

🩸Jika Syariat adalah hukum.
Maka Hakikat adalah penjelasan tentang hikmah yang tersembunyi dibalik hukum itu.

🩸Jika Syariat adalah aturan.
Maka Hakikat adalah argumentasi serta konstruksi logika dibalik aturan itu 

2. Hakikat sebagai Konstruksi Logika

Setiap hukum Tuhan dalam syariat mengandung tujuan (maqashid) dan hikmah (asrar). Hakikat adalah upaya menyibak tujuan dan hikmah itu secara ruhani dan intelektual. Oleh karena itu, hakikat adalah logika terdalam yang menjelaskan mengapa hukum itu ada.

Contoh :

> Larangan riba bukan hanya masalah ekonomi, tapi menyangkut keadilan, penjagaan jiwa dari kerakusan, dan ketidakseimbangan sosial.

> Perintah shalat bukan sekadar gerakan, tapi adalah rekayasa ilahiah untuk menyelaraskan tubuh, jiwa, dan ruh dalam satu harmoni dengan Tuhan.

Maka, memahami hakikat artinya menyadari bahwa syariat adalah hasil dari arsitektur logika ketuhanan. Tanpa pemahaman ini, syariat bisa terasa mekanis, kaku, bahkan membingungkan.

3. Kesalahpahaman Fatal : Ketika Hakikat Dipertentangkan dengan Syariat

Salah satu kesalahan fatal dalam sejarah pemikiran spiritual adalah kecenderungan sebagian orang memposisikan hakikat dan syariat sebagai dua kubu yang bertentangan. Dalam pemikiran yang menyimpang, hakikat dianggap sebagai tingkat tertinggi dari kesadaran, sehingga syariat menjadi tidak relevan lagi. Padahal, hakikat bukan alasan untuk meninggalkan syariat, melainkan dasar rasional dan ruhani untuk mengamalkannya secara sadar dan mendalam.

Hakikat adalah ruh dari syariat. Ia menjelaskan mengapa kita harus shalat, bukan menggantikan shalat. Ia mengungkap mengapa riba dilarang, bukan menihilkan larangan itu. Ketika seseorang merasa telah mencapai hakikat lalu meninggalkan syariat, sesungguhnya ia belum memahami hakikat itu sendiri.

> "Mengetahui logika di balik perintah, bukan alasan untuk membatalkan perintah. Justru di sanalah syariat menjadi hidup dan tercerahkan."

Maka, bukan hanya keliru, tapi juga berbahaya secara ruhani, ketika hakikat dijadikan dalih untuk melampaui atau mengabaikan syariat.

4. Struktur Epistemik Jalan Ruhani : La ilaha illallah Muhammad Rasulullah

> La ilaha = penafian ilah palsu, fase tarekat (pembersihan diri).

> Illa Allah = pengenalan akan Tuhan (makrifat).

> Muhammad = representasi hakikat sebagai insan kamil.

> Rasulullah = manifestasi syariat sebagai amal nyata dan hukum sosial.

Dalam kerangka ini, syariat bukan titik awal, tapi puncak dari perjalanan spiritual. Ia adalah tempat di mana semua cahaya ruhani dijelmakan dalam bentuk nyata untuk membawa rahmat bagi alam semesta, sebagaimana Rasulullah saw melakukannya.

5. Kesimpulan : Menyatukan Ruh dan Jasad dalam Syariat

Ketika seseorang memahami bahwa hakikat adalah konstruksi logika dari bangunan syariat, maka ia tidak lagi melihat syariat sebagai beban, melainkan sebagai bentuk cinta Tuhan yang telah dikalkulasi dengan cermat dan penuh kasih. Syariat adalah jasad dari ruh kebenaran itu sendiri. Ia bukan awal, melainkan wujud nyata dari perjalanan panjang menuju Tuhan.

> "Barang siapa mengenal hakikat tetapi meninggalkan syariat, maka ia ibarat seseorang yang memahami ilmu kedokteran tapi menolak pengobatan."

Di sinilah kita memahami bahwa puncak tertinggi bukan hanya mengalami, tetapi menghidupkan kebenaran dalam dunia nyata. Dan itu hanya mungkin melalui syariat yang tercerahkan oleh hakikat.

Penutup

Syariat yang dipenuhi cahaya hakikat adalah syariat yang hidup. Ia tidak hanya mengatur, tetapi menghidupkan. Ia tidak hanya memerintah, tetapi menyadarkan. Maka, mari kita hentikan debat antara syariat dan hakikat, dan mulai membangun jembatan yang memperlihatkan bahwa keduanya adalah satu kesatuan agung: bentuk dan makna, hukum dan hikmah, amal dan cahaya.

Hakikat adalah konstruksi logika dari bangunan syariat. Dan syariat, pada akhirnya, adalah tempat seluruh rahasia itu menemukan rumahnya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar