Halaman

Senin, 14 April 2025

Jargon Efisiensi dan Efektivitas : Kritik terhadap Sistem Dajjal dalam Ekonomi Modern

Mang Anas 


1. Pendahuluan : Mantra yang Tak Dipertanyakan

Dalam hampir setiap pembicaraan tentang kemajuan, pertumbuhan, dan kesuksesan ekonomi modern, dua kata menjadi kunci utama : efektif dan efisien. Istilah ini tidak hanya menjadi dasar dalam dunia industri dan manajemen, tetapi telah meresap ke dalam cara kita memandang hidup, pendidikan, pelayanan publik, bahkan relasi antar-manusia.

Namun, keberhasilan konsep ini dalam menghasilkan keuntungan dan mempercepat produksi sering kali menutupi pertanyaan penting : efektif untuk siapa ? efisien terhadap apa ? dan dengan pengorbanan siapa ? Di balik kilau istilah tersebut, tersembunyi sebuah sistem nilai yang secara perlahan menggantikan kemanusiaan dengan mesin, keadilan dengan kompetisi, dan rahmat dengan eksploitasi.

Dalam konteks inilah, istilah “efektif” dan “efisien” perlu dikaji ulang secara moral dan teologis, terutama dalam terang nilai "ruhama"—kasih sayang, kelembutan, dan keberpihakan kepada yang lemah—sebagai inti dari ajaran ilahi.

2. Definisi Efisiensi dan Efektivitas Ala Dajjal

Sistem ekonomi modern, yang berakar pada kapitalisme global, telah mereduksi makna efektif menjadi "pencapaian hasil maksimal", terlepas dari cara yang digunakan. Sementara efisien dimaknai sebagai pengurangan biaya dan sumber daya seminimal mungkin, sekalipun itu berarti penghilangan hak-hak dasar manusia dan eksploitasi besar-besaran atas alam.

Dalam pandangan ini :

- Efektif adalah cepat dan menghasilkan lebih banyak, bukan adil dalam cara dan berfaedah bagi semua.

- Efisien adalah murah dan ringan biaya, bukan hemat penggunaan sumberdaya dan penuh tanggung jawab.

Definisi ini adalah definisi manipulatif, yang—dalam kerangka eskatologis Islam—bisa disebut sebagai bagian dari "fitnah Dajjal" : sebuah tipu daya sistemik yang membalikkan makna kebaikan dan membungkus kerusakan dengan kemasan rasional.

3. Dampak Buruk terhadap Kemanusiaan

a. Dekonstruksi Martabat Manusia  

Manusia tidak lagi dipandang sebagai makhluk mulia, tetapi sebagai “komponen produksi”. Nilai seseorang ditakar dari seberapa produktif ia bagi majikan dan bagi perusahaan, bukan dari integritas, kasih sayang, atau kontribusi sosialnya.

b. Kesenjangan Sosial yang Ekstrem  

Sistem ini mendorong akumulasi aset di tangan sedikit orang, sementara mayoritas bekerja keras tanpa jaminan hidup layak. Yang kuat makin kuat, yang lemah makin terpinggirkan. Keadilan struktural runtuh.

c. Normalisasi Penindasan

Upah murah, jam kerja lebih panjang, PHK massal, penolakan hak serikat pekerja, outsourcing brutal—semua dianggap “rasional” dan “efisien”. Penindasan dilembagakan secara sistemik.

d. Krisis Makna Hidup

Pekerjaan kehilangan makna spiritual dan sosial. Orang bekerja hanya untuk bertahan, bukan untuk membangun dan mengembangkan kualitas diri, berkontribusi terhadap peradaban atau menebar rahmat bagi keluarga dan lingkungan sosialnya.

4. Dampak Buruk terhadap Alam dan Lingkungan

a. Eksploitasi Tak Terbendung

Hutan ditebang, sungai diracuni, tanah dikuras, demi produksi murah, cepat dan banyak. Alam kehilangan fungsi sakralnya sebagai amanah ilahi yang harus dilestarikan dan dijaga untuk menopang kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan.

b. Percepatan Krisis Iklim

Emisi karbon, polusi industri, dan pemborosan energi dianggap wajar selama memberi laba. Akibatnya, bumi memanas dan cuaca ekstrem menjadi bencana rutin.

c. Kehancuran Ekosistem

Pertanian industri, pertambangan raksasa, dan urbanisasi tanpa batas menghancurkan keanekaragaman hayati. Jutaan spesies hewan dan tumbuhan punah, dan keseimbangan alam terganggu parah.

d. Pemisahan Manusia dari Alam

Kita diajarkan bahwa alam hanya objek eksploitasi, bukan bagian dari keluarga spiritual kita. Ini menciptakan manusia modern yang terputus dari fitrah ekologisnya.

5. Simpul Teologis : Ini Bukan Sekadar Salah Sistem, Ini Fitnah

Sistem ini bukan sekadar salah hitung atau salah arah. Ia adalah fitnah sistemik—sesuatu yang dalam tradisi Islam disebut sebagai ciri-ciri Dajjal :

- Seakan membawa “kemajuan” tetapi yang sebenarnya adalah kehancuran.

- Seakan memberi “surga” tetapi sejatinya adalah neraka.

- Menyilaukan dengan teknologi dan statistik, tapi membutakan mata hati dan rasa kemanusiaan.

Dalam konteks ini, kapitalisme ekstrem adalah manifestasi nyata dari tipu daya akhir zaman—"fitnah kolektif yang harus dibongkar", bukan hanya dikritik secara teknis.

Redefinisi Nilai Dasar Ekonomi : Efektif dan Efisien dalam Perspektif Ruhama

1. Efektivitas dalam Makna Ruhama

Dalam perspektif ruhama, efektif tidak semata berarti "berhasil mencapai tujuan", melainkan berhasil mencapai tujuan yang benar dan dibutuhkan, dengan cara yang mengedepankan kasih sayang, keadilan, dan keberlanjutan.

Efektivitas ruhama berarti :

- Mengerjakan sesuatu yang benar-benar dibutuhkan, bukan yang sekadar menguntungkan secara finansial.

- Menyediakan barang atau jasa yang memberi manfaat hakiki, bukan menciptakan kebutuhan palsu (artificial demand) demi keuntungan.

- Melakukan pekerjaan dengan cara yang cerdas dan tepat, namun juga manusiawi, tidak menekan, tidak memperbudak, dan tidak merusak.

Contoh :

- Pendidikan efektif menurut ruhama bukan hanya mencetak lulusan yang bisa kerja dan cepat kerja, tetapi juga harus mampu melahirkan manusia utuh, merdeka berpikir, dan peduli pada sesama.

- Pertanian efektif bukan yang menghasilkan paling banyak per hektar, tetapi yang tetap bisa mempertahankan kesuburan tanah, menyehatkan konsumen, dan menyejahterakan petani.

2. Efisiensi dalam Makna Ruhama

Efisiensi ruhama bukan soal memangkas biaya hingga ke titik minimum, melainkan menggunakan sumber daya secara bijak dan adil, tanpa pemborosan, tanpa penindasan, dan tanpa merusak keseimbangan.

Efisiensi ruhama adalah :

- Pemanfaatan sumber daya "sesuai takaran kebutuhan", bukan untuk memaksimalkan margin keuntungan.

- Memastikan tidak ada yang dieksploitasi—baik tenaga kerja, lingkungan, maupun pasar.

- Menghormati nilai kehidupan, dengan memperlakukan manusia bukan sebagai "beban biaya", melainkan sebagai amanah yang harus dijaga hak dan martabatnya.

Contoh :

- Industri efisien bukan yang menekan gaji buruh, tapi yang mengoptimalkan proses tanpa mengorbankan hak hidup layak.

- Energi efisien bukan yang paling murah, tapi yang paling lestari dan tidak meracuni lingkungan.

3. Prinsip-Prinsip Turunan : Efektivitas dan Efisiensi dalam Skema Ruhama

Untuk membumikan konsep ini, berikut beberapa prinsip turunan :

- Kecukupan, bukan akumulasi : Sistem ruhama menghargai tercapainya kebutuhan yang layak, bukan kerakusan tanpa batas.

- Keadilan distribusi : Efisiensi yang adil harus berdampak pada pembagian hasil yang proporsional.

- Keterbukaan dan transparansi : Tidak ada manipulasi informasi, harga, atau spesifikasi. Tidak ada jebakan iklan.

- Amanah ekologis : Segala proses produksi harus mempertimbangkan dampaknya terhadap ciptaan Allah yang lain.

4. Rumusan Definitif : Efektif dan Efisien ala Ruhama

> Efektif dalam perspektif ruhama adalah upaya mencapai maslahat yang benar-benar dibutuhkan umat manusia dan alam, dengan cara yang cerdas, tepat, dan penuh kasih sayang.

> Efisien dalam perspektif ruhama adalah penggunaan sumber daya secara hemat, adil, dan bertanggung jawab, tanpa pemborosan, eksploitasi, atau kerusakan terhadap makhluk dan lingkungan.

5. Penutup : Jalan Tengah yang Menyelamatkan

Dalam dunia yang terjebak antara kapitalisme rakus dan retorika keadilan yang sering tanpa praktik, ruhama menawarkan jalan tengah yang suci : jalan kasih sayang sebagai prinsip pembangunan ekonomi.

Inilah titik balik. Ketika dunia mengejar kecepatan dan keuntungan, Islam—melalui prinsip ruhama—mengajarkan kita untuk mengejar keberkahan, keseimbangan, dan kemaslahatan sejati.

Semoga refleksi ini bermanfaat...



Tidak ada komentar:

Posting Komentar