Mang Anas
Surat An-Nur ayat 35 dapat ditafsirkan dengan menggunakan konsep Martabat Tujuh, karena ayat ini berbicara tentang cahaya Allah sebagai sumber segala sesuatu. Dalam tasawuf, cahaya (nur) adalah simbol emanasi keberadaan, yang sangat selaras dengan konsep martabat tujuh, dari Ahadiyah (keesaan mutlak) hingga Ajsam (dunia fisik).
Berikut ayatnya:
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ ۖ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ ۖ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ ۚ نُورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
"Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti sebuah lubang yang di dalamnya ada pelita; pelita itu dalam kaca, kaca itu seakan-akan bintang yang bercahaya seperti mutiara, yang dinyalakan dari pohon yang diberkahi, yaitu pohon zaitun yang tidak di timur dan tidak di barat, yang minyaknya hampir-hampir menyala walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. An-Nur: 35)
1. Ahadiyah (Ketiadaan Mutlak – Esensi Tuhan yang Tidak Dapat Diketahui)
“Allah adalah cahaya langit dan bumi.”
Pada martabat Ahadiyah, Allah dalam kondisi Mutlak, tanpa bentuk, tanpa sifat, tanpa nama—tidak bisa diketahui atau dibayangkan.
Ini menggambarkan bahwa semua wujud berasal dari cahaya-Nya, tetapi cahaya ini bukan dalam arti fisik, melainkan sebagai prinsip keberadaan mutlak.
2. Wahdah (Kesatuan Mutlak – Kesadaran Tuhan akan Diri-Nya)
“Perumpamaan cahaya-Nya seperti sebuah miskat (lubang kecil di dinding) yang di dalamnya ada pelita.”
Wahdah adalah tahap di mana kesadaran Tuhan terhadap diri-Nya mulai memancar sebagai cahaya pertama, yang dalam tasawuf dikenal sebagai Nur Muhammad.
Cahaya ini adalah sebab dari segala yang ada, tetapi belum berbentuk.
3. Wahidiyah (Manifestasi Sifat-Sifat Ilahi dalam Potensi)
“Pelita itu dalam kaca, kaca itu seakan-akan bintang yang bercahaya seperti mutiara.”
Pada martabat Wahidiyah, sifat-sifat Allah mulai tampak, tetapi masih dalam keadaan potensial.
Kaca yang bercahaya melambangkan cahaya ketuhanan yang mulai mengambil bentuk dalam dimensi metafisik, tetapi belum menjadi dunia fisik.
4. Alam Arwah (Dunia Ruh – Awal Penciptaan Makhluk dalam Bentuk Ruhani)
“Yang dinyalakan dari pohon yang diberkahi, yaitu pohon zaitun yang tidak di timur dan tidak di barat.”
Alam Arwah adalah tempat asal semua ruh sebelum ditiupkan ke dalam jasad.
Pohon zaitun melambangkan sumber kehidupan ruhani, yang tidak terikat oleh ruang dan waktu ("tidak di timur dan tidak di barat").
Ini menunjukkan bahwa ruh-ruh telah diciptakan sebelum penciptaan alam fisik, seperti yang dijelaskan dalam QS. Al-A'raf : 172.
5. Alam Mitsal (Dunia Imajinasi – Bentuk-Bentuk Halus Sebelum Menjadi Fisik)
“Minyaknya hampir-hampir menyala walaupun tidak disentuh api.”
Alam Mitsal adalah dimensi perantara antara dunia ruh dan dunia fisik, tempat segala bentuk eksis dalam wujud bayangan atau simbolik sebelum menjadi nyata.
"Minyak yang hampir menyala" melambangkan potensi keberadaan yang siap terwujud menjadi realitas fisik.
6. Alam Ajsam (Dunia Materi – Dunia Fisik yang Nyata dan Kasat Mata)
“Cahaya di atas cahaya.”
Alam Ajsam adalah dunia nyata, di mana segala sesuatu yang berasal dari cahaya Ilahi termaterialisasi dalam bentuk fisik.
Ungkapan "cahaya di atas cahaya" menunjukkan bahwa realitas dunia ini sebenarnya adalah lapisan dari cahaya Ilahi yang termanifestasi dalam berbagai bentuk fisik.
Cahaya spiritual tetap ada dalam diri manusia, tetapi sering kali tertutupi oleh sifat duniawi.
7. Insan Kamil (Kesempurnaan Manusia Sebagai Khalifah Allah di Bumi)
“Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki.”
Puncak perjalanan spiritual manusia adalah mencapai martabat Insan Kamil, yaitu manusia yang sadar akan hakikat dirinya sebagai pancaran cahaya Allah.
Insan Kamil adalah seseorang yang telah melewati semua tingkatan martabat tujuh dan kembali kepada Tuhan dengan kesadaran penuh.
Dalam perspektif ini, manusia yang sempurna adalah refleksi dari cahaya Tuhan, sebagaimana Nabi Muhammad yang disebut dalam QS. Al-Ahzab: 46 sebagai "cahaya yang menerangi" (Sirajan Muniran).
Kesimpulan
Dengan menggunakan konsep Martabat Tujuh, kita dapat memahami bahwa Surat An-Nur 35 sebenarnya adalah simbolisasi dari proses emanasi keberadaan.
•Ahadiyah → Tuhan dalam keadaan mutlak sebelum penciptaan.
•Wahdah → Cahaya pertama sebagai sebab segala sesuatu.
•Wahidiyah → Potensi wujud dalam bentuk metafisik.
•Alam Arwah → Penciptaan ruh sebelum dunia fisik.
•Alam Mitsal → Bentuk-bentuk halus sebelum menjadi nyata.
•Alam Ajsam → Dunia fisik yang kita alami.
•Insan Kamil → Kesadaran manusia sempurna yang kembali kepada cahaya Tuhan.
Dengan memahami ini, kita melihat bahwa realitas bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi merupakan pantulan dari cahaya Tuhan yang bergerak dari keesaan mutlak hingga bentuk yang kita kenal sebagai alam semesta dan manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar