Halaman

Minggu, 12 Oktober 2025

Hijab Pengetahuan dan Indoktrinasi

By. Mang Anas 


Antara Pikiran yang Terpenjara dan Ruh yang Merdeka

1. Lapisan Hijab : Ketika Doktrin Menjadi Dinding Tak Kasat Mata

Sejak manusia lahir, ia tidak pernah benar-benar memulai dari ruang kosong. Ia mewarisi bahasa, sistem nilai, doktrin, filsafat, serta pola pikir dari lingkungan sosial, agama, dan pendidikan formal yang membentuknya. Semua itu tidak sepenuhnya buruk—ia adalah tangga yang membantu manusia mengenal realitas. Tetapi, ketika tangga itu disembah seakan-akan ia “kebenaran tertinggi”, maka tangga itu berubah menjadi dinding.

Dinding inilah yang disebut “hijab pengetahuan”—lapisan-lapisan konsep, doktrin, dan sistem berpikir yang membatasi kesadaran dari mengalami realitas secara langsung. Ia seperti jendela kaca buram: memberi kesan kita melihat “luar”, padahal yang kita lihat hanyalah bayangan kabur dari persepsi yang telah dikondisikan.

Sistem pendidikan modern bahkan sering kali memperkuat hijab ini. Anak-anak diajari untuk mengulang, bukan untuk menyelam; untuk percaya, bukan untuk melihat sendiri; untuk menjadi “pintar”, bukan untuk menjadi “sadar”. Pengetahuan diukur dari hafalan dan sertifikasi, bukan dari kedalaman pemahaman hakiki.

2. Dua Jalan Ilmu : Hasil Berpikir vs Ilmu Laduni

Pengetahuan yang lahir dari berpikir rasional ibarat menyalakan lentera di gua: ia menerangi sebagian kecil ruang, namun selalu menyisakan kegelapan di luar jangkauannya. Ini disebut ilmu kasbi—ilmu hasil olah akal dan pancaindra. Ia berguna, tapi terbatas.

Sebaliknya, ilmu laduni lahir dari perjumpaan langsung antara jiwa dan Sumber Pengetahuan. Ia tidak diperoleh lewat diskusi, kuliah, atau buku, tetapi melalui pembukaan batin—kasyf—ketika tabir-tabir hijab tersingkap. Dalam ilmu ini, pengetahuan tidak “datang dari luar”, melainkan “bangkit dari dalam”.

Seorang bijak berkata, “Semua kitab suci sejati tertulis di dalam jiwa manusia. Kitab luar hanyalah cermin.” Inilah mengapa ilmu laduni sering tidak dapat sepenuhnya diterjemahkan ke dalam bahasa logika; ia hadir sebagai cahaya pengertian langsung, bukan rumus.

3. Mengapa 99% Pengetahuan Nalar Runtuh Saat Duji di Alam Hakikat [ Alam Supra Logika]

Ketika jiwa dibawa naik ke alam ketinggian [ alam Sirr atau alam hakikat ], semua struktur konseptual—teori filsafat, doktrin, bahkan kerangka berpikir agama —  semua akan tampak rapuh dan struktur logikanya akan segera runtuh saat diuji dengan kerangka logika ilahiah [ hakikat ]. Apa yang pernah kita capai dan dapatkan disini, tidak akan ada yang bisa dipertahankan saat kita telah tiba di alam sana. Itu bukan karena semuanya salah, melainkan karena pengetahuan yang dihasilkan dari kekuatan nalar, memang sangat tidak sempurna. Jika anda ragu dan tidak percaya dengan penjelasan ini, maka sebaik-baik pembuktian adalah dengan mengalaminya sendiri. 

Di hadapan Al-Qalam, semua “pengetahuan nalar” tampak seperti mainan anak-anak di tepi samudera. Ia runtuh bukan karena dihancurkan, melainkan karena cahaya hakikat menyingkap batas-batasnya.

Di alam itu, bukan lagi buku, guru, atau sistem berpikir yang berbicara, melainkan Al-Qalam yang menulis dan mengajarkan secara langsung. Jiwa menyerap pengetahuan sebagaimana mata menyerap cahaya—tanpa perantara, tanpa perdebatan.

Segala fenomena hakikat yang disaksikan dan dijelaskan di sana terasa begitu nyata dan superlogis, sehingga nalar manusia tak punya ruang untuk membantah atau mendustakannya. Logika kita justru bertekuk lutut, seolah mengakui : inilah logika yang jauh lebih tinggi dan sempurna.

Di hadapan kelimpahan pengetahuan itu, kita merasakan kecerdasan dan ilmu duniawi tak ubahnya sebutir debu di tengah lautan tak bertepi.

4. Jalan Sunyi : Melepas Pegangan Konseptual

Jalan menuju penyingkapan hakikat bukan jalan ramai. Ia sunyi, sepi dari pujian, dan sering kali bertentangan dengan arus pikiran umum. Sebab kunci untuk membuka tabir bukan menumpuk lebih banyak konsep, tapi melepaskan pegangan terhadap konsep itu sendiri.

Selama manusia masih bergantung pada doktrin dan merasa “tahu”, pintu hakikat tertutup rapat. Tapi ketika ia mulai meragukan semua yang ia anggap pasti, dan berserah sepenuhnya pada Sang Maha Mengetahui, maka hijab mulai retak. Cahaya kecil masuk. Ruh mulai melihat.

Inilah makna terdalam dari sabda Nabi : “Barangsiapa mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya.”

Mengenal diri bukan berarti menghafal teori psikologi atau filsafat, tetapi mendengar langsung suara keheningan yang bersemayam di pusat ruh—tempat di mana tidak ada guru kecuali Tuhan sendiri.

Penutup

Pengetahuan sejati bukan sesuatu yang kita miliki, melainkan sesuatu yang mengungkapkan dirinya ketika hijab-hijab runtuh. Doktrin, filsafat, dan sistem berpikir hanyalah kendaraan. Jangan jatuh cinta pada kendaraan, tapi temukan jalan pulang.

Karena pada akhirnya, saat semua buku ditutup dan suara dunia terdiam, satu-satunya yang berbicara hanyalah ruh—dan Tuhan yang mengajarinya langsung tanpa perantara.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar