Halaman

Sabtu, 01 Maret 2025

Jejak Sejarah Perjalanan Millah Ibrahim dalam Surat Al-Fatihah

Mang Anas 

Surat Al-Fatihah bukan sekadar doa pembuka dalam Al-Qur'an, tetapi juga peta perjalanan spiritual yang telah ditempuh umat manusia sejak era Nabi Ibrahim. Di dalamnya terkandung jejak sejarah perjalanan keagamaan yang berkembang dari masa ke masa, hingga akhirnya mencapai kesempurnaannya dalam Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Jika ditelaah lebih dalam, Al-Fatihah mencerminkan dinamika dua jalur spiritual utama—jalur syariat dan jalur hakikat—yang pernah berkembang dalam sejarah Millah Ibrahim.

A. Blue Print Takdir Perjalanan Millah Ibrahim 

1. "Alhamdulillah Rabbil Alamin" : Cahaya Nur Muhammad dalam Diri Ibrahim

"Alhamdu" dalam ayat ini melambangkan Nur Muhammad, esensi ilahiah yang Allah percikkan dalam diri Nabi Ibrahim. Cahaya ini menjadi benih dari semua ajaran tauhid [ Millah Ibrahim ] yang berkembang setelahnya. Cahaya tersebut dikemudian hari bercabang menjadi dua aspek utama : syariat dan hakikat.

2. "Ar-Rahman" : Cahaya Syariat dalam Taurat dan Manifestasinya 

Ar-Rahman menggambarkan jalur syariat [ aturan formal ], yang terwujud dalam kitab Taurat dan termanifestasi dalam diri umat Yahudi [umat nabi Musa]. Syariat ini kemudian diperkuat dan dimurnikan kembali di masa Nabi Yahya. Jalur ini lebih menekankan hukum-hukum ketat dan kepatuhan fisik kepada aturan Tuhan.

3. "Ar-Rahim" : Cahaya Hakikat dalam Zabur dan Injil

Sementara itu, Ar-Rahim melambangkan jalur hakikat [ logika dibalik syariat ], yang tercermin dalam kitab Zabur yang dibawa Nabi Daud dan Injil yang disampaikan oleh Nabi Isa Al-Masih. Jalur ini menekankan keindahan batiniah dan perjalanan menuju Tuhan melalui pendekatan kasih sayang dan kelembutan.

4. "Malikiyaumiddin" : Titik Penyatuan Millah Ibrahim dalam Islam

Pada akhirnya, kedua jalur ini bertemu kembali dalam Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad, di mana syariat dan hakikat tidak lagi terpisah. Inilah karakteristik cahaya agama Ibrahim yang utuh, sebagaimana "Alhamdu" yang diterima Ibrahim, kini disempurnakan dalam ajaran Al-Qur'an.

Dengan demikian kalau kita telaah lebih lanjut, konteks ayat dari mulai ayat satu [ Alhamdulillahi rabbil alamin ] hingga ayat ketiga [ malikiyaumiddin ] itu sebenarnya "blue-print takdir" yang ditetapkan Allah untuk skenario sejarah perjalanan Millah Ibrahim.

Dan adapun ayat ayat setelahnya [ ayat keempat dan seterusnya ] adalah merupakan manifestasinya dalam dunia nyata, dengan beberapa aktor sejarah mulai dari nabi Musa AS [ Taurat ] - nabi Daud AS [ Zabur  ] - Nabi Yahya AS [ yang menegasan kembali esensi ajaran Taurat ] - Nabi Isa Al Masih AS [ Injil ] hingga aktor penutupnya Nabi Muhammad Saw [ Al-Qur'an ], nabi akhir zaman. 

Itulah makna tersirat dari surat Al Fatihah yang tidak banyak disadari orang. Bahkan oleh kebanyakan ulama Islam. 

B. Manifestasi Blue-Print Takdir Millah Ibrahim 

5. "Iyyaka Na'budu" : Jalan Syariat (Rute Ar-Rahman)

Jalur ini menuntut kepatuhan manusia terhadap hukum formal yang ketat, sebagaimana yang tampak dalam ajaran Musa dan yang kemudian ditegaskan kembali oleh Yahya. Pendekatannya adalah "khauf"—takut kepada Tuhan sebagai motivasi utama dalam ibadah dan kepatuhan.

6. "Wa Iyyaka Nasta'in" : Jalan Hakikat (Rute Ar-Rahim)

Sebaliknya, jalan ini lebih menitikberatkan pada penyucian batin dan penyempurnaan diri dari dalam. Pendekatan ini lebih ditekankan pada Zabur [ kitab Nabi Daud ] dan yang kemudian diperjelas pada Injil [ kitab Nabi Isa Al Masih ].

Metode ini lebih dekat dengan pendekatan "roja"—kerinduan dan cinta kepada Tuhan sebagai penggerak utama dalam perjalanan spiritual.

7. "Ihdinas-Siratal-Mustaqim" : Mencari Keseimbangan dalam Spiritualitas

Setiap pejalan spiritual, baik yang menempuh jalur syariat [ Jalur yang ditempuh Musa dan Yahya ] maupun hakikat [ jalur yang ditempuh Daud dan Isa ], pada akhirnya harus mendapatkan titik keseimbangannya,  agar ia bisa lebih cepat dan lebih efisien dalam mencapai kesempurnaan dirinya. Jadi kalimat "Ihdinas-Siratal-Mustaqim"  Ini pada dasarnya adalah permohonan untuk segera bisa menemukan harmoni antara aspek lahir dan batin dalam beragama.

8. "Siratal-Ladzina An'amta Alaihim" : Kesempurnaan Islam sebagai jawabannya. 

Pada ayat ini kita menemukan bahwa sejarah kenabian itu berjalan dalam pola yang berulang. Sejak Ibrahim, risalah Allah bercabang ke dua jalur :

• Jalur Syariat (الرحمن) melalui Musa, diperkuat oleh Yahya, dan membentuk fondasi agama Yahudi.

• Jalur Hakikat (الرحيم) melalui Daud dan Isa, yang membawa dimensi spiritual dan kasih sayang dalam agama Nasrani.

Namun, dua jalur ini masih belum mencapai titik kesempurnaan, hingga datangnya Muhammad, yang menyatukan الرحمن dan الرحيم serta "Iyyaka Na'budu" dengan "Iyyaka Nasta'in" dalam satu risalah yang utuh.

Di sinilah letak perbedaan fundamental Islam dengan agama sebelumnya. Jika agama-agama terdahulu hanya mengusung salah satu aspek—Syariat atau Hakikat—maka Islam datang sebagai penyempurna, mengharmoniskan keduanya dalam keseimbangan. 

Dalam skenario Allah SWT Jalan kesempurnaan itu dipikulkannya diatas pundak Nabi Muhammad Saw, ditangannya syariat dan hakikat akhirnya tidak lagi terpisah tetapi saling melengkapi. Dialah yang menggenapi ajaran Ibrahim dan menjadi penutup serta penyempurna semua jalan sebelumnya.

"Itulah hakikat makna dari kalimat اِيَّاكَ نَعْبُدُ yang terhubung dengan اِيَّاكَ نَسْتَعِيْن melalui huruf و sebagai penyambung—sebagai perwujudan dari الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ yang justru tidak memiliki huruf penyambung و."

Jika Peta Perjalanan Ini Dipolakan Sejak Awal, Maka Kisahnya Akan Tampak Seperti Berikut :

Segala sesuatu bermula dari الْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ – hakikat pujian yang merupakan percikan Nur Muhammad dalam setiap diri.

الْحَمْدُ kemudian bermanifestasi dalam dua jalur takdir: الرَّحْمٰنِ (maqom kasbi) dan الرَّحِيْمِ (maqom tajrid).

Dari kantong takdir الرَّحْمٰنِ, lahirlah rute perjalanan اِيَّاكَ نَعْبُدُ (jalan syariat), sedangkan dari kantong takdir الرَّحِيْمِ, lahirlah rute perjalanan اِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (jalan hakikat).

Mereka yang menempuh perjalanan hanya dengan اِيَّاكَ نَعْبُدُ tanpa اِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ—dengan kata lain, yang berpegang pada syariat tanpa menyertakan hakikat—akan menemukan realitas yang membingungkan, sebagaimana digambarkan dalam اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ.
Sebaliknya, mereka yang menggabungkan keduanya—menyeimbangkan hakikat dan syariat—akan mencapai صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ.

Dengan demikian, mereka yang termasuk dalam golongan الْمَغْضُوْبِ adalah orang-orang yang terlalu kukuh berpegang pada aspek lahiriah syariat tanpa mengindahkan hakikatnya. Contohnya adalah kaum Yahudi yang menolak kehadiran Isa Al-Masih, yang datang membawa cahaya hakikat untuk menyempurnakan pemahaman mereka.

Kasus yang sama terjadi pada umat Nasrani, mereka kukuh berpegang hanya pada hakikat, dengan menolak hampir seluruhnya hukum Taurat. Seperti yang dinyatakan Tokoh terbesar dalam kekristenan, Paulus :

1. Roma 3:28

"Karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan karena iman, dan bukan karena melakukan hukum Taurat."

2. Galatia 2:16

"Kamu tahu, bahwa tidak seorang pun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Yesus Kristus."

4. Efesus 2:15

"Sebab dengan mati-Nya sebagai manusia, Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya."

Disitu jelas, Paulus menekankan bahwa keselamatan itu bukan diperoleh melalui pengamalan hukum Taurat, melainkan cukup hanya dengan iman kepada Yesus Kristus. Karena inilah maka mereka disebut الضَّاۤلِّيْنَ

9. "Ghairil Maghdubi Alaihim wa La Dhallin" : Jalan Keselamatan Universal

Dalam umat terdahulu, jalur spiritual sering kali menghasilkan kelompok yang terpisah-pisah, seperti :

• Solihin dan Syuhada : Mereka yang menempuh jalur syariat dengan kerja keras dan kepatuhan.

• Siddiqin dan Ambiya : Mereka yang menempuh jalur hakikat dengan pengalaman ruhani yang mendalam.

Namun, dalam Islam yang dibawa Nabi Muhammad, keempat golongan ini diharapkan dapat hadir bersama dalam dunia nyata dalam satu kesatuan. Bukan hanya satu sisi yang berkembang, melainkan keseluruhan aspek agama yang menyatu dalam keseimbangan.

C. Misteri Tersembunyinya Huruf و Pada Kata "Ar Rahman - Ar Rahim" dan kemunculanya pada Kalimat " Iyyaka Nabudu Waiiyaka Nastain " 

Salah satu misteri dalam struktur ayat pertama Al-Qur’an adalah tidak adanya huruf “و” sebagai penghubung antara الرحمن dan الرحيم.

Jawabannya adalah karena sang penghubung masih dirahasiakan.

Dalam sejarah, sebelum Muhammad diutus, tidak ada tokoh yang benar-benar mampu menyatukan Syariat dan Hakikat dalam satu kesatuan yang utuh. Itulah sebabnya, Al-Qur'an membuka narasinya tanpa penghubung di antara الرحمن dan الرحيم, karena penyatuannya baru terjadi nanti setelah Muhammad datang.

Dalam konteks ini, Muhammad adalah Sang Penghubung itu sendiri. Ia adalah "و" yang sebelum masanya tiba namanya belum bisa dimunculkan dalam sejarah manusia.

D. Nama " Muhammad " Bukan Nama Yang Muncul Kebetulan

Jika Musa dan Yahya melambangkan aspek الرحمن [ Ar -Rahman  ] dan Daud serta Isa melambangkan aspek الرحيم [ Ar-Rahim ], maka Muhammad adalah manifestasi dari "ملك" [ Malik ]  yang mengatur keseimbangan keduanya.

Tidak seperti Musa dan Isa yang datang dengan satu aspek dominan, Muhammad hadir sebagai pemegang keseimbangan antara hukum dan kasih sayang.

Nama "محمد" [ Muhammad ] sendiri berasal dari akar kata "الحمد " [ Alhamdu ], yang mengacu pada sumber pujian yang sempurna. Ini kembali menghubungkan kepada Ibrahim [ esensi dari "Alhamdu" yang lebih awal ] sebagai asal mula semua risalah besar.

Dengan kata lain, Muhammad adalah puncak skenario Tuhan yang menyatukan kembali dua jalur yang sempat terpisah dalam sejarah.

Nama Muhammad sendiri bukanlah nama yang muncul secara kebetulan,  nama itu muncul ke dunia adalah karena sudah menjadi setting ilahiah. Esensi Nama itu sudah termaktub sebelumnya dalam kalimat "Alhamdulillah" sebagai esensi blue-print Millah Ibrahim [ agama rabbil alamin ], maka pemberian nama Muhammad bin Abdullah bukanlah kebetulan, itu adalah nama terpenting, dan yang kemudian terbukti sentral dalam sejarah. Penerus paling berhasil dari seluruh rangkaian perjalanan sejarah Millah Ibrahim, dengan bangunan suci Ka'bah sebagai bukti warisan, dan tanda monumen peninggalanya.  

وَاِذْ قَالَ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ يٰبَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اِنِّيْ رَسُوْلُ اللّٰهِ اِلَيْكُمْ مُّصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرٰىةِ وَمُبَشِّرًاۢ بِرَسُوْلٍ يَّأْتِيْ مِنْۢ بَعْدِى اسْمُهٗٓ اَحْمَدُۗ فَلَمَّا جَاۤءَهُمْ بِالْبَيِّنٰتِ قَالُوْا هٰذَا سِحْرٌ مُّبِيْنٌ (٦)

"Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata, “Wahai Bani Israil! Sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu, yang membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan seorang Rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).” Namun ketika Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, “Ini adalah sihir yang nyata.” (Q.S. As-Saff ayat 6)

Kesimpulan

Surat Al-Fatihah adalah refleksi dari perjalanan spiritual manusia sejak zaman Nabi Ibrahim hingga kesempurnaannya dalam Islam. 

Dari seluruh perjalanan sejarah ini, kita dapat menyimpulkan bahwa Islam bukanlah agama baru, tetapi jawaban atas ketimpangan sejarah peradaban manusia.

Islam mengembalikan keseimbangan antara Syariat dan Hakikat.

Islam menyatukan dua jalur wahyu yang sebelumnya terpisah.

Islam hadir bukan sebagai penghapus agama sebelumnya, tetapi sebagai penyempurna yang menutup siklus sejarah kenabian.

Inilah sebabnya mengapa Al-Qur’an disebut sebagai "hudan linnas" (petunjuk bagi seluruh manusia).

Bukan hanya bagi umat Islam, tetapi bagi seluruh peradaban yang mencari kebenaran.

Dengan memahami Al-Fatihah dalam perspektif ini, kita dapat melihat bagaimana Islam bukan sekadar kelanjutan dari tradisi sebelumnya, tetapi juga sebagai titik kulminasi dari seluruh perjalanan spiritual umat manusia.

Inilah Al Fatihah dalam makna tersiratnya, hal yang selama ini tidak pernah terpikirkan orang, dan yang belum pernah diwacanakan para ulama. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar