By. Mang Anas
Pendahuluan
Manusia bukan sekadar makhluk jasmani yang bergerak dan bernapas; ia adalah entitas multidimensional yang memiliki lapisan-lapisan kesadaran, masing-masing dengan peran dan tanggung jawabnya sendiri. Dalam tradisi Makrifat Jawa, kesadaran manusia terbagi menjadi lima hirarki : Ruh, Jiwa, Rasa, Akal, dan Raga. Setiap lapisan ini saling terkait dan bekerja harmonis untuk menjalankan taklif, amanah yang telah ditentukan bagi setiap individu.
Menariknya, lima hirarki ini dapat dipahami secara lebih dalam melalui Sirr al-Fatihah, di mana setiap ayat pembuka Al-Qur’an tidak hanya mengandung doa dan permohonan, tetapi juga mencerminkan struktur kosmik dan psikospiritual manusia. Ruh tercermin dalam nama-nama Tuhan yang Maha Penyayang dan Maha Kuasa; jiwa dalam kesadaran untuk menyembah dan memohon pertolongan; Rasa sebagai pengarah jalan lurus; Akal sebagai penerima dan pengeksekusi arahan; dan Raga sebagai medan nyata bagi seluruh manifestasi hidup.
Pemahaman ini membuka perspektif baru tentang kehidupan manusia: bahwa setiap tindakan, setiap keputusan, bahkan setiap rasa yang muncul, memiliki akar dalam struktur spiritual yang lebih dalam. Menyelami lima hirarki ini bukan sekadar latihan intelektual, tetapi juga perjalanan batin untuk menyadari bagaimana Ruh, Jiwa, Rasa, Akal, dan Raga bekerja bersama dalam menjalankan amanah ilahi dan menapaki jalan yang lurus.
Lima Hirarki Kesadaran Manusia Dalam Makrifat Jawa
Dalam Makrifat Jawa, manusia dipahami sebagai makhluk berlapis-lapis, di mana setiap lapisan memiliki fungsi dan tanggung jawab yang unik, tetapi saling terhubung. Pada inti terdalam diri manusia terdapat Ruh, yang disebut Urip Sejati atau Al Qolam pada diri manusia. Ruh bukan sekadar sumber kehidupan; ia juga bertindak sebagai pena ilahi yang menuliskan peta takdir pada lembaran-lembaran jiwa. Setiap amanah, setiap taklif yang akan dijalankan manusia telah tertulis di sana, menjadikan ruh sebagai pengatur garis besar perjalanan hidup manusia.
Menyusul ruh adalah Jiwa, yang dalam Makrifat Jawa disebut Sejatine Urip, merupakan Lauhul Mahfud pada diri manusia. Disini jiwa menjadi penerima taklif—kewajiban yang lahir dari ketentuan takdir yang telah dicatat oleh ruh. Sebagai penerima taklif, jiwa memiliki tugas untuk menjalankan amanah tersebut dengan kesadaran penuh. Inilah alasan mengapa Allah meminta pertanggungjawaban dari jiwa, bukan dari ruh; ruh hanyalah penulis takdir, sedangkan jiwa-lah yang menjalani dan mengalami setiap amanah itu.
Selanjutnya, hadir Rasa, atau Bener Sejati, disebut Kursi pada diri manusia. Berfungsi sebagai pembaca dan penghubung. Rasa menangkap apa yang telah dituliskan oleh ruh dalam jiwa, membaca getaran takdir, dan menyelaraskan frekuensi jiwa dengan akal. Melalui Rasa, jiwa menyampaikan perintah dan arahan yang akan diolah oleh akal. Gelombang Rasa inilah yang membuat manusia mampu menghubungkan dimensi spiritual dengan dimensi rasional secara harmonis.
Di lapisan berikutnya terdapat Akal, yang disebut prosesor dari Sejatine Bener dan merupakan Arsy pada diri manusia. Akal bertugas menyediakan prosedur, teknik, dan metodologi untuk mengeksekusi amanah dan perintah yang dikirim oleh jiwa melalui Rasa. Ia memastikan bahwa perintah jiwa—yang lahir dari taklif dan takdir—diimplementasikan secara sistematis dan efektif dalam tindakan nyata. Dengan demikian, akal menjadi instrumen penting yang menjembatani taklif spiritual dengan manifestasi dunia nyata.
Dan akhirnya, lapisan yang paling nyata dalam pengalaman manusia adalah Raga, yang dalam Makrifat Jawa disebut sebagai miniatur Alam Semesta di diri manusia. Raga adalah wadah bagi semua elemen keberadaan, baik yang dohir maupun yang batin. Di sinilah semua pengalaman, tindakan, dan manifestasi kehidupan manusia terwujud. Raga menjadi medan nyata di mana Ruh, Jiwa, Rasa, dan Akal bekerja sama untuk mengeksekusi amanah hidup.
Dengan struktur ini, manusia dalam Makrifat Jawa dipahami sebagai sistem spiritual yang kompleks, di mana setiap lapisan kesadaran—Ruh, Jiwa, Rasa, Akal hingga Raga—bekerja selaras. Ruh menuliskan takdir, jiwa menerima dan menjalankan amanah, Rasa menyelaraskan kesadaran dengan sinyal spiritual, Akal mengeksekusi implementasi, dan Raga menjadi arena nyata bagi semua itu.
Kesadaran akan hierarki ini menjadikan setiap manusia tidak sekadar makhluk biologis, tetapi makhluk yang bertanggung jawab penuh atas taklifnya. Jadi hidup dalam perspektif makrifat jawa bukan hanya soal menjalani hari demi hari, melainkan menjalankan amanah ilahi yang telah digariskan ruh, melalui kesadaran jiwa, Rasa, Akal dan Raga, sehingga kehidupan menjadi arena ibadah yang hakiki.
Lima Hirarki Kesadaran Manusia dalam Sirr al-Fatihah
1. Ruh [ Urip Sejati ] – "Ar-Rahman, Ar-Rahim, Maliki Yaumiddin"
Ruh adalah inti terdalam manusia, yang dalam Sirr al-Fatihah tercermin melalui nama-nama Tuhan yang Maha Penyayang dan Maha Kuasa : Ar-Rahman (Maha Pengasih), Ar-Rahim (Maha Penyayang), dan Maliki Yaumiddin (Penguasa Hari Pembalasan). Dalam konteks makrifat, Rahman dan Rahim mewakili Haula—daya kehidupan dan kasih sayang—sementara Malik mewakili Kuwwatta—kekuatan yang menegakkan dan menata. Ruh menuliskan takdir, memberi arah bagi jiwa, sekaligus menjadi sumber energi spiritual yang menghidupkan seluruh lapisan kesadaran.
2. Jiwa [ Sejatine Urip ] – "Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in"
Jiwa adalah penerima taklif. Dalam Al-Fatihah, fungsi jiwa tercermin dalam kalimat “Hanya kepada-Mu kami mengabdikan diri dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan”, menunjukkan bahwa jiwa-lah yang menjadi subjek pengamal, yang harus bertanggung jawab atas amanah yang telah diberikan ruh. Jiwa mengekspresikan kesadaran dan pengabdian, menjadi pusat pertanggungjawaban spiritual manusia.
3. Rasa [ Benar Sejati ] – "Ihdinas Shirothol Mustakim"
Rasa adalah Bener Sejati, gelombang penghubung antara jiwa dan akal. Dalam Al-Fatihah, peran Rasa tercermin pada doa “Tunjukkan kami jalan yang lurus”, di mana Rasa berfungsi membaca takdir yang tertulis dalam jiwa, menyesuaikan frekuensi spiritual, dan mengarahkan akal untuk memahami serta mengeksekusi jalan yang benar.
4. Akal [ Sejatine Bener ] – "Sirotol Ladzina An’amta Alaihim"
Akal adalah prosesor Sejatine Bener, yang menyiapkan prosedur dan metodologi implementatif. Dalam Al-Fatihah, akal tercermin dalam “jalan mereka yang telah Engkau beri nikmat”, yang menandakan bahwa akal menerima arahan dari Rasa dan mengeksekusi amanah jiwa dengan bijak, meniru pola dan petunjuk dari mereka yang diberkahi dan sukses menata hidupnya.
5. Raga [ Alam Semesta pada diri ] – "Ghairil Magdubi Alaihim waladdolin"
Raga adalah manifestasi nyata, Jagat Cilik, wadah bagi semua elemen keberadaan, baik dohir maupun batin. Dalam Al-Fatihah, raga tercermin pada “bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat”, menunjukkan medan pengalaman nyata di mana setiap pilihan, tindakan, dan hasil hidup terealisasi. Raga menjadi arena konkret dari perjalanan spiritual dan implementasi amanah.
Dengan demikian, Sirr al-Fatihah tidak sekadar doa, tetapi juga merupakan peta kosmik dan psikospiritual manusia :
> Ruh memberi energi dan menulis takdir.
> Jiwa menerima amanah dan menanggung tanggung jawab.
> Rasa membaca peta takdir dan menghubungkan jiwa dengan akal.
> Akal mengeksekusi dengan metodologi.
> Raga menjadi medan nyata bagi pengamalan dan manifestasi hidup.
Dengan begitu maka hakikat perjalanan manusia adalah perjalanan integrasi—menyatukan Ruh, Jiwa, Rasa, Akal, dan Raga dalam harmoni. Dengan kesadaran ini, setiap tindakan, pilihan, dan pengalaman hidup menjadi cerminan keharmonisan batin dan manifestasi hikmah ilahi. Maka, memahami dan menghayati lima hirarki kesadaran bukan sekadar pengetahuan, tetapi juga praktik spiritual yang membawa manusia pada jalan yang lurus dan penuh keberkahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar