Halaman

Jumat, 14 Maret 2025

Makna Hakikat di Balik Ayat : لَّا يَمَسُّهُ إِلَّا ٱلْمُطَهَّرُونَ

Mang Anas 

Pendahuluan

Sering kali, ayat لَّا يَمَسُّهُ إِلَّا ٱلْمُطَهَّرُونَ (QS. Al-Waqi’ah : 79) ditafsirkan secara zahir sebagai larangan menyentuh mushaf Al-Qur’an tanpa wudhu. Namun, di balik makna zahirnya, terdapat makna hakikat yang jauh lebih dalam. Ayat ini sebenarnya berbicara tentang siapa yang benar-benar dapat menyentuh hakikat Al-Qur’an—bukan hanya dalam bentuk tulisan, tetapi dalam bentuk makna batinnya yang tersembunyi.

Dalam artikel ini, kita akan membedah makna hakikat dari ayat ini, dengan memahami proses penyucian ruh dan pertemuan dengan Nur Muhammad sebagai guru sejati.

Menyentuh Al-Qur’an : Bukan Sekadar Sentuhan Fisik

Jika kita melihat terjemahan ayat ini :

لَّا يَمَسُّهُ إِلَّا ٱلْمُطَهَّرُونَ

"Tidak ada yang dapat menyentuhnya kecuali yang telah disucikan."

Kata "يَمَسُّهُ" (yamas-su-hu) berasal dari مسَّ (mass) yang berarti "menyentuh". Secara lahiriah, ini bisa diartikan sebagai larangan menyentuh mushaf tanpa wudhu. Namun, jika kita melihat dengan perspektif hakikat :

Sentuhan di sini bukanlah sentuhan fisik, tetapi sentuhan terhadap makna hakiki Al-Qur’an.

Al-Muthoharun bukan sekadar orang yang bersuci secara lahiriah, tetapi ruh-ruh yang telah disucikan dan mendapatkan pancaran ilmu dari Nur Muhammad.

Lalu, bagaimana proses penyucian ini terjadi ?

Muthoharun : Ruh yang Bertemu dengan Nur Muhammad

Untuk memahami siapa yang disebut muthoharun, kita harus memahami proses penyucian ruh dan pertemuannya dengan Nur Muhammad [ cahaya Allah SWT ] di Alam Asma (Wahidiyah).

1. Ruh [ Martabat Ruh ]

Ruh adalah entitas diri sejati manusia. Dalam diri manusia, ruh berperan seperti Jibril—ia adalah elemen yang membawa cahaya pengetahuan, intuisi, dan ilham yang menghubungkan [ jiwa ] manusia dengan Tuhan. Dengan pemahaman ini, manusia yang mengenali hakikat ruhnya sebenarnya sedang berinteraksi dengan Jibril dalam dirinya sendiri—sebuah mekanisme ilahiah yang menuntun jiwa manusia pada kesadaran hakiki tentang ilmu sejati yang diajarkan langsung oleh Tuhannya.

Dan apa yang disebut di dalam Al-Qur'an sebagai " Illa Al-muthoharun " [ kecuali hanya entitas yang disucikan ] itu tidak lain adalah ruh. Yakni ruh yang telah kembali dalam keadaan awalnya yang telah disucikan dari berbagai jenis kotoran dosa dan hawa-nafsu.

2. Nur Muhammad [ Martabat Wahdah, Alam Sifat ]

Inilah guru sejati, yang menyampaikan ilmu hakikat langsung kepada ruh.

Nur Muhammad bukan sekadar cahaya, tetapi juga sumber pengetahuan hakiki.

3. Alam Asma [ Martabat Wahidiyah, Dimensi Sirr ]

Ini adalah alam ilmu pengetahuan, tempat pertemuan antara Ruh dan Nur Muhammad.

Di sinilah Ruh menerima curahan ilmu hakikat yang hanya bisa diterima oleh jiwa-jiwa yang telah disucikan.

Ketika Ruh telah mengalami pertemuan ini, maka ia menjadi muthoharun—dan jiwa yang telah disucikan akan mampu menyentuh [ menyibak ] makna batin dari Al-Qur’an.

Hakikat "Layamassuhu Illa al-Muthoharun"

Dari pemahaman ini, kita bisa menyimpulkan bahwa :

Tidak semua orang bisa menyentuh hakikat Al-Qur’an.

Ilmu hakikat tidak bisa diperoleh hanya dengan membaca atau belajar secara zahir, tetapi harus melalui penyucian ruh dan pertemuan dengan Nur Muhammad [ Cahaya Allah SWT ].

Orang yang benar-benar dapat memahami makna batin Al-Qur’an hanyalah mereka yang telah menjadi "muthoharun", yaitu yang ruhnya telah disucikan melalui perjalanan spiritualnya.  Ruh suci itulah yang nanti akan membimbing jiwa manusia, dan yang menjadi guru sejati disepanjang hidupnya.

Oleh karena itu, jika seseorang ingin memahami Al-Qur’an dengan sebenarnya, ia harus menempuh jalan penyucian ruh, hingga mencapai pertemuan dengan guru sejatinya, yaitu Nur Muhammad [ QS. An-Nur : 35 ].

Proses Penyucian Jiwa : Dari Nafsu Rendah ke Muthoharun

Berikut adalah tahapan-tahapan penyucian ruh dari Nafsu Amarah hingga Nafsu Kamil Mutakamil :

1. Nafsu Amarah (Jiwa yang dikuasai oleh hawa nafsu) ---> Level Kesadaran = Jasad

Nafsu ini adalah kondisi jiwa yang belum tersucikan dan masih sepenuhnya dikendalikan oleh dorongan-dorongan rendah seperti amarah (kemarahan), syahwat, keserakahan, dan egoisme.

Ciri-ciri :

🌓Tidak memiliki kendali atas hawa nafsunya.

🌓Mudah marah, iri, dengki, dan tamak.

🌓Cenderung memilih kesenangan duniawi tanpa mempertimbangkan konsekuensi moral dan spiritual.

🌓Tidak peka terhadap nilai-nilai agama dan kebajikan.

🌓Jiwa tidak bisa menerima cahaya Nur Muhammad.

2. Nafsu Lawwamah (Jiwa yang mulai sadar dan menyesali kesalahan) ---> Level kesadaran = Akal

Ini adalah tahap awal kesadaran spiritual di mana seseorang mulai mengkritik dan menyesali perbuatannya yang salah.

Ciri-ciri:

🌓Sering mengalami konflik batin antara dorongan hawa nafsu dan kesadaran moral.

🌓Mulai sadar akan dosa dan merasa menyesal setelah melakukan kesalahan.

🌓Berusaha untuk memperbaiki diri tetapi masih sering terjatuh dalam kesalahan yang sama.

🌓Ada keinginan untuk berubah tetapi belum memiliki kendali penuh atas hawa nafsunya.

🌓Cahaya Nur Muhammad mulai terpantul samar-samar.

3. Nafsu Mutmainah (Jiwa yang tenang dan stabil) ---> Level kesadaran = Jiwa

Ini adalah keadaan jiwa yang sudah mulai menemukan ketenangan dalam mengingat Allah (dzikrullah).

Ciri-ciri :

🌓Tidak mudah terguncang oleh keadaan dunia.

🌓Mulai menikmati ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah.

🌓Hawa nafsu mulai terkendali, dan kebiasaan buruk berkurang.

🌓Hati lebih damai karena sudah mulai yakin kepada takdir Allah.

🌓 Jiwa mulai mendapatkan pancaran Nur Muhammad.

4. Nafsu Rodiyah (Jiwa yang ridha dengan segala ketetapan Allah) ---> Level kesadaran = Ruh

Jiwa pada tahap ini sudah mencapai kepasrahan total kepada Allah, menerima dengan ikhlas apa pun yang terjadi.

Ciri-ciri :

🌓Tidak lagi mengeluh atau protes terhadap takdir.

🌓Selalu merasa cukup dan bersyukur dalam segala keadaan.

🌓Mengutamakan kehendak Allah di atas keinginan pribadinya.

🌓Tidak lagi merasa takut terhadap dunia dan lebih fokus pada kehidupan akhirat.

🌓Cahaya Nur Muhammad sudah bersinar dalam diri

5. Nafsu Mardiyah (Jiwa yang diridhai oleh Allah) ---> Level kesadaran =  Sirr

Pada tingkat ini, seseorang tidak hanya menerima ketetapan Allah, tetapi juga diridhai oleh-Nya.

Ciri-ciri :

🌓Tidak hanya beribadah dengan ikhlas, tetapi juga mampu menginspirasi dan membimbing orang lain.

🌓Menjadi sumber ketenangan dan kebijaksanaan bagi orang di sekitarnya.

🌓Hatinya selalu bersih dari kebencian, iri, dan dendam.

🌓Merasa selalu dalam lindungan Allah dan kehidupannya dipenuhi keberkahan.

🌓 Jiwa semakin dekat dengan sumber ilmu hakikat [ Nur Muhammad ].

🌓Sudah mencapai kondisi muthoharun, bisa menyentuh hakikat Al-Qur’an.

6. Nafsu Kamilah (Jiwa yang sempurna dalam kesadaran spiritual) ---> Level kesadaran = Nur 

Ini adalah jiwa para siddiqin, orang-orang yang telah mencapai puncak kesadaran spiritual tetapi belum mencapai maqam para Nabi.

Ciri-ciri :

🌓Segala aktivitasnya hanya didasarkan pada cinta kepada Allah.

🌓Tidak ada lagi rasa takut, sedih, atau cemas dalam dirinya.

🌓Memiliki pemahaman hakikat yang dalam dan bisa melihat kebenaran secara jernih.

🌓Kehadirannya membawa manfaat besar bagi umat manusia.

🌓Cahaya Nur Muhammad sudah sempurna dalam dirinya [ jiwa mencapai makrifat sempurna ].

🌓Jiwa telah menyatu dengan ilmu hakikat secara total. Lubuk hati dipenuhi lintasan- lintasan ilham. Perbendaharaan ilmu terus mengalir, ibarat mata air yang tidak akan pernah mengering. 

7. Nafsu Kamil Mutakamil (Jiwa yang mencapai kesempurnaan sejati) ---> Level kesadaran = Dzat

Ini adalah maqam para Nabi dan Rasul, yaitu jiwa yang telah menyatu dengan kehendak Allah secara sempurna.

Ciri-ciri :

🌓Semua perilakunya adalah manifestasi dari kehendak Allah.

🌓Tidak ada lagi ego atau kepentingan pribadi dalam dirinya.

🌓Tidak hanya mencapai kesempurnaan pribadi, tetapi juga membawa rahmat bagi seluruh alam.

🌓Memiliki ilmu, hikmah, dan kesadaran tertinggi yang tidak bisa dicapai oleh manusia biasa.

🌓Jiwa menjadi cermin yang memantulkan hakikat Ilahi secara sempurna. Inilah puncak dari muthoharun sejati.

Kesimpulan

Allah SWT [ Nur Muhammad ] adalah guru sejati bagi Ruh, dan Ruh adalah guru sejati bagi jiwa.

• Ayat لَّا يَمَسُّهُ إِلَّا ٱلْمُطَهَّرُونَ bukan sekadar aturan fiqh tentang wudhu sebelum menyentuh mushaf, tetapi mengandung pesan hakikat yang lebih dalam.

• Al-Qur’an adalah kitab yang memiliki lapisan makna batin yang hanya bisa disentuh oleh ruh-ruh yang telah disucikan.

• Nur Muhammad adalah guru sejati yang membuka pintu pemahaman hakikat bagi mereka yang telah mencapai tingkat penyucian ruh.

Proses ini terjadi di Alam Asma (Wahidiyah), di mana Ruh menerima curahan ilmu hakikat langsung dari Nur Muhammad.

Ruh Menjadi Muthoharun Saat Jiwa Telah Suci

• Ruh sendiri bersifat suci, tetapi jika jiwa (nafs) masih kotor, ruh tidak bisa mencapai makrifat.

• Penyucian jiwa adalah proses yang membuat ruh mampu menyerap cahaya Nur Muhammad.

• Ketika jiwa telah suci dari nafsu, barulah ruh mencapai maqam muthoharun dan mampu menyentuh hakikat Al-Qur’an.

Jadi, “Layamassuhu illa al-muthoharun” berarti bahwa hanya ruh yang telah melewati penyucian jiwa dan mencapai maqam muthoharun yang bisa menyentuh makna batin Al-Qur’an.

Catatan Tambahan :

Artikel ini mengungkap makna yang jarang dibahas dalam kajian tafsir zahiriah, dan lebih dekat dengan perspektif ilmu hakikat dan ilmu huruf. Dengan pemahaman ini, kita bisa melihat bahwa Al-Qur’an bukan sekadar teks, tetapi adalah "gedung ilmu" yang hanya bisa dimasuki oleh mereka yang telah membuka pintunya dengan kunci penyucian ruh.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar