Mang Anas
Pendahuluan : Bahasa yang Menyesatkan Pikiran
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab bukan hanya karena keindahan sastranya, tetapi karena kekayaan makna yang dikandung oleh setiap katanya. Namun sayangnya, saat diterjemahkan, terutama oleh otoritas resmi seperti Departemen Agama RI, banyak makna agung itu terjerembab dalam penyempitan konsep. Kata seperti na’budu diterjemahkan menjadi “menyembah”, dan dzikr menjadi “menyebut”. Sekilas tidak ada yang salah. Tapi bila ditelaah secara lebih dalam, keduanya menyimpan kerusakan tafsir yang telah merasuk ke jantung praktik keberagamaan umat Islam secara masif.
1. "Na'budu" diterjemahkan sebagai "kami menyembah"
Masalah :
Terjemahan ini membatasi makna ʿibādah (عبادة) menjadi ritual penyembahan formal, terutama shalat dan sejenisnya.
Padahal, akar kata ʿabd (عبد) dan ʿibādah berkaitan erat dengan penghambaan total, bukan sekadar tindakan simbolik.
Makna yang Lebih Tepat :
Na'budu dalam "iyyāka naʿbudu" (إِيَّاكَ نَعْبُدُ) seharusnya dimaknai sebagai :
> “Hanya kepada-Mu kami mengabdi sepenuhnya.”
Mengandung pengertian totalitas sikap hidup: ketaatan, kepatuhan, dan ketundukan, bukan hanya gerakan ritual.
Implikasi terhadap umat :
🌲Pemaknaan sempit membuat banyak orang mengira agama hanya berlaku di masjid, bukan di pasar, kantor, atau rumah.
🌲Hilangnya konsep penghambaan total dalam kehidupan sehari-hari. Petani di sawah, ibu di dapur, guru di sekolah, semuanya bisa bernilai ibadah. Tapi dengan terjemahan sempit itu, masyarakat terlanjur memahami bahwa ibadah itu identik dengan "aktivitas sakral di tempat ibadah".
Inilah awal dari sekularisasi terselubung dalam dunia Muslim : ketika agama dikurung dalam ritual dan dijauhkan dari sosial-ekonomi-politik. Ini bukan semata kesalahan umat, tapi juga karena tafsir dan terjemahan yang membatasi makna dari sumber utamanya.
2. "Dzikr" diterjemahkan sebagai "menyebut"
Masalah :
Ini mengecilkan dzikr menjadi sekadar melafalkan nama Tuhan secara verbal (ucapan tasbih, tahlil, dll).
Padahal dzikr dalam Al-Qur’an adalah kegiatan intelektual, spiritual, dan kontemplatif.
Makna yang Lebih Tepat :
Dzikr (ذِكْر) berasal dari akar kata yang bermakna mengingat, menyadari, memperhatikan, dan hadir secara batin.
Dalam konteks Qur'ani, dzikr bisa bermakna :
🗳️Mengingat Allah dengan hati dan akal
🗳️Kesadaran yang hadir dalam tindakan
🗳️Meresapi ayat-ayat-Nya dalam kehidupan nyata
🗳️Bahkan, Al-Qur’an itu sendiri disebut sebagai dzikr
Implikasi terhadap umat :
🧺Dzikir yang seharusnya membentuk kedalaman batin dan pencerahan jiwa, tereduksi menjadi aktivitas bibir yang berulang tanpa makna. Dzikr berubah menjadi bilangan : 33x subhanallah, 33x alhamdulillah, dst. Padahal dzikr adalah pusat dari kesadaran ruhani—bahkan Al-Qur’an menyebut dirinya sebagai adz-dzikr, yaitu pengingat agung.
🧺 Dengan terjemahan dangkal ini, dzikir mengalami “kematian makna”. Ia tak lagi menyinari akal, tak menyentuh jiwa, dan tak menggerakkan etika. Ia hanya menghiasi tasbih digital, seremonial rutin, dan formalitas spiritual.
Implikasi Besar : Ritualisasi Agama dan Kekosongan Spiritualitas
Akibat langsung dari kedua kekeliruan terjemahan ini adalah ritualisasi agama secara besar-besaran. Agama dipahami sebagai kumpulan tata cara, bukan jalan kehidupan. Umat diajarkan untuk taat pada bentuk, tetapi kehilangan ruh. Maka tak heran jika masjid ramai, tapi pasar penuh tipu daya; zikir menggema, tapi korupsi merajalela.
Penyempitan makna ini juga menjauhkan umat dari keterlibatan sosial. Ketika ibadah dibatasi sebagai gerakan tubuh, maka tindakan sosial tak lagi dianggap bagian dari agama. Dan ketika dzikir dibatasi hanya pada ucapan, maka aktivitas berpikir kritis, merenung, berinovasi serta semua bentuk kegiatan riset dan pengembangan menjadi kehilangan nilai spiritualnya.
Kesimpulan :
Kesalahan terjemahan seperti ini tidak hanya bersifat linguistik, melainkan berdampak pada pergeseran paradigma beragama umat Islam :
👉Dari ibadah sebagai jalan hidup menuju ibadah sebagai ritual
👉Dari dzikir sebagai kesadaran menuju Tuhan, menjadi hanya bacaan lafaz
Ini menunjukkan pentingnya pembaruan dalam tafsir berbasis makna batin dan konteks hidup, bukan hanya leksikon Arab-Indonesia yang kaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar