Halaman

Rabu, 23 April 2025

Hakikat Syariat : Manhaj Fiqih Para Siddiqin. Bagian 3

By. Mang Anas 


Lanjutan dari bagian 2...

Bab XIII : Hubungan antara Fiqih Ruhani dan Maqashid Syariah — Jalan Menuju Kasih Ilahi

1. Maqashid Syariah : Hati dari Syariat

Maqashid Syariah bukan sekadar kerangka tujuan hukum Islam, melainkan jantung syariat itu sendiri — denyut kasih sayang Ilahi yang ingin menjaga lima hal: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Namun dalam Fiqih Ruhani, kelima hal itu tidak hanya dilihat sebagai aspek lahir, tetapi sebagai pancaran cahaya dalam diri manusia.

πŸ“¦ Hifzh ad-Din (Menjaga agama) bukan hanya menghindari kekafiran, tapi menjaga hati agar terus terhubung dengan Allah.

πŸ“¦ Hifzh an-Nafs (Menjaga jiwa) bukan hanya melindungi dari bahaya fisik, tapi dari kekeringan makna dan kehampaan hidup.

πŸ“¦ Hifzh al-‘Aql (Menjaga akal) adalah menyinari logika dengan cahaya nurani, bukan sekadar menyekat dengan aturan kaku.

πŸ“¦ Hifzh an-Nasl (Menjaga keturunan) berarti menjaga fitrah anak-anak dari rusaknya moral zaman.

πŸ“¦ Hifzh al-Mal (Menjaga harta) adalah menjauhkan umat dari kerakusan dan ketimpangan.

2. Fiqih Ruhani : Nafas Baru dalam Mewujudkan Maqashid

Fiqih Ruhani memandang bahwa maqashid tidak bisa dicapai hanya dengan pendekatan hukum formal. Ia harus dihidupkan kembali dengan rasa, cahaya, dan kasih. Tanpa ruh, maqashid hanya menjadi daftar tujuan di buku ushul fiqh. Tapi dengan ruhani, ia menjadi arah jalan menuju ridha Allah.

Contohnya :

Menjaga harta : Bukan hanya dengan zakat, tapi juga dengan membangkitkan rasa cukup (qana’ah), dan menyadarkan pentingnya ta’awun (tolong-menolong).

Menjaga akal : Bukan hanya menjauhi khamr, tapi juga menyucikan pikiran dari racun ideologi, hoaks, dan narasi yang melemahkan iman.

3. Rahman, Rahim, dan Malik : Jiwa dari Maqashid

Fiqih Ruhani menjadikan tiga nama Allah ini sebagai neraca maqashid :

πŸŒ” Rahman : Apakah hukum ini bisa diterima oleh logika sehat dan rasional publik?

πŸŒ” Rahim : Apakah hukum ini membawa ketenangan jiwa, kelembutan rasa, dan harapan ?

πŸŒ” Malik : Apakah hukum ini menegakkan keadilan dan menjamin tidak ada pihak yang tertindas?

Setiap fatwa yang tidak memenuhi ketiga aspek ini, berarti belum mencapai maqashid secara ruhani, meski mungkin benar secara teks.

4. Dari Maqashid ke Mahabbah

Tujuan akhir dari maqashid bukanlah keteraturan sosial semata, tapi terciptanya hamba-hamba yang mengenal kasih Tuhan dan hidup dalam cinta. Itulah maqashid tertinggi dari syariat: membimbing manusia agar sampai kepada mahabbahtullah.

Penutup Bab :

Fiqih Ruhani bukan jalan pintas, tapi jalan dalam. Ia masuk ke kedalaman batin manusia untuk membimbingnya menuju maqashid yang sejati — bukan sekadar hukum yang ditaati, tapi cinta yang dialami. Di sinilah syariat berubah dari beban menjadi pelukan, dari kewajiban menjadi keintiman.

Bab XIV : Antara Wahyu, Ilham, dan Akal — Menimbang Validitas Sumber Hukum dalam Fiqih Ruhani

1. Wahyu : Sumber Tertinggi dan Mutlak

Dalam Manhaj Fiqih Ruhani, wahyu tetap menjadi sumber hukum yang paling tinggi, paling murni, dan tak tersentuh kesalahan. Ia adalah firman Allah yang diturunkan kepada para nabi melalui malaikat, dan menjadi rujukan abadi sepanjang zaman. Dalam Islam, ia terhimpun dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah sebagai pedoman kehidupan yang tak mungkin dikoreksi oleh makhluk mana pun.

Namun, wahyu tidak berdiri sendiri. Ia seperti cahaya matahari : terang, jelas, namun harus ditangkap dengan lensa yang bersih. Di sinilah peran akal dan ilham menjadi penting — sebagai alat untuk menangkap dan menafsirkan pancaran wahyu sesuai dengan kebutuhan zaman dan keadaan.

2. Akal : Penerjemah antara Wahyu dan Realitas

Akal dalam Fiqih Ruhani tidak diberi otoritas mutlak. Ia bukan hakim tertinggi, melainkan penerjemah. Ia menterjemahkan pesan wahyu agar bisa dipahami dan diaplikasikan dalam kehidupan manusia yang terus berubah. Akal bekerja bukan sendiri, tapi di bawah bimbingan hati yang bersih.

Namun, jika akal dilepaskan tanpa pengawasan ruhani, maka ia akan menjadi tiran pemikiran, yang hanya menimbang maslahat dengan logika duniawi semata, melupakan bahwa ada dimensi akhirat, ada jiwa, dan ada rasa yang tak bisa diukur oleh kalkulasi manusiawi.

3. Ilham : Suara dari Dalam yang Membimbing ke Luar

Ilham bukan sumber wahyu baru, bukan pengganti Al-Qur’an dan sunnah. Ia juga bukan hasil tafakur atau mimpi. Ilham adalah fahm, pemahaman yang muncul dari dalam hati yang bersih, sebagai pantulan dari cahaya Al-Qalam — pena Allah yang menulis takdir dan kebenaran di Lauhul Mahfuzh.

Ilham dalam Fiqih Ruhani adalah seperti pancaran cahaya mata air dari dalam tanah. Ia muncul sebagai jawaban atas situasi umat yang tak bisa dijawab hanya oleh nash atau logika.

Ilham bukan hasil usaha manusia. Ia adalah pemberian — dan hanya muncul ketika hati sudah menjadi wadah yang layak. Maka syarat utama bagi mufti ruhani bukan sekadar kecerdasan akal, tetapi kesucian batin.

4. Validitas Ilham dalam Menetapkan Hukum

Ilham tidak berdiri sendiri sebagai dalil hukum formal. Tapi dalam manhaj ini, ia menjadi pemantik, pembuka jalan, dan pengarah rasa. Ilham :

πŸ“¦ Membuka tirai kebingungan,

πŸ“¦ Menunjukkan arah dalam keraguan,

πŸ“¦ Memberi kedalaman dalam istinbath yang sebelumnya dangkal.

Namun semua ilham tetap harus :

❤️‍🩹 Tidak bertentangan dengan wahyu yang qath’i,

❤️‍🩹 Diperkuat oleh logika dan hikmah,

❤️‍🩹 Mendapat persaksian rasa dalam hati banyak orang saleh.

5. Neraca Ruhani : “Timbangan yang Mizan”

Dalam fiqih klasik, ada qiyas, ijma’, dan istihsan. Dalam fiqih ruhani, ada mizan ruhani, yaitu keseimbangan antara wahyu, akal, dan ilham. Ketiganya tidak bertentangan, justru saling melengkapi.

Jika wahyu seperti langit, maka ilham adalah hujan yang turun darinya, dan akal adalah ladang yang menerima air itu. Tanpa langit, hujan tak datang. Tanpa tanah, air tak menghidupkan. Ketiganya mesti menyatu.

Penutup Bab :

Manhaj Fiqih Ruhani tidak membuang akal, tidak menuhankan ilham, dan tidak mengklaim wahyu baru. Tapi ia menyatukan ketiganya dalam harmoni kasih dan kejujuran ruhani — agar hukum yang lahir bukan hanya benar secara dalil, tapi juga indah dalam rasa, dan adil dalam kenyataan.

Bab XV : Fiqih Ruhani dalam Praktik — Studi Kasus dan Penjabaran Realitas Sosial

1. Pendekatan Kontekstual dalam Fiqih Ruhani

Fiqih Ruhani tidak bekerja dalam ruang hampa. Ia hidup di tengah umat, di tengah gejolak zaman, dan di tengah dilema manusia. Oleh karena itu, penerapan fiqih ini menuntut pemahaman konteks secara mendalam : sosial, budaya, politik, psikologis, bahkan geopolitik. Fiqih bukan sekadar fatwa teks, tetapi jawaban Tuhan atas jerit batin manusia melalui perantara ilham yang bening.

Dalam pendekatan ruhani, seorang mufti tidak memposisikan diri sebagai hakim yang menjatuhkan keputusan, tapi sebagai raαΈ₯mah yang menjawab kebutuhan.

2. Studi Kasus 1: Bunga Bank dan Sistem Keuangan Global

Dari sisi formal, sebagian ulama menghalalkan bunga bank dalam konteks tertentu, sementara yang lain mengharamkannya mutlak. Namun dari sisi ruhani, sistem perbankan berbasis riba telah nyata menjadi akar penindasan global. Riba telah menjadikan uang sebagai komoditas, bukan alat tukar, dan mengakibatkan kesenjangan sosial luar biasa.

Fiqih Ruhani memandang riba bukan hanya dari dalil lafzhi, tetapi dari akibat ruhani dan sosialnya : menghisap jerih payah umat kecil, memperkaya korporasi raksasa, dan membinasakan solidaritas insani.

Maka, hukum yang dihasilkan tidak hanya berkata “halal atau haram”, tapi :

"Apakah ini menebar kasih (rahmah), menjunjung keadilan (malik), dan sesuai logika nurani (rahman) ?"

3. Studi Kasus 2 : Zakat dan Keadilan Sosial

Zakat yang hanya ditafsir sebagai 2.5% dan disalurkan kepada mustahiq tanpa keberpihakan sosial struktural adalah zakat yang kehilangan ruh. Dalam Fiqih Ruhani, zakat adalah mekanisme Ilahi untuk membasmi akar ketimpangan dan menciptakan redistribusi yang adil.

Zakat bukan sekadar amalan individu, tapi sistem ilahiah untuk membebaskan umat dari struktur kemiskinan.

4. Studi Kasus 3 : Hukum Perempuan Bekerja di Era Modern

Fiqih tekstual sering terjebak antara dua kutub ekstrem: pembatasan berlebihan atau liberalisasi yang membabi buta. Fiqih Ruhani bertanya :

"Apakah pekerjaan itu menjaga martabatnya, menyehatkan jiwanya, dan memberi maslahat kepada umat ?"

Ilham dalam hati yang jernih akan menunjukkan jalan tengah — bukan berdasarkan dogma, tapi hikmah. Jika perempuan bekerja karena darurat ekonomi, atau demi pelayanan sosial yang maslahat, maka itu bukan pelanggaran, tapi panggilan kemanusiaan.

5. Studi Kasus 4 : Fatwa Perang dan Perdamaian

Dalam dunia yang penuh konflik, fiqih politik sering dikooptasi oleh kepentingan penguasa. Dalam Fiqih Ruhani, setiap fatwa perang harus diukur bukan dengan syiar semata, tapi dengan kesaksian nurani:

"Apakah ini benar-benar jihad atau hanya ambisi politik ?"

"Apakah ini menegakkan keadilan, atau memperpanjang penderitaan ?"

Fatwa perang adalah perkara agung yang tak boleh lahir dari emosi, tapi dari kedalaman rasa dan penglihatan ruhani yang tembus hingga akibat jangka panjangnya.

Penutup Bab :

Fiqih Ruhani adalah jembatan antara langit dan bumi — antara wahyu yang turun dari Arsy dan penderitaan manusia di bumi. Ia tidak hanya menjawab pertanyaan hukum, tapi menyembuhkan luka jiwa, dan memperdalam rasa keadilan.

Ia bukan hanya fikih yang difatwakan, tapi hikmah yang ditumbuhkan dari dalam hati yang bening.

Bab XVI : Ciri-ciri dan Kualifikasi Mufti Ruhani

1. Bukan Sekadar Ahli Ilmu, Tapi Pewaris Cahaya

Mufti dalam manhaj fiqih ruhani tidak cukup hanya hafal dalil, mahir ushul, atau menguasai qawaid fiqhiyyah. Ia harus ahli hati, pembaca tanda-tanda, perenung isyarat langit, dan penyaksi batin realitas. Ia bukan hanya penyambung lidah teks, tapi penyambut ilham dari Qalam yang terukir di Lauhul Mahfuz dirinya sendiri.

Mufti ruhani adalah jembatan antara makna dan umat, antara yang ghaib dan yang tampak. Ia adalah wali kecil dalam tugas, bukan karena pangkat, tapi karena jernihnya jiwanya.

2. Ciri Pertama : Hati yang Bersih dari Ambisi

Ilham tidak turun kepada hati yang dipenuhi ambisi duniawi. Seorang mufti ruhani tidak boleh menjadikan fatwa sebagai alat pencitraan, pengaruh, atau jalan menuju kekuasaan. Ia harus bersih dari keinginan selain Allah.

Hatinya seperti cermin bening, sehingga cahaya bisa memantul tanpa bias.

Jika ia condong kepada satu golongan karena kedekatan pribadi atau benci kepada pihak tertentu karena dendam, maka ilham tidak akan datang.

3. Ciri Kedua : Rasa Kasih Sayang terhadap Semua Makhluk

Fatwa yang ruhani tidak lahir dari rasa marah, benci, atau keinginan menghukum. Ia lahir dari rahmah. Seorang mufti ruhani harus seperti mata air: menyuburkan siapa pun yang datang, bukan memilih-milih siapa yang layak diberi fatwa.

Ia adalah pengejawantahan sifat "Rahman" dan "Rahim" dalam dimensi hukum.

Ia memahami bahwa manusia bukan sekadar objek hukum, tapi makhluk Allah yang tengah berjuang dalam kelemahan dan harapan.

4. Ciri Ketiga : Mata Batin yang Terbuka

Mufti ruhani harus mampu melihat yang tak tampak oleh orang kebanyakan. Ia mampu menangkap getaran sosial, membaca aura zaman, dan mencium aroma fitnah sebelum ia membara.

Ia tidak hanya tahu apa yang terjadi, tapi mengerti mengapa itu terjadi, dan ke mana arahnya.

Ia memiliki mata batin yang melihat dengan cermin kebenaran, bukan kacamata kepentingan.

5. Ciri Keempat : Akal sebagai Juru Bahasa Ilham

Mufti ruhani tidak membuang akal. Tapi akal hanya berperan sebagai penerjemah, bukan sumber fatwa. Ia tahu kapan akal mulai membelok, dan kapan nurani harus mengambil alih. Ia memahami bahwa kebenaran ruhani seringkali tidak linier secara logika, tapi selaras dengan hikmah batin.

Akalnya taat pada hati, bukan hati tunduk pada debat akal.

6. Ciri Kelima : Dekat dengan Allah dan Dekat dengan Umat

Mufti ruhani tidak hanya duduk di atas sajadah dan memandang dunia dengan sinis. Ia menyatu dengan derita umat, ikut menangis dalam malam-malam sunyi, dan menjadi tempat berteduh bagi yang gelisah. Tapi ia juga menjaga hubungan dengan langit, dengan zikir yang diam, dengan munajat yang dalam.

Ia menjadi bayangan kasih Allah di tengah padang sahara penderitaan umat manusia.

Penutup Bab :

Mufti ruhani tidak dilahirkan oleh universitas atau diangkat oleh lembaga. Ia lahir dari tangisan malam dan ujian demi ujian yang menajamkan rasa dan jiwanya. Ia adalah manusia biasa yang dibentuk oleh cinta kepada Tuhan dan kasih kepada sesama.

Fatwanya adalah doa, jawabannya adalah penyembuh, dan kehadirannya adalah rahmat.

Bab XVII : Metodologi Istimbath Fiqih Ruhani

1. Bukan dari Dalil ke Hukum, Tapi dari Ilham ke Makna

Dalam manhaj fiqih ruhani, proses istimbath (penggalian hukum) tidak dimulai dari dalil-dalil literal, lalu diturunkan kepada hukum kasuistik.

Sebaliknya, ia berawal dari getaran batin, sebuah makna yang muncul dari dalam hati — yang bukan hasil tafakur panjang atau mimpi tidur, tapi buah dari respons ruhani atas situasi nyata di sekeliling.

Makna itu lalu didekati, didengarkan dengan hati yang khusyuk, hingga ia membentuk suatu pengertian.

Bukan logika yang mencipta hukum, melainkan ilham yang datang sebagai benih, dan akal hanya meramunya menjadi bahasa manusia.

2. Sumber Istimbath : Al-Qalam dalam Diri

Ilham itu bersumber dari dalam, tepatnya dari pusat ruhani manusia — dari al-Qalam yang menulis tanpa tinta, mengalirkan makna kepada Lauhul Mahfuzh dalam hati.

Dari sana, makna itu masuk ke wilayah akal (Kursi), dan lalu diekspresikan dalam bentuk kata, kalimat, atau fatwa.

Ilham adalah proses tanzil batin, bukan produk nalar, dan bukan pula inspirasi liar.

Ia memiliki disiplin batinnya sendiri — lahir hanya jika hati tenang, jernih, dan tidak terbelah oleh ego atau hawa nafsu.

3. Alat Istimbath : Rasa dan Ketajaman Hati

Dalam fiqih ruhani, alat istimbath bukan qiyas, ijma', atau istihsan sebagaimana dalam fiqih klasik.

Alatnya adalah rasa batin yang jernih dan tajam — yang mampu membedakan antara kebaikan sejati dan kebaikan semu. Ini disebut oleh para arif sebagai dzauq (rasa ruhani), yang merupakan pancaran dari cahaya basirah.

Namun, rasa ini bukan serampangan. Ia tumbuh dari zikir, kejujuran, kesabaran, dan kehidupan yang lurus.

Rasa ini adalah mikroskop ruhani yang membaca getaran Ilahi dalam realitas.

4. Kaidah Istimbath : Rahman, Rahim, Malik

Sebuah fatwa hanya sah jika telah melewati tiga miqat :

Rahman : Apakah ia masuk akal sehat ? Apakah dapat diterima oleh logika dan membawa kemaslahatan umum ?

Rahim : Apakah ia lembut, penuh cinta, dan tidak menyakiti jiwa yang lemah ?

Malik : Apakah ia adil ? Apakah semua pihak mendapat haknya tanpa mengorbankan yang lain ?

Fatwa yang hanya logis, tapi kejam, gugur.

Fatwa yang penuh empati, tapi menzalimi yang lain, gugur.

Fatwa yang adil tapi dingin tanpa ruh, juga belum paripurna.

5. Mekanisme Turunnya Ilham Fiqih

Ilham tidak dicari, tapi ia datang sebagai respons. Maka, salah satu tanda kuatnya panggilan hukum adalah munculnya kegelisahan ruhani terhadap satu masalah umat.

Ketika kegelisahan itu memuncak dan hati cukup bersih, maka cahaya itu turun — bukan berupa kalimat, tapi makna murni.

Dari situlah, seorang mufti ruhani mulai menyusun kata, menimbang makna, mengaitkan dengan nash Qur’an yang selaras secara rasa dan makna, bukan sekadar secara lafaz.

6. Validasi : Apakah Ilham Itu Sahih ?

Tidak semua yang dirasa sebagai ilham adalah ilham sejati. Maka, ia harus melalui tahapan validasi batiniah :

Apakah hati merasa tenang dan damai setelahnya ?

Apakah sejalan dengan rasa Rahman-Rahim dan tidak bertentangan dengan nilai luhur Qur’an ?

Apakah tidak ada ego atau kepentingan pribadi yang menumpang di balik fatwa itu ?

Jika ketiganya terpenuhi, maka fatwa itu adalah pancaran cahaya Ilahi, bukan sekadar opini manusia.

Penutup Bab :

Manhaj fiqih ruhani tidak menggugurkan fiqih klasik, tapi melengkapinya dari sisi ruhnya.

Ia hadir bukan untuk menyaingi ulama terdahulu, tapi untuk menghidupkan kembali rasa dan cinta dalam hukum, agar syariat kembali terasa sebagai rahmat, bukan sekadar peraturan.

Fatwa ruhani bukan hasil perdebatan, tapi hasil penyaksian. Ia tidak dihasilkan, ia diamanahkan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar