Mang Anas
اِنَّ رَبَّكُمُ اللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُ الْاَمْرَۗ مَا مِنْ شَفِيْعٍ اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ اِذْنِهٖۗ ذٰلِكُمُ اللّٰهُ رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوْهُۗ اَفَلَا تَذَكَّرُوْنَ (٣)
"Sesungguhnya Tuhan kamu Dialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy (singgasana) untuk mengatur segala urusan. Tidak ada yang dapat memberi syafaat kecuali setelah ada izin-Nya. Itulah Allah, Tuhanmu, maka sembahlah Dia. Apakah kamu tidak mengambil pelajaran ?" (Q.S. Yunus ayat 3)
Salah satu ayat yang selama berabad-abad dianggap sebagai mutasyabihat adalah konsep استوى على العرش (istawa ‘ala al-‘Arsy). Banyak yang menafsirkan secara harfiah bahwa Allah "bersemayam" di ‘Arsy, sementara yang lain memahami ini sebagai bentuk kiasan atas kekuasaan-Nya. Namun, dengan pendekatan ilmu huruf dan hukum ilmiah, kita bisa mengungkap rahasia mendalam di balik istilah ini.
Makna Istawa dalam Perspektif Ilmu Huruf
Kata استوى berasal dari akar kata سوي (sawā), yang memiliki keterkaitan erat dengan struktur Wahdah dalam konsep Martabat Tujuh. Dengan membedahnya menggunakan pendekatan ilmu huruf, kita akan melihat hasil yang bukan saja komprehensif tetapi juga holistik :
-
س (Sin) → simbol dari Ilmu Allah
- Melambangkan tiga sifat utama Allah : Ar-Rahman, Ar-Rahim, dan Malik, yang semuanya berada dalam dimensi Wahdah [ esensi dari dimensi ilmu pengetahuan Allah ].
- Ini berarti istawa bukan sekadar "duduk" atau "menempati", tetapi perwujudan Ilmu Allah yang mengatur semesta secara otomatis.
-
و (Waw) → simbol dari Agen Tuhan
- Berperan sebagai perantara antara Ilmu Allah dan realitas alam.
- Dalam dimensi makro, و melambangkan Malaikat, sedangkan dalam dimensi mikro, و adalah hukum sunatullah yang berlaku, yang bekerja secara mekanis-otomatis pada diri setiap makhluk dan disetiap benda-benda.
-
ي (Ya) → simbol Penopang Alam Semesta
- Memiliki dua titik di bawahnya, melambangkan interaksi antara Ilmu Allah (س) dan Agen Tuhan (و) yang menopang keberadaan alam semesta.
- Ini menegaskan bahwa istawa bukan sekadar tindakan, tetapi sistem kerja Ilahi yang menopang seluruh realitas [ keberadaan ].
Implikasi terhadap "‘Arsy"
Dengan memahami bahwa istawa adalah manifestasi dari Ilmu, Agen dan hukum Allah, maka ‘Arsy bukanlah singgasana fisik, melainkan kompleksitas struktur hukum semesta yang ditopang oleh ilmu Allah.
- العرش (‘Arsy) dalam ilmu huruf bisa diurai sebagai :
- ع (‘Ain) → Kesadaran dan Pengetahuan Ilahi, dengan Pendengaran dan Penglihatan-Nya yang meliputi segala sesuatu.
- ر (Ra) → Pancaran Energi atau Cahaya Ilahi yang melingkupi segala sesuatu
- ش (Syin) → Penyebaran hukum semesta yang telah ditetapkannya, dan kehendak-Nya yang berlaku mutlak atas seluruh alam
Ini berarti, istawa ‘ala al-‘Arsy adalah sistem keseimbangan Ilahi yang bekerja secara otomatis dalam hukum semesta.
Bukti Ilmiah : Hukum Semesta sebagai Mekanisme "Istawa"
Jika konsep istawa berarti pemerintahan Allah melalui hukum otomatis, maka kita bisa melihat bukti nyatanya dalam sains modern.
1. Mekanika Fisika dan Hukum Alam
- Gravitasi menjaga keseimbangan alam semesta, memastikan planet tetap berada di orbitnya.
- Elektromagnetisme mengatur interaksi antar partikel di tingkat kuantum.
- Mekanika kuantum menunjukkan bahwa semua materi tunduk pada hukum probabilitas yang tetap, seperti halnya ketetapan Allah dalam Al-Qur’an.
Semua ini berjalan tanpa perlu campur tangan langsung, melainkan berdasarkan hukum sunatullah yang sudah ditetapkan sejak awal penciptaan.
2. Hukum Biologi dan Kehidupan
- DNA bekerja otomatis dengan menyalin dan meneruskan informasi genetik, tanpa intervensi manual.
- Homeostasis memastikan keseimbangan suhu, pH, dan metabolisme tubuh secara otomatis.
- Evolusi dalam skala mikro menunjukkan bagaimana makhluk hidup menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sesuai dengan mekanisme sunatullah.
3. Keselarasan Kosmik sebagai ‘Arsy Ilahi
- Alam semesta terbentuk dari keseimbangan energi dan materi.
- Bintang dan galaksi terbentuk berdasarkan siklus yang teratur, tidak terjadi secara acak.
- Konsep fine-tuning dalam fisika menunjukkan bahwa hukum-hukum alam terkalibrasi dengan sempurna, mendukung gagasan ‘Arsy sebagai sistem kesempurnaan Ilahi.
Semua ini membuktikan bahwa istawa bukan berarti Allah turun tangan secara fisik, tetapi Dia telah menetapkan hukum yang bekerja secara otomatis melalui mekanisme malaikat dan hukum sunatullah.
Mengapa Allah Menggunakan Kata "Kami"?
Dalam Al-Qur'an, Allah sering menggunakan kata "Kami" saat berbicara tentang proses alamiah, seperti :
"Dan Kami turunkan air dari langit..." (QS. Al-Mu’minun: 18)"Kami tumbuhkan dari bumi tanaman-tanaman..." (QS. An-Naba : 14-15)
Ini sesuai dengan konsep istawa, di mana Allah sebagai ملك [ Malik ] :
- Menetapkan hukum-Nya (م, Ilmu Allah)
- Mengoperasikan sistem melalui para agennya [ ل ], yaitu para malaikat dan ketentuan sunatullah yang membentuk kodrat setiap makhluk dan masing-masing benda ciptaan.
- Yang dengannya Dia menjaga dan memelihara penghidupan seluruh makhluk-Nya, serta memberi rejeki kepada semua yang diciptakannya (ك, yaitu alam semesta sebagai objek dari hukum-Nya)
Jadi, "Kami" bukan berarti Allah banyak, tetapi hukum-Nya bekerja melalui agen-agen otomatis yang sudah ditetapkan sejak awal.
Kesimpulan : Istawa sebagai Kesempurnaan Hukum Ilahi
Dari pemaparan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa istawa ‘ala al-‘Arsy bukan berarti Allah "duduk" secara fisik di atas singgasana, tetapi :
- Istawa adalah manifestasi dari Ilmu Allah (س) yang bekerja melalui hukum sunatullah (و) untuk menopang seluruh eksistensi (ي).
- ‘Arsy bukanlah tempat fisik, melainkan sistem keseimbangan semesta yang terkalibrasi dengan hukum-Nya.
- Allah tidak perlu turun tangan secara langsung, karena hukum yang Dia ciptakan bekerja secara otomatis, melalui mekanisme kerja para malaikat dan hukum alam.
- Ilmu pengetahuan modern justru membuktikan konsep ini, karena semua hukum fisika dan biologi berjalan otomatis sesuai kehendak-Nya.
Dengan pemahaman ini, konsep "istawa" yang selama ini dianggap misteri justru semakin jelas, membuktikan bahwa Al-Qur’an sudah mengandung struktur logika hakikat yang sejalan dengan ilmu modern.
Penutup : Kembali pada Kesadaran Ilahi
Jika kita memahami istawa sebagai mekanisme hukum Ilahi yang bekerja otomatis, maka kita akan melihat bahwa Allah selalu hadir dalam setiap aspek kehidupan, bukan sebagai sosok yang jauh di ‘Arsy, tetapi sebagai Ilmu dan Kehendak yang menopang seluruh keberadaan.
Kesadaran ini akan mengantarkan manusia pada makrifat yang lebih tinggi, bahwa mengenal hukum-Nya adalah mengenal-Nya, dan taat pada sunatullah adalah bentuk kepatuhan tertinggi pada-Nya.
Maka, istawa bukanlah sekadar ayat mutasyabihat, tetapi kunci untuk memahami rahasia keberadaan.
Pendapat Ulama Klasik tentang "Istawa ‘ala al-‘Arsy"
Sejak dahulu, istilah "istawa" dalam Al-Qur’an menjadi perdebatan di kalangan ulama, terutama mengenai apakah maknanya harus dipahami secara harfiah atau kiasan. Berikut beberapa perspektif utama dari berbagai mazhab:
1. Pendekatan Tafwidh (Menyerahkan Makna kepada Allah)
Sebagian ulama salaf (generasi awal Islam), seperti Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal, memilih tafwidh, yaitu menyerahkan makna ayat ini kepada Allah tanpa menafsirkannya secara spesifik.
-
Imam Malik pernah ditanya tentang makna "istawa ‘ala al-‘Arsy", lalu ia menjawab:
"Al-Istiwā’ ma‘lum, wa al-kaifiyyah majhūlah, wa al-imān bihi wajib, wa as-su’āl ‘anhu bid‘ah"("Istiwā’ itu sudah diketahui (maknanya secara umum), cara atau bentuknya tidak diketahui, beriman kepadanya adalah kewajiban, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah.") -
Imam Ahmad bin Hanbal juga berpendapat serupa, menghindari tafsir spesifik dan cukup mengatakan bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy dengan cara yang sesuai dengan kebesaran-Nya.
Pendekatan ini bertujuan menghindari tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk) dan ta’thil (meniadakan sifat Allah secara total).
2. Pendekatan Tafsir Harfiah (Tasybih dan Tajsim)
Sebagian kelompok dalam Islam, terutama aliran Mujassimah, menafsirkan istawa secara harfiah sebagai bersemayam atau duduk di atas ‘Arsy, seperti halnya seorang raja yang duduk di singgasananya.
- Tokoh yang cenderung memiliki pandangan seperti ini adalah Ibnu Khuzaimah dan sebagian ulama Hanbali ekstrem.
- Mereka berpendapat bahwa Allah berada secara literal di atas langit, namun berbeda dengan makhluk.
- Namun, pendekatan ini ditolak oleh mayoritas ulama, karena bertentangan dengan prinsip keesaan Allah yang tidak menyerupai makhluk-Nya.
3. Pendekatan Ta’wil (Menakwilkan Makna Istawa)
Banyak ulama Ahlus Sunnah dari kalangan Asy’ariyah dan Maturidiyah memilih pendekatan ta’wil, yaitu menafsirkan istawa sebagai kiasan tentang kekuasaan Allah.
- Imam Al-Baydhawi menafsirkan "istawa" sebagai "istila’", yaitu penguasaan dan kepemilikan mutlak Allah atas semesta.
- Imam Fakhruddin Ar-Razi menjelaskan bahwa ‘Arsy melambangkan hukum dan ketetapan Allah, sementara "istawa" bermakna pengaturan dan pengendalian-Nya atas semua ciptaan.
- Imam Al-Juwaini (Gurunya Imam Al-Ghazali) juga mengkritik pemahaman harfiah dan menegaskan bahwa istawa adalah bentuk kiasan tentang kepemimpinan Allah atas makhluk-Nya.
Pendekatan ta’wil ini lebih selaras dengan ilmu huruf dan konsep hukum sunatullah, di mana istawa dipahami sebagai sistem kerja Allah melalui hukum-hukum semesta.
Perbandingan dengan Pendekatan Ilmu Huruf dan Hukum Semesta
Pendapat para ulama klasik di atas menunjukkan tiga pendekatan utama :
- Tafwidh → Tidak menafsirkan secara spesifik, menyerahkan makna kepada Allah.
- Tafsir Harfiah → Mengartikan istawa sebagai "duduk" atau "bersemayam" dalam makna literal.
- Ta’wil → Menafsirkan istawa sebagai simbol kekuasaan dan pengaturan Allah atas semesta.
Sementara itu, pendekatan ilmu huruf dan hukum semesta memberikan struktur pemahaman yang lebih logis dan ilmiah.
Kesimpulan : Harmoni antara Ulama Klasik dan Ilmu Huruf
- Pendekatan Tafwidh menunjukkan kehati-hatian, tetapi tidak memberikan solusi konseptual yang jelas.
- Pendekatan Harfiah cenderung menyerupakan Allah dengan makhluk, sehingga bertentangan dengan prinsip tauhid.
- Pendekatan Ta’wil mendekati konsep ilmu huruf, tetapi masih dalam batasan metaforis.
- Pendekatan Ilmu Huruf dan Hukum Semesta menyempurnakan tafsir ini dengan membuktikan bahwa istawa adalah mekanisme hukum Ilahi yang bekerja otomatis.
Dengan demikian, istawa bukanlah sekadar misteri teologis, melainkan kunci untuk memahami bagaimana Allah mengatur alam semesta melalui ilmu dan hukum-hukum-Nya.
Catatan Penutup : Menyatukan Pemahaman
Artikel ini bukanlah untuk membantah pendapat ulama klasik, tetapi justru untuk melengkapi dan menyempurnakan tafsir mereka dengan pendekatan yang lebih logis dan ilmiah.
Ilmu huruf bukan sekadar alat tafsir, tetapi juga sebuah sistem pemahaman yang mampu menyingkap misteri Al-Qur’an secara holistik.
Dengan memahami konsep ini, kita tidak hanya menghormati warisan ulama klasik, tetapi juga mengangkat pemahaman Islam ke tingkat yang lebih tinggi, sejalan dengan ilmu pengetahuan modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar