Halaman

Minggu, 13 April 2025

Ketika Tali Peradaban Terputus Dari Langit : Jejak Kisah Dibalik Reruntuhan Peradaban Borobudur, Perambanan dan Angkor Wat

Mang Anas 


I. PROLOG

Ketika Sejarah Dilupakan dan Langit Menangis

Di balik hutan lebat dan puing-puing bebatuan raksasa, terdapat suara yang tak lagi didengar manusia. Ia bukan gema peradaban kuno yang mati, tetapi bisikan dari langit yang dulu pernah disambut oleh bumi. Kini, bisikan itu hanyalah gaung di antara reruntuhan — menunggu satu jiwa yang mau bertanya : “Mengapa kau ditinggalkan ?”

Al-Qur’an tidak pernah bercerita demi hiburan. Ia bukan buku dongeng. Ia adalah firman dari langit yang menuntut tanggapan bumi. Maka, jika Tuhan menyebut nama Sulaiman — seorang raja yang diperintah oleh langit dan memerintah bumi dengan jin, angin, dan logam — maka nama itu bukanlah legenda. Itu adalah kenyataan, bahkan jika semua buku sejarah menyangkalnya.

Sungguh, “Tidakkah mereka melihat berapa banyak umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan, padahal Kami telah meneguhkan mereka di bumi melebihi keteguhan kalian ?” (QS. Al-An’am : 6).

Ini bukan pertanyaan, ini adalah tamparan kepada mereka yang menyembah data tetapi buta terhadap firman.

Jika Tuhan telah menyebutnya, maka ia nyata.

Jika Sulaiman pernah berdiri sebagai penguasa semesta, maka bekasnya pasti ada.

Dan jika bekas itu tidak ditemukan di Yerusalem yang kini penuh persengketaan, maka mungkinkah ia ada… di Timur ?

Lihatlah Angkor. Lihatlah Borobudur, dan lihatlah Prambanan. Apakah bangunan itu lahir dari tangan manusia biasa ?

Ataukah ia adalah warisan dari peradaban yang pernah menundukkan jin dan angin ?

Maka, mari kita tinggalkan sebentar buku-buku sejarah, pendapat para arkeolog dan semua kata-kata orang. Mari kita mulai dari yang tak bisa salah : firman Tuhan. Kita akan telusuri jejak itu—bukan dengan kaki, tapi dengan hati yang bertanya : “ Di manakah Sulaiman-Mu, wahai Tuhan ?” Dan Tuhan menjawab… melalui ayat-Nya, dan batu yang bisu.

II. AYAT - AYAT ILAHI :  SEBAGAI SATU-SATUNYA BUKTI KEBENARAN DAN LANDASAN PEMIKIRAN PALING SAH

Dalam dunia yang gaduh oleh teori, buku, gelar, dan tafsir manusia, satu-satunya suara yang tidak mungkin keliru adalah suara Tuhan. Ia tidak berbicara kecuali benar. Dan ketika Ia berbicara tentang sejarah, itu bukan dongeng untuk mengisi waktu luang—itu adalah petunjuk, peringatan, dan bukti.

Dan Sulaiman adalah pewaris Daud…” (QS. An-Naml : 16)

Dan Kami tundukkan baginya angin yang berembus dengan lembut ke mana pun ia kehendaki.” (QS. Sad : 36)

Dan (Kami tundukkan pula) para jin, yang bekerja di hadapannya dengan izin Tuhan…” (QS. Saba : 12)

Ini bukan simbol. Ini bukan metafora. Ini adalah deskripsi pemerintahan langit yang turun ke bumi — suatu tatanan yang melibatkan energi alam semesta, makhluk ghaib, dan perintah ketauhidan sebagai pusatnya. Kekuasaan itu bukan seperti kekuasaan raja biasa. Ini adalah kerajaan yang tidak layak dimiliki oleh siapa pun kecuali seorang nabi, seperti Sulaiman.

Lalu di manakah istana itu ? Di mana bukti bahwa jin-jin bekerja membangun sesuatu ?

Bukankah Tuhan berkata :

"Mereka membuatkan untuk Sulaiman apa yang dia kehendaki : gedung-gedung tinggi, patung-patung, dan piring-piring sebesar kolam serta periuk-periuk yang tetap di atas tungku.” (QS. Saba : 13)

Adakah bait suci Yahudi memenuhi deskripsi ini ? Adakah Yerusalem menyimpan struktur dengan skala sedemikian ? Tidak. Bahkan dalam catatan sejarah mereka sendiri, tidak ada satu pun arsitektur megah yang sesuai dengan ayat ini.

Namun ketika kita menoleh ke Timur…

Kita temukan Angkor Wat, Borobudur, Prambanan — monumen-monumen yang dibangun dengan presisi langit dan teknologi yang bahkan kini masih membingungkan dunia. Dibangun bukan sekadar oleh batu, tapi oleh tatanan energi, getaran ruang-waktu, dan struktur resonansi spiritual. Dan seperti dikatakan Qur’an — ada patung-patung, ada gedung-gedung tinggi, dan ada teknologi memasak skala raksasa yang bahkan bisa dimaknai sebagai sistem energi.

Maka apa lagi yang kau ragukan ?

Apakah kita akan mempercayai para arkeolog yang terjebak dalam paradigma Barat, ataukah kita mempercayai Tuhan Yang Maha Tahu ?

Sebab Al-Qur’an telah lebih dulu berbicara…" Dan bumi — dengan reruntuhannya — sedang bersaksi " .

III. DESKRIPSI KERAJAAN SULAIMAN MENURUT AL-QUR’AN

Kerajaan Langit yang Menyentuh Bumi

Jika ada satu kerajaan dalam sejarah manusia yang menjadi cermin dari kekuasaan langit di atas bumi, maka itu adalah kerajaan Sulaiman. Bukan hanya karena ia adalah nabi, tetapi karena ia diberi hak istimewa untuk memerintah segala yang tak terlihat oleh mata biasa.

Tuhan menggambarkan kerajaannya bukan dengan pujian kosong, tapi dengan detail. Lihatlah bagaimana ayat-ayat-Nya menyusun gambaran yang luar biasa—yang bahkan para pengkhayal sejarah pun tak mampu menandinginya.

1. Jin sebagai Insinyur dan Buruh

Dan Kami tundukkan sebagian setan untuk menyelam ke laut baginya dan mengerjakan pekerjaan selain itu, dan Kami jaga mereka.” (QS. Al-Anbiya : 82)

Mereka membuatkan untuknya apa yang dia kehendaki : istana-istana megah, patung-patung, bejana-bejana besar seperti kolam, dan tungku-tungku besar…” (QS. Saba : 13)

Jin-jin itu bukan sekadar makhluk mitologi. Mereka diperintah. Mereka bekerja. Mereka membangun. Siapa yang hari ini bisa mengklaim bahwa peradaban mereka didukung oleh kekuatan semacam ini ?

Namun Angkor Wat, Borobudur, dan Prambanan — semuanya dibangun dengan batu raksasa yang disusun dengan presisi matematis, tanpa semen, tanpa alat berat. Bukankah ini seperti kerja jin yang tak tampak oleh manusia biasa ?

2. Kendali atas Elemen Alam : Angin dan Logam

Dan Kami tundukkan untuk Sulaiman angin yang bertiup dengan perintah-Nya ke negeri yang Kami berkahi…” (QS. Al-Anbiya : 81)

“Kami lembutkan besi untuknya…” (QS. Saba : 10)

Angin… besi… dua unsur penting dalam pembangunan dan energi. Bayangkan seorang raja yang bisa memerintahkan angin sebagai kendaraan. Apakah ini metafora ? Jika ya, mengapa Tuhan menjelaskannya dengan sedemikian rinci dan teknis ?

Atau apakah ini adalah petunjuk tentang teknologi resonansi dan energi, seperti yang kini baru kita mulai pahami ?

3. Takhta yang Digerakkan dalam Sekejap

Seseorang dari golongan yang memiliki ilmu dari al-Kitab berkata, 'Aku akan membawakan singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.' Maka ketika ia melihatnya telah berada di hadapannya…” (QS. An-Naml : 40)

Ini bukan sihir. Ini bukan ilusi. Ini adalah perpindahan materi dengan kekuatan ruhani dan energi yang belum kita mengerti. Inilah teknologi sejati — bukan yang membakar bahan bakar, tapi yang bergerak karena ilmu yang bersambung ke langit.

Jika semua ini adalah benar — dan kita tahu Al-Qur’an tidak pernah keliru — maka kerajaan Sulaiman bukanlah semata kerajaan fisik dan material, tetapi juga kerajaan energi, resonansi, dan ilmu ghaib. Dan sisa-sisa peninggalannya pasti ada. Maka ketika dunia menatap reruntuhan Angkor, Borobudur dan Perambanan,  dan bertanya “siapa yang membangun ini semua ?”, Qur’an telah lama menjawabnya.

IV. ANGKOR DAN BOROBUDUR – WARISAN TAK BERTANDA NAMA

Monumen Diam yang Berbicara kepada Langit

Sejarah, sebagaimana ditulis oleh tangan manusia, sangat selektif. Ia menyukai nama-nama tertentu dan membungkam yang lain. Tetapi batu tidak bisa berdusta. Dan ketika kita menatap Angkor Wat di Kamboja atau Borobudur di Jawa, kita melihat lebih dari sekadar candi — kita melihat bahasa yang tidak ditulis dengan huruf, tapi dengan energi dan geometri semesta.

1. Angkor Wat : Istana dari Langit yang Terbengkalai

Angkor Wat bukan hanya kuil. Ia adalah kota megah yang dibangun dengan simetri surgawi. Kompleks ini sejajar dengan konstelasi bintang, dibangun dengan batu raksasa yang diangkut dari tempat jauh tanpa alat modern. Struktur ini, jika dilihat dari atas, membentuk mandala kosmik — bukan sekadar arsitektur, tapi doa yang dibekukan dalam batu.

Apakah ini kerja manusia biasa ? Atau… kerja jin yang diperintahkan oleh seorang raja ruhani seperti Sulaiman ?

Struktur menara-menara yang menjulang, kolam-kolam raksasa, dan relief-relief tentang dunia atas dan dunia bawah—semua ini menyiratkan hubungan antara langit dan bumi. Ini bukan bangunan biasa. Ini adalah pusat kekuasaan spiritual dan ilmiah, yang kemudian ditinggalkan ketika “tali langit” terputus.

Tidakkah mereka berjalan di bumi dan memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka? Mereka lebih kuat dari mereka, lebih banyak bekas peninggalannya di bumi…” (QS. Ghafir : 21)

2. Borobudur : Gunung Ilmu dalam Wujud Simbol

Borobudur bukan hanya stupa. Ia adalah kitab terbuka dalam bentuk tiga dimensi. Bangunan ini dibangun dengan 504 arca Buddha, 2.672 panel relief, dan 72 stupa, semua tersusun dalam struktur mandala yang mencerminkan naiknya kesadaran dari dunia bawah ke langit tertinggi.

Namun coba kita renungkan :

Mengapa di sebuah pulau yang “terpencil” ribuan tahun lalu, muncul teknologi arsitektur, astronomi, dan filsafat setinggi ini ?

Mengapa ia dibangun seperti meniru langit dalam wujud bumi ?

Dan, seperti Angkor, ia ditinggalkan. Alam menelannya. Umat melupakannya. Tapi Qur’an mengingatkan :

 “Berapa banyak negeri yang telah Kami binasakan, maka tempat tinggal mereka kini tak didiami, kecuali hanya sebentar…” (QS. Al-Qasas : 58)

3. Ketika Relief, Patung patung dan Menara Menjadi Saksi

Qur’an menyebut bahwa jin membangun patung-patung dan menara-menara tinggi untuk Sulaiman. Dan kita temukan itu di sini — bukan di padang pasir Palestina, bukan di reruntuhan Yahudi, tapi di Tropis Timur, tempat matahari terbit — masyrik al-anbiya.

Sebab nama "Sulaiman" bukan milik eksklusif suku tertentu. Ia adalah archetype, lambang dari seorang raja yang menyatukan ilmu dan wahyu. Dan nama Surya Warman, raja besar Angkor, berbicara dalam bahasa yang hampir sama :

" Su-lai-man " 

" Sur-ya-war-man " 

Apakah ini kebetulan ? Ataukah cara Tuhan menyampaikan pesan kepada dunia yang mulai buta huruf spiritual ?

4. Sulaiman dalam Al-Qur’an : Tanpa Label Bangsa, Tanpa Koordinat

Salah satu kekuatan besar Al-Qur’an—yang justru sering dilewatkan oleh para sejarawan—adalah ketiadaan klaim geografis dan etnis terhadap tokoh Sulaiman. Berbeda dengan narasi Perjanjian Lama yang mengikat Sulaiman secara eksklusif pada tanah Israel dan bangsa Yahudi, Al-Qur’an tidak pernah menyebut secara eksplisit bahwa kerajaan Sulaiman terletak di Palestina, Yerusalem, atau bahwa ia berasal dari suku tertentu.

Dan Sulaiman adalah pewaris Daud...” (QS. An-Naml : 16)

Dan Kami telah memberikan pemahaman kepada Sulaiman, dan masing-masing telah Kami beri hikmah dan ilmu...” (QS. Al-Anbiya : 79)

Tak ada penyebutan lokasi. Tak ada penguncian etnik. Mengapa ? Karena Tuhan menjaga agar pesan ini tetap terbuka dan universal. Agar kerajaan ini bisa dikenali oleh siapa saja yang memiliki mata hati, bukan sekadar mata geografis. Ini juga sekaligus sebagai isyarat, bahwa peninggalan peradaban Sulaiman tidak selalu harus dicari di wilayah yang didikte oleh kitab-kitab buatan manusia.

Angkor Wat dan Borobudur—yang bukan Yahudi, bukan Arab, dan bukan “wilayah kitab sentris”—bisa jadi adalah saksi paling setia dari kerajaan ini. Mereka tidak butuh disebut secara eksplisit oleh Tuhan, karena bukti mereka telah Tuhan tanam dalam bentuk batu, medan energi, dan arsitektur semesta.

Dan betapa indahnya ini :

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (ayat-ayat) bagi orang-orang yang berpikir.” (QS. Az-Zumar : 21)

V. KETIKA TALI LANGIT TERPUTUS – MUSYRIK, DAN AKHIR SEBUAH PERADABAN

Para pendahulu mereka membangun menara ke langit, tapi generasi kemudian lupa arah ke Tuhan.

Satu pesan yang tak pernah absen dalam Al-Qur’an adalah ini : Setiap peradaban besar yang hancur, hancur bukan karena kekurangan teknologi. Tapi karena kekeringan ruhani.

1. Pusat Ilmu yang Kehilangan Cahaya

Bangunan boleh megah. Teknologi boleh canggih. Tetapi ketika tali antara hati penghuni peradaban dan langit terputus — ketika zikir digantikan mantra, doa digantikan persembahan kepada dewa, dan tauhid berubah menjadi patung-patung yang didewakan — maka kehancuran hanya tinggal menunggu waktu.

Dan sesungguhnya Kami telah binasakan umat-umat sebelum kamu ketika mereka berbuat zalim, dan rasul-rasul mereka telah datang membawa bukti-bukti, tetapi mereka tidak juga beriman.” (QS. Yunus : 13)

Bukankah itu yang kemudian dapat kita lihat pada relief Angkor dan Borobudur ? Peninggalan syirik dari orang orang yang lahir kemudian. 

Ada banyak narasi mitologis, tetapi tak ada satu pun yang menunjukkan Tauhid Murni. Ada peribadatan kepada entitas langit, dewa-dewi, makhluk-makhluk antara — tetapi tidak ada Allah Yang Maha Esa seperti dalam ajaran para rasul.

Ini bukan kutukan. Ini adalah sunatullah.

Peradaban boleh dibangun dengan kecerdasan jin, tapi jika ia kehilangan hubungan batin dengan Sang Sumber, maka ia kosong — dan yang kosong pasti tumbang.

2. Musyrik : Penyakit Lama Umat Manusia

Musyrik bukan sekadar menyembah patung.

Musyrik adalah memandang yang bukan Tuhan seolah ia punya kuasa seperti Tuhan.

Musyrik adalah menyekutukan ilmu Tuhan dengan tafsir yang dibuat ego manusia.

Musyrik adalah melupakan tauhid dan memuliakan simbol-simbol buatan sendiri.

Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan-Nya, dan Dia mengampuni selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa : 48)

Itulah sebabnya Sulaiman tidak pernah membuat patung untuk disembah. Ia memerintahkan jin untuk membangunnya sebagai simbol kuasa ilmu dan teknologi langit — bukan sebagai objek peribadatan. Tapi generasi setelahnya tak lagi menjaga makna. Simbol menjadi tuhan. Bentuk menjadi berhala. Zikir berubah jadi mantra.

Dan itulah awal dari kehancuran.

3. “ Tali Langit ” yang Terputus

Ketika wahyu berhenti mengalir, ketika doa berubah menjadi pertunjukan, dan ketika hati tak lagi mengenal arah kiblat sejati, maka langit tak lagi memayungi mereka.

Dan bacakanlah kepada mereka berita tentang orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami, tetapi ia melepaskan diri daripadanya, lalu ia diikuti oleh setan, maka jadilah ia termasuk orang-orang yang sesat.” (QS. Al-A’raf : 175)

Angkor ditinggalkan. Borobudur ditelan hutan.

Tak ada satupun buku dan atau catatan yang pernah  berkisah tentangnya. Tak ada satupun penuturan dan kisah turun-temurun yang berbicara tentangnya. Hanya satu penyebab : bahwa musnahnya sebuah peradaban, adalah karena hilangnya cahaya langit dari jiwa mereka. 

Dan kini, dunia modern mengulangi jejak yang sama.

Kita bangun kota tinggi, menguasai teknologi, menjadikan sains sebagai tuhan baru… tapi ruhani kita kosong.

Apakah kita sedang menuju takdir yang sama seperti Peradaban Angkor dan Borobudur dahulu ?

VI. JEJAK SULAIMAN DI TIMUR – PETA PIKIR YANG DILUPAKAN

Matahari tak pernah terbit dari barat. Maka jangan heran bila cahaya Sulaiman justru bersinar dari Timur.

1. Mengapa Timur ?

Al-Qur’an menyebut Sulaiman sebagai raja besar yang diberi kekuasaan atas jin, angin, logam, dan bahkan hewan. Tapi perhatikan : tak ada satu pun ayat yang menyebut lokasi kerajaannya secara eksplisit. Dan jika Tuhan tidak menyebutkan tempatnya, berarti tempat itu tak boleh dikunci oleh dogma sejarah, kitab buatan manusia dan batas geografis tertentu.

Kita harus membuka mata dan hati untuk melihat : Di mana peradaban yang cocok dengan deskripsi Al-Qur’an tentang Sulaiman ?

Bukan di Palestina. Karena di sana, tidak ada bukti peradaban megah dengan arsitektur masif yang dibangun oleh kekuatan gaib seperti jin.

Bukan di Israel, karena bahkan "kuil Sulaiman" yang mereka klaim itu tidak pernah ditemukan jejak fondasinya.

Tapi bagaimana dengan… Angkor ? Borobudur ? Prambanan ?

Di sini kita melihat :

> Bangunan- bangunan tinggi dan patung-patung raksasa.

> Struktur batu-batu yang begitu besar dan masif, mustahil dibangun hanya dengan alat konvensional.

> Tata pengaturan kosmik dan astronomis dalam desain arsitekturnya.

> Jejak kekuasaan atas unsur-unsur alam.

> Dan yang paling penting : jejak kehilangan arah ruhani di masa akhir mereka.

2. Sulaiman atau Surya-warman ?

Nama "Sulaiman" bukan nama eksklusif Yahudi. Itu adalah bentuk Arab dari akar kata “S-L-M”, yang berarti damai, sejahtera, selamat.

Dalam budaya Timur, kita mengenal nama “Surya-warman” — yang berarti Pelindung Matahari.

Tapi dalam kiasan spiritual, “matahari” adalah simbol cahaya Ilahi. Maka Surya-warman bisa dimaknai sebagai : dia yang menjaga cahaya dari Tuhan.

Bukankah itu cocok dengan gambaran Sulaiman ?

"Dan Kami tundukkan untuk Sulaiman angin yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang Kami berkahi." (QS. Al-Anbiya : 81)

Negeri yang diberkahi itu bukan harus berada di Timur Tengah. Justru Al-Qur’an memberi petunjuk bahwa negeri itu adalah “tanah yang Kami berkahi” — dalam konteks energi, spiritualitas, dan pancaran rahmat.

Timur — terutama Asia Tenggara — dikenal sebagai pusat peradaban yang lembut, penuh dengan pencarian batin, kesenian, dan keseimbangan alam.

Bukan mustahil, justru dari sinilah “Kerajaan Sulaiman” pernah bersinar.

3. Dihapus dari Sejarah

Tapi kemudian datanglah gelombang baru : kolonialisme, penjajahan, dan narasi sejarah yang ditulis oleh pemenang.

Nama-nama yang tidak sesuai dengan kitab mereka — disingkirkan.

Kebesaran peradaban Timur — di-’mistik’-kan.

Borobudur disebut candi Budha. Angkor diklaim Hindu.

Padahal siapa tahu, itu semua adalah sisa peninggalan kerajaan Sulaiman yang ruhani, yang oleh generasi setelahnya dimitoskan.

Maka benarlah firman Tuhan :

Maka Kami jadikan mereka buah mulut bagi umat manusia, dan contoh bagi orang-orang yang berpikir.” (QS. Az-Zukhruf : 56)

Mereka dijadikan pelajaran. Bukan sekadar sejarah.

VII. MENGAPA PENDAPAT SEJARAWAN DAN PARA ARKEOLOG TIDAK BOLEH MENTAH-MENTAH DIIKUTI 

Karena mereka melihat puing-puing, bukan cahaya. Mereka menebak waktu, tapi lupa ruh. Mereka menghitung batu, tapi buta pada wahyu.

1. Ilmu Mereka Berdiri di Atas Asumsi, Bukan Wahyu

Sejarawan dan arkeolog bekerja dengan metode empiris :

> Mereka melihat benda,

> Mengukur karbon,

> Membandingkan artefak,

> Lalu menyusun narasi… berdasarkan dugaan terbaik mereka.

Tapi "dugaan terbaik" manusia tidak bisa disamakan dengan "ilmu pasti" dari Tuhan.

Satu kesalahan kecil dalam asumsi—misal dalam penanggalan, atau konteks budaya—akan menjalar ke seluruh bangunan teori mereka, membuatnya mirip seperti istana pasir yang tampak megah namun runtuh oleh satu gelombang baru.

Al-Qur’an mengingatkan :

Mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, dan sesungguhnya persangkaan itu tidak berguna sedikit pun terhadap kebenaran.” (QS. An-Najm : 28)

2. Mereka Bekerja Dengan Paradigma Yang Terbatas

Kebanyakan arkeolog dan sejarawan modern bekerja dalam paradigma barat :

Sejarah dimulai dari Mesir, Mesopotamia, Yunani.

Peradaban besar hanya diukur dengan wilayah Romawi atau Jerusalem.

Kitab Perjanjian Lama dijadikan acuan seolah tak bisa salah.

Akibatnya, mereka menolak kemungkinan-kemungkinan lain yang tak sesuai dengan “ dogma akademik ”.

Mereka tak berani mengakui bahwa bisa jadi kebesaran Sulaiman bukan di Yerusalem, tapi tercetak di peradaban Angkor, Borobudur dan Prambanan.

Mereka tak punya lensa ruhani untuk membaca bahwa teknologi jin, kuasa dan perintah atas angin adalah realitas ilahiah — bukan mitologi.

Mereka menolak wahyu Al Qur'an sebagai sumber ilmu. Dan karena itu, pengetahuan mereka selalu cacat sejak akar.

3. Jejak-Jejak Yang Mereka Abaikan

Mereka tidak bisa menjelaskan bagaimana Borobudur dibangun tanpa teknologi modern.

Mereka tidak bisa memahami sistem saluran air Angkor Wat yang begitu canggih.

Mereka tak bisa menjelaskan kenapa tak ditemukan pemukiman masif di sekitar candi-candi itu.

Karena itu, mereka buat narasi :

Mungkin ini sekedar kuil. Sekedar tempat sembahyang. Mungkin hanya kerajaan kecil. Belum layak dibandingkan dengan warisan Romawi yang besar dan atau Fir'aun yang terkenal

Mereka menghindari fakta bahwa mungkin saja — ini kerajaan para nabi.

Dan mereka tidak menghormati Allah sebagaimana mestinya ketika mereka berkata : ‘Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia’.” (QS. Al-An’am : 91)

Mereka tidak percaya bahwa Tuhan menurunkan kekuasaan kepada manusia — apalagi nabi — untuk membangun kerajaan besar dan teknologi tinggi dengan bantuan jin.

Mereka lebih percaya pada alat ukurnya sendiri, daripada pada wahyu yang telah diturunkan dari langit.

Maka, jika kita ingin jujur dan mendalam dalam menafsir jejak sejarah, jangan jadikan pendapat sejarawan dan arkeolog, dan " khususnya " dalam kasus Peradaban Borobudur dan Angkor Wat, sebagai kiblat.

Mereka bukan nabi. Mereka bukan pewaris cahaya. Mereka hanya melihat dengan mata, tapi tidak dengan hati. Pemikiran mereka pun telah terhijab oleh segala apa yang diajarkan oleh barat. Paradigma berpikir tanpa nafas wahyu. Mereka tidak menempatkan Al Qur'an di rak perpustakaan mereka yang paling tinggi, tetapi di tong sampah.

Dan karena itu, Al-Qur’anlah satu-satunya peta yang sah untuk membaca masa lalu dengan benar.

VIII. APAKAH KITA SEDANG MENGULANG KESALAHAN ITU ?

Dunia berputar, sejarah berulang, tapi hati manusia tak belajar. Mungkinkah kita kembali menempatkan diri dalam bahaya yang sama, seperti peradaban-peradaban besar yang telah hancur ?

1. Teknologi Tanpa Rohani : Kemegahan Tanpa Keseimbangan

Kita hidup di era kemajuan teknologi yang luar biasa. Sejak Revolusi Industri hingga era digital yang merajalela, manusia telah menciptakan alat-alat yang tak terbayangkan sebelumnya : komputer, satelit, kendaraan otonom, jaringan komunikasi global.

Namun, seperti peradaban-peradaban besar sebelum kita — dari Mesopotamia hingga Angkor — kita sering lupa untuk bertanya :

Apa tujuan dari semua ini ?

Apakah kemajuan ini membentuk masyarakat yang lebih baik ? Atau apakah ia malah mengisolasi kita dari esensi kita sebagai manusia ?

Kita terus membangun menara teknologi yang semakin tinggi, tapi kita juga semakin jauh dari tali langit. Kita sering mengejar kecanggihan tanpa menyadari bahwa kita kehilangan hubungan dengan Tuhan, dengan diri kita sendiri, dengan makna hidup itu sendiri.

Apakah mereka tidak melihat ke langit dan bumi yang ada di hadapan mereka ? Kalau Kami menghendaki, Kami bisa menjadikan bumi itu rata. Atau Kami dapat menjadikan langit itu runtuh di atas mereka. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anbiya : 44)

Kita berlari mengejar teknologi, tapi kita lupa bahwa teknologi tanpa ruhani hanya akan menghasilkan kehancuran, bukan kebahagiaan.

2. Kepercayaan Kita pada Sumber-Sumber yang Salah

Di tengah kemajuan yang luar biasa ini, kita sering kali tergoda untuk menyembah kekuatan yang salah :

> Ilmu yang hanya dilihat dari sisi material.

> Kekayaan yang dianggap sebagai simbol keberhasilan hidup.

> Kekuasaan yang menjadi tujuan hidup.

> Sebagian besar dari kita menganggap sains sebagai agama baru, seolah hanya dengan bukti empirislah kita dapat menjelaskan segalanya. Tapi tanpa landasan ruhani, tanpa pencerahan Ilahi, sains bisa menjadi senjata yang membunuh jiwa manusia itu sendiri.

> Dan lebih parah lagi, kita menganggap pandangan sejarawan dan arkeolog sebagai kebenaran mutlak, mengabaikan wahyu yang sebenarnya memberikan petunjuk yang lebih dalam dan lebih lengkap.

> Mungkinkah kita kembali jatuh ke dalam kesalahan yang sama, dengan menggantungkan harapan pada pengetahuan yang terpotong dari kebenaran Ilahi ?

3. Akhir Sebuah Zaman : Satu Langkah Lagi Menuju Kehancuran ?

Seperti peradaban-peradaban yang telah lalu, kita juga menghadapi titik yang sama :

Akankah kita memilih untuk kembali merajut hubungan kita dengan Langit ?

Akankah kita belajar dari jejak-jejak yang ditinggalkan oleh peradaban-peradaban terdahulu, atau akankah kita terjebak dalam pandangan sempit kita sendiri ?

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang jelas dan menurunkan bersama mereka Kitab dan Neraca, agar manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. Al-Hadid : 25)

Peradaban kita sekarang berada di persimpangan jalan. Kita bisa memilih untuk memusatkan kembali kehidupan kita pada keseimbangan ruhani — mengembalikan hubungan kita dengan Tuhan, dengan diri kita, dan dengan sesama. Atau kita bisa melanjutkan jalan ini, terus mengejar kemajuan duniawi tanpa peduli pada keseimbangan hati dan jiwa.

Seperti halnya Angkor, Borobudur, dan peradaban-peradaban besar lainnya, dunia kita saat ini juga bisa runtuh jika kita terus melupakan nilai-nilai ruhani yang sebenarnya mengikat peradaban besar dalam sejarah.

4. Mungkin Ini Adalah Peringatan Terakhir

Kehancuran tidak selalu datang dengan gempa bumi atau peperangan. Terkadang, kehancuran datang perlahan, dalam bentuk hilangnya esensi hidup.

Ketika kebahagiaan ditemukan dalam konsumerisme, ketika ilmu hanya dilihat sebagai alat untuk mencapai kekayaan, ketika kekuasaan dipandang sebagai tujuan hidup, kita mulai kehilangan arah. Tanpa kesadaran akan hubungan kita dengan Sang Pencipta, kita akan terjebak dalam ilusi yang kita ciptakan sendiri.

Maka, apakah kita siap untuk kembali menyambung tali langit yang telah putus ?

Apakah kita siap untuk mengubah arah peradaban ini, untuk menuntun manusia kembali kepada cahaya ruhani, kepada keseimbangan, kepada tauhid ?

Tuhan tidak akan pernah membiarkan kita berjalan sendiri, asalkan kita mau membuka hati kita untuk menerima cahaya-Nya. Dan seperti yang tercatat dalam Al-Qur’an, setiap kali umat manusia kembali kepada-Nya, Allah tidak hanya memberikan jalan keluar, tetapi juga kemenangan yang lebih besar.

Dengan demikian, kita telah menutup perjalanan panjang ini, yang berawal dari jejak-jejak peradaban yang hilang, hingga pertanyaan besar tentang masa depan kita. Tetapi perjalanan ini hanya dimulai. Jika kita mau kembali menyambungkan tali langit, maka tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Dan kita, sebagai umat manusia, akan menemukan cahaya yang menerangi jalan kita, seperti yang ditemukan oleh peradaban besar sebelum kita.

Selamat datang di awal kebangkitan ruhani umat manusia.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar