Mang Anas
Pendahuluan
Jika kata لَاَمَّارَةٌ [ La Amarotu ] dipahami sebagai struktur semantik dan simbolik dari nafsu amarah [ ego kolektif yang tidak tunduk pada nilai-nilai ilahiah ], maka Amerika di bawah Trump dapat dilihat sebagai manifestasi geopolitik dari struktur itu :
" Sebuah entitas besar yang merasa unggul, tidak butuh bimbingan moral luar, haus penghormatan, dan gemar memaksakan kehendak ".
Ini bukan hanya penilaian politis, tapi juga bisa dibaca sebagai bagian dari tipologi akhir zaman di mana watak syaitani (amarah, egosentris, dominatif) menantang nilai rahmani (rendah hati, kooperatif, welas asih).
Pendekatan pengenaaan tarif tinggi oleh Presiden Trump—atas barang barang import dari semua negara, termasuk terhadap sekutu dekat seperti Kanada, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Uni Eropa—dan lebih ekstrem terhadap China (tarif 104%)—dapat dibaca sebagai manifestasi kebijakan luar negeri yang digerakkan oleh nafsu amarah, sebagaimana dijabarkan dalam struktur maknanya yang sebagai berikut :
1. Alif pertama (آ) : melambangkan keangkuhan dan keakuan—simbol dari kesombongan politik yang merasa paling tinggi.
2. Mim dengan tasydid (مّ) : melambangkan penggandaan kekuatan, dalam konteks negatif menjadi simbol keserakahan kekuasaan.
3. Alif kedua (آ) : menguatkan sifat independensi egoistik—politik yang merasa tak perlu nasihat atau kolaborasi.
4. Ra (ر) : simbol keinginan untuk mengatur dan menguasai—politik yang tidak melayani tetapi minta dilayani.
5. Ta Marbuthah (ة) : melambangkan kecenderungan untuk memaksakan kehendak, bahkan jika harus melukai pihak lain.
Dalam konteks geopolitik, kata ini mencerminkan karakter politik yang tidak mengenal empati, hanya bergerak atas dasar ego, dan menggunakan instrumen kekuasaan untuk memperkuat diri sendiri tanpa mempertimbangkan akibat global.
Struktur ini tidak hanya menggambarkan individu tiranik, tetapi juga bisa membentuk watak sistemik—terutama ketika tertanam dalam kebijakan sebuah negara adidaya. Dan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump adalah contoh nyata dari manifestasi nafsu amarah dalam geopolitik kontemporer.
1. "America First" sebagai Ekspresi Kesombongan Global
Trump sering kali menekankan doktrin America First, yang secara simbolik mencerminkan Alif pertama [ ا ] :
> Amerika menganggap diri lebih tinggi dari negara lain, layak mendapat perlakuan khusus, dan tak harus tunduk pada konsensus internasional.
> Hal ini terlihat dalam penarikan AS dari berbagai perjanjian multilateral seperti Paris Agreement dan WHO, seolah menolak keberpihakan pada norma global demi menjaga keistimewaan sendiri.
> Kebijakannya itu menunjukkan tidak adanya kerendahan hati Amerika Serikat dalam tatanan relasi internasional.
2. Superioritas dan Kekuatan –
a. We have the best military
Pernyataan berulang Trump tentang kekuatan militer dan ekonomi AS adalah cerminan dari Mim dengan tasydid : keyakinan bahwa AS paling mampu, terkuat, dan oleh karena itu paling benar.
Nafsu amarah, dalam bentuk ini, mewujud dalam cara Trump menggambarkan lawan sebagai lemah atau bodoh, bahkan sekutu pun dipandang rendah jika tak tunduk pada visi kekuatannya.
b. Tarif dan Sanksi : Alat Superioritas Sepihak
Kebijakan tarif bea masuk tinggi yang diberlakukan secara seragam terhadap semua negara—termasuk sekutu dekat seperti Kanada, Australia, Jepang, Korea Selatan, dan Uni Eropa—adalah cerminan " Mim dengan tasydid (مّ) ". AS merasa paling kuat, paling mampu, dan karena itu paling berhak menentukan arus perdagangan global tanpa memperhatikan timbal balik.
Tarif terhadap China bahkan mencapai angka ekstrem 104%, melampaui rasionalitas ekonomi dan menjelma menjadi simbol penghukuman dan dominasi.
3. Penolakan terhadap Multilateralisme dan Nasihat Global
Dengan menyebut organisasi internasional seperti WTO, WHO, UNHCR sebagai “lembaga gagal” dan “penghambat kedaulatan”, Trump menunjukkan ekspresi Alif kedua [ ا ] : nafsu amarah yang tak mau mendengar nasihat dan menolak tunduk pada nilai bersama. Bahkan saran dari para penasihat ekonomi, ilmuwan iklim, dan diplomat senior kerap diabaikan jika tidak selaras dengan ego kekuasaan.
Trump memperlihatkan gaya kepemimpinan otoriter-populis, di mana kepercayaan pada "gut feeling" dan loyalitas personal melebihi penilaian objektif atau nilai-nilai bersama.
4. Ingin Dilayani, Tapi Tak Mau Melayani
Trump menuntut agar negara lain membuka pasarnya, membeli produk AS, menurunkan tarif, dan mengakui keistimewaan Amerika.
Tapi dalam waktu yang sama, AS menaikkan tarif, mengancam embargo, dan bahkan mengejek sekutu di forum internasional. Inilah cerminan ekspresi huruf Ro [ ر ] pada diri Donald Trump :
> Keinginan untuk dihormati sepihak, seperti Raja yang ingin rakyatnya patuh tanpa ia harus adil.
> Keinginan untuk dilayani oleh dunia, bukan untuk melayani dunia.
> Relasi menjadi hirarkis, bukan dialogis. Dan diplomasi digantikan transaksi.
5. Dominasi dan Pemaksaan Kehendak
Tarif tinggi, sanksi sepihak, dan penggunaan ekonomi sebagai senjata politik adalah tipikal dari strategi dominasi.
Dengan membedakan China sebagai satu-satunya yang tidak diberi kelonggaran 90 hari, Trump menegaskan bahwa :
“Ada yang harus dipaksa tunduk, bahkan jika yang lain kami beri sedikit nafas.”
Inilah bentuk nyata " Ta Marbuthah [ ة ] " pada diri Trump, di mana perbedaan perlakuan bukan berdasarkan keadilan, tapi berdasarkan siapa yang paling tidak disukai.
Diplomasi tidak dilakukan atas dasar kesetaraan, tetapi atas ancaman dan tekanan. China dijadikan musuh simbolik, untuk menunjukkan bahwa siapa pun yang menolak tunduk, harus dibungkam dan diisolasi dari percaturan ekonomi dan politik global.
Bahaya Dominasi Politik Egosentris dalam Tatanan Global
Jika politik nafsu ini dibiarkan menjadi norma, dunia akan menghadapi beberapa konsekuensi berbahaya,
🧭Fragmentasi tatanan internasional : Tidak ada lagi ruang untuk kerjasama multilateral jika negara-negara besar hanya memikirkan dirinya sendiri.
🧭Eskalasi konflik dan ketidakpercayaan : Negara-negara akan terus bersaing dalam ketegangan ekonomi, teknologi, dan militer, yang berpotensi menjadi konflik terbuka.
🧭Krisis kemanusiaan berkelanjutan : Sanksi dan kebijakan ekonomi yang kejam akan menjatuhkan negara-negara lemah ke dalam jurang krisis pangan, kesehatan, dan pendidikan.
🧭Matinya etika diplomasi : Diplomasi tidak lagi menjadi ruang pencarian solusi, tetapi hanya menjadi teater kepentingan dan pamer kekuasaan.
Maka sangat penting untuk menghadirkan etika baru yang menandingi politik nafsu ini, yaitu diplomasi ruhama—yang berpijak pada kasih, bukan kemarahan ; pada kerendahan hati, bukan kesombongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar