Mang Anas
Di atas panggung ekonomi global, Amerika Serikat kembali memainkan lakon klasiknya : ancam, tekan, lalu tawarkan “kesepakatan damai”—asal dunia tunduk pada arah yang ditetapkannya. Tapi kali ini, penontonnya sudah mulai tahu : ini bukan lagi soal defisit neraca dagang atau penciptaan lapangan kerja dalam negeri. Ini adalah perang reputasi, dominasi, dan ketakutan akan kehilangan tahta global.
Dalam minggu ini, Washington mengumumkan bahwa pengenaan tarif tinggi terhadap negara-negara mitra dagang akan ditunda selama 90 hari, memberi mereka waktu untuk “bernegosiasi”—kecuali terhadap satu negara : China. Dunia pun mulai sadar, skenario ini bukan dirancang untuk memperbaiki ketidakseimbangan ekonomi global, tapi untuk menciptakan kesan global bahwa China adalah musuh bersama.
Tarif sebagai Senjata, Bukan Solusi
Ketika Presiden Donald Trump memulai retorikanya soal “America First”, tarif dijadikan instrumen utama. Semua negara ditarik dalam pusaran ancaman bea impor tinggi. Seolah-olah semua mitra dagang dianggap tidak adil. Tapi saat tarif itu kini “ditangguhkan sementara”, dan hanya China yang tetap dikenai beban penuh, terkuaklah strategi sebenarnya : menekan dunia agar memilih pihak.
Ini adalah diplomasi berbasis tekanan dan polarisasi. Amerika Serikat memaksa negara-negara lain agar menyatakan posisi : apakah kalian berdiri bersama Washington, atau kalian akan terus berdagang dengan Beijing dan menanggung akibatnya ?
Strategi Isolasi Bertahap
Trump tidak sedang membuat kebijakan ekonomi jangka panjang. Ia sedang membangun koalisi global anti-China lewat cara paling Amerika : ancaman yang dikemas sebagai negosiasi.
Langkahnya bisa dirinci sebagai berikut :
1. Gertakan massal : semua negara “dihukum” dengan tarif tinggi agar dunia panik dan waspada.
2. Pintu negosiasi terbuka : negara yang ingin bebas dari tarif dipersilakan “bernegosiasi”, yang pada intinya berarti : batasi kerja sama dengan China.
3. Isolasi simbolik : pada akhir skenario, hanya China yang dibiarkan tetap dalam kotak penalti—dicap sebagai negara tak kooperatif.
Kebijakan Dajjalik ?
Ada yang menyebut strategi ini sebagai bentuk baru dari “politik dajjalik”: menjanjikan surga bagi yang tunduk, dan neraka bagi yang membangkang. Dunia diseret ke dalam logika biner : hitam atau putih, bersama kami atau melawan kami. Tidak ada ruang untuk kemerdekaan posisi, tidak ada netralitas.
Namun, dunia hari ini tidak semudah itu dipecah. Banyak negara yang mulai menyadari bahwa membangun hubungan dengan China bukan sekadar soal uang, tetapi tentang akses pembangunan, teknologi, dan otonomi pilihan. Sementara tawaran Amerika, meski menggoda, sering kali datang dengan beban ideologis, tekanan militer, atau permainan kekuasaan.
90 Hari Menentukan Arah Dunia
Masa 90 hari ini bukan hanya tenggat teknis. Ia adalah pertarungan makna :
- Apakah dunia akan kembali tunduk pada dominasi tunggal AS ?
- Ataukah kita sedang memasuki era multipolar, di mana kekuatan tak lagi hanya satu pusat ?
Apa yang terjadi setelah 90 hari ini akan menjadi indikator penting : apakah dunia bisa tetap berdiri di atas kakinya sendiri, ataukah kembali dikendalikan lewat tarif, tekanan, dan teatrikal diplomasi.
Dan China, dengan segala kekurangan dan misterinya, kini berdiri sebagai titik tolak sejarah baru : negara yang berani tetap tegak, ketika yang lain mulai goyah di bawah tekanan sang adidaya lama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar