Halaman

Selasa, 15 April 2025

IQRA' BISMI RABBIKA : Membaca Dengan Lensa dan Paradigma Rabbani

Mang Anas 


Kata Pengantar

Mengapa Risalah Ini Ditulis

Risalah ini ditulis sebagai upaya untuk mengungkap makna terdalam dari ayat pertama yang diturunkan dalam Al-Qur'an : " Iqra' bismi Rabbik alladzi khalaq ". Dalam ayat ini terkandung sebuah revolusi epistemologis — sebuah panggilan agar manusia membaca bukan hanya dengan akal dan mata, melainkan dengan Asma Tuhan, yaitu dengan paradigma Ilahi. Dunia modern telah lama terjebak dalam cara pandang materialistik, empirik, dan terfragmentasi. Pengetahuan dipecah-pecah, nilai dipisahkan dari fakta, dan Tuhan dipinggirkan dari narasi besar kehidupan.

Dalam konteks ini, risalah ini hadir bukan sekadar sebagai tafsir atau kajian keilmuan, tetapi sebagai undangan : undangan untuk kembali membaca semesta dengan cara Tuhan melihat, untuk menimba ilmu dari sumbernya yang hakiki — dari Sirr, dari fitrah primordial, dari cahaya Rabbani yang tidak bisa dipahami oleh akal semata.

Urgensi Krisis Paradigma dan Pentingnya Membaca dengan Cara Pandang Tuhan

Kita sedang hidup di era krisis : krisis makna, krisis spiritualitas, dan krisis arah. Ilmu yang seharusnya menjadi cahaya telah berubah menjadi senjata yang membutakan. Paradigma manusia telah melenceng dari pusatnya. Kita diajarkan membaca segala sesuatu dengan kacamata logika duniawi, padahal hakikat segala sesuatu hanya bisa dibaca bila kita meminjam lensa dari Rabb semesta alam.

Dalam ayat pertama itu, Allah tidak memerintahkan untuk membaca "apa", tetapi menekankan "dengan siapa" dan "dengan apa" membaca itu dilakukan — dengan bismi Rabbik, dengan cara pandang Tuhan._ Inilah titik tolak dari seluruh jalan kerasulan, dan inilah pula yang menjadi fondasi jalan menuju ilmu hakikat.

Melalui risalah ini, kita akan menapaki kembali jalan ke dalam, jalan kembali menjadi tifl (bayi), jalan untuk membalik total cara pandang, agar dapat membaca bukan dengan mata manusia biasa, tetapi dengan pandangan Rabbani. Karena hanya dengan itu, manusia dapat melihat hakikat, memahami penciptaan, dan kembali mengenal dirinya serta Tuhannya.

Pendahuluan : Apa yang Terjadi pada Akal Manusia ?

Ketika Ilmu Tak Lagi Mengantar Manusia pada Kebenaran

Ilmu pengetahuan yang awalnya adalah jalan menuju kebenaran kini justru menjadi tirai yang menutupi wajah hakikat. Ia berhenti pada kulit realitas, menolak untuk menyelami kedalaman makna. Ketika ilmu dilepaskan dari wahyu, maka ia kehilangan jiwa. Ia menjadi alat, bukan jalan. Ia menjadi benda, bukan cermin. Inilah krisis epistemik terbesar manusia modern.

Kekeliruan dalam Memahami "Membaca"

Banyak orang mengira bahwa membaca hanyalah soal mengurai huruf, memahami makna leksikal, dan menyimpulkan dengan logika. Padahal "iqra'" dalam Al-‘Alaq ayat pertama bukanlah sekadar perintah membaca teks, tetapi membaca semesta, membaca hakikat, dan membaca diri — dengan alat yang disebut _Ism_ Rabb. Kesalahan terbesar umat ini adalah membaca tanpa _bismi Rabbik_; membaca dengan akal tetapi tanpa ruh, dengan ilmu tetapi tanpa nur.

Posisi Akal, Jiwa, dan Wahyu dalam Pencarian Kebenaran

Akal bukanlah tuan dalam pencarian kebenaran. Ia hanyalah alat. Jiwa-lah tuannya. Dan wahyu adalah petanya. Ketika manusia menjadikan akal sebagai pemandu utama, ia akan tersesat dalam labirin logika duniawi. Namun ketika jiwa tunduk kepada wahyu dan akal bekerja di bawah bimbingan ilham Rabbani, maka barulah perjalanan menuju hakikat dapat ditempuh. Ilmu hakikat tidak diturunkan kepada akal, tetapi kepada jiwa — karena hanya jiwa yang mampu menampung Sirr. Dan Sirr-lah yang menjadi ruh sejati dari perintah Iqra'.

Bab I : Menyingkap Iqra’ – Sebuah Titik Awal

Teks dan Terjemahan Al-‘Alaq 1–5

. اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ  

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.  

. خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ  

Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.  

. اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ  

Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah.  

. الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ  

Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.  

. عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ  

Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Penekanan pada Frasa “bi ismi Rabbik”

Kunci utama ayat ini bukanlah hanya pada perintah "bacalah", tetapi adalah pada cara dan alat untuk membaca : _bi ismi Rabbik_. Kata "bi" menunjukkan alat atau perantara, dan "ismi" bukan sekadar nama, melainkan paradigma, lensa, cara pandang. Artinya, membaca yang dimaksud bukanlah sembarang membaca, melainkan membaca dengan paradigma ketuhanan.

Kenapa Objek “Yang Dibaca” Tidak Disebutkan ?

Karena yang paling penting bukan objeknya, tetapi cara membacanya. Semesta, diri, sejarah dan realitas dunia bisa menjadi objek bacaan — tetapi jika dibaca dengan cara pandang yang salah, maka hasilnya adalah kesesatan. Karena itu, Allah tidak menyebutkan objek, tetapi menekankan pendekatan : dengan _Ism_ Rabb. Di sinilah letak revolusi epistemologis Iqra'.

1. Makna Mendalam Huruf “ba” dan “ismi

Huruf “ba” dalam _bi ismi_ secara gramatikal adalah "harf al-‘illah" — huruf yang menunjukkan alat atau perantara. Ia bisa dimaknai sebagai “dengan menggunakan”, atau juga sebagai penanda kedekatan (mushohabah). Dalam konteks ini, “ba” menjadi simbol bahwa membaca harus dilakukan melalui sesuatu, yakni “ismi Rabbik”. 

"Ismi"_, bukan hanya “nama”, tetapi dalam dimensi hakikat, ia menunjuk kepada manifestasi sifat-sifat Ilahi. Ia adalah kode, paradigma, atau lensa Rabbani. Maka, membaca dengan “ismi” adalah membaca dengan memakai cara pandang Rabbani, dengan lensa Wahidiyah — tempat berkumpulnya seluruh nama dan sifat Allah sebelum tajalli ke dalam semesta.

2. Membaca Bukan Hanya Aktivitas Intelektual, Tapi Spiritual

Iqra’ bukan sekadar aktivitas kognitif. Ia adalah perjalanan spiritual. Ia bukan hanya menyalakan akal, tetapi juga membangkitkan fitrah. Membaca dengan “ismi” berarti melibatkan jiwa, menyambungkan ruh kepada sumber cahaya, dan menjadikan wahyu sebagai sarana pemahaman. Oleh karena itu, ilmu yang sejati bukanlah hasil dari akumulasi data, tetapi dari penyucian jiwa dan penyingkapan Sirr.

3. Cara Pandang Tuhan vs Cara Pandang Manusia

Cara pandang manusia biasa bersifat horizontal, empiris, duniawi, dan fragmentaris. Cara pandang Tuhan — yang disebut dalam ayat sebagai “bi ismi Rabbik” — adalah vertikal, ilahiyah, dan holistik. Di sinilah perintah Iqra’ menjadi jalan _inqilab mafhumi_, yaitu pembalikan total cara pandang : dari dunia ke akhirat, dari logika ke nurani, dari rasionalisme ke fitrah.

Membaca dengan cara pandang Tuhan berarti menolak membatasi realitas hanya pada yang tampak. Ia mengajak untuk menyelam ke kedalaman, menjangkau yang gaib, dan memahami bahwa segala sesuatu memiliki makna batin. Di sinilah jalan hakikat bermula : bukan dengan banyak membaca teks, tetapi dengan membaca diri dan semesta serta realitas dunia dengan paradigma Rabbani.

Bab II : Paradigma Rabbani – Membaca dengan Lensa Tuhan

Apa itu Paradigma Rabbani ?

Paradigma Rabbani adalah cara pandang yang bertumpu pada hakikat, bukan hanya pada fenomena. Ia melihat realitas bukan dari sudut pandang manusia, tetapi dari lensa Tuhan. Paradigma ini lahir dari “Bismi Rabbik” — cara membaca yang menempatkan Tuhan sebagai pusat dan cahaya sebagai penuntun.

“Bi ismi Rabbik” sebagai Lensa Tafsir Semesta

Segala sesuatu — dari diri sendiri, semesta, hingga sejarah — bisa dibaca dengan dua cara : cara manusiawi dan cara Rabbani. Ketika semua peristiwa dan rentetan kejadian dibaca dengan " lensa ismi Rabbik”, maka yang tadinya gelap menjadi terang, yang tadinya chaos menjadi harmoni, dan yang tadinya tidak bermakna menjadi penuh makna. Inilah fungsi dari “ismi Rabbik” sebagai lensa tafsir semesta.

“Innamal ākhiratu khayrun wa abqā” sebagai Dasar Pembalikan Nilai

Cara pandang Rabbani selalu membalik nilai-nilai duniawi. Apa yang dianggap berharga di dunia, belum tentu bernilai di sisi Tuhan. Kekuasaan, kekayaan, dan reputasi sering kali kosong secara spiritual. Sebaliknya, amal tersembunyi, air mata di tengah malam, dan keikhlasan di tempat sunyi — itulah yang paling berharga. Itulah makna dari “sungguh, akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.”

1. Epistemologi Batin : Jiwa sebagai Tempat Ilmu Rabbani

Ilmu Rabbani tidak disandangkan pada akal, tetapi pada jiwa. Jiwa adalah tempat turunnya Sirr. Ketika manusia ingin memahami ilmu yang berasal dari Tuhan, maka ia harus masuk ke dalam jiwanya — menyucikan hati, menenangkan nafs, dan membuka ruang bagi Nur. Dalam dimensi ini, wahyu turun ke jiwa, bukan ke logika. Akal hanya menjadi alat penerjemah, bukan penerima utama.

2. Peran Sholat : “al-‘urwatul wutsqā” sebagai Saluran Ma‘rifat

Sholat bukan hanya ritual, tetapi saluran komunikasi eksistensial dengan Tuhan. Ia adalah _‘urwatul wutsqā_ — tali yang tak terputus yang menyambungkan ruh manusia dengan sumber segala ilmu. Dalam sholat, ruh manusia diangkat dari dunia ke langit makna, dari suara ke diam, dari logika ke hakikat. Di sinilah sholat menjadi jalan ma‘rifat sejati.

Bab III : Proses Pembacaan Rabbani – Transformasi Jiwa Menuju Cahaya

Mengapa Jiwa yang Menerima, Bukan Akal ?

Dalam khazanah ilmu hakikat, dikenal satu prinsip agung : bahwa ilmu hakiki bukan diturunkan kepada akal, tetapi kepada jiwa. Akal hanya mampu menjangkau apa yang logis, terukur, dan sistematis. Ia bekerja dalam ruang keterbatasan. Namun jiwa — yang merupakan wadah Sirr — mampu menerima pancaran Nur Ilahi karena ia bersifat lathif (halus), batin (dalam), dan terbuka pada yang ghaib.

Akal adalah alat, sementara jiwa adalah tempat turunnya makna. Maka barangsiapa ingin mengerti kebenaran sejati, ia harus lebih dulu menyucikan jiwanya. Karena ilmu hakiki tidak diperoleh melalui argumentasi, tapi melalui tajalli : penyingkapan oleh cahaya Tuhan ke dalam relung hati yang suci.

Dari Al-‘Alaq ke Al-Mu’minun : Metafisika Penciptaan Manusia

Proses penciptaan manusia yang dijelaskan dalam QS. Al-Mu’minun ayat 12–14 bukan hanya uraian biologis, tetapi juga kode metafisika penciptaan ruhani :

Dan sungguh Kami telah menciptakan manusia dari sari tanah. Kemudian Kami menjadikannya air mani (nutfah) dalam tempat yang kokoh. Lalu air mani itu Kami jadikan segumpal darah (‘alaqah), dan segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging (mudhghah), dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain...”

Ayat ini mengandung isyarat bahwa perjalanan manusia dari nutfah ke khalqan akhar adalah perjalanan ruhani juga. Nutfah adalah benih potensi, ‘alaq adalah keterikatan jiwa kepada Yang Maha Sumber, mudghah adalah hati yang lunak menerima, dan khalqan akhar adalah kelahiran spiritual — saat jiwa mengenal Rabbnya. Inilah jalan kembali menjadi insan sejati.

Kelahiran Kembali : Jalan Menjadi Tifl

Untuk bisa membaca dengan paradigma Rabbani, seseorang harus kembali menjadi “tifl” — bayi. Bukan dalam arti infantilitas, tetapi dalam makna fitrah : kembali ke polos, bersih, dan belum ternodai logika dunia. Bayi tidak membaca dengan logika, tapi dengan rasa. Ia tidak mengandalkan akal, tetapi keintiman fitrah. Maka jalan kembali ke Nur Rabbani adalah jalan dengan kembali menjadi tifl : kembali ke "qālū balā syahidna", kembali ke kesaksian primordial sebelum ruh dilahirkan ke dunia.

Tifli : Kelahiran Kembali Menuju Nafsu Muthmainnah

Ketika cahaya Akram [ QS. Al 'Alaq : 3 ] menyinari hati, maka bukan hanya ego dan keakuan yang runtuh, tapi seluruh bangunan pengetahuan yang pernah dihimpun manusia pun ikut remuk.

Semua yang dulu ia yakini sebagai kebenaran, semua pemahaman yang diperoleh dari orang tua, guru, kitab, referensi, bahkan ideologi yang telah lama diyakini — terlihat seperti kabut yang menghalangi pandangannya terhadap cahaya sejati.

Inilah hakikat dari tifli : kelahiran kembali dalam kesucian dan kefitrahan. Bukan lagi sekadar menjadi pribadi yang rendah hati, tetapi pribadi yang tidak membawa apa-apa selain keinginan untuk menerima kebenaran dari Tuhan secara langsung.

Tifli adalah pemurnian dari segala hijab, termasuk hijab pengetahuan. Karena yang paling berat untuk dihancurkan bukanlah dosa, tetapi kebenaran semu yang diyakini sebagai cahaya, padahal justru membutakan.

Dengan hancurnya semua itu, nafsu amarah pun luruh, karena ia tidak lagi memiliki alat untuk membela diri.

Akalnya tidak bisa berargumen. 

• Pengetahuannya tidak bisa berdalih. 

• Dan egonya tidak bisa bersuara.

Inilah titik awal masuknya seorang hamba ke dalam maqam :

"Yā ayyuhannafsul muthmainnah, irji’ī ilā rabbiki rāḍiyatan marḍiyyah."

Sebab sebelum seorang hamba dapat kembali (irji’i), ia harus terlebih dahulu dilahirkan kembali sebagai anak ruhani — " tifl "— yang bersih dari konstruksi pikiran, siap menerima pendidikan Tuhan dengan pena cahaya-Nya (qalam nur-Nya).

Allamal insān mā lam ya‘lam : Ilmu sebagai Pemberian, Bukan Hasil

Ayat ke-5 dari Surah Al-‘Alaq menyatakan : "Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” Ini menegaskan bahwa ilmu sejati adalah hasil pemberian (wahy), bukan murni pencapaian logika. Sumber ilmu sejati adalah Rabbul ‘Alamin, bukan buku, ruang kelas, majlis pengajian dan laboratorium. Ilmu sejati adalah " laduni " — datang dari limpahan kasih sayang Ilahi, bukan hasil perenungan, pengajaran manusia dan eksperimen.

" Khalaqal Insān Min ‘Alaq " : Rahasia ‘Alaq sebagai Simbol Sirr-Ilahi dalam Cetak Biru Penciptaan Manusia

Makna terdalam dari ‘alaq bukan hanya segumpal darah dalam makna biologis, tetapi simbol dari sirr Ilahi — cetak biru penciptaan manusia. ‘Alaq adalah bentuk awal manusia yang menyimpan seluruh potensi, seluruh kode, dan seluruh formula Ilahiyah dalam bentuk yang paling subtil. Dalam kondisi ‘alaq, manusia berada di antara dua kutub : sangat lemah secara fisik, tetapi sangat kuat secara potensi ruhani.

Ilmu Allah tertanam di sana, dalam bentuk rahasia—rumus yang kelak akan menjelma menjadi ruh, akal, jiwa, bahkan takdir. Maka, membaca ‘alaq berarti membaca misteri penciptaan ; mengenal ‘alaq berarti menyelami ilmu Allah yang tersembunyi di balik ciptaan-Nya. Inilah sirr al-‘alaq : bahwa manusia tidak diciptakan secara acak, tapi berdasarkan ilmu, hikmah, dan ma’rifah yang sangat dalam.

Bab IV. " Iqra’ wa Rabbukal Akram " : Peneguhan Nur dan Jalan Wushul

Ayat pembuka risalah kenabian bukan sekadar perintah membaca. Ia adalah isyarat penyelarasan antara makhluk dan Khaliq, antara pengetahuan manusia dan ilmu Allah. Maka ketika Jibril berkata :

"Iqra’ bismi Rabbik alladzi khalaq",

ia seolah membisikkan : "Jangan hanya membaca dengan akalmu. Bacalah dengan nama-Nya — maka tabir akan tersingkap dan segala makna akan terbuka."

Lalu datang ayat kedua:

"Iqra’ wa Rabbukal Akram",

yakni peneguhan bahwa Rabb yang memerintahkan itu bukan sekadar Pencipta, melainkan "Akram" — Maha Mulia dalam memberi, Maha Pemurah dalam menyampaikan Nur, dan Maha Lembut dalam mengantarkan hamba kepada wushul, penyampaian ruhani menuju-Nya.

Di sinilah terletak rahasia besar : membaca dengan bismi akan mempertemukanmu dengan Rabb yang Akram, dan dari situ terbukalah jalan wushul — jalan pengajaran langsung dari Sang Ilahi, bukan melalui hafalan atau perantara, melainkan dari dimensi Wahidiyah : dimensi keesaan seluruh asma’, sifat, dan makna.

Itulah puncak dari tajalli, penyingkapan Ilahiah yang bukan mengisi akal, tetapi mengguncang jiwa hingga luluh.

Akram bukan hanya bermakna pemberi terbaik, tapi juga penampak keagungan yang akan membuat setiap hamba merasa :

Betapa bodohnya ia di hadapan Yang Maha Mengetahui,

• Betapa hina dan tidak berartinya ia di hadapan Yang Maha Mulia,

• Betapa tidak berdayanya ia di hadapan Yang Maha Kuasa.

Inilah hakikat wushul dan hakikat penyaksian : bukan sekadar mengetahui Tuhan, tapi disingkapkan kehadiran-Nya sehingga hamba menjadi fana dari dirinya sendiri.

Saat itu ia tidak lagi merasa punya daya, punya harga, bahkan punya nama — yang tinggal hanyalah Rabb-nya, al-Akram, yang mendidik, membimbing, dan menyinari. Maka, sangat tepat bila ayat selanjutnya berbunyi :

"Alladzi ‘allama bil qalam. ‘Allama al-insān mā lam ya‘lam."

Di sinilah isi wushul : pengajaran langsung dari Tuhanmu yang Akram, pengajaran yang melampaui akal dan metode, dan masuk ke dalam ruang batin yang disebut Sirr.

Pengajaran inilah yang membuat seorang hamba tiba-tiba menjadi ‘alim — karena ia telah menyambung kepada sumber segala ilmu. Tidak ada hamba yang tetap bodoh setelah mengalami wushul. Karena saat ia disinari oleh Nur Wahidiyah, seluruh sel dalam dirinya menjadi ayat, dan seluruh kenyataan menjadi kitab yang terbaca.

Semoga refleksi ini bermanfaat 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar