Halaman

Sabtu, 27 September 2025

Dari Agama ke Ketuhanan : Bahaya Menolak Hakikat dalam Pendidikan Spiritual

By. Mang Anas 


Pendahuluan 

Pendidikan agama di sekolah-sekolah Indonesia hari ini masih banyak berputar di hafalan hukum, akidah dogmatis, dan sejarah simbolik. Murid diajarkan apa yang halal-haram, apa yang wajib-sunnah, siapa tokoh penting, dan kapan peristiwa bersejarah terjadi. Pada permukaannya, ini tampak cukup. Namun jika ditelusuri lebih dalam, ini adalah bencana terselubung bagi jiwa generasi muda. Anak-anak tahu aturan, tapi tidak pernah diajarkan merasakan Tuhan dalam diri mereka sendiri. Mereka hafal doa, tapi tidak tahu apa artinya ; mereka shalat, tapi tidak pernah mengalami hening batin ; mereka mengulang ritual, tapi tidak menyentuh inti spiritual.

Jika kurikulum ini terus dipertahankan, konsekuensinya tidak hanya individual, tetapi masif dan historis. Anak-anak tumbuh menjadi manusia yang taat lahiriah tapi miskin rasa, generasi yang hafal teks tetapi kehilangan nurani. Mereka akan melihat agama sebagai sekadar alat legitimasi sosial, simbol status, atau bahkan sumber konflik. Inilah akar dari fanatisme semu, intoleransi tersembunyi, dan trauma psikologis yang diwariskan turun-temurun.

Realitas sosial menunjukkan betapa seriusnya krisis ini. Di Jawa, trauma sejarah masih hidup : runtuhnya Majapahit dipahami sebagai “Islam peroboh peradaban Jawa”, dan peristiwa Gestapu 1965 meninggalkan luka mendalam bagi komunitas abangan, kejawen, dan simpatisan PKI—banyak di antaranya akhirnya pindah ke Kristen, dan trend yang kemudian sekarang berkembang adalah kejawen klinik. Trauma kolektif ini membuat sebagian besar masyarakat Jawa menjadi antipati terhadap Islam formal, mencari pengganti spiritual dalam simbolisme masa lalu : arca, sesaji, dan ritual Majapahit. Ironisnya, mereka menghidupkan “Jawa” hanya dalam bentuk simbol, tanpa roh dan hakikat, sehingga obsesi identitas mereka justru menjadi sumber kekosongan batin baru.

Di sinilah titik krusial : pendidikan agama berbasis fikih-dogma tidak menyembuhkan luka, tetapi malah memperkuatnya. Anak-anak belajar menilai halal-haram, tapi tidak belajar menilai diri sendiri, menilai rasa, dan mencari kebenaran hakiki. Mereka diajarkan siapa kawan dan saudara seiman dan siapa musuh, siapa yang benar dan yang salah, tidak diajarkan siapa Tuhan yang sejati, atau bagaimana membangun hubungan intim dengan-Nya. Tanpa hakikat, agama menjadi pedang simbolik yang bisa membelah masyarakat, bukan tali yang menyatukan hati.

Transformasi dari agama ke ketuhanan adalah bukan sekadar reformasi kurikulum ; ini adalah tindakan mendesak untuk menyelamatkan jiwa bangsa. Pendidikan ketuhanan berarti :

1. Mengarahkan murid pada pengalaman langsung dengan Tuhan, bukan sekadar hafalan atau dogma.

2. Menyucikan hati melalui laku batin, bukan ritual simbolik kosong.

3. Menumbuhkan rasa kasih sayang, keadilan, dan kerendahan hati, bukan rasa takut atau dominasi.

4. Membuka ruang dialog dan titik temu, sehingga generasi muda tidak lagi melihat agama lain sebagai musuh atau ancaman, tetapi sebagai jalan yang juga menuntun kepada Tuhan yang Esa.

Dengan menekankan kalimatun sawa—“kita tidak menyembah kecuali Tuhan Yang Maha Esa”—pendidikan ketuhanan menjadi tali yang mengikat pluralitas dalam kesadaran tunggal, bukan sekadar label identitas. Tuhan di sini bukan nama atau simbol, melainkan Pencipta langit dan bumi, yang bisa dikenal melalui hati dan rasa, bukan dogma atau ritual.

Jika pendidikan tetap mengabaikan hakikat, konsekuensinya serius :

⏩ Generasi muda akan menjadi taat lahiriah tapi kosong batin, mudah diseret fanatisme semu.

⏩ Trauma historis tetap hidup, menumpuk, dan diwariskan.

⏩ Dialog antaridentitas mustahil tercapai, sehingga konflik simbolik akan terus mengintai.

⏩ Agama kehilangan fungsinya sebagai jalan penyucian diri dan penghubung manusia dengan Tuhan, berubah menjadi sekadar kode sosial atau instrumen kekuasaan.

Maka, reformasi pendidikan agama menjadi pendidikan ketuhanan bukan pilihan, tetapi keharusan. Hanya dengan menyentuh inti ketuhanan, manusia bisa menyembuhkan luka sejarah, mengolah batin, dan membangun masyarakat yang jernih, harmonis, dan berpijak pada hakikat spiritual. Tanpa langkah ini, kita hanya memproduksi generasi yang patuh secara lahir, tetapi buta dalam jiwa—generasi yang terjebak di antara simbol dan trauma, kehilangan Tuhan, dan kehilangan dirinya sendiri.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar