Halaman

Rabu, 23 April 2025

Hakikat Syariat : Manhaj Fiqih Para Siddiqin. Bagian 1

By. Mang Anas 


Pendahuluan 

Segala puji bagi Allah, yang mengajarkan manusia apa yang tidak ia ketahui, yang menulis dengan Qalam ke dalam Lauhul Mahfuzh hati-hati mereka yang jernih, dan yang menjadikan akal sebagai penerjemah makna batin agar dapat dimengerti oleh manusia lainnya. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad, penutup para nabi dan pembawa syariat yang sempurna, yang menyeimbangkan antara hukum dan hikmah, antara logika dan rasa, antara kebenaran dan kasih.

Kitab ini adalah sebuah usaha kecil untuk menapaki jalan pemahaman yang lebih dalam terhadap syariat, dengan harapan agar cahaya hikmah dan kasih dapat kembali menyinari praktik hukum yang selama ini kerap terasa kering dan jauh dari getaran ruhani. Ia tidak dimaksudkan untuk menyaingi, menggugat, atau menafikan manhaj fiqih yang telah ada, tetapi semata-mata sebagai ikhtiar menyampaikan kembali pesan ilahi yang mungkin mulai terbenam dalam formalitas dan kerangka logika semata.

Manhaj Fiqih Ruhani bukan sekadar metode hukum, melainkan jalan penyingkapan. Ia menolak menjadikan akal sebagai hakim tunggal dalam istinbat, tetapi menjadikannya sebagai penerjemah. Hukum dalam manhaj ini tidak lahir dari logika formal, tetapi dari keseimbangan antara tiga sifat Ilahi yang menjadi fondasinya :

1. Rahman – yakni logika yang terang, yang memberi penjelasan.

2. Rahim – yakni rasa yang lembut, yang memberi kasih dan kehalusan hati.

3. Malik – yakni keadilan yang tegak, yang tidak berpihak dan mencakup semua.

Dalam zaman di mana syariat sering menjadi formalitas, fiqih menjadi teks tanpa ruh, dan fatwa kehilangan cita rasa ketuhanan, manhaj ini hadir sebagai tawaran untuk kembali : kepada qalb yang hidup, kepada ruh yang sadar, kepada hukum yang sejati.

Semoga kitab ini menjadi suluh di tengah gelapnya perdebatan hukum yang kering, dan menjadi jembatan antara syariat yang zhahir dan hakikat yang batin. Wallahu waliyyut taufiq.

Bab I : Ketika Fiqih Kehilangan Ruh

Pada masa awal kemunculannya, fiqih adalah cermin kehidupan. Ia bukan sekadar rumusan hukum, tetapi pancaran dari hati-hati yang hidup, yang menyatu dengan wahyu dan dipenuhi rasa takut kepada Allah. Namun seiring perjalanan zaman, fiqih mulai terlepas dari denyut rasa dan ruh wahyu. Ia berubah menjadi kerangka-kerangka teknis yang lebih banyak berdebat soal lafaz ketimbang menangkap maksud Ilahi.

Kecenderungan untuk mengandalkan akal sebagai alat utama dalam istinbat membuat hukum menjadi kering, beku, dan terkadang kehilangan keadilan. Banyak fatwa akhirnya menjadi keputusan yang logis tapi tak manusiawi, benar dalam nalar tapi menyakiti hati, sah secara hukum tapi jauh dari kasih.

Kita menyaksikan bagaimana fiqih dipisahkan dari ihsan, hukum dari hikmah, dan teks dari rasa. Ini semua adalah gejala bahwa ruh fiqih telah mulai menghilang, dan umat perlahan kehilangan getaran Ilahi dalam fatwa-fatwa yang dibacanya.

Fiqih yang Sejati adalah Fiqih yang Menghidupkan

Manhaj Fiqih Ruhani tidak datang untuk membatalkan fiqih, tetapi untuk mengingatkan kembali bahwa fiqih berasal dari ruhani. Ia tumbuh dari qalb yang hidup, bukan dari hafalan semata. Ia tidak boleh hanya tunduk pada logika, tetapi harus mencerminkan Rahman, Rahim, dan Malik secara utuh. Karena hanya dengan itu, hukum bisa menghadirkan keadilan yang dirasakan oleh manusia dan diterima oleh langit.

Bab II : Epistemologi Ilham dalam Istinbat

Ilmu yang sejati bukan sekadar hasil logika yang dilatih, tapi pancaran makna yang hadir dari kedalaman hati. Inilah perbedaan paling mendasar antara fiqih rasional dan fiqih ruhani. Yang pertama lahir dari nadzar (penalaran), yang kedua lahir dari ilham (penerimaan batin). Dan keduanya bukan saling menafikan, tapi saling melengkapi bila berada di bawah kendali ruh yang bersih.

Apa Itu Ilham ?

Ilham bukan mimpi, bukan renungan, bukan hasil tafakkur panjang. Ia tidak lahir karena dicari. Ia muncul sebagai pancaran dari dalam, ketika hati dalam keadaan jernih, dan ketika ruhani manusia menyentuh wilayah Lauhul Mahfuzh—tempat Qalam menuliskan makna Ilahi. Maka ilham adalah makna, bukan kata. Ia adalah pemahaman langsung, bukan definisi. Ia datang karena sebab yang menggugah, bukan karena usaha yang memaksa.

Dalam jagat mikrokosmos manusia :

❤️‍🩹 Qalam adalah sumber penulisan makna oleh Allah.

❤️‍🩹 Lauhul Mahfuzh adalah hati manusia yang menerima ilham.

❤️‍🩹 Kursy adalah akal yang menerjemahkan makna menjadi bahasa.

❤️‍🩹 Arsy adalah diri manusia sebagai tempat seluruh proses berlangsung.

Ilham adalah bentuk kasih Allah yang turun ke dalam qalb seorang hamba yang Allah kehendaki. Ia bisa datang dalam diam, dalam tangisan, dalam kegundahan, atau bahkan dalam keheranan terhadap suatu persoalan. Ia tidak dapat diminta, tetapi dapat disambut dengan tazkiyah (penyucian jiwa), muraqabah (kesadaran akan kehadiran Allah), dan ikhlas (melepas pamrih).

Peran Akal dalam Ilham

Dalam Manhaj Fiqih Ruhani, akal bukanlah penghasil hukum, tetapi penerjemah ilham. Ia tidak berdiri sendiri, tetapi menjadi jembatan antara makna yang muncul di hati dan kata yang bisa dimengerti oleh manusia. Tanpa akal, ilham tak bisa dikomunikasikan. Tanpa ilham, akal kehilangan arah.

Bab III : Tiga Sifat Ilahi dalam Fondasi Hukum — Rahman, Rahim, Malik

Allah tidak hanya Maha Mengetahui, tetapi juga Maha Bijaksana dan Maha Penyayang. Maka setiap hukum yang lahir dari-Nya pasti membawa tiga sifat agung: Rahman, Rahim, dan Malik. Ketiganya adalah fondasi ilahiyah yang tak boleh terpisah dalam setiap keputusan hukum. Inilah basis utama dalam Manhaj Fiqih Ruhani.

1. Rahman : Logika yang Terang

Sifat Rahman mencerminkan keluasan ilmu dan logika yang terang. Ia tidak semata menilai benar atau salah, tetapi mampu menjelaskan dengan jernih, membuka cakrawala nalar manusia agar memahami maksud dan hikmah hukum. Dalam aspek ini, akal diberi peran penting, namun tetap dalam naungan cahaya dari hati. Rahman menuntut hukum yang tidak gelap dan tidak disembunyikan dalam simbol-simbol kebingungan.

2. Rahim : Rasa yang Lembut

Sifat Rahim adalah pancaran kasih, pengertian, dan kelembutan. Ia menjadikan hukum bukan alat untuk menghukum, tapi jembatan untuk menyelamatkan. Dalam ruhani fiqih, Rahim mewarnai fatwa dengan empati dan mempertimbangkan kedudukan ruhani serta beban batin manusia. Tanpa Rahim, hukum menjadi tajam, tapi tidak menyembuhkan ; benar secara hukum, tapi tidak menyentuh.

3. Malik : Keadilan yang Tegak

Sifat Malik adalah pengatur dan pemilik kekuasaan. Ia mewakili keadilan hakiki yang tidak berat sebelah. Malik tidak membela yang kuat atau yang mayoritas, tetapi menegakkan hukum dengan adil meskipun terhadap diri sendiri. Dalam fiqih ruhani, Malik menempatkan semua manusia setara di hadapan hukum, dan menjadikan kasih tidak menghilangkan keadilan.

Keseimbangan Tiga Sifat

Fiqih yang hanya Rahman akan jadi debat intelektual tanpa empati. Fiqih yang hanya Rahim akan berubah menjadi belas kasihan yang melemahkan aturan. Dan fiqih yang hanya Malik bisa menjadi kekuasaan yang menindas. Ketika ketiganya digabungkan, hukum menjadi cahaya: membimbing, melindungi, dan menegakkan keadilan dengan penuh kasih.

Bab IV : Ilham dan Fungsi Qalam dalam Diri Manusia

Allah berfirman dalam surah Al-‘Alaq :

> “Iqra’ wa rabbukal-akram. AlladzÄ« ‘allama bil-qalam. ‘Allamal-insāna mā lam ya‘lam.”

(Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia, yang mengajar manusia dengan Qalam, yang mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.)

Ayat ini bukan hanya seruan untuk membaca, tapi pembukaan hijab makna tentang proses pewahyuan di dalam diri. Di sini, Qalam bukan sekadar alat tulis, tetapi simbol pusat pemancaran makna Ilahiah ke dalam batin manusia. Ia bukan benda, tetapi realitas ruhani.

Qalam : Sumber Ilham dalam Jagat Diri

Dalam jagat mikrokosmos, Qalam adalah pusat asal makna. Ia tidak menulis dengan huruf, tetapi dengan cahaya. Apa yang ditulis Qalam tidak tampak oleh mata, tapi dirasakan oleh hati. Maka segala ilham, bila datang dengan benar, berasal dari Qalam yang ada dalam diri manusia itu sendiri—bagian dari ruh Ilahi yang ditiupkan ke dalam jasad.

Qalam menulis bukan di atas kertas, tapi di atas Lauhul Mahfuzh : hati manusia. Hati yang jernih adalah tempat turunnya ilham, dan hati yang keruh adalah hijab yang menghalanginya. Maka penyucian jiwa bukan hanya ibadah, tetapi syarat untuk menerima pesan dari langit.

Lauhul Mahfuzh : Hati sebagai Lembaran Penerima

Hati adalah tempat di mana Qalam menuliskan makna. Ia bukan hanya pusat emosi, tetapi ruang ruhani tempat wahyu kecil (ilham) diturunkan. Ketika seseorang berhadapan dengan masalah, dan hatinya tetap jernih, maka Qalam akan menuliskan jawaban sebagai ilham. Ilham ini tidak berupa kata, tetapi makna yang terasa jelas, kuat, dan dalam.

Kursy : Akal sebagai Penerjemah

Setelah ilham masuk ke hati, tugas berikutnya adalah menerjemahkannya. Di sinilah fungsi Kursy : simbol dari akal manusia. Akal tidak menciptakan makna, tapi menerjemahkannya menjadi bahasa, fatwa, atau keputusan. Akal yang lurus tidak akan menentang makna ilham, tapi membahasakannya dengan bijak dan sesuai zaman.

Arsy : Diri sebagai Wadah Keseluruhan

Seluruh proses ini—dari Qalam ke Lauhul Mahfuzh, dari hati ke akal—berlangsung dalam satu jagat kecil : Arsy, yaitu diri manusia itu sendiri. Maka siapa yang memahami dirinya, akan memahami proses turunnya ilham. Inilah yang dimaksud oleh sabda : “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbah” — barangsiapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.

Bab V : Syarat Hati untuk Menerima Ilham

Ilham tidak turun pada hati yang sembarangan. Sebagaimana wahyu hanya diturunkan kepada para nabi yang terjaga kesuciannya, maka ilham—sebagai bentuk petunjuk batin yang lebih lembut—juga memiliki syarat ruhani agar dapat ditampung, dipahami, dan diterjemahkan dengan benar. Hati adalah Lauhul Mahfuzh dalam jagat diri. Namun tidak setiap hati menjadi layak baginya, kecuali yang telah melalui proses penyucian.

1. Tazkiyah : Penyucian Jiwa

Allah berfirman :

> “Qad aflaha man zakkāhā, wa qad khāba man dassāhā.”

(Beruntunglah siapa yang menyucikan jiwanya, dan rugilah siapa yang mengotorinya.) (QS. Asy-Syams : 9-10)

Ilham turun hanya ke dalam hati yang bersih dari dengki, hasad, cinta dunia, dan syahwat yang mengendalikan. Hati yang penuh kebencian tidak mampu menerima cahaya. Maka tazkiyah adalah prasyarat paling awal—ia seperti membersihkan cermin sebelum menangkap cahaya ilahi.

2. Shidq : Kejujuran Diri

Kejujuran bukan hanya berkata benar, tetapi juga berani mengakui kelemahan, kebodohan, dan kesalahan di hadapan Allah. Hati yang jujur adalah hati yang tidak menipu dirinya sendiri. Ia tidak mengaku paham sebelum menerima makna. Ia tidak membanggakan pengetahuan sebelum memahami cahaya. Hati seperti inilah yang siap menjadi tempat berlabuhnya ilham.

3. Khusyuk : Kehadiran Ruh dalam Kehidupan

Hati yang lalai, meski berisi ilmu, tidak mampu menangkap makna. Sebaliknya, hati yang hadir dalam setiap keadaan—yang memandang hidup dengan kesadaran akan Allah—adalah hati yang siaga. Khusyuk bukan hanya dalam shalat, tetapi dalam memandang, merespons, dan mengambil keputusan. Hati yang khusyuk seperti wadah terbuka yang siap menampung curahan makna dari Qalam.

4. Zuhud : Melepaskan Cinta Dunia

Ilham tidak akan hadir di hati yang penuh ambisi dunia. Semakin seseorang melepaskan keterikatan duniawi dari hatinya, semakin lapang ruang bagi makna ilahi untuk turun. Zuhud bukan meninggalkan dunia secara fisik, tetapi meletakkannya di tangan, bukan di hati. Ilham adalah karunia, bukan imbalan. Ia datang pada mereka yang ridha dengan Allah meski tanpa imbalan dunia.

5. Mahabbah : Cinta kepada Allah dan Kebenaran

Hati yang dipenuhi cinta akan Allah, akan condong kepada semua yang mengarah pada-Nya. Maka ilham tidak turun karena kecerdasan, tetapi karena cinta. Seorang hamba yang mencintai Allah, akan diberi pemahaman yang tidak diajarkan oleh manusia. Ia tidak memerlukan banyak dalil, karena hatinya menjadi ladang dalil itu sendiri.

Penutup Bab

Maka jelaslah bahwa hati yang menerima ilham bukan hati yang penuh ilmu buku, tapi hati yang penuh cahaya dari dalam. Ia adalah hati yang dijaga, disucikan, dan ditundukkan kepada kehendak Ilahi. Sebagaimana langit hanya memantulkan cahaya ketika malam bersih tanpa awan, demikian pula hati manusia—ia baru bisa menangkap makna jika dalam keadaan jernih tanpa kabut hawa nafsu.

Bab VI : Contoh-Contoh Istinbat Fiqih Ruhani dari Para Wali Allah

Manhaj fiqih ruhani bukanlah rekayasa baru, melainkan kebangkitan kembali terhadap jalan istinbat yang telah ditempuh oleh para wali, orang-orang yang hatinya menjadi cermin kebenaran dan lisan batinnya bersambung kepada Qalam Ilahi. Mereka tidak menyusun fatwa dari logika akademik semata, tetapi dari ilham yang dipancarkan kepada mereka karena kedekatan, kesucian, dan cinta mereka kepada Allah.

1. Sayyiduna Abu Bakar Ash-Shiddiq

Ketika Rasulullah wafat, sebagian sahabat terhenti oleh kesedihan dan tidak tahu harus berbuat apa. Abu Bakar tidak mengutip ayat karena hafalan, tapi karena hati beliau menangkap makna yang sesuai :

> "Dan Muhammad tidak lain hanyalah seorang rasul. Telah berlalu sebelumnya rasul-rasul. Maka jika ia wafat atau dibunuh, apakah kalian akan berbalik ke belakang ?" (QS. Ali ‘Imran: 144)

Ayat ini keluar dari lisannya bukan sebagai hafalan, tapi sebagai pancaran ruhani. Itu ilham yang menguatkan umat, bukan hanya nalar yang tepat waktu.

2. Imam Ja‘far Ash-Shadiq

Beliau pernah ditanya tentang halal-haramnya makanan tertentu yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam nash. Beliau menjawab bukan hanya dari qiyas, tapi dari rasa batin :

> "Apa yang membuat hatimu gelisah, dan engkau ragu terhadapnya, maka tinggalkan. Karena hati seorang mukmin adalah timbangan yang paling halus dalam syariat."

Ini adalah bentuk istinbat dari ilham batin, bukan logika fiqh formal. Hukum digali dari resonansi hati yang suci, yang sudah tersambung dengan sumber hakikat.

3. Syekh Abdul Qadir al-Jailani

Dalam al-Fath ar-Rabbani, beliau sering menegaskan :

> "Jika kamu bingung dalam urusan halal dan haram, duduklah di hadapan Tuhanmu dengan diam dan keikhlasan. Maka Dia akan mengilhamkan kebenaran ke dalam hatimu sebagaimana matahari menyinari bumi."

Ia tidak mengatakan “bukalah kitab fiqh”, tetapi “berdiam di hadapan Tuhanmu”. Ini bukan sikap anti-ilmu, tapi pengakuan bahwa ilmu hakiki itu datang dari Qalam, bukan dari akal yang dipenuhi ego.

4. Rabi‘ah al-Adawiyyah

Rabi‘ah ditanya tentang amalan, zikir, dan puasa. Ia tidak menjawab dengan fatwa tekstual. Ia menjawab dengan cinta :

> "Aku tidak menyembah-Nya karena takut neraka atau berharap surga. Aku menyembah-Nya karena Dia layak untuk disembah."

Apakah ini fatwa ? Bagi para ahli lahiriah, ini bukan. Tapi bagi ruhaniwan, ini adalah istinbat fiqih ruhani yang tertinggi—karena murni dari cinta, bukan dari ancaman atau imbalan.

5. Syekh Ahmad Tijani

Beliau berkata, "Seorang wali tidak membutuhkan dalil syara’ ketika hatinya telah dijadikan sebagai cermin tajalli al-haqq. Karena setiap langkahnya akan selaras dengan hikmah syariat, meski ia tak pernah membuka kitab fiqh."

Ini bukan bentuk penolakan terhadap fiqh, tapi penegasan bahwa fiqh yang sejati adalah fiqh yang dipantulkan dari hati yang tersambung ke sumbernya.

Penutup Bab

Fiqih ruhani tidak menggugurkan fiqh lahiriah, tapi ia adalah kedalaman dan kesempurnaan darinya. Ia bukan pengganti, tapi ruh bagi jasad hukum-hukum. Tanpa ruh, hukum menjadi kering. Dengan ruh, hukum menjadi cahaya.

Inilah warisan para wali : istinbat bukan dari otak, tapi dari hati yang hidup.

Bab VII : Mengintegrasikan Tiga Pilar Fatwa: Rahman, Rahim, dan Malik

Dalam Manhaj Fiqih Ruhani, setiap fatwa tidak hanya ditimbang dengan logika hukum dan kaidah syara', melainkan juga dengan rasa kasih (rahim) dan keadilan Ilahi (malik). Tiga pilar ini merupakan manifestasi dari tiga nama Allah yang agung, dan menjadi fondasi fatwa yang bersumber dari ilham :

1. Rahman – logika yang adil, terang, dan menyeluruh.

2. Rahim – rasa yang lembut, empatik, dan penuh kasih.

3. Malik – keadilan yang seimbang, tidak berpihak, dan menata realitas.

1. Pilar Rahman : Logika yang Mencerahkan

Allah adalah Ar-Rahman—pengasih kepada seluruh makhluk tanpa membeda-bedakan. Dalam istinbat, Rahman berarti: fatwa harus didasarkan pada nalar yang sehat, terang, dan tidak tergesa-gesa. Ia membuka ruang bagi kemaslahatan umum dan bukan hanya maslahat kelompok.

Fiqih rahman adalah fiqih yang inklusif. Ia memikirkan semua golongan, bahkan yang berbeda keyakinan sekalipun. Ia melihat kehidupan secara luas, sebagaimana sinar matahari tidak memilih siapa yang boleh dan tidak boleh ia hangatkan.

2. Pilar Rahim : Rasa yang Menyelamatkan

Allah adalah Ar-Rahim—penyayang khusus kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Di sini, fatwa bukan hanya keputusan hukum, tetapi juga tangisan hati. Ia menyelami rasa orang-orang yang terdampak. Ia mempertimbangkan batin manusia, luka-lukanya, ketakutannya, dan harapannya.

Fatwa yang rahim bukan hanya benar, tapi juga menyelamatkan. Ia tidak hanya menegakkan aturan, tetapi juga memberi ruang pulang bagi yang terjatuh. Dalam konteks ini, fiqih ruhani adalah fiqih yang penuh maaf dan harapan.

3. Pilar Malik : Keadilan yang Menata

Allah adalah Maliki Yawmid-Din—Penguasa di Hari Pembalasan. Maka fatwa yang ruhani tidak boleh berat sebelah. Ia harus menimbang seluruh pihak, seluruh aspek, dan seluruh kemungkinan masa depan. Ia menimbang dengan neraca akhirat.

Dalam fiqih ruhani, keadilan bukan hanya hitung-hitungan hukum, tapi harmoni batin, sosial, dan spiritual. Ia adalah mizan (timbangan) yang menjaga keseimbangan kehidupan.

Contoh Aplikasi Ketiga Pilar

Bayangkan ada persoalan ekonomi masyarakat desa yang terjerat utang riba. Seorang faqih ruhani tidak hanya akan berkata, “Ini haram.” Tetapi ia akan :

Dengan Rahman, mencari solusi alternatif: menciptakan sistem koperasi atau baitul maal.

Dengan Rahim, memahami mengapa mereka terpaksa terjerat : karena kebutuhan pokok atau sakit anak-anak mereka.

Dengan Malik, menyusun struktur keadilan: agar pemodal tidak menindas, dan yang membutuhkan tidak terhina.

Fatwa yang seperti ini bukan hanya hukum, tapi juga pelita. Ia tidak hanya mengatur, tapi menuntun.

Penutup Bab

Rahman, Rahim, dan Malik bukan sekadar nama. Ia adalah maqam dan cara kerja ruhani yang harus hadir dalam setiap istinbat. Tanpa Rahman, fatwa menjadi kaku. Tanpa Rahim, fatwa menjadi kejam. Tanpa Malik, fatwa menjadi timpang.

Fiqih Ruhani adalah jembatan antara hukum dan hikmah. Ia bukan untuk mendebat, tapi untuk mengobati.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar