Mang Anas
Pendahuluan : Ketika Firman Diperjualbelikan
فَوَيْلٌ لِّلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَـٰذَا مِنْ عِندِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا۟ بِهِۦ ثَمَنًۭا قَلِيلًۭا ۖ فَوَيْلٌۭ لَّهُم مِّمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌۭ لَّهُم مِّمَّا يَكْسِبُونَ
"Maka celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka, lalu berkata : 'Ini dari Allah', untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengannya. Maka celakalah mereka karena apa yang ditulis tangan mereka, dan celakalah mereka karena apa yang mereka usahakan." (QS Al-Baqarah : 79)
Ayat ini bukan sekadar celaan, tetapi rintihan langit atas perubahan arah firman yang pernah suci. Ia adalah gema duka atas peristiwa sejarah di mana wahyu, yang sejatinya adalah amanah ilahi, dijadikan komoditas dan alat legitimasi kekuasaan. Dalam gemanya, ada peringatan halus bagi mereka yang merasa mencintai kebenaran, agar tak terjebak dalam versi sejarah yang dibungkus kemenangan, namun kehilangan nur kejujuran.
Sejarah agama-agama besar, termasuk kekristenan, bukan semata kisah ilham dan kemurnian. Ia juga diwarnai kompromi, tekanan kekuasaan, dan politik doktrinal. Konsili Nicea tahun 325 M adalah salah satu titik penting dalam sejarah itu. Di sana, bukan hanya teologi yang dibahas, tetapi juga peta kekuasaan dan stabilitas kekaisaran. Di balik perumusan dogma, tersembunyi tarik-ulur antara hasrat penguasa dan suara batin gereja.
Namun tulisan ini tidak ditujukan untuk menghakimi, apalagi membenci. Ia juga bukan risalah sejarah akademik belaka. Ia adalah tafsir ruhani — sebuah usaha untuk membaca ulang sejarah dalam cahaya ayat-ayat Qur’an, yang penuh kasih, jujur, dan membebaskan. Kita tidak sedang mencari siapa yang salah dan siapa yang menang, tapi bagaimana cahaya firman itu bisa kembali bersinar — bahkan dari sela-sela runtuhan kompromi sejarah.
Tujuan kita bukan untuk membakar jembatan antar umat, tetapi membangun jalan kembali menuju kemurnian. Dan untuk itu, kita perlu keberanian membaca ulang sejarah, bukan dengan dendam, tetapi dengan cinta dan kejujuran.
Bagian II : Paulus — Dari Tauhid ke Teologi Salib
Jika Isa al-Masih datang membawa kabar tentang kasih dan tauhid, maka sejarah mencatat nama Paulus sebagai sosok yang berperan paling besar dalam mengubah wajah ajaran itu menjadi struktur teologi yang sama sekali berbeda — dan bahkan asing — dari semangat kenabian yang dibawanya.
Pada mulanya, Paulus bukan pengikut Isa. Ia adalah orang yang keras menentang para murid Isa, hingga kemudian mengaku mendapat pengalaman visioner di jalan menuju Damaskus. Dari titik itu, ia beralih arah dan mengklaim dirinya sebagai rasul Kristus — bukan melalui pembelajaran langsung dari Isa, melainkan lewat ilham personal yang diakuinya sebagai wahyu.
Namun, justru dari tangan Paulus, kerangka dasar teologi Kristen sebagaimana dikenal kini mulai dibangun. Ia memperkenalkan gagasan yang tak ditemukan dalam pengajaran Yesus menurut Injil-injil awal : doktrin dosa warisan (original sin) dan keselamatan hanya melalui penebusan darah Yesus di salib.
Dalam surat-suratnya — yang ironisnya kemudian diangkat menjadi kitab suci dalam Perjanjian Baru — Paulus menyatakan bahwa semua manusia telah berdosa sejak Adam, dan hanya melalui kematian Yesus sebagai “korban tebusan” dosa itu bisa diampuni. Ini adalah titik balik besar : dari ajaran kenabian yang menyeru pertobatan dan amal baik, menuju teologi imani yang menjadikan darah sebagai alat pengampunan universal.
Dari kacamata ruhani Qur’an, ini adalah bentuk ghuluw — melampaui batas dalam keyakinan. Dosa warisan tidak dikenali dalam ajaran para nabi. Setiap jiwa bertanggung jawab atas dirinya sendiri (QS Al-An'am : 164), dan pengampunan selalu terbuka bagi yang kembali kepada-Nya. Maka konsep bahwa seorang suci harus mati untuk menebus dosa orang lain, adalah ajaran asing yang berangkat bukan dari nubuwah, tetapi dari rekayasa pemikiran pasca-nabi.
Apa motif Paulus ?
Bisa jadi ia sungguh percaya dengan penglihatannya. Namun tidak bisa diabaikan pula konteks sosial saat itu : agama baru yang keluar dari Yahudi harus menghadapi tantangan keras untuk menyebar di dunia Romawi yang politeistik. Gagasan Yesus sebagai “Anak Tuhan” dan “penebus dosa” membuka jalan untuk menyesuaikan diri dengan pola pikir helenistik dan menyentuh psikologi masyarakat penyembah dewa-dewa. Maka teologi salib ini, sadar atau tidak, menjadi strategi misi yang efektif — meskipun menyalahi ruh ajaran awal.
Dalam terang Al-Qur'an, kita belajar membedakan antara cahaya pewahyuan dan cahaya ciptaan manusia. Cahaya pewahyuan itu lurus, jernih, penuh cinta dan tanggung jawab. Sedangkan cahaya ciptaan, meski tampak gemerlap, kadang lahir dari bayang-bayang keinginan, bukan dari langit kebenaran.
Bagian III : Konsili Nicea — Ketika Teologi Dipaksa Berkompromi
Tahun 325 M menjadi penanda penting dalam sejarah kekristenan. Di kota Nicea, Asia Kecil, sebuah konsili besar diselenggarakan atas prakarsa bukan dari tokoh gereja, melainkan dari kaisar Romawi yang baru saja memeluk agama Kristen : Konstantin Agung. Motifnya bukanlah semata spiritual, tetapi politis — yaitu untuk meredam konflik internal gereja dan menjadikan agama baru ini alat penyatuan Kekaisaran Romawi yang tengah berguncang oleh krisis dan perebutan takhta.
Perdebatan utama kala itu adalah antara ajaran Arius, yang menegaskan bahwa Yesus hanyalah hamba dan ciptaan Tuhan, dengan kubu Athanasius yang menyatakan bahwa Yesus memiliki substansi ilahiah yang sama dengan Bapa. Gereja sendiri saat itu belum memiliki doktrin baku. Ajaran Yesus tetap hidup dalam keheningan tauhid dan kasih, walaupun perlahan mulai terkikis oleh penafsiran yang semakin helenistik.
Namun di hadapan Konstantin, hal yang dipertaruhkan bukanlah doktrin, melainkan stabilitas. Maka terjadilah diplomasi gaya imperium : gereja ditawari posisi, perlindungan, dan privilese — dengan syarat, mereka menyetujui formula teologis yang bisa memuaskan kekuasaan. Yang menolak, seperti Arius dan pengikutnya, dikucilkan, ditindas, bahkan dibakar ajaran-ajarannya. Inilah sisi sejarah yang tak banyak diungkap : trinitas bukan lahir dari suara hati gereja, tapi dari tekanan politik dan kompromi kekuasaan.
Konstantin tidak tertarik pada kebenaran ruhani. Ia hanya butuh ajaran yang bisa menyatukan rakyat dan menjustifikasi kekuasaannya dengan aura ilahi. Dan trinitas — dengan seluruh mistik dan dramanya — dianggap cocok menjadi “perisai spiritual” kekaisaran.
Konteks inilah yang disingkap lembut namun tajam oleh al-Qur'an :
يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ لَا تَغْلُوْا فِيْ دِيْنِكُمْ وَلَا تَقُوْلُوْا عَلَى اللّٰهِ اِلَّا الْحَقَّۗ اِنَّمَا الْمَسِيْحُ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُوْلُ اللّٰهِ وَكَلِمَتُهٗۚ اَلْقٰىهَآ اِلٰى مَرْيَمَ وَرُوْحٌ مِّنْهُ ۖفَاٰمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرُسُلِهٖۗ وَلَا تَقُوْلُوْا ثَلٰثَةٌۗ اِنْتَهُوْا خَيْرًا لَّكُمْۗ اِنَّمَا اللّٰهُ اِلٰهٌ وَّاحِدٌۗ سُبْحٰنَهٗٓ اَنْ يَّكُوْنَ لَهٗ وَلَدٌۘ لَهٗ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ وَكَفٰى بِاللّٰهِ وَكِيْلًا (١٧١)
Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sungguh, Al-Masih Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan, “(Tuhan itu) tiga,” berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Mahasuci Dia dari (anggapan) mempunyai anak. Milik-Nyalah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan cukuplah Allah sebagai pelindung. (Q.S. An-Nisa' ayat 171)
Ayat ini bukan kutukan, melainkan seruan penuh kasih : “La taghluu fi dinikum” — jangan melampaui batas dalam beragama. Tuhan bukan Trinitas. Isa hanyalah rasul-Nya, bukan bagian dari dzat-Nya. Kelebihan kalian adalah mencintainya — tetapi jangan biarkan cinta itu menjelma menjadi mitos yang bertentangan dengan tauhid.
"يُرِيدُونَ لِيُطْفِـُٔوا۟ نُورَ ٱللَّهِ بِأَفْوَٟهِهِمْ وَٱللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِۦ وَلَوْ كَرِهَ ٱلْكَـٰفِرُونَ"
“Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka, tetapi Allah akan menyempurnakan cahaya-Nya, meskipun orang-orang kafir membencinya.”(QS As-Saff : 8)
Cahaya itu — yang lahir dari kesucian Isa dan napas tauhidnya — mungkin pernah diselubungi oleh kabut politik Nicea. Tapi janji Allah adalah bahwa cahaya itu akan tetap menyala, dalam hati-hati yang mau kembali pada fitrah.
Dan tulisan ini, tak lebih dari upaya kecil untuk meniupkan nyala itu kembali.
Bagian IV : Trinitas — Bukan Akar, Tapi Akibat
Dalam menyelami penyimpangan yang terjadi pada ajaran Yesus, kita perlu menelusurinya dengan kejelian ruhani : bahwa Trinitas bukanlah akar penyimpangan, melainkan akibat dari sesuatu yang lebih dalam — yaitu ghuluw.
Al-Qur’an tidak memulai kritiknya kepada Ahlul Kitab dengan langsung menyalahkan doktrin Trinitas. Sebaliknya, ia mendahului teguran itu dengan larangan yang sangat bernuansa batin :
"يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ"
“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu...” (QS An-Nisa: 171)
Kata ghuluw di sini adalah kunci. Ia bukan sekadar kesalahan intelektual, tapi bentuk ketidakselarasan batin : keterpesonaan yang berlebihan hingga kehilangan keseimbangan. Dan dari ghuluw inilah, lahir berbagai distorsi ajaran — termasuk Trinitas.
Trinitas adalah bentuk kristalisasi dari cinta yang kehilangan kendali. Bukan karena kebencian terhadap Isa, melainkan karena kecintaan yang melampaui batas hakikatnya. Ia bukan ditolak, tapi dijadikan lebih dari apa yang ia sendiri ajarkan. Maka, Trinitas bukan sekadar konsep salah — tapi gejala dari penyakit ruhani yang lebih awal : melampaui batas dalam mencintai hamba, hingga menempatkannya setara dengan Tuhan.
Dan di sinilah kebijaksanaan Al-Qur’an tampil bukan sebagai penghakim, tapi sebagai pengingat. Ayat “la taghluu fi diinikum” bukan cambuk kemarahan, melainkan sentuhan lembut yang penuh peringatan ilahi. Ia mengalun seperti nasihat seorang ibu yang khawatir anaknya tersesat oleh rasa cinta yang membutakan.
Secara ikonografik, frasa ini punya struktur yang ringan namun tegas. Huruf ل (lam) pada laa menjadi semacam pagar larangan yang memanjang, namun tidak memukul. Diikuti oleh تَغْلُوا yang mengandung huruf غ — lambang dari gelombang yang kuat dan membumbung — memberi kesan bahwa ghuluw adalah ekses energi yang naik tanpa kendali, membentuk pusaran fanatisme. Tapi kehadiran فِي دِينِكُمْ di akhir frasa mengembalikan semua ke poros, ke "dinikum" — ke jalan agama yang mestinya tenang, jernih, dan seimbang.
Dari sisi gelombang, ayat ini bukan nada tinggi yang membentak, tapi semacam getaran rendah yang merambat pelan ke dalam hati. Ia mengajak, bukan memaksa. Ia memperingatkan, bukan menghukum. Dan inilah keunikan gaya ilahi dalam Al-Qur'an : ketika memperbaiki penyimpangan, Ia tidak langsung memukul akibatnya (Trinitas), tetapi mengajak untuk menyadari sebab terdalamnya (ghuluw).
Jika pemahaman ini diresapi, maka tafsir terhadap Trinitas pun tidak lagi dibaca dalam semangat konflik, tapi dalam semangat penyembuhan ruhani : bukan hanya melihat kesalahan, tapi mengajak kembali kepada keseimbangan.
Maka " la taghluu fi diinikum " bukan hanya ayat ; ia adalah obat jiwa, ia adalah embun yang membasahi cinta, agar cinta kepada Isa tidak membubung liar, tapi kembali bersujud bersama ruhnya yang lembut kepada Tuhan yang Esa.
Bagian V : Isa dan Doa yang Membuka Rahmat
Ada satu ayat yang menjadi sumur mata air kasih dalam Al-Qur’an — begitu jernih, dalam, dan menyejukkan :
Doa Isa yang tak memusuhi, tapi memohonkan ampun bagi umatnya, meski mereka telah berlebihan dalam mencintainya.
إِن تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ ۖ وَإِن تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
"Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu; dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS Al-Ma’idah : 118)
Ayat ini tak berbicara tentang doktrin. Ia berbicara tentang kasih. Isa tidak mengutuk umatnya, bahkan ketika mereka menyelewengkan ajarannya. Ia tidak menjadi musuh bagi mereka yang memanggil namanya dengan berlebihan. Isa tetap menjadi "Ruhullah" — bukan hanya dalam tataran nama, tapi dalam kedalaman rasa : ia tetap berdoa, ia tetap memohonkan rahmat.
Doa ini adalah jembatan cinta, bukan hanya antara Isa dan umatnya, tapi juga antara langit dan bumi — antara yang disucikan dan yang tersesat. Ayat ini menjadi pelajaran bahwa Tauhid tidak pernah bertentangan dengan rahmat. Bahwa kembali kepada Yang Esa bukanlah kembali kepada cambuk, tapi kembali kepada pelukan yang menunggu sejak lama.
Dalam perspektif para arif billah, seperti yang diajarkan oleh Abdul Karim al-Jilli dalam al-Insan al-Kamil, kita menemukan pemahaman yang sangat menggetarkan :
"Orang-orang Nasrani, meski telah tergelincir ke dalam bentuk syirik melalui Trinitas, tidak ditutup aksesnya pada rahmat Ilahi. Mereka, setelah melewati proses penyucian dan penyadaran ruhani, akan tetap dibimbing kepada cahaya kebenaran — dan kelak akan masuk ke dalam rahmat-Nya, sebagaimana kaum Muslimin yang berdosa juga tidak langsung dihukum kekal, tetapi dibersihkan dan dikembalikan".
Rahmat Allah tidak dikurung oleh bendera, tidak terpenjara dalam dogma. Isa tahu itu. Maka ia tak memaksa Tuhan untuk menghukum. Ia serahkan semuanya kepada Kebijaksanaan dan Keperkasaan Tuhan. Dan inilah puncak dari taslim (penyerahan) seorang Nabi : ia tidak menuntut, ia hanya berharap — dan harapannya dibungkus kasih.
Dari sini kita belajar : bahwa Tauhid bukan cambuk, bukan dogma untuk saling mengafirkan. Tauhid adalah jalan pulang — jalan kembali yang penuh cahaya dan rindu. Bagi mereka yang telah salah langkah, Tauhid tetap menawarkan pelukan. Sebab Tuhan yang Esa adalah juga Tuhan Yang Maha Penyayang, Maha Menanti, dan Maha Memaafkan.
Bagian VI : Firman yang Digadaikan dan Jalan Pembebasannya
Kita kembali ke ayat yang menjadi pintu awal dan sekarang menjadi gerbang pulang — sebuah ayat yang membongkar luka sejarah dan mengingatkan ruhani yang waspada :
فَوَيْلٌ لِّلَّذِينَ يَكْتُبُونَ ٱلْكِتَٰبَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَٰذَا مِنْ عِندِ ٱللَّهِ لِيَشْتَرُوا۟ بِهِۦ ثَمَنًۭا قَلِيلًۭا ۖ
“Maka celakalah bagi mereka yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu mengatakan: ‘Ini dari Allah,’ untuk memperoleh keuntungan yang sedikit.” (QS Al-Baqarah : 79)
Ayat ini tidak sekadar menyingkap kepalsuan; ia mengajak kita menyadari bahwa ada firman yang pernah digadaikan. Bahwa wahyu-wahyu yang turun dari langit dengan kesucian telah dicampuradukkan dengan strategi dunia. Bahwa dalam sejarah, ada saat-saat ketika kebenaran harus berkompromi demi stabilitas kekuasaan, sebagaimana terjadi dalam Konsili Nicea.
Namun Al-Qur’an tidak datang untuk memutus seluruh yang lampau. Ia datang untuk menyambung, untuk membetulkan yang melenceng tanpa merobohkan seluruh warisan. Ia datang bukan untuk mencaci umat Isa, tapi untuk menyempurnakan jalan Isa, dan menuntun pengikutnya yang sejati agar kembali kepada tauhid yang murni, sebagaimana Isa sendiri mengajarkannya.
وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ بِٱلْحَقِّ مُصَدِّقًۭا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ ٱلْكِتَٰبِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ
“Dan Kami turunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dengan membawa kebenaran, membenarkan kitab-kitab sebelumnya, dan menjadi penjaga atasnya...” (QS Al-Ma’idah : 48)
Al-Qur’an adalah penjaga firman yang pernah diselewengkan. Ia datang bukan hanya untuk kaum Muslimin, tapi untuk seluruh umat manusia yang ingin kembali kepada cahaya wahyu. Ia memanggil dengan suara lembut, bukan amarah. Ia mengulurkan tangan kepada siapa pun yang ingin menegakkan kembali firman yang telah digadaikan oleh sejarah.
Seruan ini khususnya ditujukan kepada para pengikut Isa sejati — yang hatinya masih tersisa cinta murni kepada Sang Nabi, dan belum sepenuhnya tertelan oleh dogma-dogma buatan konsili. Bagi mereka, Tauhid bukan pengingkaran atas Isa, tapi pembelaan terhadap jati diri Isa yang sesungguhnya. Kembali ke tauhid bukan berarti meninggalkan Yesus, tetapi justru menghormatinya sebagaimana ia ingin dihormati : sebagai utusan Tuhan, bukan sebagai Tuhan.
Penutup : Dari Sejarah yang Ternoda ke Nur yang Terjaga
Sejarah bisa ditulis oleh pemenang. Tapi ruh tak bisa dibohongi.
Konsili boleh mencatat satu versi. Kaisar boleh memaksakan satu dogma. Gereja boleh menyimpan dokumen dengan tanda tangan ketakutan. Tapi hati manusia yang jujur selalu tahu : ada firman yang pernah dikhianati.
Dan firman itu belum mati. Ia hidup, bergetar dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Ia menanti untuk dibebaskan — bukan oleh kekuasaan, tapi oleh jiwa-jiwa yang tulus, oleh cinta yang jernih, oleh kesadaran yang ikhlas.
Mereka yang mau mendengar suara Isa yang sesungguhnya, akan menemukannya — bukan di altar-altar emas, tapi dalam sujud yang tenang, dalam Tauhid yang penuh cahaya, dalam kalimat yang tunggal dan tak terpecah : La ilaha illa Allah.
Semoga tulisan ini bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar