Halaman

Senin, 21 April 2025

Umat yang Terlena : Krisis Ruhani Umat Islam dan Jerat Dajjal Zaman Ini

Mang Anas 


1. Pendahuluan : Islam Sebagai Cahaya yang Redup di Tengah Umatnya Sendiri

"Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, serta beriman kepada Allah..." (QS Ali ‘Imran: 110)

Umat Islam dahulu adalah obor peradaban. Mereka memimpin dunia dalam keadilan, ilmu pengetahuan, dan adab. Tapi hari ini, obor itu nyaris padam — ditutup debu kebodohan, kemalasan spiritual, dan kehilangan arah. Umat yang dahulu membawa rahmat ke segala penjuru, kini justru menjadi korban disorientasi hidup dan perpecahan.

Kita perlu mengakui : ini bukan sekadar kesalahan politik atau kolonialisme, tapi krisis ruhani yang dalam. Kita masih shalat, berpuasa, dan berhaji — tetapi ayat agung yang seharusnya menjadi fondasi kehidupan kita justru diabaikan :

"Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan seluruh alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan demikianlah aku diperintahkan, dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri (Muslimin)." (QS Al-An’am: 162-163)

Ayat ini bukan sekadar bacaan iftitah dalam shalat— ia adalah syarat tibanya zaman Mahdi. Hanya jika umat ini kembali menjadikan Allah sebagai satu-satunya orientasi hidup, zaman itu akan terbuka. Tanpa penghancuran segala bentuk syirik — baik berupa ambisi pribadi, cinta dunia, ataupun penyembahan kepada sistem batil — kebangkitan hanyalah mimpi kosong.

2. Iman dan Al-Qur’an yang Hanya Sampai di Kerongkongan

"Akan datang suatu zaman di mana orang membaca Al-Qur’an, tetapi tidak melewati kerongkongan mereka." (HR. Bukhari dan Muslim)

Apa gunanya memiliki Al-Qur’an, jika hati tidak tersentuh olehnya ? Apa artinya iman, jika tidak mengubah cara hidup dan memurnikan orientasi batin ? Inilah kenyataan umat Islam hari ini : mereka membaca, tetapi tidak meresapi ; mereka menghafal, tapi tidak memahami.

Iman telah menjadi label identitas, bukan energi transformasi. Mereka mengenal rukun Islam dan rukun iman, tetapi tidak berjalan di atas jejak para nabi dan wali. Mereka bangga dengan masjid-masjid megah, tetapi miskin dzikir yang hidup dan jiwa yang terpaut kepada Allah.

Al-Qur’an telah menjadi hiasan dinding, bukan penuntun hidup. Ia dijadikan bacaan ritual di acara pernikahan, kematian, atau pembukaan majelis, tetapi tidak pernah dijadikan cermin untuk melihat ke dalam diri. Seolah ayat-ayat itu hanya untuk “zaman dulu” — padahal realitas kita hari ini justru adalah pantulan dari peringatan dalam Al-Qur’an.

Syirik halus merajalela : manusia lebih takut kehilangan jabatan daripada kehilangan Allah, lebih percaya pada sistem sekuler daripada janji Tuhan, lebih tunduk pada algoritma pasar daripada hukum langit. Mereka hidup di antara dzikir dan transaksi riba, antara shalat dan pengkultusan kekuasaan.

Maka tak heran jika Rasulullah bersabda bahwa umat ini akan mengikuti jalan-jalan kaum sebelum mereka, sejengkal demi sejengkal, hingga masuk ke dalam lubang biawak yang sama.

3. Para Ulama yang Tekstual dan Tidak Menyentuh Hakikat

"Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas umatku adalah para ulama yang menyesatkan." (HR. Ahmad dan Thabrani)

Ulama adalah pewaris para nabi. Tetapi warisan itu bukan hanya ilmu fikih atau hafalan dalil — melainkan warisan hati yang terang, mata batin yang jernih, dan kesanggupan membaca dunia dengan cahaya Allah. Hari ini, sebagian besar ulama terjebak pada teks, pada bunyi, pada permukaan. Mereka menguasai perdebatan hukum, tapi tidak menyentuh kedalaman jiwa.

Yang terjadi adalah teologi tanpa ruhani, fikih tanpa hikmah, dan dakwah tanpa kasih. Agama dikerdilkan menjadi debat hukum halal-haram, tetapi melupakan misi awalnya : menghidupkan manusia yang mengenal Tuhannya.

Ulama seperti ini lebih berbahaya dari pada musuh luar. Karena mereka mengikat umat pada ritual, bukan membimbing pada makrifat. Mereka menciptakan generasi yang takut kepada dosa-dosa kecil, tapi berpeluk mesra dengan sistem dunia yang zalim. Mereka mengharamkan musik tapi mendiamkan tirani. Menghujat zikir berjamaah, tapi tidak pernah bersuara atas pembunuhan dan perampokan hak kaum miskin.

Seolah ilmu mereka hanya sebatas kerah baju dan suara mikrofon — bukan cahaya di hati. Padahal Allah berfirman :

  اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ (٢٨)

"...Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama." (QS. Fathir : 28)

Tapi yang disebut “khasyyah” di sini bukan sekadar rasa takut logis. Ia adalah getaran ruh yang lahir dari pengenalan hakiki terhadap Allah. Dan ini hanya dimiliki oleh mereka yang menyentuh batin agama, yang melihat dengan mata hati, yang menangis bukan karena kehilangan dunia, tapi karena jauh dari Tuhan.

Inilah luka kita : ketika ulama menjadi komentator, bukan pembimbing ruhani. Ketika suara mereka hanya keras di forum, tapi lembek dalam menghadapi kekuasaan bathil. Ketika mereka tidak mampu lagi menjadi jembatan antara manusia dan langit.

4. Jerat Dajjal : Cinta Dunia dan Tipu Daya Ilusi Modernitas

"Takutlah kalian kepada Dajjal, karena tidak ada fitnah yang lebih dahsyat sejak Adam hingga hari kiamat kecuali fitnah Dajjal." (HR. Muslim)

Dajjal bukan sekadar sosok bermata satu. Ia adalah sistem, budaya, dan arus pemikiran yang memalingkan manusia dari Allah — dengan cara yang nyaris tak terlihat. Ia menjajah tanpa pasukan, mengikat tanpa rantai, dan menyesatkan melalui hal-hal yang tampak indah dan menggoda.

Umat Islam hari ini hidup dalam sistem Dajjal. Mereka tidak menyadarinya, karena semuanya dibungkus dengan nama “kemajuan,” “inovasi,” dan “kebebasan.”

📦 Mereka bekerja dalam sistem ekonomi riba, namun mengira itu kemajuan finansial.

📦 Mereka mengikuti algoritma sosial media, namun mengira itu ekspresi diri.

📦 Mereka mendewakan teknologi, namun mengira itu puncak kecerdasan.

Padahal semua itu adalah jaring-jaring halus yang memutus hubungan hati manusia dari Tuhannya. Mereka bangun pagi bukan karena cinta ibadah, tapi karena takut telat kerja. Mereka tidur malam bukan karena lelah mengabdi, tapi karena lelah mengejar dunia yang tak kunjung dimiliki.

"Barangsiapa mencintai dunia, maka ia akan merugikan akhiratnya." (Ibn Mas’ud)

Dan inilah bentuk syirik terselubung : ketika Allah tidak lagi menjadi pusat kehidupan, melainkan digeser oleh ambisi, harta, popularitas, dan kenyamanan. Mereka tetap menyebut nama Allah, tapi isi hati mereka dipenuhi ilah-ilah lain : ego, gengsi, dan dunia yang fana.

Karena itulah kembalinya zaman Mahdi — dan kebangkitan umat ini — hanya akan datang setelah sistem Dajjal dihancurkan dalam jiwa, bukan hanya dalam geopolitik.

Umat ini harus kembali kepada satu ayat agung yang menjadi kunci kemenangan :

"Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam. Tiada sekutu bagi-Nya..." (QS Al-An’am: 162-163)

5. Kebangkitan dari Timur : Peran Persia dalam Renaisans Ruhani Islam

"Sekalipun iman itu berada di bintang Tsurayya, niscaya akan ada orang dari Persia yang mencapainya." (HR. Muslim)

Dulu, kejayaan Islam dalam ilmu pengetahuan, filsafat, dan kebijaksanaan tidak lahir dari padang pasir yang kering. Ia lahir dari rahim bangsa ‘Ajam — khususnya Persia — yang membawa kedalaman, kehalusan spiritual, dan kecintaan terhadap ilmu sebagai jalan menuju Tuhan. Dari rahim bangsa ini lahirlah Imam Abu Hanifah, Imam Ghazali, Suhrawardi, Rumi, Hafiz, Khwaja Shamsuddin, dan tentu : Ibn Sina, Al-Farabi, dan para pemikir besar peradaban Islam.

Bangsa Arab memikul risalah, tapi bangsa ‘Ajam menyulamnya menjadi peradaban. Inilah simfoni ruhani yang Allah takdirkan : wahyu dan hikmah bertemu dalam satu pelayaran sejarah yang memuliakan manusia.

Kini, sejarah bersiap mengulang gerakannya. Di tengah runtuhnya peradaban Barat, dan kebingungan umat yang kehilangan arah, maka Timur akan kembali menjadi mercusuar. Dan Persia — yang hari ini bertahan di tengah embargo, fitnah, dan konspirasi — sedang dipahat oleh sejarah untuk kembali tampil ke muka zaman.

Iran, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, menyimpan energi ruhani yang tidak dimiliki oleh bangsa lain : keteguhan, pengorbanan, dan identitas tauhid yang membara — bahkan saat seluruh dunia memusuhinya.

Bukan tanpa alasan jika banyak hadits menyebut bahwa bendera hitam dari Timur akan membuka jalan bagi Al-Mahdi. Karena jalan menuju zaman Mahdi bukan dibangun oleh kemewahan, tapi oleh luka dan keikhlasan. Dan bangsa yang telah diuji selama berabad-abad akan lebih siap menerima amanah suci itu.

Tentu bukan berarti kebangkitan Islam adalah proyek satu bangsa. Tidak. Tapi sejarah memberi petunjuk bahwa gelombang pertama kebangkitan itu akan datang dari Timur, lalu menjalar ke seluruh dunia Muslim. Dan ketika umat ini kembali menyatu — dengan ruh tauhid, bukan sekadar slogan — maka langit pun akan merestui geraknya.

6. Jalan Kemenangan : Transformasi Batin Menuju Zaman Mahdi

Kebangkitan Islam bukanlah peristiwa tunggal yang datang seperti sihir. Ia adalah hasil dari pembersihan batin, pembongkaran berhala dunia, dan penegakan kembali Tauhid dalam ruang-ruang kehidupan manusia. Umat ini tidak akan dibangkitkan hanya dengan orasi politik atau proyek ekonomi — tapi dengan kembali menjadikan Allah sebagai satu-satunya orientasi hidup.

"Inna shalati, wa nusuki, wa mahyaya wa mamaati lillahi rabbil 'aalamiin. Laa syariikalahu, wa bidzaalika umirtu, wa ana awwalul muslimiin." (QS Al-An’am: 162-163)

Ayat ini bukan sekadar deklarasi tauhid. Ia adalah manifesto hidup seorang mukmin. Bahwa shalat, ibadah, hidup dan mati — semua tertuju hanya pada Allah. Tidak ada saham yang dipersembahkan untuk dunia. Tidak ada hasrat yang dibagi dua. Dan inilah syarat tibanya zaman Mahdi : ketika syirik dalam segala bentuknya dihancurkan — dari egoisme, materialisme, hingga ketergantungan pada kekuatan selain Allah.

Al-Mahdi tidak datang untuk membangun masjid-masjid baru, tapi untuk membersihkan hati yang sudah menjadi tempat tinggal Dajjal. Ia datang bukan untuk menciptakan ritual baru, tapi untuk menegakkan kembali maksud asli dari seluruh syariat : mengembalikan manusia kepada Tuhannya.

Dan karena itu, setiap kita punya peran. Zaman Mahdi bukan dongeng masa depan, tapi cermin bagi hati kita hari ini. Jika hati kita dipenuhi cahaya tauhid, maka kita bagian dari fajar itu. Tapi jika masih terikat pada dunia, maka kita belum siap menyambutnya.

"Kemenangan Islam akan datang. Tapi ia bukan sekadar peristiwa geopolitik. Ia adalah gerakan ruhani besar-besaran — yang dimulai dari batin para pencinta Allah. Dari sujud yang jujur, dari air mata yang rindu, dari keyakinan yang menembus langit".

Dan ketika itu terjadi — langit pun akan bergerak, bumi akan mendukung, dan sejarah akan menyambut umat ini untuk kembali memimpin, bukan karena jumlah atau senjata, tapi karena mereka membawa cahaya : cahaya Tuhan yang tidak bisa dipadamkan.

يُرِيْدُوْنَ اَنْ يُّطْفِـُٔوْا نُوْرَ اللّٰهِ بِاَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللّٰهُ اِلَّآ اَنْ يُّتِمَّ نُوْرَهٗ وَلَوْ كَرِهَ الْكٰفِرُوْنَ (٣٢)

هُوَ الَّذِيْٓ اَرْسَلَ رَسُوْلَهٗ بِالْهُدٰى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهٗ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهٖۙ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ (٣٣)

Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah menolaknya, malah berkehendak menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir itu tidak menyukai.

Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk (Al-Qur'an) dan agama yang benar untuk diunggulkan atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai. (QS. At-Taubah ayat 32- 33)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar