Mang Anas
Perjalanan ruhani manusia dalam mencari kebenaran sejati memiliki pola yang tetap dan logis. Pemahaman konvensional sering kali menempatkan syariat sebagai langkah awal, diikuti oleh tarikat, lalu hakikat, dan akhirnya makrifat. Namun, jika kita mengacu pada perjalanan ruhani yang dijalani Rasulullah dalam Isra Mi’raj, maka struktur yang lebih alami adalah:
" Tarikat [ La Ilaha ]→ Makrifat [ Ila Allah ] → Hakikat [ Muhammad ] → Syariat [ Rasulullah ]"
Struktur ini lebih sesuai dengan realitas perjalanan spiritual sejati, di mana seseorang harus terlebih dahulu mencari dan mengenal Tuhan sebelum akhirnya kembali menegakkan syariat dengan kesadaran penuh.
1. Tarikat – Lā ilāha (Pendakian Spiritual, Pelepasan dari Nafsu dan Syahwat)
Tarikat adalah jalan atau metode bagi seorang salik untuk menempuh perjalanan menuju Allah. Fase ini merupakan tahapan pembersihan diri dari segala bentuk ilah selain Allah—penghapusan hawa nafsu, keterikatan dunia, dan segala penghalang yang menghalangi penyaksian terhadap kebenaran sejati.
Dalam konteks kalimat tauhid, tarikat adalah "Lā ilāha", yaitu penolakan terhadap segala sesembahan selain Allah. Inilah proses mujahadah (perjuangan) yang berat, di mana seorang pejalan ruhani harus menapaki jalan kesucian dengan penuh kesabaran dan disiplin.
Lebih dari itu, "Lā ilāha" adalah upaya seorang manusia untuk melepaskan dirinya dari semua nafsu dan syahwat, baik yang bersifat jasmani maupun rohani.
- Nafsu jasmani meliputi segala keinginan fisik yang mengikat seseorang pada dunia material.
- Nafsu rohani meliputi rasa ingin dipuji, keinginan memiliki kedudukan spiritual tertentu, atau bahkan perasaan superior dalam ibadah.
Pelepasan dari kedua jenis nafsu ini adalah langkah awal dalam perjalanan menuju Tuhan, karena selama seseorang masih terikat dengan hawa nafsunya, maka ia belum benar-benar menafikan segala selain Allah.
2. Makrifat – Illā Allāh (Penyaksian Ketuhanan atas Allah Rabbul ‘Alamin)
Setelah menempuh tarikat dengan benar, seorang salik mencapai tahap makrifat, yaitu penyaksian terhadap hakikat ketuhanan. Ini bukan sekadar pemahaman konseptual, tetapi pengalaman langsung (dzauq), di mana seseorang benar-benar menyadari bahwa tidak ada yang berhak disembah dan tidak ada wujud sejati selain Allah.
Makrifat dalam kalimat tauhid adalah "Illā Allāh", yaitu penyaksian akan keesaan Allah yang mutlak setelah segala selain-Nya dilenyapkan dalam "Lā ilāha".
Namun, yang dimakrifati oleh seorang salik bukanlah sekadar konsep Tuhan, melainkan Allah Rabbul ‘Alamin, Tuhan semesta alam.
- Allah bukan hanya Tuhan bagi manusia, tetapi juga bagi seluruh ciptaan, dari langit hingga bumi, dari dunia nyata hingga alam gaib.
- Pemakrifatan Allah dalam tahap ini meliputi pemahaman akan kehendak-Nya dalam menciptakan segala sesuatu dan bagaimana hukum-hukum-Nya berlaku di seluruh semesta.
- Kesadaran ini membuat seorang salik memahami bahwa segala sesuatu terjadi dalam koridor ketentuan Allah, sehingga ia tidak lagi merasa memiliki kehendak terpisah dari kehendak-Nya.
Makrifat sejati adalah penyaksian akan realitas ketuhanan yang absolut, di mana seseorang mengenal Tuhan bukan hanya dari nama-nama dan sifat-Nya, tetapi sebagai satu-satunya realitas yang ada dan mengatur segala sesuatu.
3. Hakikat – Muhammad (Kesadaran Nur Muhammad sebagai Tajalli Rahman & Rahim)
Tahap berikutnya setelah makrifat adalah hakikat, yaitu kesadaran akan sumber segala sesuatu. Dalam perspektif ilmu hakikat, segala sesuatu berasal dari Nur Muhammad, yang merupakan manifestasi ilahi pertama sebelum penciptaan alam semesta.
Hakikat dalam kalimat tauhid adalah "Muhammad", karena Muhammad dalam konteks ini melambangkan Nur Muhammad sebagai realitas pertama yang diciptakan. Namun, lebih dari itu, Nur Muhammad adalah tajalli dari sifat Allah yang Rahman dan Rahim.
- Rahman: Meliputi semua makhluk, baik yang beriman maupun tidak, memberikan kehidupan, rezeki, dan segala bentuk kebaikan.
- Rahim: Kasih sayang khusus yang diberikan kepada hamba-hamba yang dekat dengan-Nya, yaitu mereka yang mengenali dan menyadari keberadaan Allah dalam setiap aspek kehidupan.
Maka, Nur Muhammad bukan sekadar realitas pertama, tetapi juga perwujudan sifat Rahman dan Rahim Allah di alam semesta. Kesadaran hakikat ini membawa seseorang pada pemahaman bahwa segala sesuatu dalam keberadaannya bersumber dari pancaran sifat kasih sayang Allah yang sempurna.
4. Syariat – Rasūlullāh (Manifestasi Kesadaran dalam Kehidupan sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin)
Setelah seseorang mencapai hakikat, ia tidak berhenti di sana. Ia harus kembali ke dunia dan menjalankan syariat sebagai manifestasi dari kesadarannya. Syariat dalam tahap ini bukan lagi sekadar aturan formal, tetapi menjadi ekspresi dari kesadaran hakiki yang diperoleh melalui perjalanan ruhani.
Syariat dalam kalimat tauhid adalah "Rasūlullāh", yang berarti kesadaran ilahi harus diwujudkan dalam kehidupan nyata melalui amal, akhlak, dan tuntunan yang dibawa oleh Rasulullah.
Lebih dari itu, hakikat Rasulullah adalah Rahmatan Lil ‘Alamin.
- Rasulullah bukan hanya seorang pembawa syariat, tetapi juga perwujudan kasih sayang Allah di alam semesta.
- Beliau adalah refleksi nyata dari sifat Rahman dan Rahim dalam tindakan manusia.
- Melalui syariat yang dibawanya, Rasulullah menjadi sarana bagi manusia untuk menerima limpahan kasih sayang Allah dan menyalurkannya kepada sesama makhluk.
Dengan demikian, syariat bukan sekadar aturan kaku, melainkan manifestasi kasih sayang Allah yang memberikan bimbingan kepada seluruh manusia agar mereka dapat hidup sesuai dengan fitrah ilahiyah.
Isra Mi’raj: Gambaran Sempurna Perjalanan Ruhani
Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW adalah simbol dari perjalanan spiritual yang sempurna:
-
Isra (Perjalanan Horizontal – Sair ilallah)
- Dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, melambangkan perjalanan dari dunia material ke dunia spiritual.
- Ini sesuai dengan perjalanan tarikat dan makrifat, di mana seseorang meninggalkan keterikatan duniawi untuk mendekat kepada Allah.
-
Mi’raj (Perjalanan Vertikal – Sair fillah)
- Naik dari langit pertama hingga Sidratul Muntaha, melambangkan pendakian ruhani menuju realitas ketuhanan yang mutlak.
- Ini sesuai dengan perjalanan hakikat, di mana seseorang menyaksikan sumber segala sesuatu sebagai tajalli sifat Rahman dan Rahim.
-
Kembali ke Bumi (Tajalli dalam Syariat)
- Setelah mencapai Sidratul Muntaha, Rasulullah tidak tinggal di sana, tetapi kembali ke bumi untuk membawa wahyu dan membimbing umat.
- Ini adalah simbol dari syariat, di mana kesadaran yang telah diperoleh harus diwujudkan dalam kehidupan nyata.
Kesimpulan: Perjalanan Ruhani yang Sejati
Perjalanan spiritual yang benar bukanlah dari syariat menuju makrifat, tetapi dari tarikat ke makrifat [ La Ilaha Illa Allah ], lalu hakikat, dan akhirnya syariat [ Muhammad Rasulullah ].
Dengan memahami struktur ini, kita bisa melihat bahwa makrifat bukanlah tujuan akhir, tetapi harus diikuti dengan hakikat dan diwujudkan dalam syariat.
Inilah keseimbangan sempurna antara ilmu batin dan amal zahir, antara penyaksian dan manifestasi, antara tarōqi dan tajalli.
Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar