Halaman

Sabtu, 22 Februari 2025

Alur Wahyu dalam Perspektif Martabat Tujuh

Mang Anas 

Wahyu adalah komunikasi Ilahi yang diturunkan kepada manusia melalui rasul pilihan-Nya. Dalam perspektif Martabat Tujuh, wahyu mengalami tahapan bertingkat, dari sesuatu yang berada dalam Ilmu Allah hingga menjadi kitab yang bisa dibaca oleh manusia. Proses ini mengikuti aturan metafisika penciptaan, di mana segala sesuatu berasal dari yang mutlak (Ahadiyah - Wahdah - Wahidiyah) lalu turun ke yang konkret (Ruh - Mitsal -Ajsam), dan dari situ lalu terbentuklah Insanul Kamil sebagai pengejawantahannya.

Dalam artikel ini, kita akan membedah alur wahyu berdasarkan Martabat Tujuh, yang mencerminkan sistematika ilahi dalam penyampaian kebenaran kepada manusia.

1. Martabat Wahidiyah – Ilmu Allah

Pada tahap pertama, wahyu masih berada dalam ilmu Allah yang mutlak, belum diungkapkan kepada siapa pun, bahkan kepada malaikat. Dalam QS. Yunus (10 : 38) Allah menegaskan :

> “Sekiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, niscaya mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya.”

Ayat ini menegaskan bahwa Al-Qur’an bersumber dari ilmu Allah yang sempurna, bukan hasil rekayasa manusia. Wahyu di tahap ini masih berada dalam dimensi kesempurnaan Ilahi, di mana segala sesuatu sudah diketahui oleh Allah tetapi belum diungkapkan.

🔹 Hakikat pada tahap ini : Wahyu masih dalam bentuk ilmu murni, belum diwujudkan dalam bentuk kata-kata atau konsep yang bisa dipahami makhluk.

2. Martabat Ruh – Diturunkan oleh Jibril

Ketika Allah hendak menyampaikan wahyu kepada manusia, ilmu-Nya turun ke dalam alam ruh, yaitu dimensi malaikat. Dalam QS. Asy-Syura (42:52) disebutkan :

> “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh (Al-Qur’an) dari perintah Kami. Sebelumnya engkau tidak mengetahui apa itu kitab dan iman, tetapi Kami menjadikannya cahaya, yang dengannya Kami memberi petunjuk kepada siapa yang Kami kehendaki.”

Pada tahap ini, wahyu berubah dari ilmu murni menjadi “ruh” yang dibawa oleh Malaikat Jibril. Istilah "ruh" dalam ayat ini menunjukkan bahwa wahyu adalah sesuatu yang menghidupkan dan menyinari hati manusia.

🔹 Hakikat pada tahap ini : Wahyu mulai bergerak dari dimensi ketuhanan menuju dimensi makhluk, tetapi masih bersifat gaib dan belum berbentuk kata-kata.

3. Martabat Mitsal [ Jiwa ] – Diterima oleh Hati Nabi Muhammad

Setelah wahyu turun ke alam malaikat, ia kemudian dimasukkan ke dalam hati Nabi Muhammad SAW. Dalam QS. Asy-Syu’ara (26:193-194) disebutkan:

> “Dibawa turun oleh Ruhul Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad), agar engkau menjadi salah seorang pemberi peringatan.”

Tahap ini sangat penting karena menunjukkan bahwa wahyu diterima terlebih dahulu oleh jiwa Nabi sebelum diucapkan sebagai lafaz. Nabi Muhammad SAW menerima wahyu dalam bentuk pemahaman spiritual, belum diungkapkan dalam bentuk kata-kata.

🔹 Hakikat pada tahap ini : Wahyu sudah masuk dalam kesadaran Rasulullah, tetapi masih dalam bentuk pemahaman maknawi, belum dirangkai menjadi kalimat dan belum menjadi teks tertulis.

4. Martabat Ajsam [ Akal ] – Dibukukan sebagai Al-Qur’an

Setelah wahyu masuk ke hati Nabi, ia kemudian diucapkan dan diajarkan kepada para sahabat, lalu dituliskan sebagai kitab (mushaf Al-Qur’an). Allah sendiri yang menjamin penyempurnaan wahyu ini, sebagaimana dalam QS. Al-Qiyamah (75:16-19) :

> “Janganlah engkau (Muhammad) menggerakkan lidahmu untuk membacanya (Al-Qur’an) karena ingin cepat menguasainya. Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya dan membacakannya. Maka apabila Kami telah membacakannya, ikutilah bacaan itu. Kemudian, sesungguhnya Kami yang akan menjelaskannya.”

Pada tahap ini, wahyu [ dengan bimbingan Jibril, kemudian dirangkai ] menjadi kata-kata yang bisa dibaca dan dipahami oleh manusia. Namun, kata-kata dan atau teks ini [ karena disusun dibawah bimbingan Jibril ] maka ia bukan saja memiliki dimensi ruhani, tetapi juga lapisan-lapisan makna yang sangat dalam. Dimensi ruhani dari Al Qur'an dan lapisan lapisan maknanya yang mutasyabihat dan sangat batini inilah yang tidak akan bisa diungkap lewat tafsir biasa. Hanya para ahli hakikat lah yang dapat mengetahui dan mampu memahaminya. 

  اِنَّهٗ لَقُرْاٰنٌ كَرِيْمٌۙ (٧٧) لَّا يَمَسُّهٗٓ اِلَّا الْمُطَهَّرُوْنَۙ (٧٩)  فِيْ كِتٰبٍ مَّكْنُوْنٍۙ (٧٨)  

"dan (ini) sesungguhnya Al-Qur'an yang sangat mulia, dalam Kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh), tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan." (Q.S. Al-Waqi'ah ayat 77 - 79)

🔹 Hakikat pada tahap ini : Wahyu telah berwujud sebagai sebuah rangkaian kalimat [ kitab ], yang dapat dipelajari oleh akal manusia.

Kesimpulan – Alur Wahyu dalam Perspektif Martabat Tujuh

Berdasarkan analisis ini, kita bisa menyusun hierarki turunnya wahyu sebagai berikut :

Dari sini kita melihat bahwa wahyu tidak turun secara langsung sebagai teks, tetapi mengalami proses spiritual yang panjang, dari ilmu Allah, ke alam malaikat, ke hati Nabi, hingga akhirnya menjadi kalimat [ kitab ].

Dengan memahami perspektif Martabat Tujuh, kita bisa menganalisis wahyu dengan lebih komprehensif, melihatnya bukan sekadar sebagai teks, tetapi sebagai pancaran cahaya Ilahi yang melalui berbagai dimensi sebelum sampai ke manusia.

🔹 Implikasi Spiritual :

Wahyu bukan sekadar tulisan, tetapi ruh yang harus dihidupkan dalam hati.

Pemahaman terhadap wahyu memerlukan kesucian hati, karena ia berasal dari ilmu Allah yang suci.

Martabat Tujuh bisa menjadi alat analisis yang sistematis untuk memahami bagaimana Tuhan berinteraksi dengan manusia.

Dan demikian pula, Martabat Tujuh terbukti sebagai kerangka berpikir yang sangat kuat untuk memahami alur wahyu dan fenomena metafisika lainnya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar