Mang Anas
Dalam tradisi tasawuf dan kajian ilmu hakikat, setiap ayat Al-Qur’an memiliki lapisan makna yang lebih dalam dari sekadar pemahaman zahir. Salah satu pendekatan menarik adalah melihat hubungan antara Surat Al-Ikhlas dan Surat Al-Fatihah. Jika ditinjau secara esoteris, Al-Ikhlas merupakan serangkaian pertanyaan tentang hakikat Tuhan, sementara Al-Fatihah adalah jawaban yang mengungkap hubungan Tuhan dengan makhluk-Nya.
Hubungan ini tidak hanya bersifat konseptual, tetapi juga mencerminkan perjalanan spiritual manusia dalam memahami eksistensi Tuhan, dari kesadaran akan keesaan-Nya (tauhid murni) hingga penyerahan dirinya dalam pengabdian dan bimbingan-Nya.
1. Martabat Ahadiyah (Tuhan sebagai Realitas Mutlak)
Pertanyaan (Al-Ikhlas) : قُلْ هُوَ → Siapakah Dia ?
Dzat-Insan menjawab (Al-Fatihah) : اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ → Dialah Dzat Tuhan yang hanya kepada-Nya segala pujian aku persembahkan.
Dalam martabat Ahadiyah, Tuhan berada dalam kesendirian mutlak, tidak terjangkau oleh makhluk. Oleh karena itu, pertanyaan pertama muncul : Siapakah Dia ? Al-Fatihah menjawab bahwa Dia adalah sumber segala pujian, karena segala sesuatu berasal dari-Nya dan kembali kepada-Nya.
2. Martabat Wahdah (Tuhan dalam Keunikan-Nya)
Pertanyaan (Al-Ikhlas) : ٱللَّهُ أَحَدٌ → Siapakah Allah yang Ahad ?
Nur-Insan menjawab (Al-Fatihah) : رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ → Dialah Rabb-ku, Tuhan semesta alam.
Tuhan dalam martabat Ahad adalah satu tanpa sekutu, tidak tersusun, dan tidak terbagi. Namun, bagaimana manusia mengenali-Nya ? Al-Fatihah menjawab bahwa Dia adalah Rabbul ‘Alamin, Sang Pengatur dan Pemelihara seluruh alam semesta. Keunikan-Nya tampak dalam peran-Nya sebagai pemelihara semua ciptaan.
3. Martabat Wahidiyah (Tuhan sebagai Sumber Segala Keberadaan)
Pertanyaan (Al-Ikhlas) : ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ → Siapakah As-Shamad (yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu) ?
Sirr-Insan menjawab (Al-Fatihah) : الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ → Dialah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Penguasa Hari Pembalasan.
As-Shamad berarti Tuhan tidak membutuhkan apa pun, sementara semua makhluk membutuhkan-Nya. Jawaban dari Al-Fatihah adalah bahwa Tuhan menampakkan kasih-Nya melalui rahmat-Nya, tetapi juga menegaskan keadilan-Nya sebagai Penguasa Hari Pembalasan. Ini menunjukkan bahwa segala sesuatu kembali kepada Tuhan, baik dalam kasih maupun dalam pertanggungjawaban.
4. Martabat Ruh (Kesadaran Makhluk terhadap Tuhan)
Pertanyaan (Al-Ikhlas) : لَمْ يَلِدْ → Siapakah yang tidak beranak ?
Ruh-Insan menjawab (Al-Fatihah) : اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ → Dialah satu-satunya yang aku sembah, dan yang hanya kepada-Nya aku meminta pertolongan.
Tuhan tidak memiliki keturunan atau pewaris, karena eksistensi-Nya tidak terbatas oleh waktu atau hubungan biologis. Al-Fatihah menjawab bahwa karena Tuhan mutlak tanpa ketergantungan, maka hanya kepada-Nya ibadah dan permohonan dipersembahkan.
5. Martabat Mitsal (Tuhan sebagai Pemberi Petunjuk)
Pertanyaan (Al-Ikhlas) : وَلَمْ يُولَدْ → Siapakah yang tidak diperanakkan ?
Jiwa-Insan menjawab (Al-Fatihah) : اِهْدِنَا الصِّرَا طَ الْمُسْتَقِيْمَ → Dialah yang membimbing-ku dan yang membimbing orang-orang yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.
Ketidakterciptaan Tuhan menegaskan bahwa Dia ada tanpa sebab dan tidak berasal dari sesuatu sebelumnya. Oleh karena itu, bagaimana makhluk mengenal-Nya ? Al-Fatihah menjawab bahwa Tuhan sendiri yang memberikan petunjuk kepada jalan lurus bagi mereka yang mencari-Nya.
6. Martabat Ajsam (Manifestasi Kehendak Tuhan dalam Kehidupan Makhluk)
Pertanyaan (Al-Ikhlas) : وَلَمْ يَكُن لَّهُ → Siapakah Dia yang tidak ada satu pun yang setara dengan-Nya ?
Akal-Insan menjawab (Al-Fatihah) : صِرَا طَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ → Dialah yang memberi nikmat kepada-ku dan kepada orang-orang yang Dia kehendaki.
Tuhan tidak bisa dibandingkan dengan makhluk-Nya. Namun, bagaimana manifestasi kehendak-Nya terlihat dalam kehidupan ? Al-Fatihah menjawab bahwa Tuhan memberikan nikmat-Nya kepada orang-orang yang Dia kehendaki, yaitu mereka yang berjalan di atas jalan lurus.
7. Martabat Insan Kamil (Kesempurnaan dalam Penyaksian Tuhan)
Pertanyaan (Al-Ikhlas) : كُفُوًا أَحَدٌ → Siapakah Dia yang tidak ada satu pun yang bisa disetarakan dengan-Nya ?
Jasad-Insan menjawab (Al-Fatihah) : غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّآلِّيْنَ → Dialah yang menentukan siapa yang berada dalam petunjuk dan siapa yang tersesat.
Insan Kamil adalah manusia yang telah mencapai kesempurnaan makrifat, menyadari bahwa Tuhan tidak memiliki tandingan dan perbandingan. Oleh karena itu, Tuhan yang menentukan siapa yang tetap dalam petunjuk dan siapa yang tersesat.
Kesimpulan : Menyatukan Pertanyaan dan Jawaban
1. Al-Ikhlas menegaskan tauhid dengan menjelaskan hakikat Tuhan secara mutlak.
2. Al-Fatihah menjawab dengan menjelaskan bagaimana Tuhan berinteraksi dengan makhluk-Nya dalam kehidupan dan akhirat.
3. Martabat dari Ahadiyah hingga Insan Kamil menunjukkan perjalanan manusia dalam mengenali Tuhan, dari pengenalan metafisik hingga pengamalan dalam kehidupan.
Dengan memahami hubungan antara kedua surat ini, kita menyadari bahwa pengenalan terhadap Tuhan bukan hanya teori teologis, tetapi juga perjalanan spiritual yang membutuhkan pemahaman, ibadah, dan bimbingan langsung dari-Nya.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar