Halaman

Selasa, 22 April 2025

Tiongkok Nebukadnezar Modern : Tongkat Tuhan Untuk Menghukum Amerika Serikat

By. Mang Anas 


Pendahuluan

Dalam banyak narasi ilahiah, Tuhan tidak hanya menyampaikan perintah, tetapi juga mengatur arah sejarah. Al-Qur’an menampilkan kisah-kisah di mana kebangkitan dan kehancuran bangsa bukan sekadar akibat dari kekuatan fisik atau politik, tetapi terutama karena sikap moral terhadap amanah dan keadilan. Hari ini, Amerika Serikat tengah berada dalam pusaran kehancuran yang—jika dibaca dari kacamata nubuat dan wahyu—adalah buah dari penyelewengan nilai yang mereka anut sendiri.

Kebijakan proteksionisme, supremasi ekonomi, dan intervensionisme militer yang diusung selama pemerintahan Donald Trump telah mempercepat delegitimasi global AS.

وَمَكَرُوْا وَمَكَرَ اللّٰهُۗ وَاللّٰهُ خَيْرُ الْمٰكِرِيْنَ  (٥٤)

"Dan mereka membuat tipu daya, maka Allah pun membalas tipu daya. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya". (Q.S. Ali 'Imran ayat 54)

Strategi yang dianggap sebagai kekuatan justru menjadi alat penghancur internal : memecah belah bangsa, meruntuhkan kredibilitas institusi, dan membuka ruang bagi aktor-aktor baru untuk mengambil panggung sejarah.

Bagian 1 : Amerika di Puncak, Tapi Di Ambang Jurang

Tak ada yang menyangkal bahwa Amerika Serikat pernah berdiri di puncak sejarah modern. Ia adalah pemimpin dunia, pencetak opini global, dan penguasa mata uang internasional. Kejatuhannya tampak mustahil, seperti Roma di masa jayanya — sampai sejarah mengajarkan bahwa tidak ada kekuatan yang abadi jika ia berjalan melawan nilai-nilai kebenaran.

Kemenangan Amerika setelah Perang Dunia II, keberhasilannya mengekspor ide demokrasi, budaya pop, serta dominasi ekonomi digital menjadikannya seperti dewa dunia : disembah, diikuti, dan ditakuti. Namun di balik semua itu, tumbuh penyakit kronis : arogansi imperialistik, ketimpangan internal yang tajam, dan penindasan halus melalui dominasi finansial. Amerika menjadi seperti raksasa yang memaksakan nilai-nilainya ke seluruh dunia, sambil melupakan nilai-nilai itu sendiri.

Lalu datanglah sosok Donald Trump — seperti badai dalam langit yang tampak cerah. Dia mengguncang konsensus internasional, menolak multilateralisme, dan melepaskan Amerika dari banyak kesepakatan global. Ia menyerukan semboyan "Make America Great Again", tetapi yang lahir justru isolasi, retorika rasis, dan kebijakan ekonomi yang membuat sekutu-sekutu Amerika mulai ragu.

Di mata dunia, Trump terlihat seperti anomali. Tapi dalam kaca mata wahyu, bisa jadi ia bukan sekadar aktor politik — ia adalah alat sejarah, yang tanpa sadar sedang menggiring negerinya menuju kehancuran. Sebagaimana kata Allah :

"Mereka membuat tipu daya, dan Allah pun membalas tipu daya mereka. Dan Allah adalah sebaik-baik pembalas tipu daya." (QS. Ali Imran : 54)

Apa yang terlihat sebagai kebangkitan, bisa jadi adalah awal dari keruntuhan. Apa yang dirasa sebagai kedaulatan, bisa jadi adalah jebakan ilahi. Ketika sebuah bangsa menjadi terlalu percaya pada kekuatannya sendiri dan melupakan sumber kekuasaan sejati — yaitu keadilan dan amanah — maka saat itu pula sejarah mulai menyusun akhir kisahnya.

Bagian 2 : Trump dan Strategi Bunuh Diri Bangsa Superpower

Di dunia politik, tidak semua kekeliruan bersifat teknis. Beberapa kesalahan adalah bentuk kesombongan yang dibungkus retorika, dan sebagian lainnya adalah bisikan kesesatan yang diberi nama “nasionalisme”. Trump mewarisi sebuah negeri yang sudah terfragmentasi secara sosial dan terbelah secara ideologis. Alih-alih menyembuhkan luka, ia justru memperdalamnya.

Dalam upayanya mengembalikan “kejayaan Amerika”, Trump menabrak banyak konsensus internasional. Ia menarik Amerika keluar dari perjanjian Paris tentang iklim, mengendurkan keterlibatan dalam NATO, memulai perang dagang dengan Tiongkok, dan menekan sekutu-sekutu tradisionalnya dengan pendekatan transaksional. Dalam jangka pendek, ia tampak “berani”. Namun dalam skala sejarah, ia sedang menggali liang kubur hegemoninya sendiri.

Kebijakan tarif terhadap Tiongkok misalnya — justru mendorong negeri tirai bambu itu untuk mempercepat swasembada teknologi dan menjalin kemitraan dengan negara-negara lain di luar orbit Barat. Alih-alih menekan China, Amerika mempercepat lahirnya poros tandingan global. Dunia menyaksikan : kredibilitas Amerika runtuh, bukan oleh musuhnya, tapi oleh presidennya sendiri.

Inilah yang oleh Al-Qur’an disebut dengan “makrullah” — sebuah ironi sejarah, di mana manusia merancang sesuatu, tetapi Allah-lah yang menentukan akhir ceritanya :

 وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللَّهُ ۖ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ  

Dan mereka merancang tipu daya, dan Allah membalas tipu daya itu. Dan Allah adalah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (QS. Al-Anfal: 30)

Trump, dalam segala keanehannya, justru menjadi tangan takdir. Di balik niat membesarkan bangsa, ia justru mempercepat keterpurukannya. Dan inilah gaya sejarah Ilahi : bangsa yang merasa paling unggul, justru dijatuhkan oleh keangkuhannya sendiri.

Bagian 3 : Tiongkok, “Nebukadnezar Modern” : Tongkat Tuhan Untuk Menghukum Amerika 

Sebagaimana Babilonia pernah digunakan Tuhan untuk mengazab Bani Israil, Tiongkok saat ini tampil sebagai kekuatan yang secara de facto meruntuhkan hegemoni AS. Strategi ekonomi global melalui OBOR (One Belt One Road), dominasi teknologi, dan diplomasi tenang adalah sarana Tiongkok modern yang menggerus imperium lama. Maka dalam kaca mata wahyu, ini adalah bentuk makrullah yang sering luput dari radar rasional Barat.

Dalam sejarah Al-Qur’an, Allah tidak selalu menggunakan kaum beriman untuk menghukum kaum yang dzalim. Kadang, Ia memilih bangsa yang juga tak beriman—tetapi lebih disiplin, lebih kuat, dan lebih terorganisir—untuk menggulingkan bangsa yang sebelumnya diberi amanah, tapi menyia-nyiakan keadilan. Begitulah kisah Nebukadnezar, penguasa Babilonia, yang dijadikan alat Tuhan untuk menghancurkan Bani Israil yang telah berpaling dari perjanjian mereka dengan Allah.

Hari ini, Tiongkok berada dalam posisi yang secara simbolik mirip : bukan kekuatan spiritual, tetapi menjadi tongkat sejarah di tangan Tuhan. Ia tidak membawa wahyu, tetapi membawa tatanan baru yang lebih tertib dalam sistem global yang semakin kacau. Di saat Amerika sibuk dengan polarisasi internal, Tiongkok membangun jalan—secara harfiah dan metaforis ".

Lewat Belt and Road Initiative ", Tiongkok merajut koneksi antar bangsa. Lewat ekspansi teknologi dan investasi infrastruktur, ia hadir sebagai alternatif dari dominasi Barat. Dunia Islam pun mulai melirik ke Timur, bukan karena Tiongkok lebih adil, tapi karena Barat terlalu lama bersikap munafik : bicara HAM, tapi mendukung tirani ; bicara demokrasi, tapi menekan rakyat lewat sanksi ekonomi dan perang.

Maka sejarah kembali berputar. Dan seperti yang pernah terjadi ribuan tahun lalu, Tuhan menggerakkan kekuatan yang tak tampak ilahiah untuk menjatuhkan kekuatan yang telah kehilangan sisi ilahiyahnya.

"Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang yang zalim menjadi pemimpin bagi yang lain, disebabkan apa yang mereka usahakan." (QS. Al-An'am : 129)

Tiongkok, suka atau tidak, kini adalah arus balik dari sejarah. Amerika dulu menggulingkan Inggris. Kini, giliran Amerika ditantang oleh satu bangsa yang tidak banyak bicara, tapi bekerja dalam diam. Sebagaimana tongkat Musa memukul air laut untuk membelahnya, Tiongkok — sebagai alat sejarah — memukul dinding tembok Amerika yang mulai rapuh dari dalam.

Dan ini bukan akhir. Ini hanyalah babak antara. Karena sejarah takkan berhenti di Beijing. Setelah gelombang Tiongkok, akan datang gelombang baru : umat yang telah lama terlelap, tetapi tengah dibangunkan oleh takdir... tapi siapakah, umat Islam ? Mudah mudahan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar