Halaman

Rabu, 23 April 2025

Hakikat Syariat : Manhaj Fiqih Para Siddiqin. Bagian 2

By. Mang Anas 


Lanjutan dari bagian 1....

Bab VIII : Peran Qalam dan Lauhul Mahfuzh dalam Proses Ilham

Dalam tradisi tasawuf dan pemahaman ruhani mikrokosmik, struktur diri manusia adalah cermin dari arasy Tuhan. Ia adalah ruang suci di mana perintah-perintah batin diturunkan, diungkap, dan dipahami.

Ilham bukan bisikan asing yang datang dari luar, melainkan pancaran cahaya dari pusat ruhani manusia sendiri. Ia bukan produk tafakur, bukan hasil mimpi, melainkan respons langsung dari sumber ilahiah yang menetap dalam diri : dari Qalam, ke Lauhul Mahfuzh, lalu ke Kursy, dan akhirnya terformulasikan dalam bahasa oleh akal.

1. Qalam : Pena Ilahi di Dalam Diri

Qalam adalah simbol dari prinsip pertama dalam diri ruhani manusia. Ia bukan pena biasa, tetapi entitas cahaya yang menulis tanpa tinta, menyampaikan tanpa kata.

Dalam jagat cilik, Qalam adalah potensi ilham. Ia tidak bergerak oleh kehendak pribadi, tapi oleh kehendak yang lebih tinggi—oleh ketentuan Tuhan yang tersembunyi dalam takdir batin. Ketika Qalam menulis, ia tidak menunggu izin dari akal. Ia hanya mencatat, dan mencatat, dalam senyap yang tak terbaca oleh kasat mata.

2. Lauhul Mahfuzh : Hati yang Menyimpan Rahasia

Apa yang ditulis Qalam tidak langsung muncul sebagai kata. Ia disimpan dalam Lauhul Mahfuzh, yakni hati manusia. Hati dalam makna ruhani adalah ruang suci yang dijaga dari kerusakan oleh fitrah.

Ketika ilham datang, sebenarnya ia sudah tersimpan dalam Lauhul Mahfuzh. Ia belum memiliki suara, belum berbentuk, belum terbahasakan. Ia hanya berupa makna dan kepahaman.

3. Kursy : Akal yang Menterjemahkan

Setelah makna itu matang di dalam hati, akallah yang mengambilnya, membacanya, dan membahasakannya. Inilah tugas Kursy: menerjemahkan cahaya menjadi kalimat. Dari sini, lahirlah fatwa ilhamiyah dalam bentuk kata-kata manusia.

Namun akal yang digunakan dalam fiqih ruhani bukan akal logis semata, melainkan akal yang sudah menyatu dengan qalb, akal yang tunduk kepada ilham, bukan yang membantahnya.

4. Arsy : Keseluruhan Diri

Arsy adalah tempat bersemayamnya struktur ruhani ini: Qalam, Lauh, Kursy. Dalam mikrokosmos, Arsy adalah kesadaran tertinggi manusia—diri batin yang telah tersucikan. Di sinilah semua proses berlangsung dalam keheningan dan ketaatan.

Maka dalam Manhaj Fiqih Ruhani, manusia yang menjadi faqih bukan hanya ahli hukum, tapi juga pemilik arsy batin yang teguh. Ia tidak akan bicara sembarangan, karena setiap kalimatnya adalah pancaran dari ilham, bukan hasil utak-atik spekulatif.

Penutup Bab

Ilham adalah dialektika batin yang terjadi di dalam jagat kecil manusia. Ia bukan hasil debat pikiran, tapi buah dari ketundukan diri kepada cahaya Tuhan. Maka siapa yang ingin menjadi faqih ruhani, ia harus menyucikan Arsynya, menajamkan Qalamnya, dan membersihkan Lauhnya dari nafsu serta prasangka.

Bab IX : Fiqih Tanpa Ilham — Bahaya Formalisme Tanpa Ruh

Ketika fiqih kehilangan ruhnya, ia menjadi seperti jasad tanpa jiwa: tampak hidup, tapi tidak bergerak ke arah kasih dan keadilan. Inilah bahaya fiqih yang hanya disusun dengan logika akademik dan nalar institusional, tapi kehilangan cahaya batin. Ia menjadi kering, kaku, dan bahkan terkadang menindas atas nama kebenaran.

1. Fiqih Akademik : Di Atas Kertas, Tapi Mati di Hati

Kebanyakan produk fiqih modern dibangun dengan metodologi tekstualistik—berpijak pada dalil, qiyas, dan ijma', namun kering dari rasa. Dalam sistem ini, hukum tidak lahir dari tangisan manusia, tetapi dari bangku kuliah. Tidak salah memang, tapi sangat kurang. Karena tidak semua yang logis itu adil, dan tidak semua yang benar di atas kertas, dapat menyelamatkan manusia di dunia nyata.

Fiqih tanpa ilham hanya mematuhi rumus, bukan petunjuk. Ia tidak mampu membedakan antara manusia yang berbuat salah karena bodoh, dengan yang berdosa karena sengaja. Semuanya ditimbang dengan ukuran yang sama, tanpa empati.

2. Ketika Syariat Menjadi Kekuasaan

Tanpa ruh ilham, fiqih bisa berubah menjadi alat kekuasaan. Ia tidak lagi menjadi cahaya, tapi cambuk. Fatwa-fatwa menjadi senjata untuk menundukkan, bukan untuk menuntun. Orang-orang takut kepada syariat, bukan karena keagungannya, tapi karena kekejaman oknum yang memutarnya menjadi alat kontrol.

Itulah saat ketika syariat dijalankan oleh orang-orang yang tidak pernah menangis karena dosa sendiri, tapi selalu tajam menuding dosa orang lain.

3. Ilham : Nafas yang Menghidupkan Hukum

Ilham adalah ruh bagi fiqih. Tanpa ilham, fiqih hanya mengatur. Tapi dengan ilham, fiqih membimbing. Tanpa ilham, hukum menjadi rimba. Tapi dengan ilham, hukum menjadi jalan terang. Maka, dalam Manhaj Fiqih Ruhani, tugas utama faqih bukan menghukumi, tapi menyinari. Ia menjadi pembawa pelita, bukan pembagi vonis.

Fatwa ilhamiyah bukan berarti bebas semaunya, tetapi tunduk sepenuhnya kepada kejujuran batin, kepada cahaya fitrah, dan kepada cinta Allah yang rahman dan rahim.

Penutup Bab

Dalam sejarah, banyak kebangkitan umat terjadi bukan karena banyaknya hukum, tapi karena hadirnya orang-orang yang hidup dalam cahaya ilham. Mereka yang tahu kapan harus tegas, dan kapan harus mengalah. Mereka yang tahu bahwa Tuhan lebih mencintai taubat daripada hukuman, lebih menyukai tangisan taubat daripada gemuruh pidato hukum.

Maka janganlah takut pada fiqih, tapi takutlah bila fiqih sudah tidak lagi menyentuh hati.

Bab X : Adab Ruhani dalam Merumuskan Hukum

Ilmu fiqih tidak bisa berdiri sendiri tanpa adab. Sebab hukum yang tidak lahir dari jiwa yang beradab hanya akan menjadi beban bagi umat, bukan pelita. Adab ruhani inilah yang menjadi pembeda utama antara faqih tekstual dan faqih ruhani. Yang satu sibuk menghimpun dalil, yang satu sibuk menyucikan diri agar layak menerima ilham.

1. Menyucikan Diri Sebelum Menyusun Fatwa

Fatwa yang lahir dari hati yang kotor akan selalu condong pada hawa nafsu, meski terlihat didukung dalil. Sebab akal bisa memanipulasi teks, tapi ilham hanya turun pada hati yang bersih.

Seorang faqih ruhani harus lebih dulu menyucikan dirinya dari kepentingan pribadi, kebencian, dan syahwat kekuasaan. Ia harus bertanya pada dirinya, "Apakah aku ingin membela kebenaran, atau ingin menang berdebat ?"

Jika niatnya tidak murni, maka lebih baik ia diam, karena fatwa yang lahir dari hati yang gelap hanya akan memperpanjang kesesatan.

2. Tunduk kepada Cahaya, Bukan Ego

Adab faqih ruhani adalah tunduk total kepada cahaya ilham. Ia tidak menjadikan ilham sebagai pelengkap argumen, tapi sebagai pusat pemahaman. Ia tidak memaksa akal untuk mencocokkan apa yang sudah ia inginkan, tapi membiarkan akal menjadi penerjemah setia dari pesan yang datang dari Lauhul Mahfuzh dalam hatinya.

Di sinilah kerendahan hati menjadi keniscayaan. Sebab yang berbicara dalam fatwa bukan dirinya, melainkan al-Qalam yang menulis di dalam dirinya.

3. Mencintai Keadilan Lebih dari Kemenangan

Seorang faqih ruhani tidak mencari menang, tidak mencari tepuk tangan, tidak mencari pengikut. Ia hanya ingin menjadi penjaga keadilan Tuhan di bumi. Keadilan yang mencerminkan sifat Malik : memberi setiap makhluk haknya, tidak lebih, tidak kurang.

Ia tidak berat sebelah karena tekanan massa, tidak condong karena politik, tidak silau karena gelar. Ia berdiri bersama yang lemah, membela yang tertindas, dan menegakkan yang hak walau pahit.

4. Rahman dan Rahim dalam Lisannya

Lisan seorang faqih ruhani bukan pisau, tapi pintu. Ia tidak berbicara kecuali dengan penuh kelembutan dan harapan. Karena ia tahu, satu kalimat kasar dari seorang ahli hukum bisa mematahkan semangat seribu jiwa.

Maka dalam setiap kalimatnya, harus ada kasih (Rahman) dan kehangatan (Rahim). Karena hukum bukan hanya tentang benar dan salah, tapi tentang menyelamatkan jiwa manusia dari kegelapan kepada cahaya.

Penutup Bab

Adab ruhani bukan sekadar pelengkap fiqih, tapi ruhnya. Tanpa adab ini, ilmu hanya akan menjerumuskan. Namun dengan adab, bahkan fatwa yang sederhana bisa menjadi suluh yang menerangi zaman.

Sebab adab bukan sekadar sopan santun. Adab adalah cermin dari maqam ruhani, dan maqam itulah yang menentukan, apakah seorang faqih sedang menyuarakan kehendak Tuhan—atau sedang menyuarakan dirinya sendiri.

Bab XI : Contoh-Contoh Fatwa Ruhani dalam Praktik Kehidupan Modern

Fiqih Ruhani bukan sekadar teori luhur yang indah di atas kertas. Ia adalah jalan hidup yang bisa menjawab persoalan nyata umat di tengah dunia yang terus berubah. Fiqih ini tidak berhenti pada dalil, tapi berlanjut sampai ke penghayatan ilham dan kepekaan batin terhadap realitas.

Berikut ini adalah beberapa contoh fatwa ruhani yang dihasilkan melalui metode ilham — disaring oleh hati, diterjemahkan oleh akal, dan diarahkan oleh kasih sayang Allah.

1. Tentang Utang Piutang : Keadilan Lebih Penting dari Perjanjian

Dalam fiqih konvensional, jika ada orang berutang, maka ia wajib membayar sesuai perjanjian, dan jika tidak sanggup, hartanya boleh disita. Namun, fiqih ruhani berkata : jangan nilai orang hanya dari kesanggupannya membayar, tapi dari niat dan keadaan batinnya.

Jika ilham menunjukkan bahwa orang itu jujur, berniat membayar, tapi diuji kesempitan rezeki, maka memaafkannya adalah lebih tinggi daripada menagih hak. Karena pada saat itu, Allah sedang memberi kesempatan bagimu untuk menjadi Rahman seperti Dia.

2. Tentang Pekerja dan Majikan : Rasa Sebelum Undang-Undang

Seorang buruh datang mengadu karena di-PHK tanpa pesangon. Menurut hukum formal, perusahaan berdalih bahwa ada celah legal. Tapi ilham ruhani mengatakan : yang kamu nilai bukan hanya pasal, tapi air mata orang kecil yang terzhalimi.

Fatwa ruhani memutuskan bahwa perusahaan wajib memberi kompensasi yang layak, walau tidak diwajibkan secara undang-undang. Karena keadilan ilahi tidak menunggu hukum manusia, tapi lahir dari empati terhadap sesama.

3. Tentang Anak Durhaka : Jangan Hanya Lihat Kesalahan, Tapi Lihat Luka

Seorang ibu mengadukan anaknya yang tidak lagi pulang, tak memberi kabar, dan sering membantah. Ia ingin fatwa tentang hukum durhaka. Tapi ruhani bertanya : adakah luka yang belum sembuh antara mereka ?

Ilham menyinari bahwa anak itu sebenarnya bukan durhaka, tapi terluka. Maka fatwa tidak dijatuhkan, melainkan pengobatan dibuka. Sembuhkan hatinya dengan cinta, maka ia akan kembali. Kadang fatwa terbaik bukan dengan ucapan, tapi dengan pelukan.

4. Tentang Poligami : Bukan Soal Boleh atau Tidak, Tapi Layak atau Tidak

Poligami sering dibahas dari sudut halal-haram. Tapi fiqih ruhani menelusuri lebih dalam : apakah jiwa pelakunya benar-benar siap ? Apakah ia bisa adil, bukan hanya dalam materi tapi juga dalam kasih? Apakah istri pertama merelakan dengan lapang hati, atau sekadar tunduk karena lelah berjuang ?

Fatwa ruhani bisa berkata “tidak layak”, meskipun hukum fiqih berkata “boleh”. Sebab ruhani tidak hanya mendengar dalil, tapi juga suara hati mereka yang akan menjadi korban.

5. Tentang Menolak Warisan Riba : Memuliakan Ruh Lebih dari Harta

Seseorang bertanya, bolehkah ia menerima warisan dari ayahnya yang berasal dari hasil riba ? Secara hukum, ia berhak. Tapi hati kecilnya menolak, merasa itu bukan rezeki yang halal.

Ilham ruhani menyarankan : tinggalkan warisan itu jika hatimu tidak tenteram. Tuhan akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih bersih, karena meninggalkan riba demi cinta kepada-Nya lebih bernilai dari segala harta. Fatwa tidak lahir dari teks, tapi dari rasa malu kepada Allah.

Penutup Bab

Fiqih ruhani bukan hanya menjawab “apa hukumnya”, tapi juga “apa dampaknya bagi jiwa manusia dan masyarakat”. Ia menata kehidupan dengan cinta, bukan dengan ketakutan. Ia tidak keras tapi tegas. Tidak lunak tapi lembut. Ia adalah fiqih yang menangis bersama yang tertindas, dan bersujud bersama mereka yang ingin kembali kepada Allah.

Fiqih ruhani bukan hanya fatwa. Ia adalah wajah kasih Tuhan yang memayungi umat di dunia yang keras.

Bab XII : Menggagas Lembaga Fatwa Ruhani — Struktur, Etika, dan Peran Sosialnya dalam Umat

1. Mengapa Perlu Lembaga Fatwa Ruhani ?

Zaman ini menyaksikan banyaknya fatwa yang tidak menyentuh jiwa umat. Formalistik, teknokratis, dan sering kali terasa kering. Masyarakat haus akan fatwa yang menyejukkan, yang bisa membimbing mereka dengan kasih, bukan hanya pasal-pasal. Di sinilah Lembaga Fatwa Ruhani mengambil peran.

Ia bukan sekadar tempat pengambilan keputusan hukum, tapi menjadi pusat getar ilahi — tempat di mana nurani umat dibela, bukan diadili. Di sinilah tempat ruh para wali menyambung suara kasih Tuhan lewat lisan para pewarisnya.

2. Struktur Ideal Lembaga Fatwa Ruhani

Lembaga ini bukan birokrasi dingin, melainkan lingkaran nur yang hangat. Berikut susunannya :

🌎 Majelis Ilham : Terdiri dari orang-orang yang dikenal bersih hati, tulus ibadah, dan tajam rasa. Mereka bukan sekadar hafal dalil, tapi juga jernih jiwanya menerima isyarat ilahiyah.

🌎 Penterjemah Ilham : Orang-orang yang memahami bahasa ruhani dan mampu mengalihkannya ke dalam bahasa akal dan hukum yang bisa difahami publik luas. Mereka adalah jembatan antara hati dan logika.

🌎 Tim Validasi Syariah : Memastikan bahwa setiap fatwa tetap berada dalam koridor syariat Muhammad yang rahmatan lil ‘alamin, bukan menyimpang dari ruh nubuwwah.

🌎 Pelayan Umat : Mereka yang menyampaikan fatwa kepada masyarakat dengan wajah yang lembut, tutur yang penuh kasih, dan hati yang ikut merasakan luka umat.

3. Etika Lembaga Fatwa Ruhani

Fiqih Ruhani tidak boleh jatuh pada keangkuhan elit spiritual. Maka etika berikut menjadi prinsip dasar :

🧭 Tawadhu’ (Rendah hati) : Setiap fatwa adalah ikhtiar, bukan klaim kebenaran absolut.

🧭 Shidq (Kejujuran Ruhani) : Tidak ada fatwa jika hati belum bening.

🧭 Sama’ (Mendengar dengan Cinta) : Semua pengadu harus dirangkul, bukan hanya diberi solusi.

🧭 Tazkiyah (Pembersihan Diri) : Setiap anggota wajib menjaga kesucian batin melalui mujahadah dan muraqabah.

4. Peran Sosial : Menjadi Obor dalam Kegelapan

Lembaga ini bukan hanya penjawab masalah, tapi penyembuh luka umat. Ia terjun ke pasar, ke gang-gang miskin, ke rumah sakit, ke pesantren kecil, ke media sosial, menjadi pelita kasih Tuhan di tengah kekacauan zaman.

Ia hadir saat masyarakat bingung antara halal dan haram, antara cinta dan nafsu, antara kebenaran dan kepentingan. Ia tidak hanya memberi fatwa, tapi juga memberi pelukan, doa, dan harapan.

5. Kenapa Ini Mendesak ?

Karena banyak orang hari ini tersesat bukan karena tidak tahu hukum, tapi karena tidak tahu arah hatinya. Mereka butuh fatwa yang menyentuh relung batin, bukan hanya menggugurkan kewajiban.

Dan lebih dari itu — umat butuh imam batin yang tak hanya membacakan dalil, tapi juga menghidupkan kembali rasa percaya bahwa Allah masih menyayangi mereka.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar