By. Mang Anas
Pendahuluan : Cahaya yang Dicuri
Pendidikan adalah jalan terang yang seharusnya mengantarkan manusia kembali kepada cahaya asalnya—kepada Tuhan yang menciptakannya. Ia bukan sekadar sarana transmisi pengetahuan atau pelatihan keterampilan, melainkan sarana penyambung antara jiwa manusia dan sumber segala ilmu : Allah.
Pendidikan sejati tidak berhenti pada kemampuan untuk tahu, tetapi melanjut hingga pada kemampuan untuk menjadi—menjadi makhluk sadar, makhluk beradab, makhluk yang mengenali siapa dirinya dan ke mana ia akan kembali. Inilah inti dari makna "iqra’ bismi rabbik" — bacalah dengan kesadaran akan Rabb-mu.
Namun kini, kita hidup di zaman ketika pendidikan justru menjauhkan manusia dari fitrah ilahiyahnya. Sekolah-sekolah menjadi pabrik untuk menghasilkan manusia teknokrat, bukan khalifah. Universitas-universitas menjadi menara gading yang menyimpan data, bukan menyalakan cahaya. Ilmu pengetahuan dikultuskan, sementara hikmah dicampakkan. Akal diagungkan, sementara jiwa diabaikan. Inilah zaman ketika cahaya telah dicuri.
Sebuah pertanyaan besar harus diajukan : Bagaimana kita sampai pada sistem pendidikan yang kehilangan Tuhan ?
Siapa yang diam-diam merancang skenario ini ?
Di balik gemerlap prestasi sains dan kemajuan teknologi, tersembunyi satu proyek besar yang dijalankan secara sistematis: memutus hubungan manusia dengan Tuhannya. Ini bukan sekadar kelalaian sejarah—ini adalah rekayasa yang terencana. Ini bukan hanya krisis metode, melainkan krisis arah dan jiwa. Dan di balik semua itu, ada jejak yang bisa kita telusuri — jejak dari sebuah agenda kuno : proyek Iblis untuk membatalkan perjanjian abadi antara manusia dan Rabb-nya.
Sejarah Lahirnya Kurikulum Dajjal : Proyek Global Pemutusan Akar Langit
Untuk memahami bagaimana Iblis melalui sistem Dajjal menaklukkan dunia pendidikan, kita harus menelusuri sejarah panjang penggiringan ilmu menuju arah dunia semata, dengan satu misi : memutus manusia dari langit. Dari ilham.
1. Akar Permusuhan : Sejak Dialog di Surga
Proyek ini bukan dimulai abad ke-20. Ia berakar sejak Iblis menolak bersujud kepada Adam. Ia merasa lebih mulia, lebih dahulu, dan lebih tinggi unsur dirinya. Ketika Adam diajari “asmaa kullaha” (segala nama, yakni hakikat-hakikat), Iblis merasa terancam. Maka dia bersumpah untuk menggiring anak cucu Adam agar lupa siapa dirinya, dari mana dia berasal, dan ke mana ia akan kembali.
Misi Iblis bukan membuat manusia tidak cerdas — justru ia ingin manusia cerdas tetapi terputus dari cahaya langit. Maka lahirlah kurikulum Dajjal : sistem pendidikan yang menjadikan manusia sekadar makhluk duniawi.
2. Renaisans : Titik Balik dari Wahyu ke Rasio
Proyek modernisasi pengetahuan mengambil momentumnya pada abad ke-15-16, saat Renaisans di Eropa. Gereja dipandang sebagai penghambat ilmu, dan wahyu dianggap mitos. Maka manusia mulai membangun sains tanpa langit. Kurikulum disusun untuk mengeluarkan Tuhan dari kelas dan laboratorium.
Filsafat sekuler lahir, diikuti dengan metode ilmiah yang mengukur segalanya secara kasat mata. Dari sinilah pemutusan “ilmu dan iman” dimulai secara sistemik.
3. Abad Pencerahan dan Revolusi Industri : Percepatan Proyek Dajjal
Abad 17–19 menandai era rasionalisme dan revolusi industri. Pendidikan massal dikembangkan — tapi bukan untuk mendidik manusia mengenal dirinya, melainkan untuk mencetak pekerja bagi pabrik dan sistem kapitalis.
Ilmu tentang manusia dipersempit : psikologi lepas dari jiwa, kedokteran lepas dari ruh, ekonomi lepas dari moral, bahkan agama dijadikan studi kebudayaan.
Kurikulum Dajjal pada masa ini resmi menjadi sistem global. Diberlakukan di negeri-negeri Islam lewat kolonialisme, lalu diwariskan kepada generasi berikutnya melalui institusi lokal.
4. Dunia Modern : Kurikulum Tanpa Tuhan
Kini kita hidup dalam dunia yang hampir seluruh kurikulumnya disusun dengan satu asumsi : manusia adalah makhluk duniawi sepenuhnya. Jiwa dianggap subjektif, ilham dianggap ilusi, dan pendidikan diukur dengan skor, sertifikat, dan angka penghasilan.
🧺 Semakin banyak ilmu, semakin jauh dari fitrah.
🧺 Semakin tinggi gelar, semakin angkuh dan rapuh.
🧺 Kurikulum Dajjal berhasil mengubah manusia dari murid langit menjadi budak sistem.
Tanda-Tanda Kurikulum Dajjal dan Konsekuensinya bagi Jiwa Manusia
Setelah kita memahami bagaimana kurikulum Dajjal dirintis dan dimatangkan dari masa ke masa, kini penting untuk mencermati gejala-gejalanya yang nyata dalam sistem pendidikan kita hari ini. Gejala-gejala ini bukan hanya bersifat struktural, tapi juga menyentuh inti keberadaan manusia — jiwa dan fitrahnya.
1. Jejak Awal Proyek Pemutusan
Sejak awal penciptaan, Iblis sudah mengikrarkan satu misi suci dalam kamus kebenciannya : menjerumuskan anak cucu Adam dari jalan Tuhan. Ia bersumpah di hadapan Allah : “Aku benar-benar akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan, dan dari kiri. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS Al-A’raf: 17)
Strategi ini bukan sekadar godaan sesaat; ia adalah proyek panjang dan terstruktur. Iblis tidak bergerak sendiri. Ia membangun sistem, mengangkat wakil-wakil, dan menebar jaring-jaring peradaban yang mengabdi pada satu tujuan : memutus kesadaran manusia dari ruhnya, dan kesadaran ruh dari Tuhannya.
2. Ilmu Dipisah dari Tauhid
Kurikulum modern mengajarkan fisika, biologi, kimia, sosiologi, tapi tanpa Tuhan. Seolah-olah dunia bekerja sendiri, dan semua bisa dijelaskan tanpa Sang Pencipta. Ini adalah doktrin sekuler yang sangat halus — dan mematikan secara ruhani.
Manusia menjadi pintar memetakan hukum alam, tapi buta terhadap maksud di balik hukum itu. Mereka mengenal hukum gravitasi, tapi tak kenal “Siapa” yang membuatnya berlaku.
3. Pendidikan Menjadi Alat Industri, Bukan Jalan Pencerahan Jiwa
Kurikulum Dajjal menjadikan sekolah sebagai pabrik, dan manusia sebagai produk. Nilai manusia ditakar dari nilai ujian, gelar akademis, dan kemampuan bekerja untuk sistem. Maka lahirlah generasi yang tahu segala hal, kecuali siapa dirinya.
Padahal tugas utama pendidikan adalah :
“Menumbuhkan manusia yang sadar bahwa ia adalah wakil Tuhan di bumi.”
4. Pengingkaran terhadap Diri sebagai Khalifah
Kurikulum hari ini tidak mengajarkan anak untuk memahami amanah kekhalifahan. Tidak ada pelajaran tentang tanggung jawab spiritual terhadap alam, terhadap sesama, terhadap Tuhan. Yang diajarkan hanyalah : bagaimana bersaing, bagaimana bertahan, bagaimana menjadi sukses versi dunia.
Akhirnya manusia menjadi penguasa yang buta. Khalifah palsu. Membangun dunia sambil menghancurkan jiwanya.
Konsekuensi : Jiwa Menjadi Gelandangan
👉 Anak-anak tumbuh besar dengan kecemasan yang tak tahu asalnya.
👉 Generasi muda kehilangan arah, lalu mencari makna di medsos, popularitas, bahkan narkoba.
👉 Ilmu tak membawa pada hikmah, tapi pada kesombongan.
👉 Akhirnya, manusia menjadi asing di bumi yang ia kuasai.
Empat Arah Serangan Iblis dalam Pendidikan
Allah telah mengabarkan strategi Iblis kepada kita melalui firman-Nya :
> "Kemudian sungguh akan Aku datangi mereka dari depan mereka, dari belakang mereka, dari kanan mereka dan dari kiri mereka, dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS Al-A’raf : 17)
Ayat ini bukan sekadar peringatan ; ia adalah peta perang spiritual. Empat arah ini adalah empat poros utama proyek penyesatan : menggiring manusia dari fitrah ruh hingga jatuh menjadi budak dunia dan budak ego. Dalam konteks pendidikan, keempat arah ini diterjemahkan menjadi :
1. Dari Depan : Mengaburkan Tujuan Akhir 🌹" Wainnā ilaihi rāji‘ūn "🌹
Serangan dari depan adalah serangan terhadap visi hidup manusia, tentang ke mana ia akan pergi. Iblis menghembuskan ilusi bahwa kematian adalah akhir segalanya, bahwa tidak ada pertanggungjawaban, dan bahwa hidup hanya sekali, maka nikmatilah.
> Maka kurikulum modern tidak lagi mengarahkan anak didik menuju akhirat atau ridha Tuhan, melainkan kepada pekerjaan, gelar, dan status duniawi semata.
Padahal Allah telah berfirman :
> "Wainnā ilaihi rāji‘ūn"
"Dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kami kembali."
2. Dari Belakang : Memutus Asal-usul 🌹" Innā lillāh "🌹
Serangan dari belakang adalah pengingkaran terhadap asal-usul ruhani manusia. Iblis menanamkan dalam benak generasi muda bahwa mereka hanyalah hasil kebetulan dari evolusi materi, tanpa maksud, tanpa pencipta.
> Maka pelajaran tentang penciptaan, tentang ruh, dan tentang kehormatan manusia sebagai ciptaan terbaik Allah digantikan dengan teori-teori kering yang memutus hubungan anak-anak Adam dari Rabb-nya.
Padahal Allah telah berfirman :
> "Innā lillāh"
"Sesungguhnya kami milik Allah [ kami berasal dari-Nya ]."
3. Dari Kanan : Pengandalan pada Potensi Diri 🌹 " La Haula " 🌹
Serangan dari kanan adalah menjadikan potensi kecerdasan sebagai pusat kekuatan. Anak-anak diajarkan bahwa mereka bisa meraih segalanya asal cukup cerdas, ambisius, dan kompetitif. Iblis menyalakan api kesombongan intelektual.
> Maka manusia modern mengandalkan "haula"—daya—yang berasal dari dirinya, bukan dari Tuhannya.
Padahal kita diajarkan untuk berkata :
> "Lā haula wa lā quwwata illā billāh."
" Tidak ada daya dan tidak pula ada kekuatan kecuali berasal dari-Nya "
4. Dari Kiri : Pengandalan pada Ilmu dan Teknologi 🌹 " La Quwwata "🌹
Serangan dari kiri adalah pengultusan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan diarahkan untuk menjadikan manusia bergantung total pada apa yang bisa dihitung, diuji, dan dimanipulasi.
> Maka manusia lupa bahwa semua pengetahuan hanyalah titipan dari Yang Maha Mengetahui. Ilmu tidak lagi berfungsi untuk mengenal Allah, tetapi untuk menyaingi-Nya.
Padahal Allah berfirman :
"‘Allama al-insāna mā lam ya‘lam"
"Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya."
Empat arah ini, jika dibiarkan tanpa zikir, tanpa shalat, tanpa benteng wahyu, akan mengubah fitrah manusia menjadi cangkang kosong—pintar tapi hampa, canggih tapi kehilangan arah.
Tanda-tanda Kemenangan Sementara Dajjal
Iblis bukan sekadar penggoda di hati. Ia adalah arsitek peradaban tandingan, dan Dajjal adalah wujud sistemiknya yang paling nyata: membangun dunia tanpa Tuhan, menyusun kehidupan tanpa ruh, menciptakan ilmu tanpa hikmah. Di titik ini, kita melihat bahwa proyek itu tidak hanya berjalan, tetapi sudah mendominasi.
Berikut tanda-tanda jelas bahwa proyek Dajjal—dengan kurikulum pendidikannya—telah mencengkeram dunia :
1. Manusia Menjadi Mesin Produksi
Lembaga pendidikan hari ini mencetak manusia bukan sebagai khalifah, tapi sebagai alat produksi. Tujuan pendidikan bukan lagi untuk membentuk pribadi yang kenal Tuhannya, tapi untuk menciptakan tenaga kerja yang efisien, inovatif, dan kompetitif—bukan yang rendah hati, jujur, atau penyayang.
> Sekolah menjadi pabrik, guru menjadi operator, murid menjadi barang produksi.
2. Ruh Dikeluarkan dari Ruang Kelas
Berbicara tentang ruh dianggap mistik. Bicara tentang zikir dianggap tidak ilmiah. Akhirnya ilmu dipisahkan dari sumbernya, yakni Al-‘Alīm. Kurikulum tidak lagi menempatkan zikir sebagai jantung pendidikan, padahal Allah telah berfirman :
> "Inna shalata tanha ‘anil fahsha’i wal munkar, wa la dzikrullahi akbar."
"Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar. Dan sungguh mengingat Allah (zikir) itu lebih besar (keutamaannya )"
3. Kehilangan Makna
Anak-anak bisa menjelaskan hukum fisika dan kimia, tetapi tidak tahu mengapa mereka hidup. Mereka bisa membuat robot, tetapi tidak mengenal hatinya sendiri. Mereka tahu cara membangun kota pintar, tetapi tidak bisa membangun rumah tangga yang sakinah.
> Ilmu tanpa makna menghasilkan kecerdasan yang tersesat.
4. Dunia Diukur Hanya dengan Angka
Apa yang tidak terukur dianggap tidak ada nilainya. Akhirnya cinta, belas kasih, keikhlasan, kejujuran—semua itu keluar dari ruang evaluasi pendidikan. Yang tersisa hanyalah nilai ujian, IPK, akreditasi, sertifikat, ranking, grafik, dan angka.
> Iblis telah mengganti cermin hati dengan timbangan angka.
5. Tuhan Dijauhkan dari Bangku Pendidikan
Inilah puncaknya. Dalam sistem pendidikan Dajjal, Tuhan diasingkan—bukan sebagai pusat, tapi sebagai periferal, bahkan dianggap penghalang kemajuan. Maka berdirilah kampus-kampus megah dan laboratorium canggih yang menolak menyebut nama Tuhan, padahal ilmu yang mereka bangun bersumber dari al-Qalam yang mengajar manusia.
Apakah semua ini takdir ? Bukan. Ini adalah hasil dari proyek panjang.
Proyek yang merampas fitrah anak manusia dan menggantinya dengan ilusi kebebasan dan kenikmatan sesaat. Proyek yang mengajarkan bahwa ilmu bisa berkembang tanpa wahyu, dan manusia bisa hidup tanpa Tuhan.
Menelusuri Jejak Proyek Iblis — Dari Yunani ke Silicon Valley
Proyek Dajjal tidak lahir tiba-tiba. Ia disusun perlahan, generasi demi generasi, melalui berbagai momentum sejarah yang mengalihkan arah manusia dari jalan wahyu menuju jalan akal dan materi. Jejak proyek ini bisa dilacak melalui tiga fase penting :
1. Yunani : Ketika Akal Diangkat Melebihi Wahyu
Yunani kuno memuliakan akal sebagai alat tertinggi untuk mencapai kebenaran. Socrates, Plato, dan Aristoteles meletakkan dasar epistemologi rasional : bahwa hakikat dapat dicapai lewat logika manusia semata.
Di sinilah pintu pertama proyek Iblis terbuka lebar : menggoda manusia untuk percaya bahwa mereka bisa menjadi “tuhan kecil” jika cukup berpikir dan menganalisis. Wahyu dianggap tidak perlu, mitos. Akal menjadi penguasa tunggal.
> Iblis berkata : “Engkau tidak perlu bertanya kepada Tuhan, cukup gunakan otakmu.”
2. Era Pencerahan Eropa : Ketika Tuhan Dipensiunkan
Memasuki abad ke-17, Eropa mengalami “Pencerahan” (Enlightenment). Tapi pencerahan ini bukanlah cahaya dari langit, melainkan api yang membakar otoritas agama dan menggantinya dengan filsafat humanisme.
Di sinilah lahir semboyan baru : “Cogito ergo sum” – Aku berpikir, maka aku ada. Maka keberadaan manusia tidak lagi bergantung kepada Tuhan, melainkan kepada kemampuan berpikirnya sendiri.
Dunia mulai diarahkan untuk mengejar kemajuan materi, bukan kemuliaan akhlak. Di sekolah, Tuhan hanya jadi sejarah. Di kampus, wahyu hanya jadi data antropologi. Ilmu dijauhkan dari Ulūhiyyah, dan sekularisme menjadi agama baru.
> Proyek Iblis kini menjelma jadi sistem.
3. Revolusi Digital dan Silicon Valley : Tuhan Digantikan oleh Algoritma
Kini, kita hidup di era data dan algoritma. Google menjadi “kitab suci”, AI menjadi penasehat utama, dan media sosial menjadi kiblat perilaku. Big Tech menciptakan kurikulum tersembunyi yang membentuk pola pikir manusia, bahkan sebelum mereka duduk di bangku sekolah.
Silicon Valley adalah Vatikan baru dari agama akal dan teknologi. Manusia tidak lagi mencari pencerahan dari langit, tapi dari mesin. Anak-anak lebih kenal logo Samsung, Xiaomi, Oppo, Vivo dan Apple dari pada ayat Al-Qur’an.
> Iblis tidak lagi berbisik. Ia sudah bicara lewat notifikasi dan pop-up iklan.
Proyek Iblis kini telah matang. Dunia modern telah menerima sistemnya tanpa sadar. Pendidikan telah menjadi medium terpenting untuk menyebarkannya. Yang diputus bukan hanya hubungan manusia dengan Tuhannya, tapi juga dengan jati dirinya sendiri.
Rekonstruksi Pendidikan IQRA' : Menghadirkan Kembali Pendidikan yang Menyentuh Jiwa
Setelah dunia dibanjiri oleh arus pendidikan Dajjal—yang menjadikan manusia sebagai pusat segalanya dan mengabaikan hakikat Ketuhanan—maka kini saatnya membangun ulang peradaban pendidikan. Bukan dari bawah, tetapi dari dalam. Dari titik terdalam fitrah manusia : jiwa yang masih bisa mendengar ilham.
1. Ayat Pertama : Kurikulum Langit Dibuka
Allah membuka kurikulum wahyu dengan perintah :
> "Iqra' bismi rabbika alladzi khalaq..."
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan." (QS Al-‘Alaq : 1)
Bacalah bukan dengan ego, bukan dengan metode manusia, tetapi dengan kesadaran ketuhanan. Pendidikan langit dimulai bukan dari otak, tapi dari qalb—dari kesadaran bahwa semua ilmu adalah milik Tuhan.
Dan Allah menegaskan :
> "Allama bil qalam, 'allamal insana ma lam ya'lam"
"Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya." (QS Al-‘Alaq: 4–5)
Di sinilah qalam bukan sekadar pena, tetapi saluran ilham. Kalam yang menulis di Lauhul Mahfuz, yang mengilhamkan jiwa manusia sejak awal penciptaan.
2. Jiwa : Pelajar Utama dalam Diri Manusia
Banyak sistem pendidikan modern gagal karena menganggap tubuh dan akal sebagai pusat pembelajaran. Padahal, dalam sistem kurikulum Iqra', pelajar sejati adalah jiwa manusia — bukan tubuh, dan bukan ruh secara langsung. Jiwa adalah entitas yang berada di antara ruh dan jasad, yang memiliki kebebasan memilih antara ilham fujur dan ilham taqwa :
> "Fa alhamaha fujuraha wa taqwaha"
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (QS Asy-Syams : 8)
Inilah fondasi batin untuk membedakan antara yang hak dan batil. Pendidikan harus diarahkan untuk menyucikan jiwa dan menghidupkan kembali kepekaan terhadap ilham, bukan sekadar mengisi otak dengan hafalan.
3. Tujuan Pendidikan IQRA' : Menjadi Mukhlisin
Arah dari seluruh proses pendidikan Iqra' adalah satu : melahirkan manusia yang mukhlis, yaitu mereka yang tidak bisa disentuh oleh Iblis karena telah mencapai maqam "nafs al-mutma'innah".
Mereka inilah yang : Telah menyambungkan kembali langit dan bumi dalam diri mereka. Menghidupkan kembali qalb sebagai tempat turunnya cahaya. Mampu mengenali jerat dari kanan, kiri, depan, dan belakang.
Semoga tulisan ini bermanfaat.